Hinduisme
berkembang sejak ribuan tahun lalu dan merupakan agama paling tua di dunia yang
masih hidup sampai sekarang. Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM
sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga
kini[1]. Ada jutaan dewa-dewi dalam kepercayaan agama Hindu dan semua itu
merupakan refleksi dari Brahman, roh paling tinggi. Dewa paling populer adalah
Shiva, dewa perusak alam, dan Vishnu, dewa pemelihara alam. Ada ratusan kuil
dipersembahkan untuk mereka. Semua orang Hindu memiliki tempat pemujaan dalam
rumah masing-masing, tempat melakukan ibadat harian, dan bersama dengan
perayaan lainnya membentuk iman mereka. Inti iman mereka berada dalam suatu
lingkaran yang tak pernah berakhir dan lahir, hidup, mati, dan lahir kembali,
dan setiap orang mengalami reinkarnasi denga tingkat yang ditentukan oleh apa
yang mereka perbuat dalam hidup sebelumnya.
Jangan kaulakukan kepada orang lain hal-hal yang engkau sendiri
tidak suka; itulah hukum utama-hukum yang lain dapat berubah-ubah. Mahabarata, Veda 39[2]
Hindu
elit (Brahmanisme) dimasukkan ke dalam kategori agama non samawi (non revealed)
dan non-missionary (tidak diserukan sebagaimana agama Islam dan Kristen).
Secara geografi, Hinduisme termasuk agama yang muncul di kawasan Arya. Agama
ini pernah menjadi agama “resmi” di wilayah nusantara pada masa kerajaan
sebelum era kesultanan Demak. Setelah proses islamisasi yang damai berlangsung,
dan kemudian disusul kristenisasi lewat penjajahan, agama Hindu menjadi agama
minoritas. Praktis hanya Bali yang masih mayoritas menggunakan paham ajaran
ini. Pada tahun 2010 BPS mencatat penganut Hindu berjumlah 4.012.116 jiwa dari
total penduduk Indonesia 237 641 326 jiwa[3]
(kurang dari 2 %). Kurang lebih
ada 920 juta pengikut agama Hindu di dunia, atau 13,5% penduduk dunia menganut
agama Hindu sehingga agama Hindu menjadi agama terbesar ketiga di dunia[4]. Dari jumlah tersebut, sebanyak 890 juta
pengikutnya tinggal di wilayah India.
Asal Usul
Hinduisme
berakar pada tradisi dan sejarah bangsa India dan kita dapat melacak kembali
asal usulnya dalam permulaan milenium ketua BCE (Before Common Era) [5].
Hinduisme muncul sekitar tahun 1800 BCE di India, tetapi dasar
berdirinya tidak pasti[6].
Riwayat yang diketahui paling dini terdapat pada peradaban Lembah Sungai Indus.
Kata itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta untuk Sungai Indus, Siddhu, kata
yang oleh bangsa Persia kuno diucapkan sebagai “Hindu”. Tidak lama sebelumnya
kata itu digunakan untuk menyebut semua bangsa India pada umumnya, tetapi
sekarang kata itu hanya digunakan untuk pengikut Hinduisme[7].
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta).
Dalam Reg Veda, bangsa
Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah
dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India,
yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini
mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend
Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) —
sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya
kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri
sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda
digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu
sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda[8].
Untuk melacak sejarah Hindu, ada beberapa
poin terpenting yang ditulis oleh Michael Keene. Di sini akan dijelaskan secara
singkat mengenai asal-usul Hindu yang diyakini muncul dari peradaban Lembah
Indus[9].
Orang Indus
Kita
tidak tahu banyak tentang peradaban Lembah Indus. Namun, patung-patung para
dewi yang dibuat pada zamannya memberi kesan bahwa orang Lembah Indus sangat
menekankan pentingnya kesuburan wanita. Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti
Shiva, mungkin merupakan keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman
sebelumnya.
Setelah 300 tahun secara relatif hidup dalam damai, sekitar tahun
1500 BCE, bangsa Arya dari daerah barat laut mengalahkan bangsa Indus, dan
menguasai India pada milenium berikutnya.
Bangsa Arya
Bangsa
Arya datang dengan membawa bahasa Sansekerta. Mereka juga memperkenalkan sistem
kasta, yang menempatkan orang-orang ke dalam bermacam-macam kasta atau warna
berdasarkan kedudukan. Klarifikasi soal seperti ini menentukan dengan siapa
mereka boleh menikah dan bergaul. Untuk menjalin hubungan secara dekat dengan
Hinduisme, sistem kasta ini tidak membutuhkan waktu lama dan justru mendapatkan
dukungan dari beberapa Kitab Suci Hindu. Bangsa Indus dan Arya saling terlibat
dalam perkawinan campur dan melahirkan Kitab-Kitab Veda—yang merupakan
kumpulan pujian-pujian dan hasil sastra. Kitab yang paling tua dan paling
penting adalah Rig Veda, yang di dalamnya pujian dipersembahkan kepada
dewa-dewi termasuk Indra, dewa langit, Agni, dewa api, dan Aditi, dewi ibu.
Bentuk pemujaan dan disiplin spiritual yang dijelaskan pertama kali dalam
Kitab-Kitab Veda masih merupakan bagian integral dari spiritual Hindu
sekarang ini. Hinduisme menyerap banyak ide dari agama-agama lain ketika
menyebar ke India bagian selatan, bagaikan sungai besar di mana banyak anak
sungai yang mengalirkan airnya kepadanya. Secara berangsur-angsur dewa
dipandang lebih sebagai dewa yang mencintai daripada dewa yang abstrak, dan
pandangan ini mempengaruhi penulisan sastra spiritual klasik Hindu yang penuh
cinta, yaitu Bhagavad Gita, yang berarti Nyanyian Dewa[10].
Sistem Kasta
Sistem
kasta telah mendominasi kehidupan sosial di India selama berabad-abad dan
mendapat dukungan dari Kitab-Kitab Suci Hindu. Sekarang sistem kasta itu ilegal[11],
tetapi pembedaan kasta masih berpengaruh kuat di daerah-daerah negara India.
Menurut tradisi Hindu, ada empat warna yang diciptakan oleh
Brahman, dewa tertinggi, pada waktu penciptaan. Waktu berjalan terus dan banyak
suku bangsa dipengaruhi oleh Hinduisme dan sistem kasta yang semakin kompleks
tumbuh berkembang. Kasta adalah pembagian-pembagian di dalam masyarakat yang
didasarkan pada kedudukan manusia dan ribuan kasta serta subkasta masih
terdapat di India.
