Tuesday, August 18, 2020

Cara Menikmati Film Bumi Manusia bagi Kamu yang Anti-Hanung

Gambar: akurat.co
Malam kemerdekaan, salah satu film yang diadaptasi dari novel tetralogi legendaris Pramoedya Ananta Toer ditayangkan di sebuah stasiun TV nasional. Di Twitter, kata kunci “Bumi Manusia” sempat trending beberapa jam. Ketika di klik, ternyata terkait dengan film atau pun novel tersebut.

Maaf maaf nih ya Mas Hanung Rais Bramantyo. Saya harus jujur. Dulu, saat film ini dirilis, ada banyak teman saya yang meragukan akan mendulang sukses, baik secara kualitas atau pun kuantitas. Mengapa demikian?

Paling utama dan substansil adalah soal pemilihan pemeran karakter Minke. Minke ini tokoh muda berbahaya nan sangar dengan upaya yang begitu heroik dalam membangun pers perjuangan di Hindia Belanda. Ia berasal dari Blora. Terinspirasi dari tokoh pers bernama Tirto Adhie Soerjo.

Nah, pertanyaannya, mengapa tokoh sesangar Minke diperankan oleh Dilan alias Iqbaal? Iqbaal ini sudah sangat lekat dengan ‘rindu itu berat’ yang ala-ala. Lha kok malah diminta memerankan tokoh dari novel wajib para social justice warrior atau SJW?

Orang kemudian membandingkan dengan Bunga Penutup Abad, sebuah pementasan teater yang diperankan artis sejuta film, Reza Rahardian. Drama tersebut juga diangkat dari novel Bumi Manusia (plus Anak Semua Bangsa). Tokoh utama dalam teater tersebut diisi oleh pemeran kelas kakap lain seperti Happy Salma (Nyai Ontosoroh), Chelsea Islan (Annelies), dan Lukman Sardi (Jean Marais).

Tentu sebuah pekerjaan berat bagi penikmat novel dan teater untuk menerima nama-nama baru yang muncul di casting ‘Bumi Manusia’. Annelies diperankan oleh artis pendatang baru Mawar Eva de Jongh. Nyai Ontosoroh diperankan oleh Sha Inne Febriyanti. Apakah film ini bisa se-epik novel dan versi teaternya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang membuat saya kesulitan mendapat teman menonton. Beberapa teman yang saya tahu pernah membaca pun meletakkan ekspektasi yang kelewat rendah dari film ini. Mereka merasa beberapa film bio epik yang digarap oleh Hanung Bramantyo mengecewakan. Misalnya film Soekarno dan Kartini.

‘Halah paling gitu juga. Merusak imajinasi saya.’ Begitu kata salah seorang kawan.

Beberapa hari menjelang pemutaran perdana 15 Agustus 2019, komentar-komentar negatif pun bermunculan di timeline. Banyak sekali yang menghujat trailer, mulai dari kurang geregetnya Iqbaal hingga aspek bahasa yang ‘tidak 1910-an’. Namun, karena saya ingat pesan Pramoedya untuk ‘adil sejak dalam pikiran’, saya abaikan suara-suara sumbang tersebut. Hasilnya?

Pertama, saya mengapresiasi Hanung yang akhirnya berhasil memvisualkan novel yang pernah dilarang beredar di masa Orde Baru tersebut. Dulu novel yang memiliki kisah yang kompleks dengan isu percintaan, kemanusiaan, kolonialisme, nasionalisme itu disebut mengandung ajaran Marxisme-Lenninisme. Bayangkan, dari yang dilarang oleh negara sampai jadi tontonan bebas di bioskop.

Ide untuk memvisualkan novel sudah dimulai sejak 2004, saat Pram masih hidup. Saat itu Pram ingin sineas Indonesia yang menggarapnya. Karenanya, ia menolak tawaran 1,5 juta dollar AS dari sineas Hollywood Oliver Stone. Hak adaptasi pun jatuh ke tangan Hatoek Subroto, bos PT Elang Perkasa.

Nah, perjalanan film ini sangat panjang. Beberapa nama besar sineas Indonesia seperti Mira Lesmana dan Riri Reza, Anggy Umbara, hingga Garin Nugroho pernah mencoba menggarak proyek film tersebut. Namun semua gagal, mulai dari keterbatasan dana, beda visi dengan produser, dan lain sebagainya. Padahal, penggarapannya sudah melalui riset yang cukup panjang. Garin misalnya sudah menggarap skenario hingga 80 persen.

Hanung sendiri mengaku sudah pernah mendapat tawaran pada tahun 2006. Entah mengapa proyek itu batal. Padahal, menurut pengakuannya, ia rela tidak dibayar demi menggarap film yang diadaptasi dari salah satu novel favoritnya. Beruntung, ia mendapat amanah itu 12 tahun kemudian.

Kedua, film ini menyampaikan pesan perjuangan yang cukup kuat. Beberapa kutipan dan adegan epik tidak dilewatkan oleh Hanung. Misalnya saat Nyai Ontosoroh melakukan pembelaan di persidangan Annelies. Inne yang memerankan Nyai Ontosoroh berhasil membuat saya mbrebes mili. Bagi saya, adegan ngamuknya Nyai Ontosoroh menjadi adegan terbaik di film ini.

Ketiga, totalitas. Pemeran dalam film Bumi Manusia sangat banyak dan kompleks seperti novelnya. Hanung membawa beberapa pemeran teater untuk berperan di film ini. Selain Inne, ada nama Whani Darmawan yang secara apik memerankan karakter Darsam. Juga ada Ayu Laksmi yang memerankan ibunya Rini Minke.

Sementara dari Belanda, Hanung menggunakan artis mancanegara seperti Angelica Reitsma (Magda Peters), Peter Sterk (Herman Mellema), Jeroen Lezer (dr. Martinet), Salome van Grunsven (Miriam de la Croix), dan Hans de Kraker (Jean Marais). Semuanya artis dari Belanda.

Meski demikian, tak ada gading yang tak retak. Film ini tentu tidak akan mampu memuaskan semua pembaca tetralogi, apalagi yang sangat ingin terlihat real detil seperti 1910-an seperti aspek bahasa dan bahan pakaian yang diimpor dari mana.

Satu lagi, film ini memang digarap untuk kebutuhan industri. Tak perlu demo apabila menemukan beberapa adegan yang memang tidak terbayang saat membaca novelnya. Namanya saja adaptasi. Jika tidak puas, berkarirlah sebagai sutradara. Buat versi rebootnya di masa depan.

Bagaimana sentimen publik? Film itu ditonton sebanyak 1,4 juta di bioskop. Sebuah angka yang tidak terlalu mengecewakan. Saya bisa kutip beberapa twit secara utuh dari keyword ‘Bumi Manusia’ saat trending.

Second time crying Bumi Manusia

Bumi manusia adlh film terbaik Indonesia menurutku. Durasi 3 jam tapi berasa singkat sekali. Paling suka dgn karakter Nyai Ontosoroh, beliau perempuan yang tangguh, berani, & penuh optimisme. Pada zaman itu 'nyai' dianggap hal yg rendah tp dia membuktikan bahwa dirinya berbeda.

Pada film bumi manusia, kamu bisa tau bahwa, tidak direstuinya sebuah hubungan bukan karena masalah weton atau beda agama saja, tapi status sosial juga. Namun, dari kisah itu kamu bisa belajar bahwa, sebaik baiknya mencintai adalah berjuang bersama.

Apa kabar kamu yang pernah nonton bioskop Bumi Manusia bersamaku kala itu? Masih ku simpan foto ini di galeriku, meski kau sudah menghapus diriku dari ingatanmu.

Selebihnya, silakan nilai setelah menontonnya.

Wednesday, May 6, 2020

Obituari: Berpulangnya Didi Kempot & Nasihat Rasulullah untuk Mencintai dengan Sederhana

Hari ini muncul kabar duka tentang wafatnya seorang maestro Musik campursari Indonesia, Didi Kempot. Tentu hal tersebut mengagetkan mengingat beberapa minggu yang lalu Lord Didi masih manggung di sebuah acara amal.

Wafatnya The Godfather of Brokenheart, julukan Didi Kempot, mengingatkan saya pada percakapan setengah tahun silam. Di sebuah acara nasional pada bulan November, saya berkesempatan ngobrol dengan salah seorang teman tentang fenomena Didi Kempot. Ya, maestro campur sari itu sedang mendulang kejayaannya lagi setelah sekian lama tidak terdengar.

Seorang teman bernama Yusuf berujar, “Saya khawatir, lho.”

“Kenapa, Pak Dhe?” tanyaku. Pak Dhe adalah sebutan akrabnya.

“Habis menghilang kok tiba-tiba naik ke puncak,” ujar Pak Dhe dengan logat ngapaknya yang kental. Pak Dhe adalah orang yang mendalami spiritual Jawa. Ada banyak ajaran kebajikan yang biasa digunakan untuk membaca tanda.

“Bisa jadi waktunya tidak lama lagi.”

Ia mengibaratkan seperti ada orang yang punya riwayat sakit kronis tiba-tiba sembuh dan ceria. Biasanya itu tanda orang akan menghadap pada Yang Maha Kuasa.

Jadwal manggung Didi Kempot sangat padat. Di Jogja saja sepanjang Januari-Februari lebih dari lima titik. Ini yang saya ketahui.

Kebangkitan Didi Kempot ini luar biasa karena bisa masuk ke segmen urban millennials yang bahkan gak kenal bahasa Jawa. Ia sudah manggung di hampir semua televisi besar di Indonesia. Dan setiap Lord tampil, suasana selalu pecah. Penonton dan semua kru tidak segan untuk sama-sama bernyanyi dalam nada-nada kepedihan.

Pemandangan ini tentu sulit dibayangkan apabila melihat masa lalu musik campur sari Indonesia yang lebih banyak diputar di radio dan toko-toko penjual kaset bajakan. Atau lagu-lagunya diaransemen sebagai pengiring pertunjukan kuda lumping dan reog Ponorogo.

Namun Didi Kempot berhasil mengangkat pamor lagu-lagunya dan menjadikannya sebagai musik yang bisa dinimkati semua kalangan. Ia menjadikan campursari bisa didengar di hotel berbintang dan klab malam. Di acara pengajian akbar, ketika check-sound juga biasa mendendangkan lagu-lagunya.

Singkat kata, hampir setiap pertemuan yang menyediakan fasilitas sound system selalu diiringi lagu-lagu Didi Kempot. Seolah mustahil orang Indonesia tidak mengenal Didi Kempot yang setahun terakhir memiliki basis fans bernama Sobat Ambyar.

Hampir semua genre musik memainkan lagu Didi Kempot. Mulai dangdut pantura hingga Isyana Saraswati. Mungkin sebentar lagi ada seniman lagu islami yang mengaransemen lagu-lagu Didi Kempot dengan rebana. Atau mungkin sudah ada?

