Wednesday, October 21, 2015

Perdamaian dengan Keadilan

Gambar: detik.com
Kasus kekerasan atas nama agama seolah menjadi masalah yang tak pernah selesai di negeri ini. Walau seruan toleransi terus digaungkan, toh kenyataannya masih banyak kasus-kasus kekerasan yang seolah legal karena membawa bendera agama.  Yang terbaru adalah kasus perusakan rumah ibadah di wilayah Singkil Aceh. Peristiwa tersebut sampai membuat ribuan warga terpaksa mengungsi ke daerah-daerah lain di sekitarnya.
Sebelum kasus Singkil terjadi, beberapa waktu silam publik juga dihebohkan dengan terjadinya pembakaran rumah ibadah di Tolikara. Banyak yang menilai baik di Singkil atau Tolikara, keduanya sama-sama terjadi karena tidak direstuinya pembangunan rumah ibadah di masing-masing wilayah. Jika benar demikian, maka sungguh ironis karena sudah ratusan tahun lamanya bangsa ini memegang teguh semboyan bhinneka tunggal ika, walau berbeda-beda tetap satu jua.
Ketentuan kebebasan beragama telah tertuang dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Pasal tersebut didukung dengan pasal-pasal lain seperti pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...dst”. Dari dua pasal ini bisa dilihat bagaimana kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai tuntutan agamanya adalah hak bagi setiap warga negara.
Menurut penulis, dua peristiwa memilukan itu terjadi karena beberapa sebab, salah satunya adalah regulasi pendirian rumah ibadah dari pemerintah yang tidak memiliki sense of minority. Dalam pendirian rumah ibadah, pemerintah meregulasikan adanya persetujuan minimal 60 orang warga sekitar lokasi untuk menyetujui didirikannya rumah ibadah. Bagaimana jika jumlah penduduk suatu daerah tidak mencapai angka 60 jiwa? Regulasi ini pun tentu sangat menyulitkan apabila agama mayoritas di suatu wilayah berbeda dengan pihak yang akan mendirikan rumah ibadah. Sementara setiap pemeluk agama membutuhkan rumah ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pelarangan mendirikan rumah ibadah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sangat serius. Dengan melarang berdirinya tempat ibadah, berarti melarang seseorang untuk menjalankan ritual keagamaannya. Padahal konstitusi sudah menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ritual agama sesuai kepercayaan masing-masing. Dalam hal ini yang harus dilakukan pemerintah adalah mengedukasi masyarakat agar bersikap toleran disamping mengubah regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada minoritas.
Belajar dari kasus Singkil dan Tolikara, sudah semestinya masyarakat kembali memaknai toleransi sebagai salah satu juru selamat bangsa ini dari perpecahan. Sikap egosentris merasa kelompoknya paling benar justru akan semakin menyeret bangsa ini pada kehancuran. Sudah saatnya bangsa ini semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Sebagai kader penerus bangsa, mahasiswa harus berupaya mendorong perdamaian dengan cara menanamkan nilai-nilai toleransi agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Sikap saling menghargai dan menghormati merupakan cerminan bangsa ini meneladani ajaran-ajaran agamanya secara kaffah (menyeluruh). Sebab salah satu ajaran fundamental di setiap agama adalah terwujudnya perdamaian di seluruh alam semesta.
Namun perlu dicatat bahwa perdamaian tidak akan pernah terjadi jika keadilan tidak ditegakkan. Terjadinya berbagai konflik adalah indikasi adanya ketidak-adilan di berbagai aspek kehidupan yang dirasakan, baik oleh individu atau pun kelompok masyarakat tertentu. Mengutip perkataan KH. Abdurrahman Wahid, bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.