Perusha
Keempat
macam warna berasal dari sebuah kisah di dalam Rig Veda di mana dewa
Brahma, yang mempunyai kuasa untuk mencipta, menciptakan manusia pertama, Perusha.
Akhirnya, Perusha dikurbankan dan diambillah empat warna dari tubuhnya:
-
Warna
tertinggi (putih)—kasta Brahmana—berasal dari mulut Perusha. Yang termasuk
kasta Brahmana adalah para pendeta yang memimpin pelayanan dan upacara-upacara
keagamaan serta menyanyikan ayat-ayat Kitab Suci.
-
Warna
kedua (merah) —kasta Kesatria—berasal dari lengan Perusha. Kasta ini telah
membentuk para prajurit dan penguasa India.
-
Warna
ketiga (kuning)—kasta Waisya—berasal dari paha Perusha dan membentuk
pusat-pusat kehidupan ekonomi dan sosial negara, seperti petani dan pebisnis.
-
Warna
keempat (hitam)—kasta Sudra—berasal dari kaki Perusha, yang melayani bagian
badan yang lain. Kasta ini membentuk para pekerja, yang memberikan pelayanan di
tingkat paling dasar kepada orang lain.
Orang “Yang Hina Dina”
Orang-orang
“yang hina dina” tidak termasuk salah satu kasta dan tidak melakukan
tugas-tugas kasar apapun, seperti menyamak kulit dan mengubur jenazah manusia
ataupun bangkai binatang. Mahatma Gandhi, seorang reformis Hindu, berusaha
meningkatkan status kelompok besar golongan ini dengan menyebutnya kaum Harijan,
yang artinya “anak-anak Dewa”. Selama berabad-abad orang-orang “yang hina
dina” ini dilarang untuk terlibat dalam kehidupan sosial tetapi pelarangan ini
dicabut pada tahun 1950. Kuil-kuil Hindu sekarang terbuka untuk siapa pun,
tidak peduli dari kasta mana, dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan
pendidikan sekarang tersedia bagi semua orang. Meskipun demikian, di daerah
pedesaan India, sistem kasta masih berlaku dan perkawinan hampir selalu
dilarang bagi anggota kasta yang sama.
Ketika mereka membagi Manusia Pertama, menjadi berapa bagiankah
mereka buat? Siapakah yang dari mulutnya? Siapakah yang dari lengannya? Kasta
Brahmanalah mulutnya. Kasta Kesatrialah lengannya. Pahanya menjadi kasta
Waisya. Kasta Sudra dari kakinya.
Rig Veda, Jilid 10[12]
Konsep Ketuhanan
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan
rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati
segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep
ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan
bahkan ateisme.
Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai
adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita
Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme,
panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep
ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena
berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara
menyeluruh.
Monoteisme
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang
dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita
Wedanta yang berarti "tak ada duanya".
Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta
menganggap bahwa Tuhan
merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan
dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman
merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman
merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana
dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala
sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk
kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan
enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas
jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita
Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan
Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya
ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan
berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan
kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan
lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang
Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep
yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat
tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya,
dan terdapat dalam setiap benda apapun[10], ibarat
garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut
dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu
mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak
berada di surga ataupun
di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.
Ateisme
Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme
(terdapat dalam ajaran Samkhya) yang
dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya
merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga menngandung
sifat ateisme.
Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia
beserta isinya bukan karena Tuhan,
melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal
dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab. Oleh karena itu menurut
filsafat Samkhya, Tuhan
tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak
ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun
ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua
di India. Ajaran
ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak
pernah diajarkan di Indonesia.
Konsep lainnya
Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang
terkenal, para sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam
ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama Hindu
paling banyak menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan
kesatuan pendapat para Indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi.
Agama Hindu pada umumnya hanya mengakui sebuah
konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan
yang banyak terdapat dalam agama Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan
yang sama dari para sarjana dan tidak melihat tubuh agama Hindu secara
menyeluruh. Seperti misalnya, agama Hindu dianggap memiliki konsep politeisme
namun konsep politeisme sangat tidak dianjurkan dalam Agama Hindu Dharma dan
bertentangan dengan ajaran dalam Weda.
Meskipun banyak pandangan dan konsep Ketuhanan
yang diamati dalam Hindu, dan dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda
sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga, yaitu empat jalan untuk mencapai
Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang teguh kepada sloka yang
mengatakan:
Percaya kepada Allah[14]
Menurut
Micahel Keene Hinduisme merupakan agama monoteis yang pengikut-pengikutnya
percaya pada satu Allah, yaitu Brahman (Roh yang mutlak), yang tak dapat
dijangkau dan dimengerti oleh manusia. Ada berjuta-juta gambar yang membuat
Brahman bisa dilihat dan dikenal oleh para pemujanya.
Tidak semua penganut Hinduisme dari yang berjuta-juta orang itu
percaya kepada Allah. Orang-orang Hindu “sekuler” ini mengakui pentingnya dasar
tatanan di dalam alam semesta—bahwa musim panas datang sesudah musim semi,
malam datang sesudah siang, dan panen datang sesudah musim tanam. Mereka
melihat bahwa Hinduisme memberikan jaminan akan hal-hal ini namun mereka tidak
mempercayai mitologinya.
Brahman
Sebagian
besar orang Hindu percaya kepada Allah—atau sebaiknya kita menyebutnya
“dewa-dewi”? Pengajaran Hindu dalam hal ini jauh dari jelas dan bahkan
Kitab-Kitab Sucinya memberitakan hal-hal yang menimbulkan pertentangan. Rig
Veda, misalnya, menyebutkan adanya 33 dewa-dewi, meskipun pada tempat lain
dalam Kita Suci yang sama menyangkal bahwa dewa-dewi itu benar-benar ada.
Tampaknya yang pasti adalah bahwa di dalam Hinduisme hanya ada satu Allah yang
dipuja melalui berbagai bentuk dan cara. Allah yang satu ini disebut Brahman[15].
Brahman adalah Roh yang paling tinggi, di luar jangkauan manusia,
tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Brahman dapat dijumpai di seluruh alam
semesta, Dia di atas segalanya. Dia adalah asal dari segala ciptaan—hakikat
rahasia, hakikat sukacita, dan sang sejati. Brahman adalah seluruh dunia yang
mengelilingi kita—namun Dia adalah dunia yang juga berada di dalam diri kita.
Dunia
yang berada di dalam diri kita itu disebut atman, jiwa, dan baik Brahman maupun
atman adalah satu, meskipun manusia tidak selalu menyadarinya. Surga dicapai
dan lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian berakhir jika Brahman dan jiwa
bersatu kembali.
