Sumber Gambar: indonesia.ucanews.com |
Mainstreaming
Intoleransi dan Agenda Pemerintahan Baru
Catatan Kecil
Diskusi Malam Reboan di Pendopo LKiS Sorowajan oleh Sarjoko (@jejakpelamun)
Ketika mendengar pemateri Malam
Reboannya Pak Ahmad Suaedy, saya langsung bergegas menyusun jadwal untuk meluangkan
waktu. Ada beberapa alasan mengapa saya begitu ‘ngebet’ ingin datang ke acara
tersebut. Pertama, saya sudah beberapa kali mendengar nama Ahmad Suaedy tapi
urung lihat orangnya. Kedua, dia merupakan orang Wahid Institute yang notabene
sealiran dengan saya sebagai anak Komunitas Pemikiran Gus Dur. Ketiga, saya
tengah menggarap buku di mana Ahmad Suaedy menjadi salah satu penulisnya. Sekalian
kenalan.
Keluar dari alasan-alasan pribadi
tersebut, tema yang diusung sangat menarik. Gerakan intoleran memang semakin
menampakkan taringnya. Aksi mereka lebih mirip aksi orang mabok yang tidak bisa
berdialog. Beberapa kali di Yogyakarta terjadi aksi perusakan oleh oknum dengan
membawa bendera agama. Sebut saja penyerangan terhadap LKiS saat menghadirkan
Irsyad Manji. Padahal tidak ada satu agama pun yang mengajari umatnya melakukan
kekerasan. Yang menjadi aneh, mengapa pemerintah seakan bungkam? Ini yang
membuat saya semakin terpanggil, selain dalam tiga diskusi sebelumnya saya selalu
hadir.
Ahmad Suaedy membuka diskusi dengan sebuah
cerita. Suatu ketika, ia menghadiri sebuah acara di Praha, Ceko. Di Praha orang
baru tahu ada Islam toleran di Indonesia. Dengan kata lain, citra Islam sebagai
agama intoleran sangat kuat. Hal ini tentu menjadi ironi, terlebih Islam datang
sebagai agama rahmatan lil’alamin. Pembawanya, Nabi Muhammad SAW menyatakan
diutus untuk membenahi akhlak. Innama bu’itstu li utammima makaarimal akhlaq.
Intoleransi bukan sesuatu yang dapat
dihindari. Banyak yang sangat alergi dengan istilah ini. Padahal makna intoleran sangat luas. Ketika seseorang mempunyai kebenaran lalu menyalahkan kebenaran
lainnya, maka orang tersebut dikatakan intoleran. Tidak semua intoleran
bermakna buruk. Bahkan ada intoleran yang (menurut saya) diwajibkan. Itu paling
tidak jika kita memakai pendapat Suaedy yang membagi kata intoleran dalam tiga bentuk.
Pertama, intoleran pribadi. Intoleran
pribadi itu menyatakan sebuah kebenaran dengan menyalahkan kebenaran lain
tetapi tidak disertai tindakan. Intoleran ini digunakan untuk mendefinisikan
hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan persoalan akidah. Misalnya, menganggap
agama Islam paling benar dan menyalahkan kebenaran agama lain. Dalam tataran
ini sangat wajar. Orang Kristen pun harus bisa menyalahkan kebenaran agama lain
demi imannya. Yang penting tidak saling memusuhi.
Kedua, intoleran sosial. Tataran ini
dibagi menjadi dua. Intoleran dengan kekerasan atau tidak dengan kekerasan. Untuk
kekerasan kita semua sudah sangat hafal bagaimana kelompok-kelompok ini
memerangi orang-orang yang tidak sepaham. Mereka kerap melakukan aksi perusakan
dan bahkan melancarkan ancaman pembunuhan. Yang tidak banyak disadari ialah
adanya intoleransi sosial tanpa kekerasan. Contoh yang banyak ditemui adalah
adanya perumahan khusus golongan tertentu. Mengapa intoleran? Karena perumahan
semacam ini menjadikan masyarakat terkotak-kotak. Dampaknya bisa saling curiga.
