Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Alhamdulillahrirabbil ‘alamin, nahmaduhu
hamdan hamdan, wa nasykuruhu syukron syukron. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia dan nikmat serta inayah-Nya sehingga tugas penulisan
makalah ini dapat dirampungkan sebagaimana rencana semula. Shalawat serta salam
kami sampaikan kepada baginda Rasul Muhammad SAW yang memberi inspirasi lewat
hadits-hadits dan prilaku politik islaminya.
Dalam
sambutan ini kami ucapkan beribu terima kasih kepada Allah SWT atas firman
“afalaa ta’qilun” yang terus menuntun penulis untuk terus berusaha menggarap
tugas salah satu disiplin ilmu baru bagi penulis. Namun berkat usaha dan
dorongan dosen, teman-teman dan atas bimbingan-Nya, makalah sederhana ini
terwujud walau kekurangan masih terdapat di sana-sini. Kepada baginda Rasul
Muhammad SAW sang inspirator. Kepada dosen pengampu matakuliah Komunikasi Massa,
Ibu Ristiana Kadarsih yang senantiasa memberi pencerahan penulis di dalam
memahami matakuliah. Tak lupa kepada teman-teman seperjuangan yang semoga
bersama-sama menjadi komunikator yang baik di tengah-tengah khayalak.
Akhirnya
penulis serahkan penilaian atas usaha maksimal penulis ini kepada dosen
pengampu. Permintaan maaf tak lupa penulis sampaikan apabila masih banyak
kekurangan-kekurangan akibat kelalaian penulis dalam menyusun makalah ini.
Akhir kata, wallahumuwafiq ilaa aqwam at-thariq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Yogyakarta,
25 April 2013
Penyusun
Sarjoko
12210119
Daftar Isi
1.
Pengantar..................................................................................... 2
2.
Daftar isi...................................................................................... 4
3. BAB
I-PENDAHULUAN.......................................................... 5
5. BAB
II-PEMBAHASAN........................................................... 7
6. BAB
III-PENUTUP.................................................................... 23
7.
Daftar pustaka.............................................................................. 24
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Beberapa tahun yang lalu Indonesia gempar. Salah satu
tayangan favorit kala itu harus dihentikan penayangannya karena dianggap
sebagai biang terjadinya penganiayaan. Orangtua dan beberapa pihak yang merasa
sangat dirugikan bereaksi keras untuk menentang tayangan gulat Amerika SmackDown!.
Terlebih ada korban meninggal akibat aksi yang dilakukan oleh temannya dengan
menggunakan jurus-jurus ala tayangan itu.
Pro-kontra
penghentian tayangan ini berlangsung berbulan-bulan. Ada yang mendukung penuh
sebab tayangan itu rawan ditiru, sementara pihak kontra berargumen tayangan
televisi tidaklah berpengaruh banyak, atau paling tidak bukan merupakan
satu-satunya yang mempengaruhi perilaku manusia. Dampak itu ada, tapi relatif
kecil. Pada akhirnya pihak penayang menyerah, mereka memilih untuk menghentikan
tayangan.
Sebenarnya,
bagaimana mungkin tayangan televisi bisa berpengaruh terhadap perilaku pemirsa?
Sementara banyak adegan kekerasan yang berpotensi ditiru, bagaimana pula cara
meminimalisir terjadinya aksi kekerasan akibat tayangan televisi? Secara umum
makalah ini akan membahas mengenai efek behavioral tayangan televisi dan
mengajukan solusi penayangan yang ideal sesuai regulasi.
b. Rumusan makalah
Makalah ini disusun berdasar
rumusan pertanyaan-pertanyaan:
1) Apa efek behavioral yang terjadi
akibat tayangan televisi itu?
2) Mengapa hal itu bisa terjadi?
3) Bagaimana cara mengendalikannya?
C. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Komunikasi Massa yang
diampu oleh Ibu Ristiana Kadarsih. Isi di dalam makalah ini membahas efek
behavioral yang diakibatkan tayangan televisi menurut konsep manusia
behaviorisme dalam psikologi. Selain itu dibahas pula regulasi penayangan
tayangan kekerasan dan seksualitas yang merupakan tayangan yang berefek besar
bagi khayalak, serta solusi meminimalisir gejala behavioral negatif.
BAB II
PEMBAHASAN
Efek Behavioral Tayangan Televisi
Dampak Tayangan Kekerasan Dan Seksual
Pada medio 2006-an, kasus penganiayaan siswa SD dan SMP
oleh temannya sendiri menjadi berita heboh. Sampai-sampai salah satu tayangan pada
waktu itu SmackDown! dihentikan tayangannya karena dianggap menjadi faktor
pemicu peganiayaan. Tuntutan yang disertai tuduhan dari masyarakat dan pakar sangat
beralasan. Sebab penganiayaan yang dilakukan hingga membawa korban jiwa itu
dikabarkan mengikuti aksi aktor-aktor gulat SmackDown!.
Menurut Aris Merdeka Sirait, dari
Komisi Nasional Perlindungan Anak, setidaknya sudah tujuh anak yang dilaporkan
menjadi korban kekerasan antar mereka, akibat menonton tayangan SmackDown!
di Stasiun TV Lativi (kini TVOne-pen). Mereka diduga meniru adegan berkelahi
dalam tayangan itu. Lebih tragis lagi, dua di antaranya meninggal dunia.
