Monday, November 14, 2016

Gus Dur, Monitor, dan Penistaan Agama


Gus Dur bersama Prof Kato (Jepang)
Masyarakat Indonesia pernah beberapa kali dihebohkan oleh kasus penistaan agama.  Salah satu yang cukup menghebohkan adalah kasus Monitor. Pada tahun 1990, tabloid Monitor yang digawangi Arswendo Atmowiloto mengeluarkan laporan ‘tokoh idola’ pembaca tabloid tersebut. Yang mencengangkan adalah Nabi Muhammad SAW berada di nomor sebelas, lebih rendah dari posisi Arswendo di nomor urut sepuluh.
Sontak hal ini menyulut kemarahan sebagian kaum muslimin. Mahasiswa muslim di seantero negeri melakukan demonstrasi. Banyak tokoh muslim yang mengecam dan mengeluarkan komentar keras. Kantor redaksi Monitor diacak-acak. Arswendo  kemudian dipenjara karena ‘melecehkan’ ketokohan Nabi Muhammad.
Di tengah bara api kemarahan, Gus Dur muncul dan mengeluarkan komentar yang membuat banyak orang bertanya-tanya. Ia menganggap Monitor tidak menistakan agama. Lha, kok? Berikut adalah wawancara imajiner penulis dengan Gus Dur, menanggapi soal penistaan agama.

