Tuesday, March 28, 2017

Bincang Santai tentang Wilayah yang Memerah


Bersama Mbak Dina Y. Sulaeman, penulis buku Salju di Aleppo
Kang Abad adalah teman saya yang pernah mengenyam bangku pendidikan di Libya, sebuah negara di Timur Tengah. Ia merasakan bagaimana mencekamnya situasi negara tersebut pada tahun 2011, yang membuatnya harus meninggalkan bangku kuliah lebih cepat demi alasan keamanan. Di tahun itu, Moammar Khadafi, sang presiden yang berkuasa puluhan tahun, tewas dikeroyok massa.
Libya bukan satu-satunya negara yang bergejolak. Sebelumnya, Tunisia lebih dulu memanas yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Zine El-Abidine Ben Ali. Dalam waktu yang tidak berselang lama, Mesir, Kuwait, Lebanon, Yaman, Suriah dan banyak negara lainnya ketularan hobi demo. Mereka menuntut demokratisasi yang mengatur batas maksimum periode kekuasaan seorang presiden.
Arab Springs (the great middle east)
Di banyak negara itu, sebagian besar pemimpinnya berhasil ditumbangkan oleh gelombang aksi massa. Jika beruntung, para pemimpin itu bisa melarikan diri dengan selamat ke nagara lain. Jika tidak, nasibnya seperti Moammar Khadafi. Namun ada satu negara yang cukup kuat dalam menghadapi huru hara di negaranya, yakni Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-As’ad. Saat ini, di negara yang pernah jadi mercusuar kerajaan Islam itu masih terjadi perang saudara.

Konflik di Suriah
Saya secara pribadi kurang mengikuti isu Arab Spring, sampai pada kemunculan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) di beranda media sosial saya. Ketika saya klik di google, muncul banyak berita mengenai gerakan masyarakat sipil bersenjata itu.
Ketertarikan saya semakin bertambah saat banyak teman saya mengutuk keras Bashar Al-As’ad karena dianggap melakukan genosida di negaranya sendiri. Bashar yang konon Syiah Dinaggap membantai warga Sunni yang menjadi mayoritas. Sampai-sampai muncul narasi seperti ini: waspadai Syiah karena mereka tega membantai muslim Sunni di Timur Tengah.
Kutukan pada Bashar semakin menguat di penghujung 2016 saat pemerintah membombardir kota Aleppo. Di banyak tempat muncul spanduk-spanduk bertagar #SaveAleppo. Teman saya yang sejak beberapa waktu anti dengan Bashar langsung menulis status makian terhadap pemimpin Suriah itu.
Sejak saat itulah, saya mencari tahu apa itu Aleppo, siapa sebenarnya Bashar Al-As’ad dan mengapa di Suriah terjadi konflik berdarah. Dan beruntung saya membaca ulasan konflik di Suriah ini dari Mbak Dina Y. Sulaeman melalui blognya. Semakin beruntung karena saya bisa bertemu langsung dengannya di malam hari ini. Tulisan ini adalah refleksi saya terkait ngobrol santai dengan Mbak Dina.
Sebelum krisis, Suriah termasuk negara dengan tingkat kriminalitas terendah di dunia. Kota-kotanya tidak begitu besar, tapi cukup indah. Di negara ini banyak peninggalan kuno yang menjadi salah satu daya tarik wisata para pelancong. Hingga pada satu waktu, terjadi demonstrasi untuk menuntut adanya maksimum periode kekuasaan. Permintaan ini pun direspon dengan dihapusnya state emergency law dan diadakannya referendum UUD baru Suriah yang membuat seorang presiden memiliki batas waktu berkuasa (26 Februari 2012).
Aleppo before the war (Huffington Post)
Pada tahun 2014, negara sosialis sekuler ini mengadakan pemilihan umum. Bashar Al-As’ad yang telah berkuasa sejak tahun 2000 terpilih dengan prosentase suara 88,7%. Sebuah angka yang fantastis. Di sisi lain, sebagian warga bergabung dengan kelompok milisi bersenjata untuk menentang kekuasaan Bashar Al-As’ad. Mereka menuntut ditegakkannya sebuah negara berdasarkan sistem khilafah.
Beberapa wilayah berhasil mereka kuasai, salah satunya adalah kota Aleppo Timur. “Para milisi bersenjata inilah yang diperangi oleh Bashar,” ujar Mbak Dina menjelaskan. Sebelum menggempur Aleppo, Bashar lebih dulu memberi waktu agar penduduk sipil bisa meninggalkan medan pertempuran itu. Namun setelah beberapa waktu, tidak ada penduduk yang meninggalkan kota. Ternyata, mereka diancam akan ditembak oleh milisi bersenjata jika berusaha meninggalkan Aleppo. Hal ini terkonfirmasi dengan adanya laporan dari PBB yang menyebut adanya puluhan warga yang mati ditembak.
“Ada yang bilang ini ulah tentara Suriah. Tapi coba dipikir dengan jernih. Saat itu tentara Suriah belum masuk ke Aleppo karena menunggu warga dievakuasi. Bagaimana mungkin para tentara negara yang menembaki para warga?” tanya Mbak Dina. Pernyataan ini saya konfirmasi dengan laporan dari akun twitter centang biru Yusha Yuseef @MIG29_, reporter The Arab Sources, selama krisis Suriah memuncak.
Dari akun ini pula, saya mengetahui adanya kiriman puluhan bus dari pemerintah yang mengangkut para milisi bersenjata untuk meninggalkan Aleppo. Para milisi itu pindah ke Idlib, sebuah kota yang mereka kuasai. Pada malam natal, Aleppo berpesta karena berhasil mengusir para pemberontak. Menurut Mbak Dina, sikap pemerintah Bashar yang sedemikian menunjukkan pemerintah tidak semena-mena dalam menyikapi konflik di negaranya.

Beberapa Alasan Konflik
Suriah adalah negara gurun. Tentu banyak sumber energi tak terbarukan di sana, utamanya sektor migas. Inilah kepentingan negara-negara kuat untuk memperebutkannya.
Dalam upaya memerangi milisi, militer Suriah dibantu oleh negara sahabat mereka yaitu Iran, Tiongkok, dan Russia. Negara-negara ini tentu saja mempunyai kepentingan di Suriah, utamanya Russia yang sudah melakukan investasi besar-besaran di sektor migas. Karenanya, tidak mengherankan jika Putin membela mati-matian Bashar.
Lalu mengapa ada konflik? Ada puluhan ribu pasukan yang datang dari 100 negara untuk menduduki kota-kota di Suriah. Para milisi ini bergabung dengan bermacam-macam organisasi, mulai ISIS hingga Al-Nushra. Tujuan mereka sama, mendirikan sebuah negara khilafah. Inilah yang dilawan oleh rezim Bashar Al-As’ad dan aliansinya.
Yang mengejutkan, dari bocoran WikiLeaks, disebut bahwa AS merupakan donatur gerakan ISIS. Mereka menyuplai senjata dan mengadakan pelatihan militer.

Media Sosial dalam Konflik
Selama konflik berlangsung, media sosial menjadi penggerak mesin perdebatan yang sangat sengit. Situasi itu merembet ke Indonesia. Di Indonesia, narasi kekejaman Bashar menjadi pembicaraan yang banyak dibincangkan. Terlebih saat seorang bocah bernama Bana Alabed (@AlabedBana) rajin ngetwit tentang ‘kondisi’ Aleppo. Gadis cilik berusia 7 tahun itu kerap menulis ‘situasi’ menggunakan bahasa Inggris yang sangat sempurna.
Twit-twit Bana ini sempat dicapture oleh beberapa teman saya yang anti Bashar sebagai ‘bukti’ kekejaman pemerintah Suriah. Walau belakangan diketahui akun itu dikelola oleh ibu bocah itu yang di akun pribadinya terdapat foto dirinya menenteng senjata laras panjang. Sementara ayahnya sering mengunggah foto-foto bersama milisi bersenjata. Lha kok?
Akun Bana ini tidak sendiri. Banyak akun lain yang turut memberitakan hal-hal yang diada-adakan. Dalam bahasa gaulnya, akun-akun tersebut menyebar berita HOAX. Saat evakuasi berlangsung, mereka membuat video yang intinya berpamitan, mengatakan mungkin hari itu adalah hari terakhir mereka karena sebentar lagi rezim Bashar akan membantainya. Ajaibnya, sehari kemudian wajah mereka nongol di beberapa stasiun televisi.
Tetapi apa boleh buat. Keberadaan akun-akun ini terlanjur dianggap sebagai saluran informasi para ‘mujahidin’ yang ‘membela agama’ di negara sekuler Suriah. Teori jarum hipodermik yang ketika saya kuliah dianggap sudah usang, justru menjadi relevan di saat manusia modern sudah berkenalan dengan istilah literasi media.  
Saking gregetannya, untuk menantang tuduhan genosida, Mbak Dina meminta untuk ditunjukkan satu foto saja terkait kejahatan Bashar. Ia telah melakukan analisis beberapa foto propaganda yang beredar, dan semuanya tidak terkait dengan  konflik Suriah.
Lalu apa tujuan dari berita HOAX itu? Salah satunya tentu memenangkan pertarungan wacana di dunia maya. Tapi yang tidak banyak disadari, mereka tengah mengaduk emosi banyak orang di dunia supaya tergerak berdonasi melalui saluran-saluran yang telah mereka persiapkan. Yah, namanya juga perjuangan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka tidak mengejutkan apabila ditemukan kardus bantuan yang berasal dari Indonesia masuk ke markas milisi bersenjata di Aleppo.