Saya punya pengalaman di kampung nun
jauh di Riau sana, di sebuah desa terdapat satu lokasi khusus rumah-rumah Islam
A. Mereka sangat eksklusif sampai menutup diri dari kebiasaan orang kampung
kebanyakan. Kelompok ini mendirikan masjid sendiri tanpa mau bergabung dengan
masjid desa. Jadilah Islam versinya itu menjadi Islam pemecah belah. Padahal aspek
sosial terbangun dari adanya kebersamaan.
Yang menjadi kajian malam kemarin
ialah intoleran jenis ketiga berupa kebijakan yang dibacking oleh pemerintah dengan menggunakan
pasal hukum. Hal ini yang menjadi tren di Indonesia beberapa tahun belakangan. Indonesia
sebagai negara majemuk, plural, yang seharusnya dalam bahasa Suaedy disebut
civil nation, seakan bergeser menjadi religious nation. Pemerintah tunduk pada
lembaga yang dilegitimasinya sendiri dalam soal agama. Intoleran kedua dan ketiga ini yang masuk kategori 'berbahaya'.
Kita coba sebentar refleksi ke
belakang. Di saat ada kasus kekerasan atas nama agama seperti Ahmadiyah dan
Syiah Sampang, di mana peran pemerintah, aparat hukum dan staf-stafnya dalam membela
korban? Mereka justru diam, bungkam dan seakan tak mau tahu dengan dalih sang
korban adalah pengikut aliran sesat! Sungguh sebuah kisah memilukan di tengah
semangat toleransi yang semakin terdegradasi. Sesat seakan menjadi cap untuk
menghalalkan penganiayaan atau bahkan pembunuhan.
Agama dan Pemerintah
Di Indonesia, institusi agama yang dilegalkan
secara hukum ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong
Hu Cu. Namun yang dianggap benar-benar legal adalah Islam. Mengapa? Karena orang
akan menganggap benar jika sudah Islam. Pemimpin yang baik adalah beragama
Islam. Ketika Ahok akan jadi gubernur DKI, banyak yang menentang dengan alasan
ambigu. Dia bukan Islam! Penilaian di sebuah kepemimpinan demokrasi bukan
dilihat dari sejauh mana kapasitas dia sebagai pemimpin.
Lupakan paragraph di atas. Mari kita
bersama-sama melihat bagaimana pemerintahan Indonesia dalam 10 tahun terakhir
menjelma sebagai hantu bagi golongan minoritas. Ada empat alasan yang
dikemukakan oleh Ahmad Suaedy:
1. Pemberian legitimasi terhadap
Lembaga Keagamaan sebagai Monopoli Kebenaran (MUI)
2.Penunjukkan orang-orang terpercaya
yang memiliki paham konservatif agama (All the
President’s Men)
3. Penyusunan regulasi yang bersifat
intoleran terhadap kelompok tertentu.
4. Ketidakmampuan untuk melindungi
korban/ minoritas.
Saya mencoba menjabarkan dengan versi
saya alasan-alasan di atas.
Pertama, legitimasi kebenaran diberikan
kepada MUI. Artinya selain MUI dianggap tidak punya wewenang. Artinya pula, apa
yang dikatakan MUI sebuah kebenaran mutlak. Awal mula petaka ini terjadi pada
saat MUNAS MUI tanggal 26 Juli 2005. Saat itu presiden berpidato meminta MUI
menjadi lembaga yang sentral. Pemerintah ikut terhadap keputusan-keputusan MUI.
Setelah pidato itu, ada 11 fatwa yang dikeluarkan MUI. Yang paling ‘horror’
adalah penyesatan terhadap Ahmadiyah dan larangan terhadap SIPILIS
(Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Untuk yang kedua, mereka menafsiri sesuai
kemauannya. Setelah fatwa ini, MUI daerah ramai-ramai mencari-cari kelompok
yang disesatkan. Perusakan terhadap masjid-masjid pun terjadi tanpa bisa
diadili oleh pemerintah. Mengapa? Anda tahu sendiri.