Assalamu’alaikum, Gus
Wa’alaikumsalam. Mari-mari duduk di sini (Gus Dur yang awalnya tiduran, kemudian bangkit dan mempersilakan saya duduk di depannya. Saya mencucup tangannya lalu berbasa-basi sejenak. Setelah itu, saya menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya bertamu ke Ciganjur, Jakarta).
Begini, Gus. Jauh-jauh dari Jogja saya hanya ingin tabayun dengan panjenengan soal kasus Monitor tahun 1990 lalu. Di saat banyak kaum muslimin merasa terlecehkan dengan hasil survei Monitor, mengapa Anda justru membela Arswendo?
Lho, siapa yang membela? Saya tidak membela siapa-siapa. Lha wong saya cuma menyampaikan pendapat saja
Tapi... Sebagian kaum muslimin dan para intelektual muslim merasa dilecehkan lho, Gus
Lha itu kan perasaan mereka. Jadi sah-sah saja dong berbeda. Saya justru heran kalau Nabi Muhammad itu jadi tokoh paling populer di tabloid tersebut
Lha kok gitu, Gus?
Salah satu edisi Tabloid Monitor
Ya karena Monitor itu kan tabloid yang segmentasinya kaum sosialita. Pembacanya gak mesti mudeng soal agama. Lagipula salah siapa orang Islam nggak ikut-ikutan terlibat survei. Berbeda kalau yang survei majalah Hidayah atau Sabili (Hidayah dan Sabili adalah majalah berideologi Islam), ya pasti Nabi Muhammad yang jadi tokoh paling populer. Nomor duanya ayo tebak siapa? (Gus Dur bertanya).
Em... Rhoma Irama kali, Gus?
Salah. Ya jelas saya, dong ha ha ha (Gus Dur tertawa lepas. Saya pun tak kuasa menahan tawa)
Kembali ke Monitor, Gus. Tadi panjenengan mengatakan bahwa Anda tidak membela Arswendo. Lalu siapa yang Anda bela?
Mas, saya ini cuma membela akal sehat. Masak gara-gara survei itu, masyarakat menuntut tabloid Monitor dibredel. Bagi saya ini enggak bener caranya. Saat itu Soeharto lagi hobi memberedel pers yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Nah, saya lagi berjuang agar pers bisa independen, tidak tertekan siapa-siapa.
Lagi pula bukan survei dong kalau hasilnya bisa didikte... Ini kayak tulisan Hart (Michael H. Hart) yang menulis Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia. Orang Kristen dan Yahudi ya ndak terima. Apalagi Yesus ditaruh di nomor tiga setelah Newton. Bagi mereka ini penistaan. Tapi bagi saya ya sah-sah saja si Hart nulis kayak gitu. Toh, itu menurut pendapat pribadinya. Kalau gak setuju ya tinggal bikin buku tandingan. Gitu aja kok repot.
Kita ini hidup di negara demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, lho. Masak hanya karena ketidaksetujuan sebagian orang, kok asal main bredel saja.  Kalau tidak setuju ya tinggal ndak usah beli majalahnya. Gitu aja kok repot! Lagi pula, di edisi selanjutnya, pihak Monitor menyampaikan permohonan maaf mereka.
Baik, Gus. Hanya saja, menariknya orang-orang seperti Nurcholis Majid ikut-ikutan mengecam Monitor. Menurut panjenengan, sebenarnya apa yang membuat Cak Nur begitu sangat bereaksi saat itu?
Ya jangan tanya saya. Tanya Cak Nur saja. Yang jelas pada saat itu suasana hati kaum muslimin sedang panas. Orang kalau lagi marah bawaannya susah menggunakan akal sehat. Bukan berarti saya mengatakan Cak Nur tidak menggunakan akal sehat lho ya. Beliau itu orang yang sangat cerdas. Tetapi dalam menyikapi kasus Monitor, saya punya pandangan dan langkah berbeda dengan beliau.
Waktu itu panjenengan masih berkomunikasi dengan Cak Nur?
Ya jelas dong. Sekeras apapun perbedaan pandangan saya dengan tokoh lain, saya tetap menyambung tali silaturrahmi. Apalagi Cak Nur. Kalau kamu pernah baca tulisan saya berjudul Tiga Pendekar dari Chichago, Cak Nur adalah salah satunya. Dia bersama Amin Rais dan Syafii Maarif saya anggap sebagai tokoh yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Setelah kasus itu, saya beberapa kali bertukar pikiran dengan beliau. Kesan saya terhadap Cak Nur masih sama. Beliau seorang intelektual yang hebat.
Saya sampaikan pula waktu itu. Cak, lebih baik Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini dihapuskan saja. Sebab rentan disalahgunakan oknum tertentu untuk menyerang orang lain yang bersebrangan dengan dirinya. Di beberapa hal beliau setuju. Di beberapa hal lain beliau memiliki pandangan sendiri. Ya tidak apa-apa. Namanya perbedaan kan rahmat. Yang paling penting dalam menyikapi perbedaan adalah kita mencari titik temunya. Bukan melebarkan perbedaan-perbedaan yang ada. Yang beda jangan disama-samakan. Yang sama jangan dibeda-bedakan. Gitu lho...
Baik, Gus. Saya mulai tercerahkan. Satu hal lagi, Gus. Saat ini salah satu pendekar Chichago yang masih hidup Buya Syafii Maarif jadi bulan-bulanan orang yang tidak sependapat dengannya. Komentar panjenengan?
Biarkan sejarah yang menjawab apakah sikap beliau itu benar atau salah. Dulu saya juga mendapat banyak kritikan karena pendapat-pendapat saya yang melawan arus. Saya terima-terima saja. Toh, Gusti Allah tidak pernah tidur.
Tapi para pencela menggunakan perkataan yang tidak patut?
Itu konsekuensi dari masyarakat yang memahami agama sebagai bentuk luar, bukan ruh. Orang beragama kehilangan sisi spiritualnya. Mereka lupa kalau agama diturunkan untuk membenahi akhlak. Namun saat ini hujatan itu memang semakin keras. Banyak orang mengaku membela agama, tapi menggunakan bahasa-bahasa sarkas, bahkan kekerasan. Membela agama menggunakan bahasa kekerasan itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
Celakanya, si penghujat adalah mereka yang membaca satu buku saja tidak selesai. Mereka mendasari kelakuannya dengan hawa nafsu, kebencian dan amarah. Pesan saya, sebagai orang muda kamu tidak boleh berhenti belajar. Silakan berbeda pendapat dengan siapapun. Yang penting jangan berhenti belajar.
Terima kasih Gus atas waktunya. Terakhir, saya mohon didoakan agar bisa menjadi orang yang terjaga dari segala bentuk kebencian dan fitnah akhir zaman.
Setelah meminta doa, saya pun mohon pamit.
(Semua hal dalam dialog imajiner ini adalah tanggung jawab penulis. Gus Dur tidak ikut-ikutan membuatnya)

