Monday, June 16, 2014

Cinta adalah Keindahan (Bagian 1)

Catatan ini aku tulis untuk kalian para sahabat pendakian: Ubaidillah F, Roihan Asyrofi, Suhairi, Lafzee, Faradilla, Kiki, Laras dan Via

Negeri ini sangat indah. Aku bersumpah atas nama Tuhanku yang menciptakan. Kau tak akan percaya apabila belum sekali pun kau menginjakkan kaki di tanah yang menjulang tinggi di atas awan.

Hari ini tubuhku masih diselimuti pegal-pegal, terlebih di sekitar betis. Aku bersyukur karena engkelku baik-baik saja. Padahal tiga kali aku merintih karena keseleo. Namun bibirku terasa sangat perih karena pecah-pecah. Sementara rasa kantuk masih mengurung diri dalam kemalasan. Ya, semua ini adalah hadiah dari sang Lawu yang telah mengajarkanku pada salah satu keindahan yang dicipta oleh Tuhan.
Setelah membayangkan keindahan yang lalu, aku langsung berpikir untuk segera menuliskan apa-apa yang aku ingat dan rasakan ketika berada di gunung Lawu, 13-15 Juni 2014 lalu.

Edelweis dan Para Penyamun
Edelweis... (Gambar Batikimono)


Pernahkah kau melihat edelweis?
Siapapun yang pernah, kau adalah pecinta sejati (seharusnya)

Salah satu yang diburu oleh pendaki adalah bunga edelweis, bunga keabadian. Pada pemuncakan pertamaku di Merbabu (16 Januari 2014), edelweis tidak mekar karena musim penghujan. Konon, edelweis hanya mekar di musim kemarau saat dinginnya gunung sedang hebat-hebatnya. Aku sendiri kurang paham dengan gejala alam itu. Setahuku, edelweis hanya tumbuh di gunung yang tinggi.
Aku mendapat penjelasan dari Dilla bahwa edelweis tumbuh di atas batas vegetasi. Aku sendiri kurang mengerti dengan penjelasan ini. Yang jelas, edelweis memiliki batasan tertentu untuk dapat tumbuh dan memekarkan bunga-bunga ajaib.
Pertama kali aku melihat edelweis adalah di Lawu ini. Setelah berjalan dari pos 3, aku menceletuk, “Itu edelweis?” Dilla kurang yakin dengan apa yang kulihat. Tapi setelah kutunjukkan letaknya, ia kemudian menjelaskan bahwa edelweis bisa saja tumbuh di pos 3 ini. Tapi kemungkinan mekarnya sangat sedikit. Dan memang aku hanya melihat edelweis yang malu untuk mekar. Hanya saja di kejauhan terlihat banyak edelweis yang tampak mekar bagus. Sayangnya posisinya sangat jauh, tidak mudah didekati. Mungkin edelweis mengerti bahwa keserakahan manusia bisa membuatnya menjadi tumbuhan mitos.
Saat aku berjalan menuju pos 4, aku melihat seorang pria menggenggam bunga edelweis dan membawanya seakan tidak memiliki dosa. Bagi pecinta alam, memetik edelweis sama saja merusak alam. Itu salah satu dosa terberat bagi pendaki selain membuang sampah seenaknya. Dalam batin aku merasa sakit. Aku mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk pelanggar HAT (Hak Asasi Tumbuhan) seperti itu. Sehari kemudian tercipta puisi sederhana ini:

Demi bunga edelweis yang sungkan untuk bermekaran
Demi para pecinta sejati sang alam yang agung
Demi Tuhanku yang menciptakan keharmonisan Lawu
Demi semua yang terluka atas pengkhiatan kata cinta alam
TERKUTUK kau para pemetik bunga keabadian!

POS 3 Gunung Lawu,
-Karanganyar-Magetan (15 Juni 2014)

Di Lawu memang tidak ada penjagaan khusus. Tidak ada polisi alam yang memeriksa barang bawaan pendaki. Tapi memetik edelweis memang sebuah perusakan yang nyata. Memetik edelweis adalah bukti sebuah keserakahan. Dan pecinta alam tidak akan merusak apa yang dicintainya. Bahkan seorang Rahwana yang dicap antagonis tidak pernah menyentuh Shinta walau dia menculiknya dari Rama yang kurang memberi kebahagiaan batin kepada sang Dewi. Karena cinta sejati bukanlah untuk dimiliki, tapi untuk dirasakan sebagai sebuah KEINDAHAN.