Indonesia dan Suriah
Konflik Suriah bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, ujar Mbak Dina. Pendapat ini pernah saya dengar di beberapa forum, termasuk yang diselenggarakan oleh BNPT. Di Indonesia narasi-narasi yang digunakan untuk mengguncang Suriah mulai diterapkan kepada pemerintahan saat ini.
Beberapa narasi seperti pemerintah menzalimi umat Islam, demokrasi sistem gagal, pemerintah bersekutu dengan komunis dan lain sebagainya sudah berseliweran di media sosial. Ajakan untuk melakukan penggulingan terhadap pemerintah yang sah pun mulai digaungkan. Untungnya pembelian senjata di Indonesia sangat ketat prosedurnya. Jika mereka bisa mendapat akses senjata, bukan tidak mungkin negara ini memanas. Na’udzubillah.
Satu hal yang mengejutkan adalah tuduhan penistaan Al-Quran yang menjadi salah satu pemicu konflik Suriah. Bashar dituduh menistakan surat Al-Ikhlas karena ‘menganggap’ dirinya sebagai Tuhan. Padahal, tuduhan itu adalah HOAX. Tapi jutaan orang terlanjur percaya dan marah pada rezim yang menentang kesewenang-wenangan Israel di Palestina itu.  
Saya sendiri masih perlu membaca literatur untuk memahami secara utuh persoalan di Suriah. Namun diskusi dengan Mbak Dina, yang sudah melakukan banyak pengamatan dan riset, menambah banyak wawasan terkait krisis di negara itu. Walau karena pendapatnya, Mbak Dina kerap mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu. Ia dianggap mengada-ada hingga dilabeli Syiah. Tapi kebenaran harus disuarakan walau itu pahit.
Mbak Dina kemudian menjelaskan rasa syukurnya karena saat ini banyak alumni Suriah yang mulai berani buka suara untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Ia menilai muncul kesadaran di benak para alumni untuk mencegah Indonesia tercinta ini mengalami situasi pilu seperti Suriah. Wallahua’lam.

Berikut link pernyataan para alumni Suriah membantah HOAX seputar krisis Suriah sebagaimana dimuat situs NU Online

