Tuesday, August 8, 2017

Memahami Kehidupan dari 'Orang-Orang Proyek'

“Mas Kabul, dulu Ki Hajar Dewantara bilang begini. Pilih mana dari dua kondisi ini: Numpak motor sinambi sawan tangis atau mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng...” (hlm. 22).

Kalimat yang diutarakan Pak Tarya, seorang mantan wartawan dan pegawai yang sehari-hari menghabiskan waktunya untuk memancing, kepada Kabul, seorang pengawas proyek, adalah  inti dari novel ini. Ahmad Tohari memotret secara alami kondisi dunia pembangunan di masa Orde Baru di mana dana untuk pembangunan banyak dijadikan bancakan.

Seorang Kabul yang sangat idealis; mantan aktivis kampus penentang Orba, dihadapkan pada situasi serba sulit. Ia yang tengah terlibat sebuah pembangunan jembatan terjepit pada satu sistem korup yang menganggap rekayasa dana proyek sebagai hal biasa. Hati nuraninya berontak karena merekayasa pembangunan berarti mengabaikan mutu bangunan. Namun Dalkijo, atasan sekaligus seniornya, menganggap hal tersebut tak perlu dirisaukan. Sudah sewajarnya sebuah proyek mendatangkan untung kepada pemborong. Dalkijo yang akrab disapa Koboi menggambarkan bagaimana ia bisa mengganti motor Harley Davidsonnya ketika merampungkan satu proyek.

Dalkijo adalah sosok yang mewakili sikap kemaruk. Ia yang memiliki masa lalu tercekik kemiskinan ingin membalas dendam dengan perilaku jor-joran. Apalagi saat ini ia berada di situasi yang cukup baik, sebagai pemborong proyek dan bendahara di partai penguasa. Untuk apa hidup kalau bukan dinikmati? Begitu pikirnya. Ia pun ingin menularkan pemahamannya tentang hidup kepada Kabul.

Kabul si insinyur muda yang masih bujangan itu kebalikan dari Dalkijo. Baginya, proyek adalah sepenuhnya hak rakyat. Karenanya akan sangat tidak adil jika pembangunan hanya mementingkan golongan penguasa. Sikap demikian timbul karena Kabul dididik dengan cara yang sangat bersahaja. Ia dibesarkan dengan makan nasi inthil dan lauk seadanya. Tirakat yang dilakukan ibunya membuat ia dan adik-adiknya bisa bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi.

Di benak saya, kedua tokoh ini mewakili dua situasi yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dalkijo adalah orang yang naik motor tapi menahan beban di hidupnya, beban untuk membalas dendam kemiskinan masa lalunya. Ia memilih hidup penuh gaya walau dikejar-kejar tuntutan daripada hidup sederhana dan dianggap ketinggalan zaman. Sementara Kabul ingin segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Ia memilih untuk menjamin keberhasilan suatu proyek jangka panjang daripada memperkaya diri dengan mengorbankan banyak hal.

Hidup banyak harta tapi gelisah, atau hidup sederhana tapi bermakna? Pilihan yang disodorkan Ki Hajar adalah pilihan yang sulit dijawab. Jika ada pilihan alternatif, tentu orang akan memilih hidup banyak harta tapi bermakna. Tapi Ki Hajar tidak salah dengan memberi pilihan yang hitam putih itu. Ia ingin menjangkau hal paling fundamental dalam diri manusia untuk memilih pilihan yang paling ekstrem.

Apalagi kaya harta dan kaya rasa merupakan pondasi cara hidup seseorang. Jika ia memilih kaya harta dan mengabaikan rasa, ia akan mengejar harta tanpa memedulikan bagian lain dalam hidup, termasuk agama. Inilah yang menyebabkan banyak rayap di setiap proyek khususnya pemerintah. Rayap-rayap ini sangat ganas karena tidak hanya doyan aspal, semen, dan besi, tapi juga nggragas nyimiti kitab suci. Ironisnya, sebgaimana digambarkan Tohari, mereka sangat sadar jika perbuatan mereka keliru. Tapi mau bagaimana lagi?

Sementara kaya rasa membuat orang mempertimbangkan keseimbangan dalam hidup. Ia bisa tersenyum dalam kondisi paling terbatas sekali pun. Namun seringkali orang semacam ini sulit untuk melejit karirnya karena akan terbentur dengan nilai-nilai pragmatisme yang sudah jadi wabah di tengah masyarakat. Inilah pilihan sulit yang dialami Kabul.

Saya menikmati karya-karya Ahmad Tohari yang selalu memotret realitas hidup tanpa menghakimi. Di novel ini ia memberi gambaran kehidupan para tukang, pemilik warung, waria penghibur, hingga percintaan dengan sewajarnya. Tanpa drama berlebihan. Lihat bagaimana situasi kejiwaan seorang Kabul yang terus mendapat perhatian dari seorang karyawati bernama Wati yang sudah punya pacar. Sebaliknya betapa tidak naifnya seorang Wati yang menaruh perhatian pada atasannya di proyek sekali pun ia punya pacar. Tapi pacarnya kan masih seorang mahasiswa. Di sini pertarungan antara rasa dan rasionalisme menjadi bumbu yang mak nyuk-nyuk.

Selain dialog yang menyatir perkataan Ki Hajar Dewantara, bagian yang paling saya suka adalah tembang yang dikumandangkan oleh Pak Tarya berjudul Asmaradana.

Nora gampang wong ngaurip
Yen tan weruh uripira
Uripe padha lan kebo

Hidup tidaklah mudah bila kita tidak tahu makna kehidupan. Hidupnya akan sama seperti kerbau. Sebuah ungkapan filosofis yang ditulis oleh Pakubuwana IV, seperti meramalkan akan datang suatu masa di mana banyak orang bekerja hanya untuk perut tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya.
Orde Baru yang disebut korup sudah berlalu. Agaknya kerbau-kerbau ini belum lagi berevolusi jadi manusia. Bahkan virus kerbau sepertinya semakin ganas menjangkiti generasi muda. Selaras dengan Kidung Sinom Ranggawarsita:

Amenangi zaman edan // Ewuh aya ing pambudi // Melu edan ora tahan // Yen tan melu anglakoni // Boya keduman milik // Kaliren wekasanipun // Ndilalah kersaning Allah // Begja begjaning kang lali // Luwih begja kang eling lan waspada. (Menyaksikan zaman edan // Tidaklah mudah untuk dimengerti // Ikut edan tidak sampai hati // Bila tidak ikut // Tidak kebagian harta // Akhirnya kelaparan // Namun kehendak Tuhan // Seberapapun keberuntungan orang yang lupa // Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada).

Akhir kata, selamat menyelami novel gurih-gurih nyoi ini.

Wallahua’lam.