Dudu klambi anyar sing nang njero lemariku
Nanging bojo anyar sing mbok pamerke neng aku
Dudu wangi mawar sing tak sawang neng mripatku
Nanging kowe lali nglarani wong koyo aku
Neng opo seneng aku yen mung gawe laraku
Pamer bojo anyar neng ngarepku

Lagu-lagu Didi Kempot memang kebanyakan berisi tema patah hati. Tetapi lagu-lagu ini tidak absen untuk meramaikan resepsi pernikahan. Agak aneh memang. Tetapi musik Didi Kempot sudah melampaui kata-kata. Ia bisa mengalahkan arti patah hati meyakinkan menjadi sesuatu yang bisa untuk dirayakan.

Mungkin Didi Kempot mengamalkan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa jangan berlebihan dalam mencintai seseorang dan jangan pula terlalu berlebihan dalam membenci. Cinta dan benci bisa bertemu dalam satu arus bernama patah hati. Ya, karena merupakan arus pertemuan, sudah sewajarnya patah hati pun tidak berlebihan.

Jika patah hati, enggak sekalian dijogeti? Merayakan kepedihan adalah bagian dari upaya menetralisir dari berbagai pengaruh di tengah keambyaran.

Wabah adalah diksi yang digunakan untuk menggambarkan pesona Didi Kempot. Bersamaan dengan hilangnya keramaian, kata wabah mulai digunakan untuk menyebut merebaknya virus bernama Corona yang membuat manusia harus banyak berdiam sepi. Meski demikian, Didi Kempot terus berupaya menebar bahagia. Konser di rumah aja Didi Kempot bahkan mendulang lebih dari 7 milyar rupiah untuk donasi!

Sebagai manusia wajar jika berkabung. Tetapi ingat apa pesan dari Didi Kempot tentang patah hati.
“Patah hati itu enggak usah dibawa terlalu jauh-jauh, jangan ngelamun terlalu panjang. Dibawa untuk hal-hal positif”.

Selamat jalan, legenda… Terima kasih telah memberikan secercah harapan pada umat yang merana dan nestapa akibat patah hati.

Artikel ini dimuat di Islami.co tepat di hari wafatnya sang legenda, 05/05/2020

Tuesday, August 8, 2017

Memahami Kehidupan dari 'Orang-Orang Proyek'

“Mas Kabul, dulu Ki Hajar Dewantara bilang begini. Pilih mana dari dua kondisi ini: Numpak motor sinambi sawan tangis atau mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng...” (hlm. 22).

Kalimat yang diutarakan Pak Tarya, seorang mantan wartawan dan pegawai yang sehari-hari menghabiskan waktunya untuk memancing, kepada Kabul, seorang pengawas proyek, adalah  inti dari novel ini. Ahmad Tohari memotret secara alami kondisi dunia pembangunan di masa Orde Baru di mana dana untuk pembangunan banyak dijadikan bancakan.

Seorang Kabul yang sangat idealis; mantan aktivis kampus penentang Orba, dihadapkan pada situasi serba sulit. Ia yang tengah terlibat sebuah pembangunan jembatan terjepit pada satu sistem korup yang menganggap rekayasa dana proyek sebagai hal biasa. Hati nuraninya berontak karena merekayasa pembangunan berarti mengabaikan mutu bangunan. Namun Dalkijo, atasan sekaligus seniornya, menganggap hal tersebut tak perlu dirisaukan. Sudah sewajarnya sebuah proyek mendatangkan untung kepada pemborong. Dalkijo yang akrab disapa Koboi menggambarkan bagaimana ia bisa mengganti motor Harley Davidsonnya ketika merampungkan satu proyek.

Dalkijo adalah sosok yang mewakili sikap kemaruk. Ia yang memiliki masa lalu tercekik kemiskinan ingin membalas dendam dengan perilaku jor-joran. Apalagi saat ini ia berada di situasi yang cukup baik, sebagai pemborong proyek dan bendahara di partai penguasa. Untuk apa hidup kalau bukan dinikmati? Begitu pikirnya. Ia pun ingin menularkan pemahamannya tentang hidup kepada Kabul.

Kabul si insinyur muda yang masih bujangan itu kebalikan dari Dalkijo. Baginya, proyek adalah sepenuhnya hak rakyat. Karenanya akan sangat tidak adil jika pembangunan hanya mementingkan golongan penguasa. Sikap demikian timbul karena Kabul dididik dengan cara yang sangat bersahaja. Ia dibesarkan dengan makan nasi inthil dan lauk seadanya. Tirakat yang dilakukan ibunya membuat ia dan adik-adiknya bisa bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi.

Di benak saya, kedua tokoh ini mewakili dua situasi yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dalkijo adalah orang yang naik motor tapi menahan beban di hidupnya, beban untuk membalas dendam kemiskinan masa lalunya. Ia memilih hidup penuh gaya walau dikejar-kejar tuntutan daripada hidup sederhana dan dianggap ketinggalan zaman. Sementara Kabul ingin segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Ia memilih untuk menjamin keberhasilan suatu proyek jangka panjang daripada memperkaya diri dengan mengorbankan banyak hal.

