Friday, May 22, 2015

Belajar dari Amex


Pertemuan saya dengan Slamet Thohari atau Amex terjadi di iklim yang normal sebagaimana kebanyakan mahasiswa, dalam forum diskusi. Salah satu poin keunggulan menjadi mahasiswa ya di situ, bisa bertemu siapa saja. Dan pertemuan bisa terselenggara jika kita kenal siapa yang ingin ditemui.
Awalnya saya tidak kenal siapa itu Slamet Thohari. Dalam undangan yang saya terima, dijelaskan bahwa pria yang akrab disapa Amex itu merupakan tokoh disabilitas (atau difabilitas. Amex menjelaskan betapa kurang esensinya perdebatan istilah). Sebagaimana tertera dalam cv-nya, ia merupakan jebolan University iof Hawaii dan kini mengajar di salah satu universitas terkemuka di tanah air, Universitas Brawijaya. Karena ketertarikan saya terhadap isu-isu difabilitas (atau disabilitas), maka saya antusias menghadiri diskusi agak tertutup ini.
Saya tidak akan merangkum semua poin diskusi pada Kamis malam tadi. Namun saya akan mengulas beberapa hal yang menurut saya menjadi hal paling menarik dan mengena.
Saya tercengang dengan salah satu wacana yang dilemparkan ke forum tentang fasilitas umum untuk kalangan difabel. Halte Trans Jogja, misalnya. Secara kasat mata, halte tersebut sangat tidak ramah bagi penyandang difabel. Hal ini berbeda dengan fasilitas yang tersedia di Barat sana. Di sana, fasilitas-fasilitas umum sudah didesain menjadi ramah bagi semua kalangan, termasuk orang difabel. Alih-alih menuntut pembangunan sarana umum yang sensitif difabel, Amex justru memahaminya secara filosofis. Bahwa dalam etika orang Jawa (dan kebanyakan orang Indonesia), sikap saling membantu itu masih melekat erat. Ketika ada orang kesusahan, maka saudaranya akan membantu dengan senang hati. Maka fasilitas umum seperti sarana trasportasi yang didesain untuk kalangan difabel masih belum begitu menuntut. Berbeda dengan kondisi di Barat yang menekankan kemandirian. Di jalan-jalan biasa ditemui orang difabel yang menggunakan fasilitas transportasi umum. Namun ia tetap merekomendasikan adanya pembangunan fasilitas umum yang ramah difabel.
Isu difabel memang menarik. Menurut data Amex, sekitar 36 juta warga negara Indonesia adalah penyandang difabel. Namun mengapa kita jarang menjumpai? Karena banyak sekali lingkungan yang masih memasung, memingit, atau memenjarakan orang-orang difabel ini di rumah. Banyak orang tua yang masih merasa malu jika anaknya difabel. Sementara institusi lembaga pendidikan juga masih banyak yang menolak kalangan difabel. Hanya beberapa kampus saja yang sudah terbuka dengan isu-isu semacam ini. Di lapangan pekerjaan juga demikian. Orang difabel selalu dikaitkan dengan orang yang lemah. Maka kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan kepada penyandang difabel adalah menjadi operator telefon.
Ada satu kisah menarik yang saya dengar tadi malam. Seorang mahasiswa Universitas Brawijaya bernama Husein sempat ditolak masuk ke UGM di fakultas teknik. Alasannya karena dia difabel. Padahal Husein tidak memiliki kelainan dengan orang-orang lainnya. Hanya saja ia menderita sebuah penyakit yang mengharuskannya duduk di kursi roda. Di Brawijaya, ia masuk ke jurusan Ilmu Komputer. Super! IPK-nya mencapai 3.9! Dan ia sudah menjalin kerjasama dengan UNESCO dalam bidang tertentu! Dan ternyata, keberadaan Husein di UB memang sedikit banyak karena program bang Amex ini merintis kampus inklusi di sana.
Kebanyakan orang berlomba-lomba menjadi terkenal untuk menunjukkan eksistensinya. Namun tidak bagi Amex. Berkali-kali ia ditawari ke berbagai program talkshow seperti Hitam Putih dan sejenisnya, berkali-kali ia belum memenuhi panggilan itu. Ketenaran bukanlah hal yang dicari. Untuk menyampaikan pandangan terkait dengan isu-isu disabilitas juga tidak melulu harus lewat program tivi.
“Sudah banyak mahasiswa saya yang tampil di acara seperti itu,” kisahnya.
Amex pernah mendapat inklusi award pada 2013 lalu. Baginya, pencapaian itu bukanlah sebagai sesuatu yang istimewa. Perjuangan mendapatkan hak-hak keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakannya. Karena, menurutnya, perjuangan itu ibarat makan dan minum. Makan dan minum adalah sesuatu yang pasti dan harus dilakukan oleh manusia.
Luar bisa memang. Tampilan sederhananya membuat saya hampir-hampir tidak percaya jika Amex menjadi kandidat menteri di kabinet kerja versi tim transisi Jokowi-JK. Dia diproyeksikan menjadi mentri Sosial yang kini dijabat oleh kawannya Khofifah Indar Parawansa. Pertemuan ide kedua orang ini tengah merintis sebuah kampung inklusi di sebuah daerah di Jawa Timur. Kalau tidak salah di Banyuwangi. Konsep yang digunakan adalah social capital, urunan, gotong royong dan makna sejenisnya.
Amex menegaskan, sebenarnya orang cacat itu tidak ada. Istilah cacat hanyalah konstruksi sosial yang terbangun di tengah-tengah masyarakat dan sayangnya diamini kebenarannya. Saya akan menuliskan contoh yang disampaikan Amex terkait persamaan ini melalui tunanetra. Jika boleh fair, yang membedakan orang tunanetra denga nontunanetra, misalnya, hanyalah alat. Orang tunanetra membutuhkan tonjolan untuk membaca. Sementara yang bukan tunanetra membutuhkan cahaya untuk melihat bacaan. Sama-sama membutuhkan alat, bukan?