“Maaf,
boleh saya minta air putih saja?” kata Felip Karma, saat diberi segelas teh
hangat untuk menemani diskusi. “Saya bernazar untuk tidak meminum selain air
putih, sampai Papua merdeka,” sambungnya lagi. Sebuah nazar yang menunjukkan
betapa kuat dan gigihnya ia dalam berjuang.
Sebelum
22 Agustus kemarin, nama Filep Karma sangat asing di telinga saya. Beberapa kali
mengikuti berita soal penangkapan pejuang OPM, saya tidak menghafal nama-nama
tokohnya. Bahkan saya tidak menyadari bahwa Filep Karma adalah salah satu dari
lima tahanan politik yang dibebaskan oleh Jokowi tahun 2015 lalu. Ia ditahan
karena turut mengibarkan bendera kejora di Jayapura tahun 2004. “Setelah saya
dibebaskan, saya tetap akan berjuang. Selama Papua belum merdeka, berarti
perjuangan saya belum selesai!” tegasnya.
Ia menceritakan
latar belakang gerakan yang diperjuangkannya ini. Menurutnya, mengapa Papua
ingin merdeka dari Indonesia adalah karena keadilan belum mereka terima
sepenuhnya. Banyak sekali diskriminasi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta
pemberangusan hak-hak kebebasan berpendapat, yang keseluruhannya membuat warga
Papua merasa terkurung dalam negaranya sendiri. “Sikap yang kami terima di sana
membuat kami merasa masih terkurung di negara Indonesia.”
Perjuangan
Non-Violence
Perjuangan OPM selama ini dianggap
sebagai perjuangan kaum sparatis yang merongrong kedaulatan NKRI. Namun Filep mempertanyakan
sikap pemerintah kepada wilayah lain seperti Aceh yang berbeda dengan apa yang
diperlakukan kepada Papua. Katanya, di Aceh, komandan GAM bisa jadi wakil
gubernur. Tetapi mengapa di Papua berbeda? Bahkan untuk menyuarakan keadilan
saja dianggap sebagai pemberontak dan seringkali harga yang harus dibayarkan
adalah nyawa.
Suatu ketika, Filep pernah berada
dalam situasi aksi yang panas. Ia kaget karena tepat di samping wajahnya
terdapat lubang yang masih memercikkan api. Ia yakin bahwa itu adalah peluru
tembak yang hampir saja menembus kepalanya. Ia menanyakan kepada temannya yang
seorang anggota BRIMOB. Apakah peluru itu hanyalah untuk menakut-nakuti? Temannya
menjawab, “Kalau sudah seperti itu, Anda adalah sasaran tembak.” Filep tersenyum
dan berujar, “Berkat Tuhan, hari ini saya masih hidup.”
Baginya, kepercayaan terhadap
perlindungan Tuhan adalah kunci dari perjuangannya. Karena ajaran kasih Tuhan
pula, ia tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam melakukan perjuangan. Dalam
ajaran yang dianutnya, membunuh orang adalah dosa besar. “Sudah di dunia kami
tidak mendapat kebahagiaan, masak di alam sana kami tidak masuk surga lagi. Ruginya
dobel,” ujarnya bercanda. Ia mendapatkan banyak inspirasi perjuangan tanpa
kekerasan saat melakukan studi di Manila, Filipina. Inilah yang ia suarakan
kepada rakyat Papua.
Ia mengakui, perjuangannya tidak
akan pernah mudah karena sebagian besar warga Papua merasa terancam apabila
menyuarakan pendapatnya. Sebagian lagi masih terlalu dini berdebat soal
pimpinan dan rebutan kekuasaan. Namun apapun itu, ia siap menjadi martir
sejarah demi kesejahteraan masyarakat Papua.
Gus Dur dan
Papua
“Dulu, kami mengaku orang Papua saja
sudah dianggap sebagai pemberontak,” kenang Filep. Ya, sejak era presiden
Sukarno, nama wilayah tersebut diganti menjadi Irian Jaya. Kata IRIAN sendiri
konon merupakan singkatan dari Ikut
Republik Indonesia Anti Netherland. Namun saat presiden Abdurrahman Wahid
memimpin, nama Irian Jaya dikembalikan lagi ke nama awalnya, Papua. Gus Dur
sekaligus membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) yang mewadahi ratusan suku di
Papua. Pembentukan ini merupakan perwujudan pemerintahan Gus Dur untuk
memberikan hak otonomi penuh terhadap wilayah Papua.