Dewa dan dewi
Dewa
dan dewi dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang penuh dengan
keindahan. Dewa-dewi itu juga menghiasi semua aspek karakter Brahman. Rig
Veda menjelaskan, “Untuk satu dewa, orang-orang bijak memberikan banyak
nama, Agni, Yama, Matariswan,...” dan Kitab Suci lainnya menambahkan, “Bagi
jiwa yang bangkit, Indra, Agni, Aditya, Candra, dan semua nama-nama ini
melambangkan satu kekuatan dasar dan realitas spiritual.”
Dalam Hinduisme Allah bukan laki-laki ataupun perempuan, tetapi
karena Brahman melingkupi segala makhluk, Ia bisa berwujud laki-laki,
perempuan, dan bahkan binatang. Banyak dewa yang diberi hak untuk
memperlihatkannya. Brahma, dewa pencipta, misalnya, juga selalu disebut
Saraswati, dewi pengetahuan. Sesungguhnya, oleh para pemujanya, Saraswati jauh
lebih terkenal daripada Brahma![16]
Patung Dewa-Dewi
Banyak
sifat yang menggambarkan Brahman dinyatakan kepada dunia dengan berjuta-juta
patung dewa dan dewi. Patung-patung ini memudahkan para pemujanya untuk
mengenal “apa yang tidak diketahu”.
Orang Hindu percaya bahwa Yang Mahakuasa, Brahman, menguasai dunia
dengan tiga sifat utamanya yang digambarkan dalam trimutri—Brahma,
Vishnu, dan Shiva—tiga serangkai yang berkembang dalam Hinduisme sekitar 2.000
tahun yang lalu. Sekarang Brahma jarang sekali dipuja, tetapi Vishnu mempunyai
berjuta-juta pengikut. Orang-orang Hindu percaya bahwa Vishnu datang ke dunia
sebagai avatar—“yang turun ke dunia” atau “inkarnasi” —jika kuasa jahat
sudah berbuat hal-hal yang tidak dapat diterima manusia. Sembilan dari sepuluh avatar
Vishnu yang dijanjikan sudah terpenuhi[17].
Khrisna
Avatar Vishnu yang
aling terkenal adalah mengambil wujud sapi, Khrisna, yang dipuja oleh
orang-orang Hindu sebagai dewa pengejawantahannya. Ada banyak cerita dalam
Kitab Suci yang mengilustrasikan kemasyhuran Khrisna sebagai seorang kekasih,
prajurit, dan penguasa. Kedudukan Khrisna sebagian menjelaskan mengapa sapi
merupakan binatang suci bagi orang Hindu sehingga tidak pernah disembelih.
Rama
Rama
adalah avatar Vishnu lainnya yang sangat terkenal. Batara Rama adalah
pahlawan dalam Ramayana, salah satu puisi kisah kepahlawanan dalam
Hinduisme yang terbesar. Rama mengalahkan Ravana (Rahwana), si raja Iblis, yang
memerintah Sri Langka, yang menculik istrinya, Shinta, dan dia memanggil
Hanuman, dewa kera yang populer, supaya membantunya. Banyak orang Hindu
sekarang memuja Hanuman sebagai simbol kekuatan dan energi.
Ganesha
Ganesha,
dewa gajah, adalah salah satu dari dewa-dewa Hindu yang paling dicintai.
Ganesha adalah anak laki-laki sulung Shiva dari istrinya yang cantik, Parvati.
Dalam perjalanan pulang setelah sekian lama tidak berada di rumah, Shiva
melihat seorang asing di rumahnya dan ia lalu memenggal kepalanya. Menyadari
hal ini, bahwa ia membunuh anaknya sendiri, Shiva kemudian memenggal kepala
seekor gajah dan menaruhnya di atas bahu anaknya. Bagi orang Hindu, kepala dan
telinga gajah Ganesha yang besar itu menggambarkan perolehan ilmu melalui
refleksi dan sikap mendengarkan, sedangkan kedua gadingnya, yang satu bentuknya
utuh dan yang satunya lagi patah, melambangkan kesempurnaan dan
ketidaksempurnaan, hal yang selalu terjadi di mana pun di dunia ini. Ganesha
merupakan simbol kepemimpinan yang kokoh. Ia satu-satunya yang mampu
menyingkirkan rintangan-rintangan dan dialah napas dari kebijaksanaan dan
kesempurnaan. Barangkali tidak mengherankan bila orang-orang Hindu mengadakan
pemujaan kepada Ganesha sebelum mereka menanamkan modalnya dalam bisnis baru
atau mendirikan rumah baru.[18]
Kepercayaan
Menurut
sejarah panjangnya, Hinduisme telah menarik dan mengambil banyak ide dari
agama-agama lain. Tidak semua orang Hindu percaya pada hal-hal yang sama
meskipun ada doktrin-doktrin pokok yang diterima oleh sebagian besar
pengikutnya.
Pemahaman orang Hindu tentang kehidupan terpusat pada hubungan
antara badan dengan jiwa atau atman. Badan adalah milik dunia, yang selalu
berubah-ubah dan tidak sempurna, sedangkan atman adalah bagian dari realitas
roh Brahman—sempurna, tidak berubah, dan kebenaran mutlak.
Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah
surga dan neraka sebagaimana dipahami agama-agama semitik. Bagi orang Hindu
surga adalah reinkarnasi ke bentuk yang lebih baik, sedang neraka sebaliknya.
Baik dan buruk perbuatan di masa sekarang menentukan bagaimana mereka akan
lahir di masa mendatang.
Samsara
Samsara
berarti “mengembara” dan menunjuk pada pengembaraan jiwa dari tubuh yang satu
ke tubuh yang lain, dari masa kehidupan yang satu ke masa kehidupan yang lain,
dari lahir, hidup, sampai mati. Dapat dibandingan dengan tunas yang baru tumbuh
di atas pohon pada setiap musim semi, meskipun tampaknya pohonnya sudah mati
ketika musim dingin. Bagi orang Hindu, baik alam dunia maupun alam manusia
mempunyai kecenderungan untuk “mengulang kembali” kehidupan yang sama.
Karma
Alasan
mengapa semua benda yang hidup terus menerus dilahirkan kembali adalah karma,
hukum sebab akibat. Orang Hindu percaya bahwa karma yang menumpuk dalam
kehidupan sebelumnya pindah ke masa kini dan sangat menentukan wujud kelahiran
jiwa kembali. Setiap orang Hindu berusaha menghindarkan diri dari efek karma
pada kelahiran kembali berikutnya dengan melakukan perbuatan amal dan hidup
dengan tidak mementingkan diri sendiri. Bhagavad Gita mengajarkan bahwa
intulah satu-satunya cara supaya dapat dilahirkan kembali dengan sesedikit
mungkin karma. Karma yang buruk memastikan bahwa jiwa manusia akan kembali pada
kehidupan yang akan datang dengan tingkat yang lebih rendah.