Laporan aksi kekerasan yang diduga
sebagai dampak tayangan TV bermula ketika seorang pelajar usia 9 tahun Reza
Ikhsan Fadillah tewas setelah dianiaya tiga kakak kelasnya. Pelajar kelas 3
Sekolah Dasar di Bandung Jawa Barat itu meninggal setelah sekitar sepekan
dirawat di rumah sakit. Belakangan ayah korban, Herman Suratman, menyatakan,
putranya meninggal karena dianiaya ketiga kakak kelasnya yang meniru adegan SmackDown!
di layar TV. Saat itu Kantor Pusat World Wrestling Entertainment (WWE)
di Connecticut, perusahaan yang memproduksi tayangan SmackDown!,
menyatakan tidak ada hubungan antara acara TV tersebut dengan kematian Reza. Hal
itu didukung pendapat Psikolog Universitas Atmajaya, Irwanto. Ia menjabarkan
faktor yang menentukan perilaku seorang anak bukan hanya dari tontotan
televisi. Bila sekedar menonton, efek menirukan adegan, relatif kecil. Namun
bila ada faktor-faktor lain, misalnya permainan elektronik yang bersifat
pertarungan, bisa jadi mempengaruhi perilaku anak.
Di Amerika Serikat terdapat juga
kisah nyata yang memilukan (pernah dimuat dalam Majalah Al-Falah edisi
147/Juni 2000). Pada suatu siang, di sebuah apartemen lantai empat, seorang
bocah dengan bangga menepuk dada. Di depan cermin ia berlagak seperti Superman.
Sambil mengibas-ngibaskan sayap di baju ala Superman yang ia kenakan, tiba-tiba
ia melompat keluar jendela apartemen dan berteriak, “Suuuupermaaaannn...!”
Ibu sang anak tidak menyangka akan
hal ini dan langsung menjerit histeris. Suaranya tercekat di kerongkongan
karena melihat anaknya melompat dari lantai empat. Sementara itu, sang anak
masih saja yakin bahwa dirinya bisa terbang seperti sang idola di televisi yang
ia lihat setiap hari. Memang, ia bisa terbang, tetapi ke arah bawah. Semakin ia
dekat ke bawah, maka semakin dekat pula malaikat maut menjemput. Kemudian,
matilah “Sang Superman” bersimbah darah.
Beberapa contoh di atas hanyalah
sedikit dari kasus di mana tayangan televisi diduga menjadi penyebab terjadinya
musibah. Terutama bagi tayangan-tayangan yang mengandung unsur kekerasan,
masyarakat akan mudah mengatakan bahwa tayangan itulah yang menjadi sebab
maraknya terjadi penganiayaan.
Simak pula kisah nyata berikut
ini. Di suatu daerah terjadi kasus pemerkosaan seorang pelajar wanita oleh
empat teman siswanya. Sebelum digilir, terlebih dahulu siswi tersebut dicekoki
minuman beralkohol. Dalam keadaan mabuk berat, siswi tersebut mengalami
pelecehan seksual. Beberapa bulan pasca peristiwa, siswi tersebut hamil.
Keempat pelaku tidak ada yang bertanggungjawab sehingga terdorong keinginan
siswi untuk melaporkan mereka. Keempat pelaku akhirnya ditangkap oleh
kepolisian. Salah satu pelaku dipaksa untuk menikahi teman siswi tersebut.
Sebuah rangkaian peristiwa nyata yang kini banyak dijadikan alur cerita oleh program
tayangan televisi.
Rangkaian peritiwa di atas sempat
diliput secara intensif oleh media-media massa daerah. Bahkan diletakkan
sebagai topik utama mengalahkan berita yang merupakan berita positif. Di kasus
yang sama tapi berbeda daerah, program berita televisi-televisi swasta menayangkan
kabar serupa. Setiap hari selalu ada berita tentang pelecehan seksual yang
dibarengi berita-berita kriminal.
Di infotainment kabar artis
melakukan seks bebas beberapa kali menjadi santapan utama. Kasus Ariel Peter Pan
dengan Luna Maya dan Cut Tari dieksploitasi besar-besaran. Dalam eksploitasi
berita itu tak sedikit pun menggambarkan hukuman moril yang dirasakan mereka.
Justru media seperti membuka pikiran pemakluman dan mendukung habis-habis
pembelaan mereka. Hasilnya setelah keluar bui nama Ariel kembali melejit.
Bahkan lebih diperhitungkan. Sebuah contoh bagaimana aspek materi lebih diburu
mengesampingkan aspek moral.
Di samping banyak catatan
negatifnya, tayangan televisi juga membawa banyak efek positif. Sebagai media
hiburan, televisi memberikan masyarakat berbagai tontonan segar. Adapun beberapa macam tayangan tersebut, antara lain
sinetron, komedi, kartun, film, dan drama. Di sini, tayangan televisi akan
menghibur masyarakat dan menyegarkan kembali pikiran setelah seharian
beraktivitas. Tak jarang tayangan yang bernilai positif ditiru masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
Tayangan televisi juga berperan
sebagai media pendidikan. Lewat tayangan televisi, kita telah melakukan
pembelajaran audio visual. Hal ini terbukti saat kita menonton salah satu
tayangan televisi yang berjudul: Laptop Si Unyil yang pada waktu itu
sedang membahas tentang pembuatan tas daur ulang. Secara tidak langsung, kita
telah mendapat pengetahuan akan cara pembuatan, bahan-bahan yang digunakan
serta manfaat dari tas tersebut. Di sini, kita telah melakukan pengamatan lebih
cermat lagi yang akhirnya mendapat kesan yang mendalam. Kesan itulah yang
menjadikan kita untuk lebih mudah mengingat kembali apa yang telah kita
pelajari. Subroto (1995:78) mengatakan bahwa menurut hasil penelitian,
pembelajaran menggunakan audio visual seperti tayangan televisi mampu
meningkatkan efisiensi pengajaran antara 20 hingga 50 persen.