Kisah Sang Munyuk

Mungkin agak riskan apabila aku berkata “aku berada di tempat yang tepat”. Em... begini. Aku ingin ceritakan dulu kisah perjalananku selama ini.
Aku lahir di sebuah gudang yang sangat gelap, kata ibuku. Sebenarnya aku tidak tahu secara mendetail bagaimana keadaan ruanganku saat itu. Aku sama sekali tidak ingat. Aku baru bisa mengingat kejadian apapun ketika gigiku sudah mampu untuk mengunyah makanan. 
Aku tinggal bersama ibu saudara kembarku, sebut saja miaw. Aku dan dia saling berebutan setiap kali diberi makan oleh ibu. Hanya saja, ketika aku berhasil mendapat jatah lebih banyak, aku selalu menyisakan untuknya. Begitu pula sikapnya terhadapku. Bahkan dulu kami saling berebutan ketika menyusu untuk dapat puting sebelah kanan karena itu paling deras aliran susunya. Yummy!
Lalu siapa bapakku? Ibu tidak pernah menceritakannya. Setiap kali aku menyinggung ayah, ibu selalu bilang bahwa itu pamali. Ayah mengkhianati ibu? Tanyaku. “Hush! Besok kalau kamu sudah besar, kamu akan tahu bagaimana rasanya jadi ayah! Sudah takdirnya seorang ayah seperti itu,” kata ibu sembari berpamitan untuk mencari makan kami.
Aku pun merenung karena ingin melihat sosok ayah. Apakah ayah tidak menyayangi anaknya? Ah, pamali!
Hari itu, aku dan miaw merasa sangat kelaparan, sementara ibu urung datang membawa makanan. Kami berteriak berkali-kali untuk memanggil ibu. Biasanya, sebelum matahari tenggelam, ibu sudah datang membawa seekor tikus atau makanan lainnya. Tetapi setelah larut pun, ia urung tiba.
Aku pun sangat khawatir. Apakah ibu mati ditabrak manusia? Ibu berkali-kali bercerita soal beberapa temannya yang mati mengenaskan karena ulah manusia. Kepala teman ibu ada yang sampai tidak berbentuk karena dilindas oleh kendaraan mereka.  Apakah ibu mengalami hal yang sama? Ah, tidak! Aku sudah tidak mengenal ayah, jadi jangan sampai kehilangan ibu!
“Kita berpencar mencari ibu, ya?” kataku pada miaw. Ia mengangguk. Kami sangat khawatir khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak baik.
Sebelum kami meninggalkan gudang, aku mengingatkan miaw untuk kencing terlebih dahulu. Kata ibu, jika ingin menguasai suatu wilayah, kita harus menandainya dengan kencing. Gudang ini adalah kekuasaan ibu! Dan tentu juga kami...
Aku mencari ibu ke arah sumber suara bising manusia. Sementara miaw aku pinta untuk mencari ke arah yang semakin redup dari suara manusia. Kami pun saling berciuman dan berjanji untuk selalu menjadi saudara sampai kapan pun. “Semoga kita bisa berkumpul lagi seperti sedia kala”.
Aku pun berjalan mengikuti suara kebisingan. Sesekali aku berhenti mengendus bau-bau yang sedap di jalan atau tong sampah. Aku juga mencoba mengendus bau ibu, kali saja tercium dan aku bisa melacak jejaknya. Namun aku sangat kelaparan.
Di sebuah keramaian, aku mencium bau harum makanan. Untuk itulah aku berteriak-teriak. Aku mendekat ke tempat makanan itu, tetapi manusia mencengkramku dan melemparkanku ke luar. Aku sangat kesakitan. Dasar manusia sombong! Berbagi saja tidak mau!
Lalu kulihat seseorang melempar kepala ikan tepat di hadapanku. Aku pun bergegas melahapnya. Ternyata manusia beragam. Ada yang jahat, ada yang baik. Kulihat orang yang memberikanku makan dan aku mengedipkan sebelah mataku, tanda aku berterima kasih.
Aku pun melanjutkan perjalananku mencari ibu karena itulah tujuan utamaku.