Moksha
Moksha
adalah akhir dari samsara—pengembaraan jiwa—dan merupakan tujuan setiap orang
Hindu. Spiritualitas Hindu pertama-tama tertuju pada membawa jiwa manusia pada
“pantai yang lain”, dengan kata lain, pengajaran untuk dapat pebebasan dari
kelahiran kembali. Untuk menjalankannya orang Hindu merasa perlu untuk
menetralisasi karma dengan cara menghindarkan diri dari semua keinginan. Cara
ini adalah semacam mendapatkan emas dari logam yang masih kotor: cara ini
membutuhkan usaha, tetapi akhirnya akan mendapatkan emas murni. Pada akhir
proses ini jiwa masuk kembali ke dalam alam ilahi—Brahman.
Orang
Hindu sering menggunakan gambaran sungai yang pada akhirnya mengalirkan airnya
ke dalam lautan, dan ditelan olehnya. Peristiwa ini hanya bisa terjadi jika
jiwa sungguh-sungguh suci dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang terjadi
ketika hidup di dunia. Maka itu, jiwa dapat kembali pada bagian dari
Brahman—yang dari-Nya jiwa itu berasal.[19]
Kitab Suci
Kitab Suci Hindu ditulis dalam kurun waktu berabad-abad
dan menggunakan berbagai bentuk tulisan. Kitab-Kitab Suci itu meliputi
teks-teks filsafat yang sulit dimengerti sampai dengan legenda-legenda dan
cerita-cerita kepahlawanan.
Kitab Suci Hinduisme dibagi menjadi dua
bagian besar, yaitu Kitab-Kitab Shruti dan Kitab-Kitab Smriti.
Shruti
Shruti (“Yang didengar) dianggap sebagai
yang suci yang berada di dalam asal-usul segala sesuatu. Kitab-Kitab Shruti
berarti puji-pujian kuno dari kitab-kitab Veda, yang ditulis pada akhir
millennium kedua BCE dalam bahasa Sansekerta, bahasa India kuno. Rig Veda, kitab
yang paling kuno dan paling suci, adalah kitab yang berisi 1.028 puisi yang
merefleksikan kehidupan pengembaraan bangsa Aria yang berperang, yang
bergembira karena terbitnya matahari setiap pagi, dan yang merefleksikan
heningnya malam sunyi.
Kitab-Kitab Upanisbad adalah bagian
terakhir dari Kitab-Kitab Veda. Judul kitab itu mengacu pada murid yang
duduk di kaki Guru untuk mendapatkan kebijaksanaan. Kitab-Kitab Upanisbad memuat
120 percakapan antara guru dan muridnya serta berisi semua ajaran Hindu yang
paling penting—yaitu mengenal Brahman dan Atman.
Smriti
Kitab-Kitab Smriti (“yang diingat”)
adalah Kitab-Kitab Suci tentang asal-usul manusia. Kitab Suci itu berisi
cerita rakyat yang diceritakan oleh penutur-penutur terlatih. Ramayana, kitab
yang memuat 48.000 baris puisi, menceritakan kisah Rama dan Shinta serta
merupakan sumber ajaran dan nasihat spiritual yang besar bagi orang Hindu.
Dengan 100.000 ayat, Mahabarata merupakan
puisi yang terpanjang dalam bahasa apa pun dan ada ungkapan yang menyebutkan
bahwa apa yang tidak terdapat dalam kisah kepahlawanan itu berarti tidak
terdapat di India. Kitab ini mengisahkan perang antara dua keluarga, Pandawa
dan Kurawa, saudara sepupunya. Pandawa terdiri dari lima laki-laki bersaudara
yang terkenal karena imannya kepada Allah sedangkan Kurawa adalah sebuah
keluarga yang terdiri dari 100 laki-laki bersaudara yang ebrwatak jahat.
Suatu pertempuran historis terjadi di
antara mereka di Punjab dengan kemenangan di pihak Pandawa, pertempuran yang
menggambarkan kemenangan terbesar kebaikan atas kejahatan. Mahabarata mengajarkan
bahwa kebenaran merupakan sumber kemajuan bagi segala bangsa sementara
kejahatan pada akhirnya mengakibatkan kehancuran.
Kuil
Bagi kebanyakan orang Hindu, kuil merupakan
pusat kehidupan religious. Namun demikian, bagi sebagian umat yang lain, ibadat
bersama-sama tidaklah penting dan karena itu mereka jarang pergi ke kuil.
Setiap kuil Hindu, atau yang dikenal dengan
mandir, dipersembahkan kepada dewa tertentu, sering untuk Khrisna, dan
patung dewa Khrisna diletakkan di ruang khusus, yang disebut garbhagrha.
Umat Hindu beribadat bersama-sama di ruang utama kuil itu, yang disebut mandapa.
Pendeta memasuki garbhagrha untuk memandikan dan member pakaian kepada
patung dewa Khrisna serta mempersembahkan bunga, dupa, buah, dan persembahan
yang lain. Selain itu, kain tirai yang memisahkan ruang mandapa dan garbhagrha
disingkapkan sehingga para peserta ibadatdapat menyajikan persembahan
mereka kepada dewa.
Garbhagrha biasanya memiliki atap berbentuk menara
yang melambangkan gunung—yang oleh orang-orang Hindu dianggap sebagai bagian
alam yang suci. Langit-langitnya sering diukir indah sekali dan dihiasi dengan
kertas-kertas perak, emas, dan timah serta lampu-lampu kecil. Meskipun
dipersembahkan kepada satu dewa, kuil itu melambangkan seluruh alam kosmos[20].
Di
Indonesia, nama kuil tempat ibadah orang-orang Hindu disebut Pura. Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta
(-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng,
atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah;
sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang
sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan
yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang
dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu
tempat suci bersemayam hyang, meru
yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau
paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki
tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
- Nista
mandala (Jaba pisan): zona
terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona
ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk
kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai
upacara keagamaan.
- Madya
mandala (Jaba tengah): zona
tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini
biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan),
Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
- Utama
mandala (Jero): yang
merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini
terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale
Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong
Penyimpenan.
Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista
mandala dan Madya mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa
bangunan seperti Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula
terletak di Nista mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa
merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang
untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista
mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau
Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan
untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai
kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun
tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar,
sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam[21].