Sebagai media informasi, tayangan
televisi mampu memberikan informasi secara aktual dan cepat. Tayangan televisi
dapat menayangkan informasi bersamaan saat terjadinya suatu peristiwa dan saat
itu juga seluruh Indonesia dapat menyaksikannya secara serempak dalam waktu
yang sama. Selain itu, tayangan televisi juga dapat menyiarkan informasi dari
segala penjuru dunia sehingga masyarakat Indonesia dapat mengetahui adanya
bencana alam di negara lain tanpa harus datang ke negara itu.
Dalam kehidupan, kita sebagai
manusia sering kali memilki rasa ingin tahu yang sangat besar. Banyak
pertanyaan yang hadir dalam diri kita setiap kali berada dalam situasi yang
tidak kita mengerti. Tentunya hal yang diharapkan adalah sebuah jawaban dan
jawaban itu berupa sebuah informasi yang penting untuk kita ketahui. Oleh
karena itu, peran tayangan televisi sebagai media informasi sering kali
ditunggu-tunggu kehadirannya.
Sebagai media iklan, tayangan
televisi mampu menawarkan berbagai bentuk produk dan jasa kepada khalayak.
Biasanya, iklan-iklan yang ditawarkan berhubungan dengan kebutuhan masyarakat,
seperti sabun mandi, pasta gigi, makanan ringan, dan pakaian.
Iklan televisi dibuat secara
menarik untuk menarik pinat masyarakat. Cara penayangan iklan sering kali
memakai jasa model dan dibuat dalam bentuk cerita singkat yang mampu
meninggalkan kesan mendalam bagi penontonnya. Segala cara dilakukan dalam
penayangan iklan sekalipun itu harus berbohong, contohnya dapat kita lihat di
berbagai iklan detergen yang menawarkan keampuhannya dalam mengatasi noda
membandel, padahal sebenarnya hal tersebut tidaklah benar. Namun, berbohong
dalam iklan bukan berarti penipuan. Tergantung kita sebagai pemirsa dalam
menyikapinya. Mau percaya atau tidak. Menurut Bungin (2008:120), realitas iklan
televisi hanya merupakan gambaran terhadap sebuah dunia yang hanya ada dalam
televisi.
Dalam tayangan sinetron “Tukang
Bubur Naik Haji”, misalnya, kita dapat menemukan banyak fungsi dan efek dalam
kehidupan bermasyarakat. Selain sebagai hiburan yang memberikan kesenangan,
tayangan tersebut membawa pesan pendidikan yang berefek pada prilaku masyarakat
yang semakin baik. Banyak adegan-adegan positif yang ditiru oleh masyarakat, di
samping beberapa adegan “berbaya” khas sinetron yang wajib diwaspadai. Sehingga
apapun jenis sinetron (sekalipun acara keluarga) tetap berlabel BO (bimbingan
orangtua).
Antara tayangan televisi dan
masyarakat (pemirsa) memiliki pola hubungan yang sinergis. Bahkan bisa
dikatakan tayangan televisi mempengaruhi pemirsa yang menyaksikannya. Pemirsa
selalu memiliki kecenderungan untuk meniru, terlebih tayangan tertentu diaggap
sesuai dengan karakter dirinya. Lalu mengapa masyarakat memiliki kecenderungan
untuk meniru? Lantas bagaimana cara mengurangi dampak negatif tayangan televisi
bagi masyarakat?
A. Tinjauan Psikologis dan Efek Tayangan
Apakah media erotika, selain merangsang gairah seksual,
juga menimbulkan perilaku seksual yang menyimpang? Apakah adegan kekerasan
dalam televisi atau film menyebabkan orang beringas? Apakah siaran
kesejahteraan keluarga dalam televisi menyebabkan ibu-ibu rumah tangga memiliki
keterampilan baru? Pertanyaan-pertanyaan ini mencoba mengungkapkan efek
komunikasi massa pada perilaku khayalaknya, pada tindakan dan gerakan yang
tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kurang
lebih ada tiga dampak (efek) yang ditimbulkan dari acara televisi terhadap
pemirsa, yaitu:
1. Dampak kognitif yaitu kemampuan
seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan
televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Contoh: acara kuis di televisi.
2. Dampak peniruan yaitu pemirsa
dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisi. Contoh: model pakaian,
model rambut dari bintang televisi yang kemudian digandrungi atau ditiru secara
fisik.
3. Dampak perilaku yaitu proses
tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi
yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Contoh: sinetron Tukang
Bubur Naik Haji yang mengintemalisasikan hubungan sosial bagi masyarakat.
Ketiga dampak tersebut tak lepas
dari konsep psikologi tentang manusia yang telah dirumuskan oleh para ahli. Ada
empat konsep manusia (Jalaluddin Rachmat: 2009) yaitu: psikoanalisis, kognitif,
behaviorisme, dan humanisme. Dari keempat konsep yang ditawarkan—sebagaimana
tema makalah ini—konsep behavioral manusia yang akan dibahas mendalam.
