Monday, August 22, 2016

Dialog Tanpa Senjata

“Maaf, boleh saya minta air putih saja?” kata Felip Karma, saat diberi segelas teh hangat untuk menemani diskusi. “Saya bernazar untuk tidak meminum selain air putih, sampai Papua merdeka,” sambungnya lagi. Sebuah nazar yang menunjukkan betapa kuat dan gigihnya ia dalam berjuang.

Sebelum 22 Agustus kemarin, nama Filep Karma sangat asing di telinga saya. Beberapa kali mengikuti berita soal penangkapan pejuang OPM, saya tidak menghafal nama-nama tokohnya. Bahkan saya tidak menyadari bahwa Filep Karma adalah salah satu dari lima tahanan politik yang dibebaskan oleh Jokowi tahun 2015 lalu. Ia ditahan karena turut mengibarkan bendera kejora di Jayapura tahun 2004. “Setelah saya dibebaskan, saya tetap akan berjuang. Selama Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai!” tegasnya.
Ia menceritakan latar belakang gerakan yang diperjuangkannya ini. Menurutnya, mengapa Papua ingin merdeka dari Indonesia adalah karena keadilan belum mereka terima sepenuhnya. Banyak sekali diskriminasi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta pemberangusan hak-hak kebebasan berpendapat, yang keseluruhannya membuat warga Papua merasa terkurung dalam negaranya sendiri. “Sikap yang kami terima di sana membuat kami merasa masih terkurung di negara Indonesia.”
Perjuangan Non-Violence
            Perjuangan OPM selama ini dianggap sebagai perjuangan kaum sparatis yang merongrong kedaulatan NKRI. Namun Filep mempertanyakan sikap pemerintah kepada wilayah lain seperti Aceh yang berbeda dengan apa yang diperlakukan kepada Papua. Katanya, di Aceh, komandan GAM bisa jadi wakil gubernur. Tetapi mengapa di Papua berbeda? Bahkan untuk menyuarakan keadilan saja dianggap sebagai pemberontak dan seringkali harga yang harus dibayarkan adalah nyawa.
            Suatu ketika, Filep pernah berada dalam situasi aksi yang panas. Ia kaget karena tepat di samping wajahnya terdapat lubang yang masih memercikkan api. Ia yakin bahwa itu adalah peluru tembak yang hampir saja menembus kepalanya. Ia menanyakan kepada temannya yang seorang anggota BRIMOB. Apakah peluru itu hanyalah untuk menakut-nakuti? Temannya menjawab, “Kalau sudah seperti itu, Anda adalah sasaran tembak.” Filep tersenyum dan berujar, “Berkat Tuhan, hari ini saya masih hidup.”
            Baginya, kepercayaan terhadap perlindungan Tuhan adalah kunci dari perjuangannya. Karena ajaran kasih Tuhan pula, ia tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam melakukan perjuangan. Dalam ajaran yang dianutnya, membunuh orang adalah dosa besar. “Sudah di dunia kami tidak mendapat kebahagiaan, masak di alam sana kami tidak masuk surga lagi. Ruginya dobel,” ujarnya bercanda. Ia mendapatkan banyak inspirasi perjuangan tanpa kekerasan saat melakukan studi di Manila, Filipina. Inilah yang ia suarakan kepada rakyat Papua.
            Ia mengakui, perjuangannya tidak akan pernah mudah karena sebagian besar warga Papua merasa terancam apabila menyuarakan pendapatnya. Sebagian lagi masih terlalu dini berdebat soal pimpinan dan rebutan kekuasaan. Namun apapun itu, ia siap menjadi martir sejarah demi kesejahteraan masyarakat Papua.
Gus Dur dan Papua
            “Dulu, kami mengaku orang Papua saja sudah dianggap sebagai pemberontak,” kenang Filep. Ya, sejak era presiden Sukarno, nama wilayah tersebut diganti menjadi Irian Jaya. Kata IRIAN sendiri konon merupakan singkatan dari  Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Namun saat presiden Abdurrahman Wahid memimpin, nama Irian Jaya dikembalikan lagi ke nama awalnya, Papua. Gus Dur sekaligus membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) yang mewadahi ratusan suku di Papua. Pembentukan ini merupakan perwujudan pemerintahan Gus Dur untuk memberikan hak otonomi penuh terhadap wilayah Papua.