Bersambung...

Monday, November 7, 2016

JADI ORANG GOBLOK ITU LEBIH AMAN

"Gus, mengapa Kiai Soleh kalau memberi contoh Ja'a Zaidan? Seharusnya kan Ja'a zaidun?" tanyaku kebingungan. Waktu baca buku nahwu, contoh ja'a harus rafa'. Alamat rafa' dlommah. Mengapa harus fathah? Bukankah fathah itu alamat nashab?
"Kamu bingung?" tanyanya. "Baguslah kalau bingung. Berarti mau mikir," sambungnya lagi.
"Kalau seperti itu Kiai Soleh salah, Gus? Berarti menyesatkan murid-muridnya?"
"Astagfirullah... Jadi orang kok ceplas-ceplos seperti itu. Mbok ya kalau sinau masih sampai bab i'rob jangan nyalah-nyalahkan yang sudah faham satu kitab. Kiai Soleh itu orang yang 'alim dalam ilmu nahwu."
"Tapi sealim-alimnya ulama masih tetap manusia yang bisa salah, Gus?"
"Setiap ulama punya kode etik, Dia ndak boleh mengatakan sesuatu tanpa pertimbangan ilmu. Kalau ulama asal njeplak, apa bedanya sama koruptor? Korupsi ilmu itu tanggungannya dunia akhirat, lho."
"Tapi mengatakan sesuatu tanpa dasar ilmu, walau pun ulama sepuh, tetap salah, lho, Gus..." Gus yang bobotnya hampir seratus kilo itu menghela nafas.
"Kamu tahu nama ibu penjual dawet itu?"
"Tentu, Gus. Saya langganan di sana. Namanya Hindun."
"Sekarang, coba buat kalimat dalam bahasa Arab, saya berjalan bersama Hindun."
"Gampang, Gus. Marortu bi Hindun."
"Lha, kok Hindun? Dlommah kan alamat rafa'? Mengapa kamu baca untuk Jer? Alamat jer kan kasrah? Di situ ada huruf jer berupa "ba". Berarti kamu membuat kalimat tanpa ilmu!" ucap Gus dengan suara lantang.
"Mbok jangan marah-marah, Gus. Hindun kan nama orang? Mana bisa nama orang dii'robi?"
"Lha kalau Kiai Soleh memberi contoh si Zaidan itu nama orang, apakah kamu akan ngotot menyalahkan dia? Di dunia ini, menjadi goblok lebih aman daripada kamu jadi orang yang ngerti. Orang yang ngerti sering diserang ama orang bodoh yang gak mau belajar, atau belajar setengah-setengah."
Aku pun terdiam. Oh iya, ya...



Postingan ini adalah dialog imajiner. Insyaallah berseri. 