Mengapa manusia memiliki
kecenderungan untuk meniru? Arsitoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa
manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang
siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632-1704), tokoh
empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir
manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman.
Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Konsep ini menegaskan
bahwa seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh
pengalaman inderawi (sensory experience).
Dengan konsep ini, tayangan yang
dinikmati oleh pemirsa menjadi pengalaman yang dapat mempengaruhi perilaku,
kepribadian, dan tempramen pemirsa tersebut. Seorang yang gemar menonton
film-film laga cenderung lebih “kasar” dibandingkan orang yang gemar menonton
film drama India. Secara proporsional, orang yang gemar menonton tayangan
pendidikan cenderung lebih pintar dibanding orang yang hanya menonton tayangan
“sampah”. Akan sangat positif apabila tayangan yang disaksikan mengandung
nilai-nilai pendidikan.
Sayangnya sedikit sekali tayangan
televisi yang memiliki unsur pendidikan khususnya bagi anak-anak. Bahkan di jam
pulang sekolah, anak-anak diberi suguhan berbagai tayangan yang seharusnya
hanya boleh dikonsumsi usia remaja ke atas. Pada jam-jam tersebut berjibun
tayangan infotainment, FTV dan jenis tayangan yang belum layak ditonton oleh
anak-anak.
Untuk dapat membandingkan
acara-acara yang ditayangkan, di bawah ini ada beberapa tayangan televisi di
Indonesia pada jam 12.00-17.00.
INDOSIAR
|
TRANS 7
|
RCTI
|
12.00-Sinema pintu taubat siang
14.00-Hot Kiss
15.00-Fokus
15.30-Penolong misterius
16.00-Witt cabe rawit
17.00-Drama Asia (Korea)
|
12.00-Selebrita siang
12.30-Si bolang
13.00-Laptop si Unyil
13.30-Dunia binatang
14.00-Brownies
14.30-Tau gak sih
15.00-Fish n chef
15.30-Jejak petualang
16.00-Redaksi sore
16.30-Indonesiaku
17.00-Orang pinggiran
|
12.00-Seputar Indonesia (siang)
12.30-Si Doel Anak Sekolahan
14.30-Kabar kabari
15.00-Silet
15.30-Layar Drama Indonesia
16.30-Seputar Indonesia
17.00-Yang Muda yang Bercinta
|
Diakses melalui jadwaltvku.blogspot.com pada
22 April 2013
Dari tabel di atas ada beberapa catatan
penting yang dapat disimpulkan. Pertama, dibanding dua stasiun tv lain,
Trans 7 masih memiliki tayangan yang lebih bersahabat—kalau disebut tayangan
anak tidak etis. Kedua, tidak ada jam yang terbebas dari tayangan
infotainment di mana tayangan ini tidak layak dikonsumsi anak-anak. Ketiga
stasiun televisi di atas seakan-akan “saling melengkapi” dalam menayangkan
infotainment. Itu baru 3 stasiun televisi, bagaimana jika dibandingkan dengan
seluruh stasiun televisi nasional yang jumlahnya belasan?
Semisal, katakanlah hanya Trans 7
satu-satunya stasiun yang masih layak ditonton oleh semua tingkat usia. Tayangan
Si Bolang dan Laptop si Unyil dianggap sebagai tayangan yang
benar-benar layak ditonton oleh anak usia dini. Apabila suatu daerah tidak bisa
mendapat gelombang sinyal Trans 7, bagaimana anak-anak di daerah tersebut
melihat televisi di jam-jam pulang sekolah? Kemungkinan terbesar ialah mereka
akan mengonsumsi jenis tayangan apa saja yang tersedia.
Pemerintah juga perlu
memperhatikan masalah ini, dengan menayangkan acara-acara yang berpihak pada
perkembangan anak, memberi sumbangan pendidikan dan pengetahuan yang cukup,
serta menyedediakan banyak alternatif tontonan pada anak. Sehingga, anak tidak
lari pada acara yang kurang pas buat mereka. Televisi publik seyogyanya lebih
banyak membawa misi ini dibanding televisi komersial. Namun, peran ini harus
ditumbuhkan oleh keduanya secara bersamaan. Selain itu televisi publik (TVRI)
kurang digemari di Indonesia. Berbeda dengan televisi publik Inggris, BBC yang
digandrungi masyarakatnya. Sebuah pekerjaan rumah bagaimana memasyarakatkan
televisi milik rakyat tersebut.
Ketidaktersedianya banyak tayangan
anak menyebabkan—salah satunya—anak beralih ke game yang mengandung unsur
kekerasan. Dan ironisnya, game-game tersebut dianggap sebagai game untuk anak
sehingga tak banyak orangtua yang melarang. SmackDown! walau sudah lama
dilarang tayang di layar kaca televisi, tetapi sangat bebas diakses di
playstation atau pun game online. Mengutip pernyataan Irwanto, “Bila sekedar
menonton, efek menirukan adegan, relatif kecil. Namun bila ada faktor-faktor
lain, misalnya permainan elektronik yang bersifat pertarungan, bisa jadi
mempengaruhi perilaku anak”. Game playstation mencakup semua unsur itu. Bahkan
di dalam game ini ada peluang pornografi. Jika yang bertarung sama-sama
perempuan, dalam game tersebut masing-masing dapat menarik bra lawannya.
