Catatan Nobar Film Noble
Tentu bukan sebuah kebetulan jika kemanusiaan (humanity) diletakkan
sebagai salah satu poin nilai utama perjuangan Gus Dur oleh para sahabat dan
muridnya. Bukan sebuah kebetulan pula jika sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab menjadi sila kedua Pancasila. Baik poin kemanusiaan atau pun sila
kemanusiaan, keduanya diletakkan setelah asas ketuhanan. Dalam nilai utama
perjuangan Gus Dur, nilai pertama adalah ketauhidan (spirituality).
Sementara sila pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa.
Dalam ajaran agama Islam, dikenal tiga jenis hubungan yang harus dijalin
oleh manusia. Ketiganya adalah: hablun minallah (hubungan dengan Tuhan),
hablun minannas (hubungan dengan manusia), dan hablun minal alam
(hubungan dengan alam). Lagi-lagi, hubungan dengan manusia diletakkan di nomor
dua, setelah hubungan dengan Tuhan yang sifatnya vertikal.
Pertanyaannya adalah, mengapa? Untuk menjawabnya, ada dua quote
menarik yang pernah disampaikan oleh Gus Dur:
“Tuhan perlu dibela. Ia sudah maha segala-galanya.
Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.”
“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya.
Sebaliknya merendahkan dan menistakan manusia, berarti merendahkan dan
menistakan penciptanya pula.”
Jika ada seseorang yang mengaku ingin membela atau memuliakan Tuhan, bisa
dilihat usahanya dalam membela atau memuliakan manusia. Jika ada orang yang
mengaku beriman pada Tuhan yang esa, maka dilihat pula bagaimana ia
memperjuangkan keadilan bagi umat manusia.
Di dunia ini telah banyak tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Mahatma Gandhi misalnya, ia melakukan perjuangan tanpa kekerasan
dalam memerdekakan India dari penjajah. Di Indonesia, kita mengenal banyak
tokoh seperti Romo Mangun yang melakukan pendampingan bagi warga Kedung Ombo
yang terzalimi oleh pembangunan di masa orde baru. Gus Dur sendiri
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan membela kaum minoritas.
Perjuangan tersebut haruslah menjadi teladan bagi siapa pun yang merasa beriman
dan berjuang di jalan Tuhan. Dan hendaknya perjuangan atas nama manusia tidak
tersekat oleh faktor kedekatan semata. Akan menjadi luar biasa apabila
perjuangan kemanusiaan yang dilakukan berada di tempat di mana kita tidak
memiliki ikatan sama sekali, baik ikatan darah, atau pun daerah. Hal inilah
yang ditunjukkan oleh Christina Noble, seorang warga Irlandia yang mengabdikan
dirinya untuk kemanusiaan di Vietnam.
Kisah perjuangan Noble digambarkan secara apik dalam film besutan Stephen
Bardley berjudul “Noble” yang dibintangi oleh Deirdre O’Kane. Noble yang
mengalami masa lalu pahit; hidup keras sebagai anak jalanan, dipisah dari orang
tuanya, menjadi korban perkosaan, tergerak untuk melepaskan penderitaan yang sama
bagi anak-anak di Vietnam. Ia kemudian mencari bantuan kepada para bos minyak
di sana untuk mendirikan sebuah pusat kegiatan dan kesehatan bagi anak-anak
jalanan Vietnam, khususnya kota Ho Chi Minh. Pada Jumat 25 Maret 2016 yang
lalu, Komunitas Santri Gus Dur Yogyakarta mengadakan nonton bareng sekaligus
diskusi film tersebut dalam rangka ngaji kemanusiaan.
Film ini berlatar tahun 1989, empat belas tahun pasca perang Vietnam. Sisa-sisa
perang masih begitu terasa. Kecurigaan dan ketatnya pengawasan pada orang asing
masih berlaku di negara tersebut. Tetapi Noble terus berupaya melakukan kerja
kemanusiaannya. Ia tidak tega melihat anak-anak Vietnam hidup dalam kehidupan jalanan
yang keras. Di kemudian hari mendirikan Christina Noble Children’s Foundation. Pada
saat dirilis pada tahun 2014, yayasan tersebut telah mengerjakan ratusan proyek
dan membantu sekitar 700.000 anak di Vietnam dan Mongolia.
Sebuah kerja sosial yang luar biasa. Bahkan ketika ditanya mengapa Vietnam,
Noble mengaku tidak tahu. Ia hanya mengenal Vietnam melalui layar kaca
televisi, melalui berita perang yang menyengsarakan jutaan warga Vietnam.
Perjuangan Noble menginspirasi bahwa kedekatan secara geografi bukanlah
faktor utama seseorang untuk melakukan gerakan kemanusiaan. Bahkan ia yang tak
memiliki kedekatan khusus dengan negara Vietnam malah melakukan hal besar yang
tidak terpikirkan oleh penduduk negara tersebut.
Apakah Noble adalah bentuk pencitraan Barat untuk menutup-nutupi kekejaman
Barat? Pertanyaan ini muncul dalam diskusi setelah pemutaran film selesai. Jangan-jangan
Noble hanyalah anomali yang sengaja diciptakan untuk mencitrakan baik barat. Seperti
halnya film produksi Hollywood berjudul Ramboo. Akan tetapi kecurigaan itu
sepertinya terlalu jauh. Apalagi jika melihat latar belakang Noble yang seorang
Irlandia. Irlandia sama sekali tidak terlibat dengan perang dahsyat di Vietnam.
Kecurigaan tersebut semakin terbantah ketika misi kemanusiaan tersebut tidak
hanya dilakukan di Vietnam, tetapi juga di Mongolia.
Terlepas dari kemungkinan faktor politisasi tersebut, film Noble memberikan
contoh konkret bagaimana seorang manusia berjuang untuk manusia. Sekali lagi
untuk manusia, semua manusia. Bukan untuk sesama warga negara tertentu. Jika seluruh
manusia memiliki jalan pikir yang sama dengan Noble, maka penindasan dan
pemiskinan serta kelaparan tidak akan terjadi.
Namun dunia tampaknya belum siap untuk melihat keharmonisan dan perdamaian.
Masih banyak manusia-manusia egois yang tidak peduli pada kesusahan orang lain.
Menjadi tugas bagi para pejuang kemanusiaan untuk membuat penduduk bumi ini
siap dengan indahnya damai dan harmoni...