Hidup banyak harta tapi gelisah, atau hidup sederhana tapi bermakna? Pilihan yang disodorkan Ki Hajar adalah pilihan yang sulit dijawab. Jika ada pilihan alternatif, tentu orang akan memilih hidup banyak harta tapi bermakna. Tapi Ki Hajar tidak salah dengan memberi pilihan yang hitam putih itu. Ia ingin menjangkau hal paling fundamental dalam diri manusia untuk memilih pilihan yang paling ekstrem.

Apalagi kaya harta dan kaya rasa merupakan pondasi cara hidup seseorang. Jika ia memilih kaya harta dan mengabaikan rasa, ia akan mengejar harta tanpa memedulikan bagian lain dalam hidup, termasuk agama. Inilah yang menyebabkan banyak rayap di setiap proyek khususnya pemerintah. Rayap-rayap ini sangat ganas karena tidak hanya doyan aspal, semen, dan besi, tapi juga nggragas nyimiti kitab suci. Ironisnya, sebgaimana digambarkan Tohari, mereka sangat sadar jika perbuatan mereka keliru. Tapi mau bagaimana lagi?

Sementara kaya rasa membuat orang mempertimbangkan keseimbangan dalam hidup. Ia bisa tersenyum dalam kondisi paling terbatas sekali pun. Namun seringkali orang semacam ini sulit untuk melejit karirnya karena akan terbentur dengan nilai-nilai pragmatisme yang sudah jadi wabah di tengah masyarakat. Inilah pilihan sulit yang dialami Kabul.

Saya menikmati karya-karya Ahmad Tohari yang selalu memotret realitas hidup tanpa menghakimi. Di novel ini ia memberi gambaran kehidupan para tukang, pemilik warung, waria penghibur, hingga percintaan dengan sewajarnya. Tanpa drama berlebihan. Lihat bagaimana situasi kejiwaan seorang Kabul yang terus mendapat perhatian dari seorang karyawati bernama Wati yang sudah punya pacar. Sebaliknya betapa tidak naifnya seorang Wati yang menaruh perhatian pada atasannya di proyek sekali pun ia punya pacar. Tapi pacarnya kan masih seorang mahasiswa. Di sini pertarungan antara rasa dan rasionalisme menjadi bumbu yang mak nyuk-nyuk.

Selain dialog yang menyatir perkataan Ki Hajar Dewantara, bagian yang paling saya suka adalah tembang yang dikumandangkan oleh Pak Tarya berjudul Asmaradana.

Nora gampang wong ngaurip
Yen tan weruh uripira
Uripe padha lan kebo

Hidup tidaklah mudah bila kita tidak tahu makna kehidupan. Hidupnya akan sama seperti kerbau. Sebuah ungkapan filosofis yang ditulis oleh Pakubuwana IV, seperti meramalkan akan datang suatu masa di mana banyak orang bekerja hanya untuk perut tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya.
Orde Baru yang disebut korup sudah berlalu. Agaknya kerbau-kerbau ini belum lagi berevolusi jadi manusia. Bahkan virus kerbau sepertinya semakin ganas menjangkiti generasi muda. Selaras dengan Kidung Sinom Ranggawarsita:

Amenangi zaman edan // Ewuh aya ing pambudi // Melu edan ora tahan // Yen tan melu anglakoni // Boya keduman milik // Kaliren wekasanipun // Ndilalah kersaning Allah // Begja begjaning kang lali // Luwih begja kang eling lan waspada. (Menyaksikan zaman edan // Tidaklah mudah untuk dimengerti // Ikut edan tidak sampai hati // Bila tidak ikut // Tidak kebagian harta // Akhirnya kelaparan // Namun kehendak Tuhan // Seberapapun keberuntungan orang yang lupa // Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada).

Akhir kata, selamat menyelami novel gurih-gurih nyoi ini.

Wallahua’lam.

Wednesday, May 31, 2017

Selamat Jalan, Bupati Bersahaja

Tak banyak persinggungan yang kualami dengan Bapak Mahsun Zain, bupati Purworejo (2008-2015). Paling sering tentu melihat fotonya di beberapa baliho di kota itu yang saban tahun hampir selalu aku lewati, baik ketika masih mondok di Pati atau kuliah di Jogja. Namun pada seminggu terakhir, aku mengunjungi kediamannya dua kali.

Kamis (25 Mei 2017) adalah pertama kalinya aku bertemu beliau. Ia mengenakan kaos oblong putih dan bersarung layaknya santri, menunggu aku dan beberapa teman yang ingin menginap di kediamannya seusai melihat acara Among-Among Pancasila di Kebumen. Salah satu rekan kami adalah anak beliau. 

Beliau berada di teras depan rumah dan mempersilakan kami segera masuk. 


"Nanti tidur di kamar saya, ya?" ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar. Ia sendiri, setelah berbincang-bincang ringan dengan kami dan mempersilakan kami segera istirahat, langsung menuju ruang depan. Mungkin beliau tidur di sofa.


Pagi harinya, ketika kami hendak pamit ke Jogja, beliau berada di teras rumah. Saat itu, dengan masih mengenakan kaos oblong sederhananya, beliau tengah memotong kacang panjang. Aku dan teman-teman yang lain menyucup tangannya dan mengucap salam. Tak dinyana, itulah salam terakhir yang kami ucapkan pada pria hebat kelahiran 1959 itu. 


Kesehatan beliau belakangan memang kurang baik. Mungkin karena aktivitas padatnya selama menjabat sebagai orang nomor 2 dan 1 di Purworejo. Bapak Mahsun kabarnya sudah melakukan cuci darah sejak beberapa tahun terakhir. Selasa malam (30 Mei 2017) pukul 19.10 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir di RS Tjitrowardoyo, Purworejo. 


