Thursday, April 27, 2017

Lelaki Hijrah dan Jahiliyah



Carilah pasangan yang berkeadilan gender, begitu salah seorang dosen. Ia mewanti-wanti agar mahasiswanya tidak salah dalam memilih pasangan hidup. Salah pilih gubernur waktu Pilkada hanya menyesal lima tahun. Tetapi salah memilih pasangan? Bisa panjang urusannya.
Pesan ini secara eksplisit memang ditujukan kepada kaum muda, terutama mahasiswi di kelas sang dosen. Akan tetapi, pesan yang disampaikan ini sangat relevan ditujukan kepada semua kalangan. Bagi penulis, pesan ini menjadi titik awal ketertarikan penulis terhadap isu-isu feminisme yang sempat menguat beberapa tahun yang lalu, tetapi kemudian melemah beberapa waktu belakangan.
Mengapa dikatakan melemah? Munculnya banyak tokoh seleb agama yang mengampanyekan semangat patriarki adalah salah satu sebabnya. Ironisnya, pemikiran mereka yang menggiring perempuan kembali ke bilik dapur dan rumah tangga ini sangat digandrungi. Forum-forumnya selalu ramai. Tak jarang, forum tersebut dijadikan ajang menghabisi konsep keadilan gender yang sudah disuarakan sejak lama. Singkat kata, perempuan dianggap cukup untuk mengurus keperluan domestik rumah tangga, alih-alih turut beraktivitas dan berkarya di kehidupan.
Munculnya pemikiran semacam ini membuat dunia seakan mundur 1500 tahun ke belakang. Sebelum Islam datang, perempuan merupakan manusia kelas dua yang tidak memiliki hak bersuara. Perempuan bahkan dianggap aib oleh masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari perilaku jahiliyah bangsa Arab yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya karena merasa malu. Bangsa jahiliyah pun memperbolehkan seorang lelaki mengawini puluhan atau bahkan ratusan perempuan sekaligus. Setelah Rasulullah SAW mendakwahkan Islam, perempuan memiliki kehormatan yang sama dengan lelaki.
Hal ini dirasakan pula oleh sahabat Umar ibn Khattab RA. Khalifah kedua umat Islam ini berkata, “Pada masa jahiliyah, kami tidak pernah  memperhitungkan perempuan. Hingga Islam datang dan Allah SWT menyebut-nyebut mereka, barulah kami sadar bahwa mereka punya hak yang tidak bisa kami intervensi sama sekali.” (Fath al-Bari).
Islam datang untuk mendobrak tradisi patriarkis bangsa jahiliyah Arab yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek. Pada perjalanan waktunya, banyak tokoh-tokoh perempuan Islam yang menjadi tokoh perubahan. Di Indonesia, kita mengenal banyak perempuan muslim yang dikenang sebagai tokoh emansipasi dan revolusi seperti Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia dan lain sebagainya. Jika masih ada orang yang berpikir perempuan sebagai manusia kelas dua, patut dicurigai ia manusia yang seharusnya lahir 15 abad yang lalu.
Jika ingin menilik umat Islam yang ideal, lihatlah Islam pasca hijrah ke Madinah. Hijrah adalah titik balik perjalanan umat Islam dari masa kegelapan menuju sebuah era yang terang benderang. Di periode inilah diturunkan banyak ayat Al-Qur’an terkait akhlak, muamalah, yang termasuk juga di dalamnya tentang ayat-ayat keadilan gender.
Di masa kini, hijrah bisa dimaknai sebagai sebuah paradigma atau pola pikir masyarakat. Hijrah adalah simbol sebuah perubahan paradigma masyarakat dari konservatif menuju progresif. Bagaimana bisa melihat seseorang itu konservatif dan progresif? Lihatlah caranya memandang keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Orang konservatif cenderung menolak keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial. Ia menilai tugas seorang perempuan hanya manak (melahirkan), macak (berias), dan masak. Perempuan yang sempurna adalah yang bisa menguasai ketiga hal tersebut. Perempuan yang berkenan untuk tidak keluar dari rumah barang sejengkal adalah favoritnya.
Sementara lelaki progresif memandang perempuan memiliki kesempatan dan peran serta tanggung jawab yang sama dalam pembangunan sosial. Ia memberi keleluasaan bagi pasangannya untuk melakukan hal-hal baik yang bermanfaat bagi sesama. Sebagaimana firman Allah SWT, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Wallahua’lam.