Wednesday, October 7, 2015

'Saya Semakin Takut Menjadi Qari’ Pengajian’

Tulisan lama ini ditulis saat rame-rame qari' langgam Jawa. Tapi sayangnya baru sempat diposting karena baru punya semangat ngeblog lagi...
Sekitar lima tahun yang lalu, ketika saya masih nyantri di salah satu pesantren di Jawa Tengah, saya bertanya kepada seorang teman: “Kita kok tidak latihan qira’ah sab’ah?”. Pertanyaan ini muncul karena saya iri melihat beberapa teman saya yang setiap Jum’at siang selalu ngaji qira’ah sab’ah di ndalem romo kiai. Teman saya menjawab, “Lha kita saja belum hafiz, kok ingin ngaji sab’ah. Ya  gak boleh,” jelasnya. Aku pun manthuk-manthuk saja.
Percakapan sederhana itu cukup membekas, membuat seorang saya menjadi tidak pede untuk bercita-cita mengenal qira’ah sab’ah. Sebab syaratnya harus menjadi hafiz—orang yang hafal Qur’an—terlebih dahulu. Sementara saya, waktu itu, menghafal kitab Jauharul Maknun saja keteteran. Walhasil saya “melupakan” impian untuk mengetahui tujuh bacaan dalam membaca Alqur’an karena syarat tersebut.
Setelah sekian lama, ketertarikan saya terhadap tujuh bacaan tersebut kembali mencuat seiring maraknya pemberitaan mengenai kontroversi pembacaan Qur’an dalam langgam Jawa. Berita itu muncul beberapa saat setelah kawan saya bercerita bahwa seorang temannya baru saja membaca Alqur’an dengan langgam Jawa di istana negara. Temannya tersebut merupakan seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tempat saya menimba pengalaman saat ini. Namanya Muhammad Yasser Arrafat.
Dalam acara peringatan Isra’ dan Mi’raj di istana negara, Yasser membaca Alqur’an dengan versi yang tidak biasa didengar oleh publik secara luas, yaitu menggunakan langgam Jawa. Namun saya heran, mengapa langgam Jawa diperdebatkan. Sebab di Yogyakarta hal tersebut sangat biasa. Saya beberapa kali shalat Jum’at di masjid yang berbeda-beda, dan beberapa di antaranya melantunkan bacaan Alqur’an dengan langgam Jawa. Saya perhatikan, tidak ada masalah dengan bacaan tajwid dan makhrajnya.
Secara lebih bombastis, beberapa situs yang kerap menjadi rujukan teman-teman kuliah saya menjudge bahwa pembacaan dalam langgam Jawa merupakan upaya deislamisasi. Hal tersebut ditenggarai adalah proyek besar freemasonry atau pun JIL. Ah, saya hanyalah orang awam yang tidak tahu apa itu freemasonry atau pun JIL yang kerap ditakuti teman-teman. Yang jelas salah satu tokoh JIL saat ini lebih sibuk menjadi orang partai daripada mengurus organisasi yang pernah “melambungkan” namanya. Dan partainya pun bukan partai pemerintah, melainkan partai oposisi. Jadi kesimpulan itu proyek JIL sepertinya terlalu mengada-ada. Kalau proyek nusantaraisasi, bisa jadi iya.
Di dalam khazanah Islam yang umumnya dipelajari, cara membaca Alqur’an hanya ada tujuh macam yang dikenal sebagai qira’ah sab’ah. Cara membaca yang tujuh ini disebut yang paling sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Namun, di bangku kuliah, saya justru mendengar adanya pengetahuan baru tentang bacaan sepuluh hingga bacaan empat puluh. Bahkan dosen saya meragukan kredibilitas sumber yang menyebut bacaan Alqur’an hanya ada tujuh saja.
Sebagai contoh sederhana tentang qira’ah sab’ah, setiap jenis qira’ah memiliki variasi nada dan penekanan yang beragam.  Misalnya, sebagaimana saya dengar dari teman yang hafidz, salah satu qira’ah membaca surat Adl-dluha dengan: Wadl-dluhaa. Wal-laili idza sajaa. Lalu ada yang membacanya: Wadl-dluhee. Wal-laili idza sajee. Tapi saya akui, saya belum tahu persis bagaimana cara membaca qira’ah sab’ah karena saya bukan hafiz. Dan hafiz merupakan syarat untuk mempelajarinya. Saya hanya sebatas mencari pengetahuan.
Saya mengutip apa yang disampaikan oleh KH Ahsin Sakho Muhammad. Ia merupakan rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) dan juga pengasuh di pondok pesantren Dar Al-Tauhid, Cirebon[1]. Bahwa langgam bacaan Alqur’an sebenarnya muncul dari Persia (kini Iran). Kala itu, orang Makkah dan Madinah sedang membersihkan Ka’bah. Di sana ada orang Farsi yang sedang melantunkan bacaan Alquran dengan langgam nada lagu asal negerinya. Ketika itu orang Makkah kemudian menerapkannya ke dalam bacaan Alqur’an dan ternyata merdu didengar. Sejak saat itu pun lahirlah lagu syarqi yang bernuansa ketimuran.
Dari cerita Kiai Ahsin di atas, saya membuat kesimpulan bahwa lagu-lagu dalam membaca Alqur’an bisa saja berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Seorang ustadz di madrasah Aliyah saya pernah bercerita bahwa ketika ia pergi ke Turki, ia mendengar varian-varian yang berbeda dari apa yang didengarnya di Mesir. Pun ketika berada di satu daerah, logat lokalnya masih terbawa walau dilantunkan sefasih apapun. Karena logat merupakan budaya yang melekat pada diri seseorang yang tinggal di suatu daerah.
Jika lokalitas dalam membaca Alqur’an dilarang, atau jika ada orang membaca Alqur’an tidak sesuai dengan qira’ah sab’ah, bagaimana hukumnya tetangga saya yang selalu menjadi qari’ di masjid yang bahkan ia belum mengenal qira’ah sab’ah? Bagaimana pula hukumnya imam masjid di beberapa masjid Yogyakarta yang masih mengikuti logat yang mewarisi tradisi leluhurnya, menggunakan langgam Jawa? Ah, saya merasa heran mengapa masalah langgam saja diperdebatkan. Bukankah yang penting adalah sesuai tajwid dan makhrajnya?
Saya menjadi ngeri ketika para wali dahulu menyebarkan Islam dengan cara yang “benar” sebagaimana standar para penghujat langgam Jawa. Misalnya saja Sunan Kalijaga mengajari warga membaca: “Alhamdulillahi robbil ‘alamin”. Lalu warga membacanya: “Alkamdullillahi rabbil ngalamin” dan sang sunan marah kemudian mengatakan bahwa si warga sesat, bid’ah, dan sebagainya, entah bagaimana nasib Islam di nusantara saat ini.
Kembali pada langgam Jawa, secara harfiah, langgam berarti bentuk irama lagu. Yang namanya irama tentu boleh berbeda-beda. Begitu juga cara membaca Alqur’an. Setiap orang bisa saja menggunakan irama yang berbeda, dengan catatan masih sesuai makhraj dan tajwidnya. Makhraj pun masih ditolerir—sebagaimana kasus ‘ngalamin’ yang masih banyak terjadi di desa-desa—asal tidak mengubah makna.
Di pesantren saya, setiap pagi dan sore selalu memutar murattal (bacaan Alqur’an yang dilantunkan dengan lagu-lagu tertentu). Antara satu  qari’ dengan qari’ lainnya berbeda. Lagu Muammar berbeda dengan lagunya Sudais, berbeda pula dengan Husein.yang menghubungkan kesamaan mereka adalah makhraj dan tajwidnya yang tidak melenceng dari kaidah bahasa Arab, terutama kaidah membaca Alqur’an.
Jika lagu dalam murattal ada standarnya, dan jika standar lagunya wajib sama dengan qira’ah sab’ah, saya semakin takut jika ditunjuk sebagai qari’ di acara pengajian kampung. Maklum, saya belum pernah belajar qira’ah sab’ah. Maklum, saya bukan hafiz yang bisa belajar qira’ah sab’ah.
Wallahua’lam.




[1] Kutipan selengkapnya dari link http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/rektor-iiq-sangat-boleh-baca-al-quran-langgam-indonesia.html