Dini hari tadi, di jam yang hampir sama saat aku pertama ke sana, aku kembali mengucap salam. Berbeda dengan seminggu lalu yang suasananya sangat sepi, malam tadi berdiri terop/tarub dengan puluhan pelayat yang masih terus berdatangan. Ah, 


Kematian memang sebuah misteri.... 


Sebuah pertemuan singkat dengan bapak bupati ini sangat bermakna bagiku. Ya, karena aku menemukan kata sederhana yang tak selalu kutemukan pada para pejabat yang pernah kutemui. 


Ada sebuah kisah bahwa beliau sebenarnya masih diminta warga Purworejo maju di pemilihan bupati 2015 lalu. Tapi beliau menolak. Padahal, sebagai petahana, seharusnya mudah baginya untuk memenangkan kursi pemilihan. Tapi beliau bukanlah sosok yang gila jabatan. Ya, karena jabatan adalah amanah sekaligus ujian. Tak perlu diburu. Tak perlu dipertahankan mati-matian. 


Aku jadi ingat sesi wawancara Gus Dur dengan Andi F. Noya. Di salah satu sesi, Gus Dur lantang mengatakan "saya jadi presiden itu karena diminta oleh 5 guru saya." Jika tidak diminta, ya tidak usah ngotot memburunya. Bisa jadi, bapak Mahsun pun demikian. 


Selamat jalan, pak...
 

Lahul fatihah...

Yogyakarta, 31 Mei 2017

Friday, May 5, 2017

Jurnalis Harus Gila


gambar: erabaru.com

Jendral itu beberapa kali membuat pernyataan bahwa ia tidak perlu bersusah payah meladeni tulisan Allan Nairn yang dimuat situs tirto.id karena takut dianggap gila. Meladeni orang gila sama dengan gila. Begitu katanya. Di acara Rosi #PanglimaDiRosi malam Jumat lalu, Pak Jendral secara terbuka mengatakan hal tersebut kembali.
Di hadapan jutaan pemirsa dan beberapa pemimpin redaksi media ternama, Pak Jendral membuat tulisan Allan jadi lebih kriuk di mata saya. Itu karena tidak ada sanggahan secara tegas dan tanggapan yang melemahkan atas data yang dibuka oleh Allan melalui THE INTERCEPT yang kemudian dimuat tirto. Pak Jendral dan salah satu pengamat militer malah membelokkan isu ini menjadi "jangan terlalu percaya jurnalis asing" atau "jurnalis asing tidak selalu benar". Ya, semua jurnalis tidak selalu benar karena jurnalis juga manusia. Tetapi kerja jurnalisme memiliki aturan: data, fakta, akurasi dan keberimbangan menjadi bagian tak terelakkan.
Dari sekian pernyataan jendral, hanya aspek keberimbangan yang jadi soal. Di tulisannya, Allan mengatakan telah berusaha menghubungi jendral tetapi urung berhasil. Sementara jendral menyatakan sebaliknya: ia belum pernah dihubungi jurnalis asing yang membongkar wawancara off the record dengan Prabowo saat pilpres lalu.
Oleh karenanya, para pemimpin redaksi media ternama mengatakan, sebagai sebuah tulisan yang memuat berbagai data dan fakta, tulisan Allan tidak bisa disebut sebagai berita (news), tetapi opini atau kolom. Sebagai kolom, tulisan itu masih bisa disebut sebagai karya jurnalisme. Dengan merebaknya kasus ini, semoga Allan bisa bertemu dengan Jendral untuk mengklarifikasi data-data yang ditulisnya.
Di era kolonial, Tirto Adhi Soerjo muncul dengan surat kabar nasional pertama di Indonesia, Medan Prijai. Media itu yang memberitakan ‘sesuatu’ yang tidak dimuat oleh pers mainstream, De Locomotief misalnya. Bagi penguasa kolonial, laporan yang dimuat oleh MP sangat mencemaskan karena bisa menimbulkan gejolak perlawanan di tengah masyarakat. Tirto pun mendapat ancaman. Ia kemudian diasingkan ke pulau Bacan, dekat Halmahera. Ia gila. Gila karena meninggalkan kemapanan demi memperjuangkan keadilan.
Pada awal 1950-an, Mochtar Lubis mendapat kesempatan untuk meliput perang Korea. Ia diundang secara khusus oleh PBB. Di tengah kecamuk perang, jurnalis yang juga sastrawan itu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia kemudian menulis buku Catatan Perang Korea untuk menulis banyak sisi perang yang baginya ‘meruntuhkan sisi peri kemanusiaan’. Ia gila. Gila karena meninggalkan situasi aman di Indonesia demi memberi kabar kepada masyarakat luas tentang konflik di sebuah negara yang bahkan tidak ada kaitan budaya dengannya.