Kongres Para Perempuan yang Bangkit



Saya dan Tim Pencari Jajan di KUPI


Hatoon Al-Fassi memberikan penjabaran tentang kondisi perempuan di negaranya, Arab Saudi. Di hadapan ratusan peserta seminar internasional, aktivis yang identik dengan pakaian tradisional Arab itu mengatakan perempuan di Indonesia jauh lebih beruntung. Terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang didukung banyak kalangan, termasuk pemerintah, adalah bukti suara perempuan sangat dihargai di sini.
Hal senada disuarakan Zainah. Perempuan asal negeri jiran Malaysia itu mengungkapkan kekagumannya pada gerakan perempuan di Indonesia. “Mengumpulkan lebih dari 400 perempuan ulama di sebuah forum adalah hal yang luar biasa,” pujinya. Ya, gaung suara perempuan kembali meletup setelah sekian lama tak terlalu terdengar. Ribut-ribut Pilkada DKI beberapa waktu silam membuat negeri ini seolah-olah sesempit Jakarta saja. Kongres ini mengawali bangsa Indonesia untuk memikirkan sesuatu yang jauh lebih kongkrit daripada pesta politik lima tahunan.
Badriyah Fayumi, tokoh agama, mengatakan kongres ini sebagai panggilan iman dan sejarah. Kongres ini bukan saja melantangkan suara perempuan untuk memperjuangkan keadilan baginya, tapi juga mengingatkan kepada banyak orang betapa Islam sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Di masa lampau pun sudah banyak perempuan yang menjadi ulama.
Masriyah Amva, pengasuh Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu tempat diselenggarakannya KUPI, menambahi bahwa perempuan bukan makhluk terbelakang. Baik lelaki dan perempuan diciptakan dengan derajat yang sama. Masriyah sekaligus menjadi contoh betapa pesantren yang dikenal sangat patriarkis bisa dipimpin oleh seorang perempuan. Lebih dari 1000 santri berada di bawah naungan Bu Nyai yang puitis itu.

Ulama Perempuan
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa nama kongresnya ulama perempuan? Kok, ada lelakinya? Bukankah ulama, secara etimologi, sudah mencakup laki-laki dan perempuan? Hal ini tidak lain adalah sebagai penegasan. Istilah ulama perempuan itu pun bukan berarti ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi ulama, baik laki-laki atau perempuan, yang memiliki pandangan yang berpihak pada perjuangan hak-hak perempuan. Jika  ulama itu perempuan maka disebut sebagai perempuan ulama.
Masriyah menjelaskan bahwa kongres ini terselenggara berkat perjuangan yang cukup melelahkan. Banyak pihak yang tidak menghendaki adanya kegiatan ini karena dianggap kebablasan. Padahal, acara ini murni untuk menyamakan persepsi banyak tokoh terkait pandangan Islam terhadap perempuan. Juga untuk merumuskan strategi besar peran perempuan dalam kehidupan.
Direktur Fahmina Institute KH Husein Muhammad mengatakan bahwa kongres ini adalah yang pertama diselenggarakan di dunia. Ia belum pernah mengetahui ada kongres serupa yang pernah diadakan di belahan dunia lain. Kata Kiai, Cirebon dipilih sebagai titik awal dan ia berharap akan ada kongres-kongres perempuan lain di kemudian hari. Tidak hanya Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Umi, salah satu peserta dari Aceh, mengaku mendapat banyak manfaat dari kegiatan ini. Perempuan bercadar yang memiliki majlis pengajian itu menyadari bahwa banyak hal bisa dilakukan oleh perempuan. ‘Kita tidak hanya bekerja di dapur dan kasur, tapi bisa jauh lebih dari itu,’ ujarnya. Ia menilai KUPI patut diselenggarakan di berbagai wilayah agar menimbulkan kesadaran bersama terkait peran perempuan. Terlebih bagi orang sepertinya yang juga bekerja di LBH bagian kekerasan seksual dan perlindungan anak.
Perempuan seringkali dipersepsikan sebagai kaum yang lemah dan dipersalahkan. Padahal kenyataannya perempuan itu memiliki kekuatan yang sangat besar.  Di kongres ini, dibahas pula peran perempuan dalam meningkatkan mutu pendidikan hingga menyoal ekologi, bukti bahwa perempuan bukanlah makhluk domestik yang hanya akrab dengan kasur, dapur, dan sumur.