Ibadat di Kuil
Sementara sebagian besar umat Hindu
melaksanakan ibadat di rumah masing-masing, banyak juga yang secara teratur
pergi beribadat ke kuil terdekat. Di tempat ini para peserta ibadat melakukan
devosi, yang disebut bhakti, dengan menyalakan lilin dan berdoa serta,
ketika mereka meninggalkan tempat ibadat, masing-masing diberi prashad (makanan
yang sudah diberkati) yangs ebelumnya telah dipersembahkan kepada dewa
hari itu. Pada petang hari, upacara istirahat malam dilaksanakan oleh pendeta
dengan diiringi bunyi-bunyian bel dan drum selama patung dimandikan lagi dan
kemudian diistirahatkan pada malam harinya.
Ibadat berkelompok (puja) juga
terjadi di kuil dan dilakukan salah satu dari tiga bentuk:
-
Menyanyikan lagu-lagu pujian, atau bhajan, diiringi bel dan rebana sementara
beberapa orang menari. Menari merupakan aspek penting dalam kebaktian Hindu dan
mempunyai nilai simbolis mendalam. Pendeta membacakan Bhagavad Gita sebelum
mengakhiri ibadat dengan damai: “Ya Allah, berilah kami damai, damai, damai.”
-
Arti adalah ibadat pembukaan. Pendeta menyalakan
lima lilin di atas penampan untuk melambangkan lima unsur, yaitu api, tanah,
udara, gas, dan air. Peserta ibadat melayangkan tangannya di atas nyala api dan
kemudian di atas kepala mereka masing-masing untuk menerima kekuatan dan berkat
Allah.
-
Havan adalah persembahan api. Dengan menggunakan
kayu, kamper, dan minyak lemak kerbau (ghee), pendeta menyalakan api di
atas altar api yang dapat dipindah, untuk melambangkan mulut dewa yang melahap
sajian yang berada di hadapannya. Kisah-kisah dari Kitab-Kitab Veda
diceritakan dan pendeta beserta para peserta ibadat mengikuti upacara
pembasuhan diri untuk menandakan kesucian mereka di hadapan Allah[22].
Menyembah Allah
Hinduisme
memberikan tiga cara yang unik kepada pengikutnya untuk menyembah Allah—dengan
kata-kata suci, melagukan mantra, dan penggunaan mandala (pola geometris
yang kompleks).
Banyak umat Hindu melakukan ibadat hanya di rumah, yang lain
beribadat baik di rumah maupun di kuil, dan yang lainnya lagi hanya beribadat
di kuil. Kata keramat, AUM atau OM, adalah kata yang pertama
muncul dalam Kitab-Kitab Upanishad dan tersusun dari tiga unsur
bunyi—“a”, “u”, dan “m” — menjadi satu kata yang disenandungkan dengan alunan
suara yang dalam. Orang Hindu percaya bahwa kalau diucapkan, bunyi yang terdiri
dari tiga unsur bunyi ini mengatakan:
-
tiga
Kitab Veda dari bagian pertama;
-
tiga
dunia—bumi, atmosfer, dan langit;
-
tiga
dewa utama—Brahma, Vishnu, dan Shiva
Namun demikian, bagi kebanyakan umat Hindu, kata keramat ini menyatakan
lebih daripada hal yang dinyatakan di atas. Mereka meyakini bahwa bunyi itu
menjangkau seluruh alam semesta dan kesatuannya dengan Allah. Kata suci itu
dipahami sebagai pernyataan persetujuan yang kuat tentang Allah: “Ya, ada
keabadian di balik dunia yang selalu berubah-ubah.”
Umat Hindu senang kalau kata keramat itu benar-benar dapat dilihat
di rumah mereka dan kata ini sering dapat dijumpai pada benda-benda
sehari-hari, misal alat penindih kertas. Kata itu digunakan untuk mengakhiri
kegiatan religius, peribadatan, dan tugas-tugas penting lain, juga ditempatkan
pada awal dan akhir Kitab Suci Hindu.
Mantra
Mantra
mempunyai peranan penting dalam semua peribadatan Hindu—sebagaimana halnya
dalam peribadatan orang-orang Budha. Mantra adalah suatu ayat, kata atau
sederet kata-kata yang dipercayai memiliki kekuatan ilahi.
Mantra diulang-ulang untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran
para peserta ibadat akan Allah. Mantra dipercayai dapat membawa pembebasan dari
keduniawian dan hal-hal sepele yang biasanya menguasai pikiran manusia ke dalam
alam spiritual yang sekaligus beraneka ragam. Umat Hindu sering menyanyikan
mantra dengan tenang dalam perjalanan mereka menju tempat kerja[23].
Ibadat di Rumah
Keluarga
adalah kelompok basis bagi masyarakat Hindu dan keluarga bertanggung jawab
untuk menyelamatkan tradisi dan budaya Hindu. Hal yang paling penting dari
tugas ini adalah ibadat yang benar dan pantas kepada dewa-dewi pujaan keluarga.
Kebanyakan ibadat Hindu diselenggarakan di rumah daripada di mandir.
Setiap rumah memiliki tempat pemujaan yang di dalamnya terdapat gambar dewa
pujaan—yang paling sering adalah Khrisna, yang dikenal karena cinta dan
kebaikannya yang ia tunjukkan ketika ia datang ke dunia sebagai avatar Vishnu.
Anak-anak umat Hindu dididik untuk menjalankan lima tugas harian:
-
melakukan
yoga atau meditasi,
-
menghormati
dan memuja dewa pujaan keluarga,
-
menghormati
anggota keluarga yang lebih tua dan para leluhur sepenuh hati,
-
menunjukkan
sikap keramahtamahan keluarga kepada siapa pun termasuk kepada orang-orang suci
-
menghargai
semua makhluk hidup
Pelaksanaan ibadat
Wanita
Hindu bertanggung jawab paling berat atas kehidupan spiritual keluarga di
rumah. Terserah kepada mereka bagaimana mereka menjamin semua ibadat dan
perayaan keagamaan yang perlu dilakukan dan dirayakan dengan pantas. Hinduisme
mempunyai tradisi kuat untuk menyampaikan cerita dan para wanitalah yang
menjaga supaya cerita terbaik dapat diturunkan turun-menurun.