Tiga hari setelah Tsunami menerjang Aceh, Najwa Shihab melaporkan situasi yang kalut. Ia melihat tumpukan mayat dan kerusakan yang luar biasa. Saat melaporkan, putri ahli tafsir Habib Quraish Shihab itu sangat emosional hingga menangis. Ia yang harus berjalan kaki sekian kilometer, menembus medan yang tak mudah, semakin ngilu melihat kenyataan di sekitarnya. Ia gila. Gila karena berani mengambil resiko yang oleh jurnalis lain urung dilakukan.
Tirto, Mochtar, dan Najwa adalah tiga jurnalis beda masa yang disatukan oleh kata ‘gila’. Kata yang barangkali jarang dimiliki oleh kebanyakan jurnalis saat ini, lebih-lebih yang menjadi jurnalis bukan dasar kemauan memperjuangkan sesuatu. Lebih-lebih media saat ini dikuasai koorporasi yang membuat semuanya menjadi semakin bias. Ada 1.076 media cetak, 1.248 radio, 351 pemancar televisi dan ribuan situs online, yang ternyata hanya dimiliki oleh 12 konglomerat!
Bagi jurnalis yang memperjuangkan idealismenya, konglomerasi media adalah sebuah ancaman. Ia bisa memenjarakan manusia sebelum manusia itu sempat berpikir. Ia akan menyingkirkan independensi sebab mengikuti titah si tuan. Karenanya, mereka berusaha untuk membuat media alternatif. Setahu saya, tirto.id adalah media alternatif yang dibangun oleh para jurnalis pemberani yang pernah mengenyam pendidikan kewartawanan di lembaga pers mahasiswa. Pers mahasiswa dalam sejarahnya selalu melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kampus.
Di luar negeri, The Intercept, media tempat bekerja Allan Nairn, adalah media alternatif yang sangat berbeda dengan The New York Times dan sejenisnya. Media ini berani meliput hal-hal yang oleh media mainstream disebut sebagai ‘hal konyol’ karena akan menurunkan reputasi media tersebut. Tidak hanya menurunkan reputasi, lebih dari itu, akan membuat medianya terancam.
Allan Nairn, sebagai seorang jurnalis, memiliki reputasi yang sangat bagus di bidang investigasi. Ia sekaligus jadi ancaman bagi para jendral dan rezim-rezim totaliter di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, ia beberapa kali diancam oleh militer untuk diseret ke pengadilan karena melaporkan beberapa pembantaian yang dilakukan oleh sedadu. Pada 2009, ia diancam akan ditahan dan diseret ke pengadilan karena melaporkan pembunuhan sipil oleh serdadu di Aceh.
Sebagai masyarakat awam, saya menunggu adanya langkah nyata untuk menganggap serius tulisan Allan ini. Apalagi Pak Jendral adalah salah satu idola banyak orang, termasuk saya. Pak Jendral perlu memberi keterangan kepada ‘orang gila’ ini mengenai tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Dalam tulisannya, Allan mengutip pendapat dari beberapa sumber yang sangat jelas disebutkan namanya. Pak Jendral hanya perlu mengatakan itu sebagai keterangan palsu dan sejenisnya dan semua kasus selesai. Laporan Allan jadi berimbang.
Kalau pun dianggap mencemarkan nama baik, Pak Jendral tidak perlu sungkan menyeret Allan ke pengadilan. Di pengadilan, semua bisa dibuka mulai tokoh yang diwawancara hingga bukti rekaman. Jangan sampai karena hal kecil ini membuat reputasi lembaga negara menjadi buruk. Apalagi akun twitter PusPen TNI sudah buru-buru mengecap kolom Allan sebagai HOAX. Sebuah tuduhan menyakitkan bagi para jurnalis karena untuk mendapatkan data-data harus memutus urat takut terlebih dahulu. Tuduhan HOAX sama saja menganggap media tersebut sekelas media kaum radikal yang menulis tanpa data atau hanya fitnah belaka.
Akhir kata ini hanyalah pepesan kosong masyarakat awam yang sangat mencintai negara dan TNI serta Polrinya. Semoga negara kita terhindar dari politik tinggat tinggi yang berencana untuk menggulingkan presidennya dengan alasan rebut kekuasan, alih-alih kesejahteraan rakyatnya. Wallahua’lam.