Poligami Menurut Perempuan Sedunia
Acara ini bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Walau secara nama skalanya nasional, tapi peserta kongres berasal dari berbagai negara. Tercatat ada 16 negara yang berpartisipasi di kegiatan ini.
Salah satu bahasan lama yang masih menarik ialah poligami. Beberapa orang menganggap poligami diperbolehkan karena di Al-Qur’an teksnya memperbolehkan seorang lelaki menikahi hingga empat istri. Tetapi banyak pula yang mengatakan tidak diperbolehkan, sebab di Al-Qur’an ada syarat khusus bagi seseorang yang menghendaki poligami: adil.
Ulfat H Masibo, seorang perempuan ulama dari Nigeria menegaskan diperbolehkannya poligami hanya dalam satu kondisi, yaitu seorang suami bisa adil. Jika tidak, maka poligami tidak diperbolehkan. Sementara Rafatu Abdul Hamid (Kenya) menilai poligami acap kali melanggar hak-hak perempuan. Pun, bagaimana bisa berbuat adil kepada lebih dari satu orang?
Penolakan poligami pun disuarakan ulama asal Pakistan Bushra Qadeem Hyder. Ia mengkritik dalih diperbolehkannya poligami berdasar ayat suci. Tetapi para pelaku tidak mengetahui syarat dan kondisi diperbolehkannya poligami ini sehingga yang terjadi adalah eksploitasi pada perempuan. Kongres ini mengingatkan saya suatu kali disodori pertanyaan, bolehkah poligami? Dengan sedikit guyon saya pun menjawab, "Halah, satu saja belum berani kok mikir poligami." Ketika diburu dengan pertanyaan yang sama, jawabanku hanya, "Jika kau tanyakan padaku, maka jawabannya sama dengan lubuk hatimu. Bisakah adil kepada lebih dari satu orang?"
Bagi saya yang mengikuti kongres ini sejak hari pertama, saya terkesan dengan cara perempuan mendobrak stigma negatif yang ditujukan kepadanya. Tidak berlebihan jika Nyai Umdah (Jombang) mengatakan kongres ini lebih tepatnya sebagai hari kebangkitan yang menyejarah. Mereka menggunakan cara elegan untuk berteriak melalui KUPI.
Kongres yang awalnya banyak diragukan hingga dicibir perlahan mendapat tempat di hati banyak orang. Di hari penutupan, GKR Hemas dan Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan apresiasi luar biasa atas terselenggaranya kongres ini. Lukman sampai menyatakan kesiapannya mendirikan sebuah Ma’had Aliy yang diperuntukkan untuk mengader ulama perempuan.
Salah satu yang luar biasa di KUPI adalah ketiadaan batas peserta yang ikut di kongres ini. Mereka datang dari berbagai lintas organisasi dan mazhab. Perbedaan cara pandang fikih disingkirkan demi mengkaji hal-hal pokok yang bertujuan menghadirkan keadilan bagi perempuan.
Di kongres ini saya menjumpai keragaman, mulai yang mengenakan kerudung, jilbab, cadar, hingga tanpa tudung. Mereka sama-sama berada di satu forum, saling berbincang terkait isu perempuan, KDRT, penyakit, dan lain sebagainya. Umi, peserta dari Aceh itu salah satu peserta yang membuat saya terkesan. Di balik cadarnya, ia adalah pribadi yang sangat bersahabat, jauh dari stigma negatif pengguna cadar sebagaimana sering saya dengar.
Sesaat setelah diwawancara, Umi menepuk pundak saya dan mendoakan, “Semoga sukses!”. Sebuah doa yang langsung saya amini. Ketika akan pulang, saya sempat bertemu dengan Umi. Ia menghampiri saya dan menyodorkan tangannya di balik kain hijabnya. Aku pun langsung menyambut dan menyalami sembari mengecup tangannya, seperti budaya pedesaan pada umumnya.[]