Permasalahan yang cukup mendasar
mungkin terletak pada tiadanya dana untuk membiayai siaran yang dikehendaki itu.
Kita bisa melihat kecenderungan yang sekarang terjadi di mana insan perfilman
dan pihak televisi lebih mengutamakan acara-acara yang umum—(untuk konsumsi
orang dewasa yang biasanya diwarnai dengan adegan seks dan kekerasan yang bagi
anak-anak, hal ini sebaiknya dihindari)—dibanding memproduksi tayangan yang
spesifik untuk anak-anak. Aspek komersial bisa menjadi faktor utama dan pertama
dalam hal ini. Para audien televisi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali
mengajukan usul dan saran.
Hal ini tentu berbahaya jika
ditilik dari konsep behaviorisme. Informasi dari tayangan yang tidak dapat
difilter dengan baik membuat kacaunya tatanan sosial. Seorang anak usia 7 tahun
yang biasa menonton film remaja sudah mengerti kata-kata “cinta”, “pacaran”,
“ciuman” dan banyak sitilah lainnya. Atau seorang anak gamer permainan kekerasan
mengenal banyak jurus atau teknik berkelahi. Ujing-ujungnya mereka ingin
mempraktikkan apa yang dilihatnya kepada temannya.
Efek behavioral dari tayangan
televisi banyak dijumpai saat ini. Artis-artis kerap melakukan pencitraan
dirinya dengan membuat kata-kata khusus, seperti Syahrini dengan kata “sesuatu”
dan “cetar membahana”-nya. Komedian Sule dengan “prikitiw”-nya dan sederet
nama-nama lain yang kemudian kata mereka menjadi bahasa pergaulan. Khayalak
tidak mau tahu apa maksud dari kata-kata mereka. Ketika dirasa bagus dan cocok,
dengan spontan khayalak menirukannya.
Efek tayangan televisi memang berpengaruh
besar terhadap keadaan jiwa seseorang. Tayangan itulah yang menjadi informasi
sekaligus pengalaman yang ada di pikiran anak. Perkenalan anak usia dini dengan
dunia yang jauh dari usianya membuat ia tergerak untuk melakukan hal yang sama.
Semisal seorang anak menonton tayangan orang dewasa, bukan tidak mungkin ia
mencoba melakukan hal yang sama. Beberapa saat yang lalu tersiar kabar anak SD
dicabuli teman sekelasnya sendiri! Tak dapat dipungkiri, perilaku tersebut,
selain dari tayangan televisi juga mendapat dukungan dari teknologi yang dapat
dijadikan fasilitas konten dewasa.
Memang benar pendapat bahwa
proporsionalisasi tayangan televisi merupakan hal mustahil jika tak ada arahan
dari orangtua. Peletakan simbol BO, R, D dll seakan menjadi hal yang percuma
tanpa arahan dan teguran. Kembali pada contoh SmackDown! terdahulu,
pihak penayang—Lativi (kini TVOne)—sebenarnya sudah melakukan langkah
antisipatif agar tayangan itu tidak ditonton oleh anak usia dini, dengan
menayangkannya pada jam malam. Bahkan pihak Lativi sudah memasang logo dewasa
di pojok kiri monitor.
Ada
sebuah ironi lagi di mana tayangantayangan yang oleh sebagian besar orang
merupakan tayangan untuk anak justru penuh dengan adegan kekerasan. Lihat saja
bagaimana film-film kartun seperti One Pieces, Naruto, Dragon Ball Z, Power
Ranger dan lainnya tak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kekerasan. Baku hantam
menjadi tontonan utama. Secara imajinatif pun, alur cerita film yang diproduksi
di negara “Shinto” ini berbahaya bagi akidah umat Islam. Bagaimana tidak,
ketika guru ngaji mengajarkan Tuhan, surga, dan neraka di film-film kartun
menafikan semua unsur itu. Dragon Ball Z dengan jelas menggambarkan bahwa dunia
dewa bisa ditembus! Walau sifatnya fiksi, tetapi harus ada pendampingan dan
pengertian dari orangtua agar anak tidak keliru memahaminya.
Yang
patut dipertanyakan pula, mengapa penayangan film-film ‘anak’ tersebut diadakan
setelah waktu maghrib? Padahal mayoritas umat Islam adalah beragama Islam.
Sebelum era televisi, di waktu maghrib anak-anak masih semangat untuk mengaji.
Tapi setelah derasnya arus televisi yang masuk, pergeseran budaya sangat
terasa. Anak-anak lebih memilih menghabiskan waktu di depan layar televisi dibanding
mengaji di masjid.
Pendidikan
moral bagi anak sangat diperlukan agar mereka tidak terjebak dalam fantasi yang
keliru. Anak-anak memang belum memiliki filter yang baik dalam memilah mana
yang sekedar tontonan dan mana yang nyata. Bagi mereka gambar-gambar yang
disaksikan melalui layar kaca itulah faktanya. Tidak peduli terdapat
unsur-unsur kebohongan yang memang dibutuhkan dalam sebuah jalan cerita.
Anak-anak
ibarat kertas putih yang dapat ditulisi apa saja. Ketika sebuah pengalaman
masuk ke dalam memori otaknya, bayangan itu masuk ke hatinya. Ketika sudah
masuk ke hati, pengalaman itu akan tergambar dan tersalurkan. Peristiwa
penganiayaan ala SmackDown! dan matinya sang “Superman” menjadi contoh
bagaimana manusia, terutama anak-anak mengalami efek behavioral dari tayangan
televisi yang dilihatnya.