Yogyakarta, 06 Mei 2017

Thursday, April 27, 2017

Lelaki Hijrah dan Jahiliyah



Carilah pasangan yang berkeadilan gender, begitu salah seorang dosen. Ia mewanti-wanti agar mahasiswanya tidak salah dalam memilih pasangan hidup. Salah pilih gubernur waktu Pilkada hanya menyesal lima tahun. Tetapi salah memilih pasangan? Bisa panjang urusannya.
Pesan ini secara eksplisit memang ditujukan kepada kaum muda, terutama mahasiswi di kelas sang dosen. Akan tetapi, pesan yang disampaikan ini sangat relevan ditujukan kepada semua kalangan. Bagi penulis, pesan ini menjadi titik awal ketertarikan penulis terhadap isu-isu feminisme yang sempat menguat beberapa tahun yang lalu, tetapi kemudian melemah beberapa waktu belakangan.
Mengapa dikatakan melemah? Munculnya banyak tokoh seleb agama yang mengampanyekan semangat patriarki adalah salah satu sebabnya. Ironisnya, pemikiran mereka yang menggiring perempuan kembali ke bilik dapur dan rumah tangga ini sangat digandrungi. Forum-forumnya selalu ramai. Tak jarang, forum tersebut dijadikan ajang menghabisi konsep keadilan gender yang sudah disuarakan sejak lama. Singkat kata, perempuan dianggap cukup untuk mengurus keperluan domestik rumah tangga, alih-alih turut beraktivitas dan berkarya di kehidupan.
Munculnya pemikiran semacam ini membuat dunia seakan mundur 1500 tahun ke belakang. Sebelum Islam datang, perempuan merupakan manusia kelas dua yang tidak memiliki hak bersuara. Perempuan bahkan dianggap aib oleh masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari perilaku jahiliyah bangsa Arab yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya karena merasa malu. Bangsa jahiliyah pun memperbolehkan seorang lelaki mengawini puluhan atau bahkan ratusan perempuan sekaligus. Setelah Rasulullah SAW mendakwahkan Islam, perempuan memiliki kehormatan yang sama dengan lelaki.
Hal ini dirasakan pula oleh sahabat Umar ibn Khattab RA. Khalifah kedua umat Islam ini berkata, “Pada masa jahiliyah, kami tidak pernah  memperhitungkan perempuan. Hingga Islam datang dan Allah SWT menyebut-nyebut mereka, barulah kami sadar bahwa mereka punya hak yang tidak bisa kami intervensi sama sekali.” (Fath al-Bari).
Islam datang untuk mendobrak tradisi patriarkis bangsa jahiliyah Arab yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek. Pada perjalanan waktunya, banyak tokoh-tokoh perempuan Islam yang menjadi tokoh perubahan. Di Indonesia, kita mengenal banyak perempuan muslim yang dikenang sebagai tokoh emansipasi dan revolusi seperti Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia dan lain sebagainya. Jika masih ada orang yang berpikir perempuan sebagai manusia kelas dua, patut dicurigai ia manusia yang seharusnya lahir 15 abad yang lalu.
Jika ingin menilik umat Islam yang ideal, lihatlah Islam pasca hijrah ke Madinah. Hijrah adalah titik balik perjalanan umat Islam dari masa kegelapan menuju sebuah era yang terang benderang. Di periode inilah diturunkan banyak ayat Al-Qur’an terkait akhlak, muamalah, yang termasuk juga di dalamnya tentang ayat-ayat keadilan gender.
Di masa kini, hijrah bisa dimaknai sebagai sebuah paradigma atau pola pikir masyarakat. Hijrah adalah simbol sebuah perubahan paradigma masyarakat dari konservatif menuju progresif. Bagaimana bisa melihat seseorang itu konservatif dan progresif? Lihatlah caranya memandang keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Orang konservatif cenderung menolak keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial. Ia menilai tugas seorang perempuan hanya manak (melahirkan), macak (berias), dan masak. Perempuan yang sempurna adalah yang bisa menguasai ketiga hal tersebut. Perempuan yang berkenan untuk tidak keluar dari rumah barang sejengkal adalah favoritnya.
Sementara lelaki progresif memandang perempuan memiliki kesempatan dan peran serta tanggung jawab yang sama dalam pembangunan sosial. Ia memberi keleluasaan bagi pasangannya untuk melakukan hal-hal baik yang bermanfaat bagi sesama. Sebagaimana firman Allah SWT, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Wallahua’lam.

Kongres Para Perempuan yang Bangkit



Saya dan Tim Pencari Jajan di KUPI


Hatoon Al-Fassi memberikan penjabaran tentang kondisi perempuan di negaranya, Arab Saudi. Di hadapan ratusan peserta seminar internasional, aktivis yang identik dengan pakaian tradisional Arab itu mengatakan perempuan di Indonesia jauh lebih beruntung. Terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang didukung banyak kalangan, termasuk pemerintah, adalah bukti suara perempuan sangat dihargai di sini.
Hal senada disuarakan Zainah. Perempuan asal negeri jiran Malaysia itu mengungkapkan kekagumannya pada gerakan perempuan di Indonesia. “Mengumpulkan lebih dari 400 perempuan ulama di sebuah forum adalah hal yang luar biasa,” pujinya. Ya, gaung suara perempuan kembali meletup setelah sekian lama tak terlalu terdengar. Ribut-ribut Pilkada DKI beberapa waktu silam membuat negeri ini seolah-olah sesempit Jakarta saja. Kongres ini mengawali bangsa Indonesia untuk memikirkan sesuatu yang jauh lebih kongkrit daripada pesta politik lima tahunan.
Badriyah Fayumi, tokoh agama, mengatakan kongres ini sebagai panggilan iman dan sejarah. Kongres ini bukan saja melantangkan suara perempuan untuk memperjuangkan keadilan baginya, tapi juga mengingatkan kepada banyak orang betapa Islam sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Di masa lampau pun sudah banyak perempuan yang menjadi ulama.
Masriyah Amva, pengasuh Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu tempat diselenggarakannya KUPI, menambahi bahwa perempuan bukan makhluk terbelakang. Baik lelaki dan perempuan diciptakan dengan derajat yang sama. Masriyah sekaligus menjadi contoh betapa pesantren yang dikenal sangat patriarkis bisa dipimpin oleh seorang perempuan. Lebih dari 1000 santri berada di bawah naungan Bu Nyai yang puitis itu.