Friday, April 21, 2017

Sang Joki Hoki


Sosok Prabowo adalah kunci Pilkada DKI dua periode belakangan. Mantan denjen KOPASSUS yang dituduh terlibat penculikan aktivis '98 itu memegang peranan penting saat memainkan perhelatan pesta demokrasi di provinsi berbujet 70an trilyun pertahun. Dua kali ia menumbangkan incumbent!
Pertama adalah Foke-Nara. Foke yang bedarah Jawa-Betawi dan didukung oleh sejumlah parpol dan ormas Islam melenggang mulus di beberapa rilis survei. Mereka unggul 5-10% dari pasangan Jokowi-Ahok, 'anak' Prabowo. Foke diprediksi menang karena ia lebih memahami cara mengelola manusia 7 juta jiwa dibanding Jokowi yang 'hanya' ratusan ribu saja. Saat itu Prabowo meyakinkan warga DKI untuk memilih Jokowi-Ahok karena keduanya sangat Indonesia banget. Jokowi, orang Solo, Jawa, beragama Islam. Sedang Ahok orang Belitung, Tionghoa, beragama Kristen. Keduanya disebut siap membawa demokrasi ke arah yang lebih maju. Isu SARA yang dihempaskan kubu Foke-Nara ditangkal dengan dalih kebinekaan.
Pasca rilis quick count putaran kedua pilkada DKI oleh sejumlah lembaga survei, Prabowo tersenyum puas. Anak-anaknya berhasil menendang petahana. Ia terlampau semangat sampai menimbulkan dugaan bahwa sebenarnya Prabowo-lah gubernur DKI. Jokowi-Ahok hanyalah boneka mainan yang bisa digerak-gerakkan sekenanya. Sebelumnya, majalah TEMPO membuat sampul bergambar sosok Prabowo yang tengah memegang sebuah koran bergambar Jokowi. Tema laporannya "Bandar calon DKI".

Banyak yang menilai Prabowo tengah menyusun kekuatan politiknya untuk berkuasa di 2014. Jika ia berhasil menanam bibit di DKI, kelak, jika ia memerintah, urusannya akan jadi lebih mudah. Jokowi-Ahok adalah langkah awalnya untuk menuju RI-1. Dan benar saja, ia gencar kampanye akan membawa Indonesia menjadi macan Asia. Tampaknya ia sudah cukup yakin karena 'hanya' akan melawan ambisi Aburizal, Harry Tanoe, Anies, Dahlan, dan Wiranto.
Tapi Prabowo seakan kesamber gledek. Pasca PDIP memenangi kursi legislatif, partai berlogo banteng itu berambisi menjadi penguasa utama. Jokowi, sang anak Prabowo, beserta JK, mantan lawan politiknya di pilpres 2009, dideklarasikan untuk menantangnya bersaing pada 9 Juli 2014. Ia pun meradang. Terlebih setelah pengusaha kayu kurus itu mempecundanginya 51% : 49%.
Adalah Anies si perintis Indonesia Mengajar dan gerakan turun tangan yang turut mendongkrak suara Jokowi. Jubir Jokowi-JK itu meyakinkan banyak swing voters untuk memilih Jokowi-JK karena keduanya bebas dari dosa masa lalu. Masa lalu? Ya, Anies yang dulu aktivis kampus tentu merasakan 'dosa' para jendral yang menghilangkan banyak rekan aktivisnya. Ia berkali-kali mengatakan, saatnya orang baik memimpin.
Tahun 2016, setahun pasca Anies diberhentikan sebagai mentri pendidikan, alumnus Jogja itu menerima tawaran Prabowo untuk maju DKI-1. Ia berpasangan dengan Sandiaga Uno, 20 besar manusia terkaya di Indonesia (versi FORBES). Ia didaftarkan menjelang detik-detik akhir pendaftaran. Diduga, Prabowo kembali ingin membangun pondasi kekuatan politiknya untuk 2019.
Sekali lagi, mantan menantu Soeharto itu berhasil memenangkan 'anaknya'. Terlepas gelombang isu SARA yang menerpa, strategi politik Prabowo harus diakui jempol. Selain itu, dream team pasukan tim sukses Anies ternyata teruji jitu. Eep Saefulloh, sahabat semasa di Amerika, yang dulu jadi konsultan politik Jokowi (dan mengaku tidak dibayar), bisa meliuk-liuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas seorang Anies.
Jokowi-Ahok dibawa ke Jakarta oleh Prabowo. Jokowi jadi lawan Prabowo di Pilpres. Anies jubir pilpres Jokowi dan tim transisi, jadi lawan Ahok, karena disung Prabowo. Eep si konsultan Jokowi, jadi konsultan Anies yang dibackingi Prabowo. Melihat politik dari Prabowo, Jokowi, Ahok, Anies, dan Eep saja sudah membuatku ngakak jika ada yang terlalu serius mengikuti dinamika politik di Indonesia.
Sudahlah... Sudahi pertikaian. Pertemanan lebih mahal dibanding ngotot bela para penguasa. Mereka dapat dollar, kita dapat apa?


Jogja, 20/04/2017