            Ada kisah saat Gus Dur diberi laporan bahwa warga Papua mengibarkan bendera bintang kejora. Ia bertanya pada sang jendral. “Lha, ada bendera merah putihnya ndak?” Sang jendral mengatakan ada. “Masih tinggi yang merah putih atau bintang kejora?” Sang jendral mengatakan merah putih. “Ya, sudah tidak ada masalah. Gitu aja kok repot,” cetus Gus Dur. Ia bahkan berujar jikalau masih menganggap itu masalah, anggap saja seperti bendera-bendera di dalam stadion. Bagi banyak kalangan, presiden Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang memahami cara berkomunikasi dengan warga Papua.
            Filep sendiri memiliki kenangan bersama Gus Dur. Suatu ketika, ia bertemu Gus Dur di sebuah kampus di Jakarta. Filep bertanya, “Gus, kalau saya dan teman-teman melakukan aksi kemerdekaan Papua bagaimana?” Gus Dur menjawab, “Saya ini seorang humanis dan pluralis. Di sisi lain, saya seorang presiden yang terikat konstitusi. Kalau kalian melakukan aksi tersebut, kewajiban saya adalah menaati konstitusi. Saya akan meminta Anda ditangkap.”
Menurut Filep, perkataan Gus Dur mencerminkan sikap kenegarawanan seorang presiden, sekaligus sisi humanisme karena perintahnya hanya tangkap, bukan bunuh. Penangkapan akan mendapat reaksi dari dunia internasional, dan inilah yang akan membebaskan mereka kembali. Sayangnya pemerintahan Gus Dur hanya sesaat karena ia kemudian dilengserkan.
Saya mengutip sebuah artikel hasil wawancara dengan Thaha Alhamid. Tom Beanal bilang, “Bapak Presiden, selama bergabung dengan Indonesia, kita pernah diatur oleh tiga presiden. Semua mereka memiliki mata fisik yang bagus, sehingga begitu mereka datang di Papua, mereka silau melihat kemilau emas, gas bumi, hamparan hutan, dan lainnya. Mereka lupa bahwa di sana ada manusia. Mereka tidak peduli kami orang Papua. Mereka lihat kami seperti binatang. Mereka terus menerus membantai kami. Syukur bahwa saat ini Tuhan mengutus Bapak Gus Dur sebagai anugerah untuk Indonesia. Bapak memiliki kemuliaan mata nurani, sehingga mau melihat kami sebagai manusia. Kami senang Bapak memimpin kami…”.
Gus Dur pernah mengatakan, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Ketidakadilanlah yang melahirkan pergerakan-pergerakan berbagai kelompok di berbagai wilayah di Indonesia. Filep sendiri mengakui, faktor utama perjuangan dirinya adalah terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Apalagi saat ia melihat kenyataan bahwa di Papua, warganya mengalami berbagai penindasan. Ia juga menyayangkan sikap ‘orang Indonesia’ yang selalu main senjata dalam menyelesaikan persoalan di Papua. Padahal, ia mengharapkan adanya solusi dalam bentuk dialog yang tidak saling menyakiti antara Indonesia dan Papua.

Semoga ke depan ada solusi terbaik dalam penyelesaian konflik di Papua. Jalan seperti apapun yang akan ditempuh, haruslah menempatkan kemanusiaan pada posisi paling puncak. Kata Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Syukur-syukur ada jalan tengah yang membuat Pak Filep bisa kembali merasakan nikmatnya teh hangat dan seduhan kopi sembari menyanyikan lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke.’ (Tulisan ini disusun dari dinamika diskusi bertema Indonesia dan Papua bersama Filep Karma. Timoho, Senin, 22 Agustus 2016).