Setiap hari wanita bangun pagi-pagi, mandi sambil mrnyanyikan nama
Tuhan dan mengenakan pakaian bersih. Dia memuja Tuhan dengan memandikan,
memberi pakaian atau menghiasi patung dewa-dewi pujaan keluarga sebelum
mempersembahkan saji-sajian berupa bunga, buah, dan dupa. Anggota keluarga
lainnya kemudian mengikutinya. Ia menyalakan lampu yang sumbunya dicelukpan ke
dalam ghee (minyak dari lemak kerbau). Batangan-batangan dupa dinyalakan
dan nama Tuhan disebut berulang-ulang bersama-sama dengan doa harian—Gyatri
Mantra—yang berbunyi, “Marilah kita melakukan meditasi dalam cahaya agung
sang pencipta. Kiranya Ia berkenan membimbing kita dan menerangi pikiran kita.”
Pembacaan dari salah satu Kitab Suci sering dilakukan di depan mandala.
Pada waktu pembacaan peserta ibadat duduk bersila di lantai dengan posisi badan
tegak, menarik napas dalam-dalam untuk meningkatkan konsentrasi. Kata keramat, AUM
atau OM, dinyanyikan terus menerus sambil melambaikan tangan di atas
nyala lampu untuk mendapatkan kuasa dan kekuatan Tuhan.
Upacara Keagamaan
Ada 16 jenis upacara, atau samskara, yang
menandai tahap-tahap kehidupan penting manusi—sejak sebelum pembuahan sampai
dengan kematian. Jika ibadat yang benar dilakukan, efek buruk dari karma dapat dipatahkan
dan kelahiran kembali yang lebih baik diperoleh dalam kehidupan yang akan
datang.
Ketiga samskara yang pertama
dilakukan sebelum kelahiran. Yang pertama dilakukan sebelum pembuahan, ketika
suami-istri berdoa bahwa mungkin mereka mendapatka seorang anak. Yang kedua
dilakukan pada permulaan mengandung, memohon supaya baik ibu maupun anaknya
dilindungi dari roh-roh jahat. Yang ketiga dilakukan setelah tujuh bulan
mengandung, memohon supaya kesehatan ibu dan anak terus terjamin. Begitu lahir
bayinya dimandikan, kata keramat digambar pada lidahnya dengan pena emas yang
dicelupkan ke dalam madu, dan tanda simbolis dibuat di dahinya.
Pemberian nama
Nama bayi dirahasiakan sampai dia berumur
11 atau 12 hari untuk menghindari roh jahat yang berusaha membawanya kabur
sebelum perlindungan dengan samskara yang berikutnya diberikan. Pendeta
mengikatkan tali warna merah tua pada bayi yang melambangkan perlindungan dan
meletakkan sepotong emas di tangannya sebagai tanda datangnya nasib baik.
Ramalan bintang bayi dibuat kemudian bayi diberi nama dengan menggunakan dua
atau tiga huruf dari tanda zodiak mereka sebagai huruf permulaan. Untuk bayi
laki-laki, samskara yang lain segera dilakukan: rambutnya dicukur dan
ditimbang, lalu emas seberat rambutnya diberikan kepada fakir miskin.
Benang suci
Benang suci, atau upanayana, adalah samskerta
ke-10 dan yang paling penting, di mana pendeta menempatkan benang di atas
bahu seorang anak laki-laki. Upacara ini dilakukan pada anak laki-laki dari
kasta Brahmana yang berusia antara lima sampai delapan tahun. Namun demikian,
belakangan juga dilakukan untuk anggota keluarga dari kasta yang lebih rendah.
Upacara ini menandai saat ketika anak laki-laki diserahkan ke tangan seorang
Guru untuk mendapatkan pelajaran agama.
Perkawinan
Perkawinan member tanda mulainya status
“berumah tangga” dan upacara ini merupakan samskara yang ke-13. Upacara
perkawinan dilaksanakan di sekitar api suci dan penuh dengan simbol-simbol.
Dalam upacara, kedua mempelai berjalan mengelilingi api suci tujuh langkah
sambil bergandengan tangan, dan pada setiap langkah mereka saling membuat
janji. Hukum Manu, suatu Kitab Suci, mengatakan bahwa seorang istri
harus selalu mencintai dan menghormati suaminya, dan umat Hindu ortodoks tidak
mengizinkan perceraian apa pun alasannya.
Kematian
Anyesti, adalah samskerta terakhir, yaitu
upacara penguburan. Menurut tradisi, anak laki-laki tertua memimpin upacara
penguburan di tempat kremasi dan anak laki-laki termuda memimpin upacara
setelah kembali ke rumah. Setiap orang Hindu mengharapkan agar dapat mati di
dekat sungai Gangga supaya tulang-tulang dan abu mereka dapat tenggelam di
dalam air—sehingga mereka dapat mengakhiri lingkaran kelahiran kembali[24].
Ritual kremasi di Indonesia dikenal sebagai upacara Ngaben.
Perayaan Keagamaan
Hinduisme merupakan agama yang mempunyai
banyak perayaan meskipun sebagian besar hanya dirayakan secara local. Perayaan
dipandang sebagai usaha untuk memberikan jaminan terhadap kelanggengan tradisi
Hindu dan membantu anak-anak untuk mengetahui dewa-dewi.
Perayaan keagamaan Hindu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok.
Perayaan menurut penanggalan Hindu
Perayaan kelompok pertama ini didasarkan
pada penanggalan Hindu, yang mengikuti pola enam musim dalam setahun atau
sepanjang 354 hari. Masing-masing musim berlangsung selama dua bulan dan
perayaan-perayaan itu adalah untuk musim semi (Maret sampai Mei); musim panas
(Mei sampai Juli); musim hujan (Juli sampai September); musim gugur (September
sampai November); musim dingin (November sampai Januari) dan musim gembira
(Januari sampai Maret). Divali, perayaan Cahaya, berlangsung selama lima
hari dalam bulan Oktober atau November dan merupakan perayaan Hindu yang
dirayakan secara luas. Bagi banyak umat Hindu, Divali merupakan saat
untuk menyambut kedatangan Lakhsmi, dewi kemakmuran dan kebahagiaan, ke dalam
ruh mereka.
Dassehra juga dilaksanakan pada bulan Oktober atau
November untuk memuji kebaikan para dewa. Perdebatan atau pertengkaran apa pun
harus diselesaikan sebelum perayaan berakhir, menciptakan kesejahteraan di
dalam masyarakat.
Sarasvati adalah nama yang diambil dari nama dewi
ilmu pengetahuan yang terkenal dan dapat dirayakan kapan saja. Patung dewi
berupa wanita cantik menunggangi seekor angsa itu diarak sepanjang jalan.
Perayaan yang berhubungan dengan musim
bercocok tanam
Kelompok kedua terdiri dari perayaan yang
berhubungan dengan musim khusus dalam tahun musim tanam. Negara yang tergantung
pada pertanian, musim menabur benih dan musim panen adalah saat yang paling
vital sepanjang tahun. Navarati, “perayaan sembilan malam”, adalah
perayaan masa tabur benih untuk panenan musim dingin. Ketika perayaan dimulai,
beberapa biji jawawut ditaburkan di atas pinggan kecil supaya kelak biji itu
dapat mulai bertunas.
Mela
Kelompok ketiga adalah perayaan
peristiwa-peristiwa penting di dalam legenda Hindu yang dikenal dengan istilah mela.
Kumbh Mela dilaksanakan setiap dua tahun sekali dan berkisar pada empat
macam hal, yaitu Haridwar, Nasik, Prayaga, dan Ujjain. Mitos di balik perayaan
ini adalah perang antara para dewa dengan roh-roh jahat di atas suatu buyung
yang menyimpan minuman kehidupan kekal. Para dewa menang, tetapi selama
peperangan ada empat tetes minuman kehidupan kekal itu jatuh menumpahi tempat
di mana Kumbh Mela dilaksanakan[25].
Jalan Keselamatan
Ada empat jalan religius atau cara untuk
menemukan keselamatan pribadi. Terserah pada setiap orang untuk memilih jalan
mana yang ia ambil, meskipun beberapa di antaranya lebih sulit daripada yang
lain.
Keempat jalan untuk keselamatan pribadi di
dalam Hinduisme adalah sarana yang dapat digunakan oleh orang untuk menemukan
pembebasan akhir dari lingkaran lahir, hidup, dan mati yang tampaknya tak ada
habisnya.
Jalan bhakti
Bhakti adalah ibadat penuh kasih untuk salah satu
dewa. Tempat pemujaan keluarga yang dapat ditemukan di setiap rumah orang Hindu
memiliki peranan yang sangat penting dalam bhakti karena di situlah
setiap orang Hindu melaksanakan puja sebagai wujud devosi pribadi.
Menyanyikan lagu pujian, menyampaikan cerita dewa-dewi, drama religius, menari,
dan merayakan perayaan keagamaan, semuanya ini merupakan unsur-unsur tradisi bhakti.
Jalan karma
Menurut Bhagavad Gita, hokum moral
kehidupan menyatakan bahwa perbuatan baik membuahkan kebaikan sedangkan
perbuatan jahat membuahkan kejahatan—hukum karma. Perbuatan ini seperti halnya
mata rantai sebab akibat karena cara manusia hidup di dalam suatu kehidupan
akan mempengaruhi bagaimana mereka akan kembali pada kehidupan selanjutnya.
Umat Hindu percaya bahwa apa pun yang dilakukan oleh seseorang benar-benar
mempengaruhi karma mereka. Maka itu, setiap orang harus berhati-hati agar hanya
melakukan perbuatan yang menghasilkan karma yang baik.
Jalan jnana
Jnana adalah jalan yang paling sukar bagi
seseorang untuk mustahil. Hanya beberapa orang saja yang mampu membebaskan diri
dari keterikatan duniawi melalui penguasaan Kitab Suci secara mantap.
Jalan yoga[26]
Yoga adalah disiplin spiritual terhadap
latihan-latihan fisik dan mental yang telah dilaksanakan di India selama
beribu-ribu tahun. Latihan-latihan itu dimaksudkan untuk membangun penguasaan
diri terhadap pikiran dan tubuh mereka. Kitab Suci kuno menyajikan sejumlah
persyaratan bagi orang-orang yang ingin menggunakan yoga untuk mematahkan
keterikatan duniawi. Mereka harus mampu untuk mengendalikan diri, tidak
melakukan kekerasan, jujur, suci, dan menghindari kerakusan. Mereka harus
menguasai posisi yoga tertentu, yang paling penting adalah posisi teratai—sikap
duduk bersila tentang kedua kaki ditumpangkan di atas paha. Latihan pernapasan
juga membantu konsentrasi, demikian juga pemusatan pikiran pada patung dewa.
Mantra juga bisa dinyanyikan untuk membimbing pikiran maju ke depan dan dengan
demikian dapat meningkatkan kesadaran akan kesendiriannya dengan roh tertinggi,
Brahman.
Ziarah
Walaupun umat Hindu tidak berkewajiban
untuk berziarah ke tempat-tempat suci, banyak dari mereka yang lebih senang
melakukannya. Melakukan perjalanan semacam itu, seiring dalam jarak yang jauh
dan jelas menimbulkan penderitaan, membantu para peziarah untuk menumbuhkan
kekuatan spiritual yang dalam. Ziarah juga merupakan cara untuk mewujudkan
devosi dan mencintai Tuhan.
Orang Hindu menjadikan ziarah sebagai
bagian dari perjalanan hidup spiritual mereka dengan bermacam alasan: untuk
melaksanakan kaul spiritual yang telah mereka janjikan kepada dewa terpilih;
untuk menebus dosa karena telah melanggar peraturan agama; untuk
mempersembahkan saji-sajian sebagai ucapan terima kasih atas kelahiran seorang
bayi; untuk mendapatkan kemurahan religius; untuk membersihkan hati; atau hanya
sekedar menjalankan devosi kepada
dewa-dewi mereka. Yang lain melakukan ziarah untuk mengenang anggota keluarga
yang meninggal. Kebanyakan orang Hindu menginginkan abu mereka ditaburkan di
sungai suci dengan harapan bahwa tindakan ini mereka dapat terhindar dari
lingkaran kelahiran kembali. Ziarah juga memberikan kesempatan kepada para
peziarah untuk darshan—berada dalam kehadiran Allah; murti—“melihat”
yang ilahi dalam bentuk patung kuil; dan memperoleh berkat.
Tempat-tempat suci
Banyak tempat di India diakui oleh orang
Hindu sebagai tempat suci—sudah barang tentu, bagi banyak orang Hindu, Negara
India adalah negara suci. Tempat-tempat khusus dapat menjadi tempat yang sangat
ramai pada hari-hari raya keagamaan, tempat tujuan yang paling populer bisa
gunung, kuil, dan sungai. Pegunungan Himalaya dipercayai sebagai dewa Himalaya,
ayah dari istri Shiva, Parvati. Diyakini bahwa Shiva sendiri duduk bersemedi di
Gunung Kailas[27].
Bagi orang Hindu, ada tujuh sungai
suci—Indus, Gangga, Godavari, Narmada, Jumna, Saraswati (yang mengalir di bawah
tanah), dan Kauveri. Tiga dari sungai ini—Gangga, Narmada, dan
Kauveri—diperlakukan sebagai dewi. Di daerah yang sering tandus dan tidak
subur, sungai dipuja sebagai pembawa kehidupan dan energi.
Hinduisme Dewasa Ini
Ada lebih dari 800 juta umat Hindu di dunia
dewasa ini dan komunitas Hindu yang cukup besar ada di lebih dari 160 negara.
Satu di antara enam orang di dunia modern ini adalah orang Hindu.
Rumah spiritual Hinduisme adalah India, di
mana 85 persen dari seluruh umat Hindu—sekitar 650 juta orang—tinggal di sana.
Ada beberapa gerakan reformasi Hindu pada abad ke-19 dan ke-20 yang menentang
sistem kasta dan bentuk-bentuk tekanan lain di India. Reformis yang paling
terkenal ialah Mahatma Gandhi, yang memimpin India dalam kampanye spiritual
untuk kelompok “yang hina dina”, kasta paling rendah, yang telah mereduksi
jutaan orang Hindu pada kemelaratan.
Sekarang, komunitas-komunitas Hindu yang
besar dapat dijumpai di Hindia Barat dan Afrika, juga di Sri Langka, Guyana,
Fiji, dan Bali. Sekitar 800.000 umat Hindu tinggal di Amerika Serikat. Di
negara ini ada banyak kuil, termasuk kuil Shiva-Vishnu di Livermore,
California, di mana ada usaha yang dilakukan untuk menyediakan fasilitas yang
berguna bagi bermacam-macam keturunan Hindu yang dijumpai di negara ini. Sebuah
perkumpulan pendeta berusaha mendapatkan kebutuhan-kebutuhan spiritual dari
orang-orang Hindu setempat. Komunitas-komunitas Hindu yang kecil juga dapat
dijumpai di seluruh Eropa dengan komunitas terbesar yang berada di luar
Britania, yaitu di Belanda dengan 160.000 pengikut[28].
Hubungan Hindu dengan Agama Lain
Agama
ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana
di dalam kitab Weda dalam
salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Alihaksara: Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti
Cara baca dalam bahasa Indonesia: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
Bahasa Indonesia: "Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang
pandai menyebut-Nya dengan banyak nama."
— Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Bhagawadgita, IX:29)
Arti:
Aku tidak pernah iri dan selalu
bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling
Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia
berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,
mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Bhagawadgita, 4:11)
Arti:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagawadgita, 7:21)
Arti:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
Meskipun ada yang menganggap Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam Kitab Suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ
te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
(Bhagawadgita, IX:23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya
sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya
Pemeluk agama Hindu juga mengenal arti Ahimsa
dan "Satya Jayate Anertam". Mereka diharapkan tidak suka
(tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan pembunuhan dilakukan
kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai swadarmanya, dan diminta
jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan[29].
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu diakses pada tanggal 30 Maret 2013 pukul 23.36 WIB
[2]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 8-9
[3]
http://sp2010.bps.go.id/.
Diakses pada tanggal 30 Maret 2013 pukul 23.20 WIB
[4]
http://id.wikipedia.org/wiki/Umat_Hindu.
Diakses pada tanggal 30 Maret 2013 pukul 23.23 WIB
[5]
Dalam bahasa Inggris penanggalan masehi disebut "Anno Domini" /
AD (dari bahasa Latin yang berarti "Tahun Tuhan kita") atau Common
Era / CE (Era Umum) untuk era Masehi, dan "Before Christ" / BC
(sebelum [kelahiran] Kristus)
atau Before Common Era / BCE (Sebelum Era Umum). Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Masehi
diakses pada 30 Maret 2013 pukul 23.42 WIB
[6]
Sebagaimana ditulis di halaman
sebelumnya, Hindu diperkirakan muncul pada 3102-1300 SM
[7]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 10
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu diakses pada tanggal 30 Maret 2013 pukul 23.34 WIB
[9]
Ada yang meyakini bahwa nama
Hindu sebenarnya merupakan julukan, bukan nama agama. Julukan yang dimaksud
adalah julukan bagi orang-orang yang tinggal di Hindia, nama Indonesia dahulu.
Tapi sumber ini sangat lemah dan sifatnya hanya spekulatif. Di antara bukti
sejarah yang diajukan adalah kisah-kisah Ramayana dan Mahabarata di mana
tokoh-tokoh pewayangan itu menjadi cerita rakyat di beberapa wilayah di Jawa
bagian selatan. Semisal Hanuman menjadi tokoh cerita di goa Jatijajar Kebumen
Jawa Tengah. (Diskusi dengan Anton Budi Santoso, April 2013 di Pondok Pesantren
Alumni Nailul Ula Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman).
[10]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 10-11
[11]
Merujuk gerakan yang dilakukan
oleh reformis Mahatma Ghandi tentang penolakan sistem kasta di abad ke-19
[12]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 12-13
[13]
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu diakses pada tanggal 31 Maret 2013 pukul 06.10 WIB
[14]
Penggunaan kata Allah ini
lazim digunakan di buku-buku terjemahan. Untuk mengatakan Bahwa Brahman
merupakan realitas tertinggi yang tak terjangkau. Konsep Brahman tentang
realitas Roh hampir sama dengan Islam. Yang berbeda adalah penempatan Allah
sebagai dzat. Dalam Hindu Allah dianggap sebagai dewa, sementara Islam menyebut
Allah sebagai realitas tersendiri yang maha segala-galanya. Untuk Hindu Michael
Keene bahkan menulis “atau sebaiknya kita menyebutnya “dewa-dewi’?”
[15]
Menegaskan bahwa Allah Brahman
ini adalah realitas tertinggi
[16]
Agaknya karakter feminism pada
Tuhan lebih menonjol. Di Islam sendiri, nama Asma’ul Husna didominasi
sifat-sifat yang diaktegorikan “feminim”. Michael Keene, Agama-Agama Dunia,
Kanisius, 2006 hal 14-15
[17]
Dalam Purana (salah satu Kitab
Suci Hindu) Avatar terakhir ialah Kalki Avatar. Banyak spekulasi mengenai
turunnya Avatar ini namun kami tidak akan membahasnya lebih lanjut.
[18]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 16-17
[19]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 18-19
[20]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 18-19
[21]
http://id.wikipedia.org/wiki/Pura diakses pada tanggal 31 Maret 2013 pukul 05.40 WIB
[24]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 28-29
[25] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Kanisius, 2006 hal 30-31
[26]
Yoga ini pernah menjadi
polemik di tubuh Majelis Ulama’ Indonesia antara membolehkan dan
mengharamkannya bagi umat Islam di Indonesia.
[27]
Terletak di perbatasan
China/Tibet
[28]
Michael Keene, Agama-Agama
Dunia, Kanisius, 2006 hal 36-37
[29]
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu diakses pada tanggal 31 Maret 2013 pukul 06.16 WIB