AHOK TAK PERLU DIBELA

Aksi 4 November tak pelak membuat banyak orang saling hujat. Di media sosial, golongan yang membela aksi itu dan yang tidak saling beradu argumen. Saya sebagai pengguna medsos pun merasa ndak nyaman karena kata-kata makian membanjiri beranda saya. Media yang harusnya jadi alat bersosial, malah jadi bibit perpecahan.
"Gus, menurut panjenengan, aksi 4 November itu bagaimana?" tanyaku pada Gus, ingin mengulik. Ia hisap rokok dalam-dalam kemudan menghembuskan sekuat-kuatnya.
"Ya ndak papa. Bagus malahan sebagai pembelajaran masyarakat."
"Tapi bagi Gus sendiri, Ahok menista agama apa enggak?" tanyaku.
"Ya tanya Ahok. Masak tanya saya?" Jawaban Gus membuatku nyengir.
"Ya kan njenengan sudah lihat videonya."
"Lha kamu sudah lihat?"
"Sudah, Gus."
"Menurutmu menistakan apa ndak?"
"Saya ndak berani komentar, Gus. Nunggu hasil keputusan dari polisi."
"Ya saya juga kayak gitu," ujarnya, lalu menghisap rokok dalam-dalam, membuatku kebingungan lagi.
"Tapi orang-orang mempermasalahkan penghilangan kata 'pakai' di transkrip Buni Yani. Menurut njenengan, Buni berniat memecahbelah umat apa enggak?"
"Ya tanya Buni Yani sana," kata Gus membuatku kembali nyengir.
"Lalu sikap kita bagaimana, Gus?"
"Yasudah kita pasrahkan sama yang berkewajiban. Gitu aja kok repot."
"Tapi yang demo kemarin agendanya membela agama Allah, Gus," kataku memburu pernyataan beliau.
"Yang tidak ikut apakah tidak membela agama Allah?" Ia menanya balik. Aku kembali tidak bisa berkata-kata.
"Lalu, menurut njenengan, Ahok perlu dibela apa tidak? Banyak yang menilai dia dizalimi."
"Ahok kok dibela. Dia orang besar dan punya kekuatan lebih untuk bertahan di situasi paling sulit sekali pun. Minimal untuk saat ini."
"Tapi dia dizalimi dengan penghilangan kata 'pakai' itu?"
"Yang harus diperjuangkan ya penegakan hukum itu, bukan pembelaan pada satu sosok. Bahaya kalau yang kamu bela orangnya, bukan keadilannya."
"Tapi bagaimana bisa membela keadilan tanpa membela korban?"
"Dalam menegakkan hukum, kita tidak boleh jadi fans. Kita harus memposisikan diri sebagai advokat," katanya lagi. "Kalau yang kamu bela Ahok, dan suatu saat dia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, apa mau terus kamu bela?"
"Ya tidak, Gus."
"Nah, itu..."
Gus menghisap rokok yang sudah sangat pendek, kemudian meninggalkan sisanya di asbak. Ia pun berjalan menuju masjid, lalu menunaikan salat sunah tahajud.

KAFIR!

"Gus, bukannya di Islam jelas disebutkan adanya muslim dan kafir?" tanyaku, mempertegas apa yang aku baca di sebuah buletin Jumat.
"Saya tidak mau jawab kalau arah pertanyaanmu ke politik. Saran saya, silakan kamu baca buku yang banyak, jangan hanya selebaran di masjid. Dunia ini luas. Ilmu tak terlihat batasnya, seperti kau memandang cakrawala."
"Maksudnya, Gus? Saya masih awam soal ini."
"Tapi janji tidak diarahkan ke politik?"
"Iya, saya janji."
"Kamu muslim?"
"Saya meyakini bahwa saya muslim dan insyaallah menjalankan perintah sebagai seorang muslim sebagaimana ketentuan syariat Allah."
"Walau pun kamu muslim, kamu bisa saja kafir jika tidak menyukuri nikmat Allah. Kafir adalah sebutan bagi orang yang kufur."
"Apa itu kufur, Gus? Saya semakin bingung."
"Beruntunglah jika kau bingung karena kau masih berfikir. Silakan cari jawabannya sendiri."
Sosok gempal itu berjalan menuju pengimaman, kemudian bertakbiratul ihram untuk salat sunah. Sementara aku masih terus bertanya-tanya. Tapi saya sudah terlanjur berjanji untuk tidak menyeretnya ke wilayah politik.
Dan setiap janji adalah hutang.


Postingan ini adalah dialog imajiner. Insyaallah berseri.