Ulama Perempuan
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa nama kongresnya ulama perempuan? Kok, ada lelakinya? Bukankah ulama, secara etimologi, sudah mencakup laki-laki dan perempuan? Hal ini tidak lain adalah sebagai penegasan. Istilah ulama perempuan itu pun bukan berarti ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi ulama, baik laki-laki atau perempuan, yang memiliki pandangan yang berpihak pada perjuangan hak-hak perempuan. Jika  ulama itu perempuan maka disebut sebagai perempuan ulama.
Masriyah menjelaskan bahwa kongres ini terselenggara berkat perjuangan yang cukup melelahkan. Banyak pihak yang tidak menghendaki adanya kegiatan ini karena dianggap kebablasan. Padahal, acara ini murni untuk menyamakan persepsi banyak tokoh terkait pandangan Islam terhadap perempuan. Juga untuk merumuskan strategi besar peran perempuan dalam kehidupan.
Direktur Fahmina Institute KH Husein Muhammad mengatakan bahwa kongres ini adalah yang pertama diselenggarakan di dunia. Ia belum pernah mengetahui ada kongres serupa yang pernah diadakan di belahan dunia lain. Kata Kiai, Cirebon dipilih sebagai titik awal dan ia berharap akan ada kongres-kongres perempuan lain di kemudian hari. Tidak hanya Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Umi, salah satu peserta dari Aceh, mengaku mendapat banyak manfaat dari kegiatan ini. Perempuan bercadar yang memiliki majlis pengajian itu menyadari bahwa banyak hal bisa dilakukan oleh perempuan. ‘Kita tidak hanya bekerja di dapur dan kasur, tapi bisa jauh lebih dari itu,’ ujarnya. Ia menilai KUPI patut diselenggarakan di berbagai wilayah agar menimbulkan kesadaran bersama terkait peran perempuan. Terlebih bagi orang sepertinya yang juga bekerja di LBH bagian kekerasan seksual dan perlindungan anak.
Perempuan seringkali dipersepsikan sebagai kaum yang lemah dan dipersalahkan. Padahal kenyataannya perempuan itu memiliki kekuatan yang sangat besar.  Di kongres ini, dibahas pula peran perempuan dalam meningkatkan mutu pendidikan hingga menyoal ekologi, bukti bahwa perempuan bukanlah makhluk domestik yang hanya akrab dengan kasur, dapur, dan sumur.

Poligami Menurut Perempuan Sedunia
Acara ini bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Walau secara nama skalanya nasional, tapi peserta kongres berasal dari berbagai negara. Tercatat ada 16 negara yang berpartisipasi di kegiatan ini.
Salah satu bahasan lama yang masih menarik ialah poligami. Beberapa orang menganggap poligami diperbolehkan karena di Al-Qur’an teksnya memperbolehkan seorang lelaki menikahi hingga empat istri. Tetapi banyak pula yang mengatakan tidak diperbolehkan, sebab di Al-Qur’an ada syarat khusus bagi seseorang yang menghendaki poligami: adil.
Ulfat H Masibo, seorang perempuan ulama dari Nigeria menegaskan diperbolehkannya poligami hanya dalam satu kondisi, yaitu seorang suami bisa adil. Jika tidak, maka poligami tidak diperbolehkan. Sementara Rafatu Abdul Hamid (Kenya) menilai poligami acap kali melanggar hak-hak perempuan. Pun, bagaimana bisa berbuat adil kepada lebih dari satu orang?
Penolakan poligami pun disuarakan ulama asal Pakistan Bushra Qadeem Hyder. Ia mengkritik dalih diperbolehkannya poligami berdasar ayat suci. Tetapi para pelaku tidak mengetahui syarat dan kondisi diperbolehkannya poligami ini sehingga yang terjadi adalah eksploitasi pada perempuan. Kongres ini mengingatkan saya suatu kali disodori pertanyaan, bolehkah poligami? Dengan sedikit guyon saya pun menjawab, "Halah, satu saja belum berani kok mikir poligami." Ketika diburu dengan pertanyaan yang sama, jawabanku hanya, "Jika kau tanyakan padaku, maka jawabannya sama dengan lubuk hatimu. Bisakah adil kepada lebih dari satu orang?"
Bagi saya yang mengikuti kongres ini sejak hari pertama, saya terkesan dengan cara perempuan mendobrak stigma negatif yang ditujukan kepadanya. Tidak berlebihan jika Nyai Umdah (Jombang) mengatakan kongres ini lebih tepatnya sebagai hari kebangkitan yang menyejarah. Mereka menggunakan cara elegan untuk berteriak melalui KUPI.
Kongres yang awalnya banyak diragukan hingga dicibir perlahan mendapat tempat di hati banyak orang. Di hari penutupan, GKR Hemas dan Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan apresiasi luar biasa atas terselenggaranya kongres ini. Lukman sampai menyatakan kesiapannya mendirikan sebuah Ma’had Aliy yang diperuntukkan untuk mengader ulama perempuan.
Salah satu yang luar biasa di KUPI adalah ketiadaan batas peserta yang ikut di kongres ini. Mereka datang dari berbagai lintas organisasi dan mazhab. Perbedaan cara pandang fikih disingkirkan demi mengkaji hal-hal pokok yang bertujuan menghadirkan keadilan bagi perempuan.
Di kongres ini saya menjumpai keragaman, mulai yang mengenakan kerudung, jilbab, cadar, hingga tanpa tudung. Mereka sama-sama berada di satu forum, saling berbincang terkait isu perempuan, KDRT, penyakit, dan lain sebagainya. Umi, peserta dari Aceh itu salah satu peserta yang membuat saya terkesan. Di balik cadarnya, ia adalah pribadi yang sangat bersahabat, jauh dari stigma negatif pengguna cadar sebagaimana sering saya dengar.
Sesaat setelah diwawancara, Umi menepuk pundak saya dan mendoakan, “Semoga sukses!”. Sebuah doa yang langsung saya amini. Ketika akan pulang, saya sempat bertemu dengan Umi. Ia menghampiri saya dan menyodorkan tangannya di balik kain hijabnya. Aku pun langsung menyambut dan menyalami sembari mengecup tangannya, seperti budaya pedesaan pada umumnya.[]