B. Tayangan Kekerasan dan Regulasinya
SmackDown! menjadi tayangan hiburan sekaligus
kekhawatiran bagi orangtua. Bagaimana tidak, tayangan berlabel dewasa ini
justru digandrungi oleh anak-anak usia dini. Tidak jarang anak-anak
memperagakan gerakan-gerakan pegulat SmackDown! walau dari tahap paling
sederhana sekalipun. Puncaknya pada akhir 2006 lalu, masyarakat mendesak pihak
penayang untuk menghentikan tayangan ini karena di beberapa tempat terjadi aksi
kriminalitas atas nama SmackDown!.
Akan tetapi kekerasan dalam
tayangan televisi tidak berakhir sampai di situ. Adegan kekerasan,
penganiayaan, atau gambar korban yang
mengerikan, tiap hari bisa kita saksikan
di hampir seluruh stasiun televisi swasta. Pelakunya pun beragam. Kadang
penjahat, kadang warga masyarakat, dan tak jarang polisi. Peristiwanya sendiri
ada yang direkam kamera ketika kejadiannya berlangsung. Tapi ada pula yang reka
ulang. Jadi adegannya sering mirip “film action”. Tapi ada pula yang seperti
sandiwara. Dan itu semua dianggap sebagai hal biasa!
Hampir seluruh stasiun televisi
yang mempunyai program acara berita, kasus kriminal dan kekerasan lebih
mendominasi dibanding berita lainnya. Kasus ini semakin didukung ulah
infotainment yang “ikut-ikutan” masuk ke ranah ini dengan menayangkan
perseteruan hebat antarartis. Yang aktual ialah perseteruan Adi Bing Slamet
dengan ‘mantan’ guru spiritualnya Eyang Subur yang ditayangkan selama
berhari-hari, siang dan malam. Bahkan di tayangan tersebut ada adegan di mana
Arya Guna, seorang ‘mantan’ pengikut Eyang Subur lainnya, menyuarakan sumpah
serapah dan ancaman.
Tayangan kriminalitas dan
kekerasan memang sudah menjadi menu harian di televisi. Tayangan itu hadir di
tengah keluarga kita. Masuk ke ruang tamu, bahkan kamar tidur. Penayangannya
pun tak mempedulikan waktu. Ada yang malam, sore, ataupun siang hari. Seakan publik terus menerus haus
berita kriminal dan kekerasan. Anak-anak pun seakan layak belajar dan mengenal
berbagai jenis kekerasan dan kriminal. Pengelola televisi sepertinya kurang
peka, bahwa di waktu siang dan sore, bagi anak-anak televisi merupakan “teman
bermain“, “guru“, bahkan pengganti orang tua yang masih bekerja. Lalu bagaimana jadinya, jika tiap hari diberi suguhan tayangan
kekerasan dan kriminalitas?
Dahulu adegan kekerasan hanyalah
diperlakukan sebagai bumbu sebuah tayangan atau berita. Sekarang ketika
pertelevisian bersaing ketat, kekerasan dan kriminalitas telah menjadi menu
favorit yang dikemas, dijual, dan diberi acara tersendiri di hampir sebagian
besar stasiun televisi. Selama ratingnya tinggi, pengelola televisi seakan
merasa “sah“ menayangkan adegan demikian.
Padahal tayangan televisi menurut
berbagai studi terbukti mempunyai pengaruh yang kuat. Dengan melihat, orang
menjadi lebih percaya. Apa yang nampak di televisi dianggap sebagai realitas
yang bermakna. Gerbner dalam Growing up with television (1994), juga Porter
dalam On Media Violence (1999),
menuturkan, efek tayangan kekerasan di televisi memilliki efek segera atau jangka pendek, dan efek jangka panjang.
Munculnya rasa takut dan ngeri, kemudian tekanan darah naik, merupakan
contoh efek segera dari emotional effect dan physiological effect.
Namun beberapa ahli juga menunjukan potensi adanya imitasi atau peniruan
sebagai efek segera yang sering muncul
di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi.
Sedangkan efek jangka panjangnya
adalah habituation. Yaitu menjadi terbiasa dengan kekerasan dan
kriminal. Orang menjadi tidak peka, permisive, dan tolerance. Bahkan Poter
(1999) menunjukkan adanya learning social
norms, karena tayangan yang terus menerus, kekerasan bisa dianggap sebagai
cara yang dibenarkan untuk menyelesaikan masalah. Makanya tak heran kalau
masyarakat Indonesia menjadi “makin akrab” terhadap berbagai bentuk kekerasan.
Terlebih kalau obyeknya tersangka pelaku
kriminal. Untuk mereka, dihajar, ditembak, dibunuh, bahkan dibakar hidup-hidup
seakan sudah dianggap “wajar”. Hukum,
dan prasangka baik, sering tidak berlaku bagi tersangka kriminal. Apalagi
mempertimbangkan, bahwa mereka itu mungkin juga korban keadaan. Di mana keadaan
ekonomi dan sosial, sering mengkondisikan orang-orang tertentu untuk berbuat
jahat. Tapi pemikiran demikian
tenggelam dengan “dipupuknya” budaya kekerasan oleh media massa, yang secara
tak langsung juga mensosialisasikan cara berpikir pendek, tidak cerdas, dan tidak mencerahkan.
