gambar: annida-online.com |
Penggalan kisah dalam film Contact garapan sutradara Robert
Zameckis yang diadaptasi dari novel karya Carl Sagan itu membuka mata saya
tentang melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang. Bagi seorang beragama,
tentu menjadi pertimbangan utama untuk meletakkan dasar doktrin agama sebagai
acuan utama. Tetapi apakah saya yang muslim harus memaksakan seorang Eleanor
yang ateis untuk sama-sama memahami kebenaran dari sudut pandang Islam? Tentu
saja memaksakan kebenaran semacam ini kurang arif. Terlebih jika melihat
bagaimana realitas kebenaran memiliki tolak ukur yang beragam.
Sehari setelah menonton film Contact yang kata Joko Anwar merupakan
film paling religius baginya, saya berkesempatan mengikuti sebuah kajian
menarik bersama seorang teologis dari Universitas Notre Dame Amerika. Ia
bernama Mun’im Sirry yang membuat heboh karena ‘berani’ menulis sebuah renungan
panjangnya berjudul Kontroversi Islam Awal. Buku tersebut heboh karena memuat
banyak literatur yang bagi kebanyakan orang muslim dianggap tabu, saru, pamali,
bid’ah, sesat dan istilah-istilah lain yang sepadan. Dan berikut saya akan
mengulas beberapa poin yang saya tangkap dari kajian malam ini.
“Jika ingin melihat Alqur’an maka
lihatlah kitab-kitab lain yang berinteraksi dengannya. Jika ingin melihat
Alqur’an dari sudut pandang muslim, bacalah tafsir-tafsirnya.” Kurang lebih itu
kalimat kunci dari Mun’im Sirry (selanjutnya saya sebut Cak Mun) yang menjadi
pengantar NGOPI (Ngobrol Pintar) bertema ‘Alqur’an dan Sejarah Islam’ di griya
Gusdurian, Timoho, Yogyakarta. Dari
kalimat pengantar itu, tampak sebuah ajakan dari Cak Mun bagi peserta diskusi
untuk mau membuka pikiran selebar dan seluas-luasnya. Ia mencontohkan para
akademisi Barat tidak melakukan pembacaan terhadap Alquran melalui
tafsir-tafsir yang ditulis oleh ilmuwan muslim, tetapi mereka membaca Alquran
dari berbagai literatur yang memiliki interaksi dengan Alquran.
Pernah dalam sebuah kelas, seorang
ustad saya mengatakan bahwa Islam memiliki kesinambungan dengan agama-agama
lain sebelumnya. Ia menyebut bahwa Islam adalah agama yang menghapus agama
sebelumnya karena dianggap telah menyimpang dari ajaran tauhid. Begitu pula
dengan Alquran yang jika dipahami akan memiliki banyak kemiripan kisah dengan
kitab-kitab suci lain di dunia. Karena Alquran diturunkan sebagai kitab
penyempurna dari kitab-kitab lain yang sudah diturunkan berabad-abad sebelum
era Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini memiliki perbedaan dengan sudut pandang
yang ditawarkan cak Mun, bahwa ia lebih memilih menggunakan redaksi interaksi
Alquran dengan kitab-kitab lain dibanding menyebutnya sebagai pengganti
kitab-kitab terdahulu. Ia juga kurang sreg jika ada yang mengatakan Alquran dipengaruhi
Bibel, dan atau sebaliknya. Sekali lagi ia lebih oke menggunakan redaksi
interaksi.
Injil dan Nasrani
Sebelumnya, saya menekankan bahwa
apa yang saya tulis berikut ini merupakan penangkapan saya terhadap materi yang
disampaikan oleh Cak Mun. Mungkin subjektivitas saya membuat konten tulisan
berikut ini menjadi tidak sesuai. Namun saya menjamin tidak ada usaha dari saya
untuk mengubah substansi dari diskusi malam ini. Untuk itu bila ada kesalahan,
mohon agar diluruskan.