Ada kisah saat Gus Dur diberi
laporan bahwa warga Papua mengibarkan bendera bintang kejora. Ia bertanya pada
sang jendral. “Lha, ada bendera merah putihnya ndak?” Sang jendral mengatakan
ada. “Masih tinggi yang merah putih atau bintang kejora?” Sang jendral
mengatakan merah putih. “Ya, sudah tidak ada masalah. Gitu aja kok repot,”
cetus Gus Dur. Ia bahkan berujar jikalau masih menganggap itu masalah, anggap
saja seperti bendera-bendera di dalam stadion. Bagi banyak kalangan, presiden
Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang memahami cara berkomunikasi dengan
warga Papua.
Filep sendiri memiliki kenangan
bersama Gus Dur. Suatu ketika, ia bertemu Gus Dur di sebuah kampus di Jakarta.
Filep bertanya, “Gus, kalau saya dan teman-teman melakukan aksi kemerdekaan
Papua bagaimana?” Gus Dur menjawab, “Saya ini seorang humanis dan pluralis. Di sisi
lain, saya seorang presiden yang terikat konstitusi. Kalau kalian melakukan
aksi tersebut, kewajiban saya adalah menaati konstitusi. Saya akan meminta Anda
ditangkap.”
Menurut
Filep, perkataan Gus Dur mencerminkan sikap kenegarawanan seorang presiden, sekaligus
sisi humanisme karena perintahnya hanya tangkap, bukan bunuh. Penangkapan akan
mendapat reaksi dari dunia internasional, dan inilah yang akan membebaskan
mereka kembali. Sayangnya pemerintahan Gus Dur hanya sesaat karena ia kemudian
dilengserkan.
Saya
mengutip sebuah artikel hasil wawancara dengan Thaha Alhamid. Tom Beanal
bilang, “Bapak Presiden, selama bergabung dengan Indonesia, kita pernah diatur
oleh tiga presiden. Semua mereka memiliki mata fisik yang bagus, sehingga
begitu mereka datang di Papua, mereka silau melihat kemilau emas, gas bumi,
hamparan hutan, dan lainnya. Mereka lupa bahwa di sana ada manusia. Mereka
tidak peduli kami orang Papua. Mereka lihat kami seperti binatang. Mereka terus
menerus membantai kami. Syukur bahwa saat ini Tuhan mengutus Bapak Gus Dur
sebagai anugerah untuk Indonesia. Bapak memiliki kemuliaan mata nurani,
sehingga mau melihat kami sebagai manusia. Kami senang Bapak memimpin kami…”.
Gus
Dur pernah mengatakan, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Ketidakadilanlah
yang melahirkan pergerakan-pergerakan berbagai kelompok di berbagai wilayah di Indonesia. Filep
sendiri mengakui, faktor utama perjuangan dirinya adalah terjadinya ketimpangan dan
ketidakadilan. Apalagi saat ia melihat kenyataan bahwa di Papua, warganya
mengalami berbagai penindasan. Ia juga menyayangkan sikap ‘orang Indonesia’
yang selalu main senjata dalam menyelesaikan persoalan di Papua. Padahal, ia
mengharapkan adanya solusi dalam bentuk dialog yang tidak saling menyakiti
antara Indonesia dan Papua.
Semoga
ke depan ada solusi terbaik dalam penyelesaian konflik di Papua. Jalan seperti
apapun yang akan ditempuh, haruslah menempatkan kemanusiaan pada posisi paling puncak.
Kata Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Syukur-syukur
ada jalan tengah yang membuat Pak Filep bisa kembali merasakan nikmatnya teh
hangat dan seduhan kopi sembari menyanyikan lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke.’ (Tulisan ini disusun dari dinamika diskusi bertema Indonesia dan Papua bersama Filep Karma. Timoho, Senin, 22 Agustus 2016).