Wednesday, March 1, 2017

Gagal Fokus Tuan Putri Arab Saudi

lensakita
Indonesia memiliki tokoh sejarah bernama Kartini, seorang anak bangsawan yang mendobrak tabu kebudayaan. Ia yang konon merupakan santriwatinya Kiai Soleh Darat, salah seorang ulama nusantara, melakukan perlawanan terhadap kondisi perempuan di Indonesia yang termarjinalkan. Saat itu perempuan dianggap sebagai orang kelas dua. Jika kini para perempuan sudah merasa memiliki hak setara, itu disebabkan salah satunya karena perjuangan Kartini.
Bertolak ke budaya negara lain, beberapa tahun yang lalu dunia sempat digemparkan berita tentang dilarangnya wanita di Arab Saudi untuk menyetir mobil. Di negara kerajaan itu, kehidupan perempuan masih sangat jauh dari kata setara alias sangat dibatasi.
Adalah Ameera Al-Taweel yang berperan sebagai ‘Kartininya’ Arab Saudi. Ia yang berada di lingkaran kerajaan memperlihatkan kehidupan yang sama sekali kontras dengan kebanyakan perempuan di wilayahnya. Di saat hak-hak perempuan sangat dibatasi, ia justru melenggang berkarir dengan menjadi CEO di sebuah perusahaan media dan teknologi. Ia sekaligus mengkritik praktik subordinatif terhadap perempuan dan menggelorakan semangat perjuangan keadilan bagi kaum hawa di kerajaannya. Dan uniknya, sang tuan putri tidak berhijab!
Terkhusus soal hijab, di Indonesia sendiri narasi hijab syar’i sedang menguat. Terlebih saat banyak selebriti ibu kota turut menyerukan penggunaan model hijab lebar yang menurutnya paling sesuai dengan ajaran Islam. Kampanye berhijab syar’i pun luar biasa, sampai-sampai memvonis neraka bagi yang tidak mengenakannya.
Apakah mengenakan ‘hijab syar’i’ salah? Tentu tidak. Yang tidak tepat adalah memvonis neraka bagi yang tidak mengikuti penafsirannya. Sebab, perintah  berhijab dalam surat An-Nuur 24:31 itu sendiri memiliki banyak tafsir dilihat dari perspektif bahasa dan asbabun nuzulnya.
Apa itu hijab syar’i? Di akun-akun media sosial penyeru hijab syar’i, banyak pendapat dari para aktivis dakwah yang dikemas dalam bentuk meme dan video yang sangat menarik. Setidaknya ada dua pengertian hijab syar’i yang didengungkan sebagaimana saya amati.
Pertama, pakaian lebar yang tidak memperlihatkan aurat dan lekuk tubuh. Pengertian ini lazim diikuti oleh sebagian besar muslimah. Kedua, pakaian yang menutupi seluruh bagian aurat perempuan.
Aurat yang dimaksud di sini adalah batas-batas sahnya salat perempuan, yaitu seluruh bagian tubuh kecuali telapak tangan dan muka. Ada pula yang mengatakan wajah dan telapak tangan pun aurat sehingga hanya kedua bola mata yang boleh terlihat. Bahkan suara pun termasuk aurat sehingga perempuan dilarang mengucap sepatah kata pun di hadapan lelaki bukan mahromnya.
Lalu pendapat mana yang paling benar dan harus diikuti? Wallahua’lam. Inilah indahnya Islam yang menerima berbagai perbedaan pandangan. Sabda Rasul, perbedaan adalah rahmat.
Melihat sejarah pun, kerudung atau jilbab mulai populer di kalangan muslimah Indonesia pada tahun 80-an. Sebelum itu, kerudung atau jilbab hanya dikenakan oleh kalangan santri sebagaimana sarung.
Beberapa kesaksian yang saya dapatkan, mengenakan jilbab pada masa itu ibarat seorang muslimah berjilbab di negara Barat. Banyak mata yang mengawasi dan menaruh curiga. Salah seorang dosen saya misalnya, ia bercerita hanya ada 3 orang di SMA seluruh Yogyakarta yang berjilbab. “Dan salah satunya saya,” ujarnya.
Perdebatan mengenai hijab ini pun saya rasa tidak akan ada habisnya, sebagaimana perdebatan apakah basmalah itu termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah atau bukan. Jika iya, wajib dibaca ketika salat. Meninggalkannya berarti salatnya tidak sah. Sementara jika bukan termasuk ayat, membaca ketika salat berarti menambahi ayat. Dan ini tidak sah. Bagaimana menyikapinya? Hormati perbedaan pendapat.
Hari ini adalah hari kedua raja Arab Saudi menikmati cuaca tropis Indonesia. Tak perlu mengolok-olok pakaian sang raja sebagai daster karena itu merupakan bagian dari budaya negaranya. Tak perlu pula menuduh perempuan Arab Saudi sebagai orang yang terbelakang karena sosok tuan putri Ameera sendiri cukup untuk membungkam pendapat tersebut.
Perlu dicatat bahwa tuan putri yang menyeru keadilan pada perempuan itu memiliki total kekayaan 300-an trilyun. Sementara orang terkaya di negeri ini ‘hanya’ memiliki 200-an trilyun.
Aku padamu lah tuan putri...