Di dalam Alquran sering disinggung
mengenai kitab-kitab suci yang diturunkan sebelum Alquran. Kitab-kitab tersebut
merujuk pada Injil, Taurat, dan Zabur. Sering kali pula para akademisi muslim
menyebut kitab-kitab sebelum Alquran sudah tidak berlaku karena digantikan oleh
Alquran. Alasannya adalah karena kitab-kitab tersebut tidak lagi otentik.
Logika ini dipertanyakan oleh Cak Mun. Ia bertanya, “Bagaimana bisa mengatakan
bibel yang ada saat ini salah jika tidak pernah ditemukan yang asli?”
Ia menyebut ada cara pandang yang
berbeda dari muslim dan kristen pada umumnya mengenai Injil. Perlu diketahui
pula bahwa Injil merupakan sejarah hidup Yesus yang ditulis oleh beberapa orang
muridnya. Maka ditemukanlah berbagai versi Injil yang ditulis oleh murid Isa AS
yang berbeda-beda. Perlu diketahui pula bahwa munculnya ajaran kristen tidak
terekam baik sebagaimana kemunculan agama Islam awal. Untuk itu banyak
istilah-istilah yang masih rancu dipahami oleh banyak orang. Bahkan untuk
menyebut orang yang mengikuti ajaran Yesus, terdapat berbagai pendapat. Di
Indonesia dikenal ada dua pengikut Yesus, yaitu Kristen dan Katolik.
Cak Mun menjelaskan bahwa dalam
budaya dan kitab suci mana pun, seseorang yang mengimani Yesus disebut sebagai
kristen/ kristiani/ Christian dan bahasa lain yang secara redaksional tidak
jauh berbeda. Dalam budaya Arab, orang yang mengimani agama Isa Al-Masih
disebut sebagai al-masihiyun. Ia
kemudian melontarkan sebuah pertanyaan, mengapa di dalam Alquran kebanyakan
kata yang digunakan untuk menyebut pengikut Isa AS adalah kaum Nasrani? Dan inilah pentingnya melakukan
pembacaan dengan kitab-kitab suci lain yang memiliki interaksi dengan Alquran.
Kata Cak Mun, dalam Bibel, tercatat
hanya satu kali kata Nasrani ditulis yakni saat Tertulus menghakimi Paulus.
Saat itu Tertulus mengatakan bahwa Paulus membuat kekacauan orang-orang Yahudi
seluruh dunia dan ia disebut sebagai ketua sekte Nasrani. Paulus pada mulanya
merupakan orang Yahudi bernama Saulus yang memerangi orang Kristen. Ia kemudian
mengimani kristus karena sebuah sebab di Damaskus. Namun banyak yang mengatakan
bahwa ajaran Paulus ditentang oleh kebanyakan orang kristen. Itu berarti satu-satunya
redaksi Nasrani di dalam Bibel membahas mengenai sosok yang ditentang oleh
mayoritas pengikut ajaran kristus tersebut. Lalu apakah Nasrani dalam Alquran (yang
kerap ditentang) merujuk pada sekte yang dianggap sesat oleh orang Kristen itu?
Wallahua’lam. Tetapi saya pernah
mendengar jika kata Nasrani diambil dari kata Nazareth, tempat asal Nabi Isa
As. Maka pengikutnya disebut Nasrani.
Selama ini saya pribadi mendapat
informasi melalui website-website (yang kadang ekstrim) jika yang masih
dibenarkan dalam Alquran adalah Nasrani, sedangkan kristen adalah sebuah sekte
yang dibentuk belakangan, kongkritnya saat peristiwa Saulus menjadi Paulus. Tetapi
penjabaran panjang lebar dalam diskusi ini mengubah segalanya. Perjumpaan saya
dengan Cak Mun memancing saya untuk kembali mengkaji definisi yang sudah ada dalam benak saya
sebelumnya. Ia juga menyinggung istilah mu’minum
dan muslimun. Menurut Cak Mun, yang
digunakan Alquran dalam menyebut pengikut Nabi Muhammad SAW adalah mu’minun, yang berarti mengimani
kerasulan Muhammad. Bagi yang belum mengimani kerasulan Nabi Muhammad, mereka
masih digolongkan muslimun. Pendapat
ini sangat berbeda dari pelajaran agama yang pernah saya terima di bangku
sekolah dulu. Mu’minun justru digunakan untuk semua komunitas yang beriman pada
Tuhan yang Esa. Sementara muslimun hanya untuk menyebut komunitas muslim
belaka. Wallahua’lam.