Poin kedua tidak jauh berbeda dengan
poin pertama. Pemerintah terlanjur tunduk pada paham konservatif yang
membahayakan. Untuk yang ketiga dan keempat, ini yang patut diratapi bersama. Bagaimana
mungkin institusi negara tidak menjamin keamanan setiap warganya hanya karena
pahamnya tidak sama? Bahkan yang dianggap ‘legal’ pun sebenarnya tidak sama. Kita
ambil contoh: NU dan Muhammadiyah. Yang satu bilang tahlilan boleh, yang satu
bid’ah. Tetapi mengapa keduanya tetap dianggap legal? Beda perlakuannya dengan
Syiah dan Ahmadiyah. Padahal Syiah merupakan salah satu aliran tertua dalam
sejarah sekte Islam.
Penetapan kembali UU No.1/PNPS tahun 1965
tentang penodaan agama juga menjadi faktor terpenting dalam tumbuh-suburnya gerakan
intoleran. Pasalnya, kata ‘penodaan agama’ sendiri tidak jelas maknanya. Ketika
orang berbeda dianggap menodai, tapi mengapa orang yang membuat kerusuhan
justru tidak disebut sangat amat jelas menodai?
MUI dan Pemerintah
Ada dinamika unik perihal sikap
pemerintah terhadap organisasi bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di era
Soeharto dan Habibie, MUI berfungsi sebagai pelayan pemerintah. Ketika pemerintah
memerlukan dalil tentang A, MUI berfungsi untuk mencarikannya. Misalnya fatwa
tentang kodok. Agar masyarakat mau berbudidaya kodok, MUI mencari dalil tidak
dilarangnya budidaya kodok.
Di era Gus Dur, MUI menempatkan diri
menjadi oposisi. Hal ini terkait pernyataan presiden yang menginginkan MUI
menjadi ormas independen yang tidak ‘menyusu’ pada pemerintah. Karena berseberangan,
saat itu ada ‘pertengkaran’ antara MUI dan Gus Dur mengenai hukum Ajinomoto.
MUI mengatakan haram, presiden berpendapat halal.
Di era SBY, MUI beralih menjadi
lembaga yang dilayani pemerintah. Apapun yang dikatakan MUI menjadi kebenaran
dan didukung penuh pemerintah. Wajar saja kekerasan yang disebabkan fatwa-fatwa
MUI tidak digubris bahkan (mungkin) didukung penuh. Amir Ahmadiyah sampai
mengatakan sejak 2005 kekerasan yang dialami kelompoknya sangat masiv.
Perusakan-perusakan masjid Ahmadiyah pun seperti menjadi suatu perubuatan yang
dilegalkan. Padahal, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Ada cerita menarik yang disampaikan
Bung Suaedy terkait fatwa ini. Di sebuah tayangan, seorang komandan
diwawancarai terkait kekerasan atas nama agama. Si komandan tersebut menjawab,
nunggu fatwa MUI. What???
Begitulah ketika negara menjadi
religious/ethnic nation, bukan civil nation building. Ketimpangan demi
ketimpangan menjadi sebuah keniscayaan yang seakan dimaklumi. Karena ane mayor,
ente minor. Sudah sepatutnya pemikiran seperti ini dihilangkan. Gerakan civil
nation building menjadi tugas semua warga negara.
Untuk agenda pemerintahan baru
idealnya minimal mencakup tiga hal ini.
1. Mengembalikan Visi Indonesia ke
Civil nation building VS Religious/Ethnic nation building
2. Mengembalikan posisi MUI sebagai
organisasi masyarakat Ormas atau LSM
3. Mengembalikan tugas penegakan HAM
dalam isu agama ke tugas citizenship.
Caranya? Dalam membangun koalisi
penguasa dengan minimal kriteria:
1. Penghapusan UU No 1 PNPS 1965
2. Penghapusan Bakorpakem
3. Penghapusan pasal-pasal dalam UU
yang menempatkan MUI sebagai penentu kebijakan.
Wallahua’lam.
Tulisan ini merupakan rangkuman
penulis dari diskusi Malam Reboan di LKiS, 25 Maret 2014 bersama Ahmad Suaedy,
M.Hum. Direktur Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia.