Thursday, June 30, 2016

Mudiknya Calon Sarjana Kampus Digital

sumber gambar
Sengaja tidak saya umbar nama lembaganya di sini, demi kemaslahatan bersama. 
Sebut saja namanya si Dul. Mahasiswa asal Sumatra itu hanya bisa tertunduk lesu sesaat setelah menerima telfon dari keluarganya. Kapan pulang? Begitu tanya keluarganya via telfon. Ia hanya bisa menjawab secepatnya. Kapan? Tidak tahu.
Ceritanya panjang. Si Dul merupakan mahasiswa akhir di sebuah kampus ternama. Ia baru saja mengikuti pendadaran skripsi beberapa hari yang lalu. Setelah pendadaran, masih banyak prosedur lain yang harus dilaluinya demi menghadiri wisuda beberapa bulan lagi. Selain revisi yang masya Allah muter-muter, ia juga harus melalui tahap administratif, mulai menggandakan skripsi beserta 'bonus-bonus' lampiran, hingga mendaftar yudisium sebagai pintu awal masuk ke gedung wisuda.
Untung baginya, di kampusnya itu, sistem yang digunakan menggunakan online alias berbasis internet. Jadi, ia bisa mengakses kapan pun dan di mana pun berada. Asal gak fakir kuota, urusan selesai. Tapi yang membuat dirinya tertunduk lesu justru sistem digital yang menundanya untuk mudik. Lha kok bisa? Syarat mendaftar yudisium di kampusnya itu ribet. Terutama syarat memberikan bundelan skripsi ke perpustakaan utama yang harus melewati prosedur pengunggahan file skripsi dalam bentuk bookmark ke laman perpustakaannya.
Nah, di sinilah titiknya. Ia sudah tiga hari berusaha mengupload skripsinya ke laman yang dimaksud. Tapi selalu gagal karena sistemnya error bin down bin troble. Sementara itu, di situs trapeloca dan agen tiket, harga pesawat kian membumbung tinggi layaknya Apollo trayek Jakarta - Bekasi yang penuh bahan bakarnya. Padahal, lebaran sebentar lagi, dan Si Dul sejatinya belum beli baju lebaran untuk dipakai di hari raya. Hari-harinya dihabiskan di emperan jurusan, sembari menanti sistem segera beres. Yang bikin sedih, Dul selalu ditanya kapan balik? Ya, kapan? Aku juga belum tahu! Begitu kira-kira jawaban si Dul.
Saat saya temui, Dul tampak masih otak-atik smartphonenya untuk mengecek harga pesawat ke rumahnya di sebrang pulau sana. Waktu saya tanya, Dul, apa sebaiknya kamu gak pulang dulu terus besok syawal ke sini lagi? Dul hanya menjawab dengan senyuman. Ia kemudian menjelaskan bahwa di kampusnya itu, batas akhir yudisium sekitar H plus seminggu setelah lebaran. Aku tanya lagi, njuk kenapa? Pada akhirnya, jawaban si Dul membuat saya hanya bisa mengiba.
Dul menjelaskan, di tanggal tersebut, tiket pesawat mahal, tiket bis mahal, jalanan padat, bandara penuh, dan segala kesulitan lainnya. Kalau pun naik bis, itu tidak menjamin berkasnya bisa didaftarkan secara offline karena masih menunggu sistem onlinenya bisa berjalan benar atau tidak. Ya, kampusnya kali ini dirasa tak ramah pada mahasiswa luar pulau.
Saya ikut membatin, ketika digitalisasi justru memperlambat, lalu kenapa terus dibela?
Ah, embuh. Aku gak mau ikut-ikut komentar soal kampus digitalnya si Dul. Semoga kisah si Dul gak nular di kampusku yang sama-sama menggunakan sistem digital.