Halaman Belakang
Jika kebenaran adalah hal yang
pasti, maka tidak ada pencarian-pencarian yang dilakukan untuk mengungkapnya.
Jika tidak ada pencarian-pencarian, maka kebenaran telah menuntun sebuah
peradaban untuk menjadi jumud. Barangkali ada hikmah mengapa kebenaran tidak
pernah mewujudkan dirinya sebagai sebuah bentuk yang absolut. Jika saya
berbicara dengan bahasa jurnalistik, kebenaran adalah bagaimana cara kita
mengonstruksi sebuah realita. Angle atau sudut pandang menentukan bagaimana
sebuah kebenaran itu dipilih.
Berbicara mengenai lintas agama dan
lintas keyakinan memang tidak ada habisnya. Namun sangat disayangkan jika
seseorang beriman hanya karena faktor kepasrahan. “Imannya seorang yang
historis cenderung lebih kuat,” kata Cak Mun. “Saya tidak pernah takut apabila
pencarian saya membuat iman saya berkurang,” sambungnya lagi. Justru pembacaan
interaksi kitab suci Alquran dengan kitab-kitab suci lain membuatnya semakin
memahami betapa romantisnya sang pencipta. Bukankah Ia yang Maha Benar tak
pernah menampakkan wujudnya yang absolut?
Tema diskusi ini memang cukup
berat. Dan bahkan beberapa orang yang hadir akan merasa panas dingin mendengar
pernyataan-pernyataan lugas dan vulgar dari Cak Mun. Bagi saya pribadi, diskusi
malam ini memantik rasa ingin tahu saya mengenai kajian lintas agama semakin
terpacu. Tentu saja, banyak poin-poin tak terduga yang baru saya ketahui. “Oh,
ternyata ada yang demikian, ya?” Batin saya tersebut mengemuka saat Cak Mun
menceritakan seorang ilmuwan Barat bernama John W Brow mempertanyakan, benarkan
Alquran turun di jazirah Arab yang primitif? Mas Brow sangsi jika Alquran yang
sangat filosofis turun di tengah masyarakat yang menurut buku-buku sejarah
Islam awal gemar membunuh bayi perempuan? Menurutnya, Alquran harusnya turun di
sebuah peradaban yang sangat maju dan memiliki kajian-kajian intelektual. Mas
Brow bahkan memiliki tesis jika Alquran turun di dataran Mesopotamia!
Akhirnya saya akan menutup tulisan
ini dengan salah satu kajian yang sangat kontroversial dari Cak Mun. Di dalam
forum NGOPI, sampai ada dua orang yang mempertanyakan mengenai ‘tafsir’ dari
Cak Mun terkait surat Al-Kafirun. Konon pernyataan Cak Mun sampai memanaskan
ruang diskusi di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Saya heran, mengapa banyak orang
hanya mengutip ayat terakhir dari surat Al-Kafirun untuk mengatakan bahwa
Alquran adalah kitab toleransi?” ujarnya memberi pertanyaan. Ia sendiri menilai
jika ayat yang berbunyi lakum dinukum
waliyadin tidak bisa dimaknai sebagai ayat toleransi jika menyambungkannya
dengan ayat-ayat sebelumnya. Misalnya saja redaksi ayat kedua laa a’budu maa ta’budun yang artinya
saya tidak menyembah apa yang kamu sembah. Bagi Cak Mun, hal itu menunjukkan
adanya eksklusivitas karena adanya penafian terhadap kepercayaan orang lain.
“Di mana toleransinya?” ujarnya.
Berangkat dari kegelisahan karena
tidak adanya ‘sambungan’ ayat lakum
dinukum waliyadin dengan ayat-ayat sebelumnya, Cak Mun lalu melakukan
penelitian. Ia mencari manuskrip-manuskrip kuno mengenai ayat-ayat tersebut di
tujuh perpustakaan besar di dunia. Dari situ ia menemukan adanya problem
terkait huruf alif yang ada di
belakang huruf lam. Beberapa
literatur awal menunjukkan adanya potensi perbedaan bacaan dari yang kita kenal saat ini (Alquran pada awal ditulis tanpa
titik dan harakat, juga tanpa penambahan huruf alif untuk tanda panjang). Karena dalam bahasa Arab beda satu huruf bisa membuat makna yang sangat
berbeda. Dalam ayat laa a’budu maa
ta’budun (huruf lam disambung alif) berarti saya tidak menyembah apa yang
kamu sembah. Tetapi jika tanpa alif,
maka dibaca laa'budu maa ta'budun berarti saya sesungguhnya menyembah apa yang kamu
sembah. Posisi huruf lam sebelum huruf alif berfungsi sebagai lam ta'kid, atau penegas. Ini, bagi Cak Mun, menunjukkan adanya sinergitas antara ayat lakum dinukum waliyadin dengan ayat-ayat
sebelumnya. Dengan pendekatan ini pula menjadi semakin tegas jika Tuhan yang
disembah oleh seluruh umat manusia adalah satu zat yang sama. “Dan semakin
nyata jika surat Al-Kafirun memang mengandung ayat-ayat toleransi.”
Yang jelas, semua pendapat yang dikemukakan oleh Cak Mun tidak harus dibenarkan seluruhnya. Bagi orang yang setuju dengan gagasannya, silakan. Jika tidak pun tidak masalah. Toh, kebenaran hanyalah soal dari sudut mana sesuatu itu dilihat. Seperti Dr. Eleanor Ann Alloway pada akhirnya merasakan sebuah perjalanan misterius. Ia mengaku telah menembus lubang cacing dan masuk ke galaxy antah berantah. Padahal dari sudut pandang manusia yang hadir di acara peluncuran Dr. Eleanor ke luar angkasa, mesin yang akan mengantarkan Eleanor ke penjelajahan mengalami masalah dan akhirnya terjatuh ke laut. Namun dalam waktu yang sangat singkat, Dr. Eleanor mengaku menembus beberapa tempat di luar angkasa dan kemudian bertemu ayahnya di sebuah tempat. Ini, bagi Eleanor, merupakan pembuktian dari teori relativitas Einstein, bahwa waktu beberapa detik di Bumi bisa berarti beberapa jam atau hari di luar sana. Tetapi bagi orang yang tidak setuju dengan penjelasannya, maka dengan mudah Eleanor disebut berhalusinasi. Wallahua’lam.
Yang jelas, semua pendapat yang dikemukakan oleh Cak Mun tidak harus dibenarkan seluruhnya. Bagi orang yang setuju dengan gagasannya, silakan. Jika tidak pun tidak masalah. Toh, kebenaran hanyalah soal dari sudut mana sesuatu itu dilihat. Seperti Dr. Eleanor Ann Alloway pada akhirnya merasakan sebuah perjalanan misterius. Ia mengaku telah menembus lubang cacing dan masuk ke galaxy antah berantah. Padahal dari sudut pandang manusia yang hadir di acara peluncuran Dr. Eleanor ke luar angkasa, mesin yang akan mengantarkan Eleanor ke penjelajahan mengalami masalah dan akhirnya terjatuh ke laut. Namun dalam waktu yang sangat singkat, Dr. Eleanor mengaku menembus beberapa tempat di luar angkasa dan kemudian bertemu ayahnya di sebuah tempat. Ini, bagi Eleanor, merupakan pembuktian dari teori relativitas Einstein, bahwa waktu beberapa detik di Bumi bisa berarti beberapa jam atau hari di luar sana. Tetapi bagi orang yang tidak setuju dengan penjelasannya, maka dengan mudah Eleanor disebut berhalusinasi. Wallahua’lam.
Yogyakarta, 19 Desember 2015