Di Yogyakarta (Sleman) kasus
penyerangan LP Cebongan oleh anggota Kopassus mendapat dukungan simpatik dari
sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat menilai apa yang dilakukan oleh
Kopassus yang berjiwa corsa amatlah wajar. Hal ini selain melanggar hak asasi
manusia (HAM) juga menjadi bias hukum. Bagaimana mungkin seorang tahanan negara
diadili melalui jalan yang keji? Bisa jadi, pemakluman atau bahkan dukungan sebagian
masyarakat itu merupakan efek jangka panjang dari tontonan kekerasan yang biasa
dikonsumsinya.
Terkait tayangan kekerasan dan
seksual yang dianggap membawa pengaruh besar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sudah membuat dan menerapkan regulasi penayangan. Yaitu pada Pedoman Perilaku
Penyiaran (P3) BAB XII PROGRAM SIARAN BERMUATAN SEKSUAL Pasal 16: Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan
dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual; dan BAB XIII PROGRAM
SIARAN BERMUATAN KEKERASAN Pasal 17: Lembaga penyiaran wajib tunduk pada
ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.
Demikian pula, KPI telah membuat
peraturan muatan tontonan berdasar usia sebagaimana termaktub dalam BAB XVII
PENGGOLONGAN PROGRAM SIARAN Pasal 21: (1)
Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan penggolongan program siaran
berdasarkan usia dan tingkat kedewasaan khalayak di setiap acara. (2)
Penggolongan program siaran diklasifikasikan dalam 5 (lima) kelompok
berdasarkan usia, yaitu: a. Klasifikasi P: Siaran untuk anak-anak usia
Pra-Sekolah, yakni khalayak berusia 2-6
tahun; b. Klasifikasi A: Siaran untuk Anak-Anak, yakni khalayak berusia
7- 12 tahun; c. Klasifikasi R: Siaran untuk Remaja, yakni khalayak berusia 13 –
17 tahun; d. Klasifikasi D: Siaran untuk Dewasa, yakni khalayak di atas 18
tahun; dan e. Klasifikasi SU: Siaran untuk Semua Umur, yakni khalayak di atas 2
tahun. (3) Lembaga penyiaran televisi wajib menayangkan klasifikasi program
siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas dalam bentuk karakter huruf
dan kelompok usia penontonnya, yaitu: P
(2-6), A (7-12), R (13- 17), D (18+), dan SU (2+) secara jelas dan diletakkan
pada posisi atas layar televisi sepanjang acara berlangsung untuk memudahkan
khalayak penonton mengidentifikasi program siaran. (4) Penayangan
klasifikasi P (2-6), A (7-12) atau R (13-17) oleh lembaga penyiaran wajib
disertai dengan imbauan atau peringatan tambahan tentang arahan dan bimbingan
orangtua yang ditayangkan pada awal tayangan program siaran.
Pada standar program siaran (SPS)
ditegaskan dalam BAB I KETENTUAN UMUM pasal 1 ayat (25) bahwa Adegan
kekerasan adalah gambar atau rangkaian gambar dan/atau suara yang menampilkan tindakan verbal dan/atau
nonverbal yang menimbulkan rasa sakit secara fisik, psikis, dan/atau sosial
bagi korban kekerasan. Serta ayat (26) Adegan seksual adalah gambar atau
rangkaian gambar dan/atau suara yang berkaitan dengan seks, ketelanjangan,
dan/atau aktivitas seksual.
Khusus untuk kekerasan, KPI sudah
melakukan penegasan dengan menetapkan program siaran yang mengandung muatan
adegan kekerasan dibatasi hanya boleh disiarkan pada klasifikasi D, pukul
22.00-03.00 waktu setempat. Pun jenis adegan kekerasan sudah diatur sedemikian
rupa. Namun peraturan yang dibuat seakan hanya menjadi formalitas lembaga yang
mengatasnamakan dirinya sebagai lembaga negara independen tersebut. Pada
kenyataannya banyak pelanggaran yang dilakukan oleh stasiun televisi yang
dibiarkan begitu saja.
Walaupun demikian usaha yang
dilakukan oleh KPI sepatutnya diapresiasi. Paling tidak sudah ada
batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh pihak penayang. Adanya konsumsi
tontonan dewasa, terutama kekerasan oleh anak usia dini berarti menjadi
tanggung jawab orangtua sebagai pengawas. Faktanya tayangan televisi memang
sudah mencantumkan logo/simbol kategori usia pemirsa. Walau pelaksanaan penayangannya
masih kerap dilakukan di jam-jam yang rawan ditonton anak usia dini.
C. Solusi Tayangan
Menghilangkan tayangan kekerasan dan unsur seksual dalam
pertelevisian sangatlah tidak mungkin. Selain karena digemari, adegan kekerasan
dan seksual yang dapat memicu efek behavioral negatif sudah dianggap seni. Untuk
seksual dalam dunia pertelevisian memang sangat minim, tetapi masih ada unsur
itu di beberapa tayangan. Bahkan di pemberitaan, kasus pelecehan seksual kerap
dijadikan berita utama apalagi yang menyangkut artis.
Yang
mungkin bisa dilakukan untuk
meminimalisasi kesalahan pemirsa salah satunya adalah mengatur jam tayang. Mengutip
tulisan Henry Subiakto, Dosen Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi
Universitas Airlangga bahwa kekerasan di televisi memang harus diatur waktu dan
cara penayangannya. Karena karakteristik media massa, terutama televisi dan
radio memang sarat dengan aturan. Filosofi ini berlaku di manapun, termasuk di
negara liberal sekalipun seperti Amerika dan Inggris. Dibuatnya Draf Pedoman
Perilaku dan Standar Program Penyiaran oleh KPI hendaknya direspon dengan
bijak dan hati-hati. Di samping karena hal itu berdasar amanat UU No 32 tahun
2002 tentang Penyiaran, pengaturan demikian juga didasarkan pada kepentingan
penonton.
Di negara liberal seperti Inggris,
tayangan program yang mengandung
kekerasan juga diatur. Regulasi itu
menyangkut cara menampilkannya (the portrayal of violence), maupun
jadwal penayangannya (scheduling programmes). OFCOM, nama baru Komisi
Penyiaran Inggris yang berlaku sejak 1 April
2004 lalu, dalam salah satu aturannya berbunyi “programmes containing
violent material is unsuitable for children will not be shown before the
watershed time of 9 pm”. Ada lagi
aturan yang menyebutkan “in reporting or depicting violent crime, programmes
will avoid glamourising it or promoting fear of crime.” Jadi di sana
program yang mengandung kekerasan tidak boleh ditayangkan pada saat anak-anak
sedang banyak menonton. Kemudian, berita
kekerasan dan kriminal, juga harus menghindarkan kesan yang mengagumkan, pantas
dicontoh, atau membangkitkan rasa takut.
KPI nampaknya ingin melakukan hal
serupa sebagaimana komisi sejenis di luar negeri. Makanya semua pihak harus
siap kalau berbagai isi televisi dan radio akan diatur. Termasuk ketentuan
tentang imparsialitas program berita, persoalan kesopanan isi program,
periklanan, sponsorship, hingga penempatan waktu tayang. Persoalannya apakah
pengaturan demikian itu berarti pembelengguan terhadap kebebasan pers?
Sebagaimana sempat dikhawatirkan
kalangan Assosiasi Televisi Swasta Indonesia (Kompas, 27 Mei 2004).
Yang jelas sebagaimana diulas di
atas, karakteristik televisi dan radio
memang sarat dengan aturan detail. Tapi
KPI tidak boleh seenaknya dalam membuat regulasi. Tetap harus memperhatikan
prinsip yang paling dasar. Yaitu tidak boleh bertentangan dengan kebebasan pers
yang telah dijamin UUD 1945 pasal 28F,
dan UU no 40 th 1999 pasal 4 dan 5. Juga harus berpegang pada aturan mengenai
tugas dan keawajiban KPI, menjamin
masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak
asasi manusia (UU no 32 th 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat 3). Dengan demikian lembaga penyiaran tetap
menjadi kekuatan kontrol terhadap kekuasaan, serta menyajikan informasi yang
menjadikan warga negara mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
Selain regulasi, peran dan
bimbingan orangtua menjadi kunci keberhasilan pengarahan tayangan televisi bagi
anak. Dengan menemani sang anak dan menjelaskan bahwa semua tontonan itu tidak
nyata, ada kecenderungan anak untuk mengambil
sisi hiburannya saja. Lebih dari itu, pemilihan tayangan yang mengandung
nilai-nilai pendidikan sangat disarankan agar—sesuai konsep
behaviorisme—perilaku yang ditiru menjurus ke hal-hal yang positif.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Tayangan televisi memiliki pengaruh besar terhadap
perilaku khayalak yang menyaksikannya. Ketika tayangan yang dilihat bernilai
positif, hal tersebut bisa berpengaruh pada individu. Jika ditinjau dari
psikologi, konsep manusia behaviorisme menyatakan hal tersebut. Bahwa manusia
merupakan kertas putih yang bisa ditulisi apa saja. Terutama bagi anak-anak,
jenis konsumsi tayangan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya.
Ironisnya
tayangan-tayangan yang ada banyak yang tidak sesuai untuk anak usia dini.
Bermacam televisi yang ada lebih memprioritaskan pasar, dalam hal ini remaja ke
atas. Untuk tayangan anak pun, adegan kekerasan masih menjadi tontonan utama.
Seperti Naruto, One Pieces dan lainnya. Dikhawatirkan hal itu mempengaruhi
pemikiran anak ke hal-hal yang negatif.
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) sudah menetapkan regulasi penayangan, termasuk ke
tayangan yang mengandung adegan kekerasan dan seksual. Dalam regulasi pun sudah
dicantumkan jam-jam tayang yang diperbolehkan. Akan tetapi nyatanya banyak
televisi yang melanggar dan itu menjadi PR bersama, bagaimana tayangan yang ada
tidak membawa efek negatif yang berlebihan.
Daftar
Pustaka
Kuswandi, Wawan Drs. Komunikasi Massa, sebuah analisis
media televisi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996
Rachmat Jalaludin Drs. M. Sc., Psikologi Komunikasi,
Bandung: Rosdakarya, 2009
Darwanto, Drs. S.S., Televisi Sebagai Media
Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2 2011
Musbikin, Imam. Dibesarkan Kantong Ajaib Doraemon, Yogyakarta:
Divapress, 2009
KPI, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran: 2012 (pdf)
http://bbloghenry.blogspot.com
http://misseunggi.blogspot.com
www.dw.de