Bersama Mbak Dina Y. Sulaeman, penulis buku Salju di Aleppo |
Kang Abad adalah teman saya yang pernah mengenyam
bangku pendidikan di Libya, sebuah negara di Timur Tengah. Ia merasakan
bagaimana mencekamnya situasi negara tersebut pada tahun 2011, yang membuatnya
harus meninggalkan bangku kuliah lebih cepat demi alasan keamanan. Di tahun
itu, Moammar Khadafi, sang presiden yang berkuasa puluhan tahun, tewas
dikeroyok massa.
Libya bukan satu-satunya negara yang bergejolak. Sebelumnya,
Tunisia lebih dulu memanas yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Zine
El-Abidine Ben Ali. Dalam waktu yang tidak berselang lama, Mesir, Kuwait, Lebanon,
Yaman, Suriah dan banyak negara lainnya ketularan hobi demo. Mereka menuntut demokratisasi
yang mengatur batas maksimum periode kekuasaan seorang presiden.
Di banyak negara itu, sebagian besar pemimpinnya
berhasil ditumbangkan oleh gelombang aksi massa. Jika beruntung, para pemimpin
itu bisa melarikan diri dengan selamat ke nagara lain. Jika tidak, nasibnya
seperti Moammar Khadafi. Namun ada satu negara yang cukup kuat dalam menghadapi
huru hara di negaranya, yakni Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-As’ad. Saat ini,
di negara yang pernah jadi mercusuar kerajaan Islam itu masih terjadi perang
saudara.
Arab Springs (the great middle east) |
Konflik di
Suriah
Saya secara pribadi kurang mengikuti isu Arab Spring,
sampai pada kemunculan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) di beranda media
sosial saya. Ketika saya klik di google, muncul banyak berita mengenai gerakan
masyarakat sipil bersenjata itu.
Ketertarikan saya semakin bertambah saat banyak teman
saya mengutuk keras Bashar Al-As’ad karena dianggap melakukan genosida di
negaranya sendiri. Bashar yang konon Syiah Dinaggap membantai warga Sunni yang
menjadi mayoritas. Sampai-sampai muncul narasi seperti ini: waspadai Syiah
karena mereka tega membantai muslim Sunni di Timur Tengah.
Kutukan pada Bashar semakin menguat di penghujung 2016
saat pemerintah membombardir kota Aleppo. Di banyak tempat muncul spanduk-spanduk
bertagar #SaveAleppo. Teman saya yang sejak beberapa waktu anti dengan Bashar
langsung menulis status makian terhadap pemimpin Suriah itu.
Sejak saat itulah, saya mencari tahu apa itu Aleppo, siapa
sebenarnya Bashar Al-As’ad dan mengapa di Suriah terjadi konflik berdarah. Dan beruntung
saya membaca ulasan konflik di Suriah ini dari Mbak Dina Y. Sulaeman melalui
blognya. Semakin beruntung karena saya bisa bertemu langsung dengannya di malam
hari ini. Tulisan ini adalah refleksi saya terkait ngobrol santai dengan Mbak
Dina.
Sebelum krisis, Suriah termasuk negara
dengan tingkat kriminalitas terendah di dunia. Kota-kotanya tidak begitu besar,
tapi cukup indah. Di negara ini banyak peninggalan kuno yang menjadi salah satu
daya tarik wisata para pelancong. Hingga pada satu waktu, terjadi demonstrasi
untuk menuntut adanya maksimum periode kekuasaan. Permintaan ini pun direspon
dengan dihapusnya state emergency law
dan diadakannya referendum UUD baru Suriah yang membuat seorang presiden
memiliki batas waktu berkuasa (26 Februari 2012).
Aleppo before the war (Huffington Post) |
Pada tahun 2014, negara sosialis sekuler ini mengadakan
pemilihan umum. Bashar Al-As’ad yang telah berkuasa sejak tahun 2000 terpilih
dengan prosentase suara 88,7%. Sebuah angka yang fantastis. Di sisi lain, sebagian
warga bergabung dengan kelompok milisi bersenjata untuk menentang kekuasaan
Bashar Al-As’ad. Mereka menuntut ditegakkannya sebuah negara berdasarkan sistem
khilafah.
Beberapa wilayah berhasil mereka kuasai, salah satunya
adalah kota Aleppo Timur. “Para milisi bersenjata inilah yang diperangi oleh
Bashar,” ujar Mbak Dina menjelaskan. Sebelum menggempur Aleppo, Bashar lebih
dulu memberi waktu agar penduduk sipil bisa meninggalkan medan pertempuran itu.
Namun setelah beberapa waktu, tidak ada penduduk yang meninggalkan kota. Ternyata,
mereka diancam akan ditembak oleh milisi bersenjata jika berusaha meninggalkan
Aleppo. Hal ini terkonfirmasi dengan adanya laporan dari PBB yang menyebut
adanya puluhan warga yang mati ditembak.
“Ada yang bilang ini ulah tentara Suriah. Tapi coba
dipikir dengan jernih. Saat itu tentara Suriah belum masuk ke Aleppo karena
menunggu warga dievakuasi. Bagaimana mungkin para tentara negara yang menembaki
para warga?” tanya Mbak Dina. Pernyataan ini saya konfirmasi dengan laporan
dari akun twitter centang biru Yusha Yuseef @MIG29_, reporter The Arab Sources,
selama krisis Suriah memuncak.
Dari akun ini pula, saya mengetahui adanya kiriman
puluhan bus dari pemerintah yang mengangkut para milisi bersenjata untuk
meninggalkan Aleppo. Para milisi itu pindah ke Idlib, sebuah kota yang mereka
kuasai. Pada malam natal, Aleppo berpesta karena berhasil mengusir para
pemberontak. Menurut Mbak Dina, sikap pemerintah Bashar yang sedemikian
menunjukkan pemerintah tidak semena-mena dalam menyikapi konflik di negaranya.
Beberapa Alasan
Konflik
Suriah adalah negara gurun. Tentu banyak sumber energi
tak terbarukan di sana, utamanya sektor migas. Inilah kepentingan negara-negara
kuat untuk memperebutkannya.
Dalam upaya memerangi milisi, militer Suriah dibantu
oleh negara sahabat mereka yaitu Iran, Tiongkok, dan Russia. Negara-negara ini
tentu saja mempunyai kepentingan di Suriah, utamanya Russia yang sudah melakukan
investasi besar-besaran di sektor migas. Karenanya, tidak mengherankan jika
Putin membela mati-matian Bashar.
Lalu mengapa ada konflik? Ada puluhan ribu pasukan
yang datang dari 100 negara untuk menduduki kota-kota di Suriah. Para milisi
ini bergabung dengan bermacam-macam organisasi, mulai ISIS hingga Al-Nushra. Tujuan
mereka sama, mendirikan sebuah negara khilafah. Inilah yang dilawan oleh rezim
Bashar Al-As’ad dan aliansinya.
Yang mengejutkan, dari bocoran WikiLeaks, disebut
bahwa AS merupakan donatur gerakan ISIS. Mereka menyuplai senjata dan mengadakan
pelatihan militer.
Media Sosial
dalam Konflik
Selama konflik berlangsung, media sosial menjadi
penggerak mesin perdebatan yang sangat sengit. Situasi itu merembet ke
Indonesia. Di Indonesia, narasi kekejaman Bashar menjadi pembicaraan yang banyak
dibincangkan. Terlebih saat seorang bocah bernama Bana Alabed (@AlabedBana)
rajin ngetwit tentang ‘kondisi’ Aleppo. Gadis cilik berusia 7 tahun itu kerap
menulis ‘situasi’ menggunakan bahasa Inggris yang sangat sempurna.
Twit-twit Bana ini sempat dicapture oleh beberapa
teman saya yang anti Bashar sebagai ‘bukti’ kekejaman pemerintah Suriah. Walau belakangan
diketahui akun itu dikelola oleh ibu bocah itu yang di akun pribadinya terdapat
foto dirinya menenteng senjata laras panjang. Sementara ayahnya sering
mengunggah foto-foto bersama milisi bersenjata. Lha kok?
Akun Bana ini tidak sendiri. Banyak akun lain yang
turut memberitakan hal-hal yang diada-adakan. Dalam bahasa gaulnya, akun-akun
tersebut menyebar berita HOAX. Saat evakuasi berlangsung, mereka membuat video
yang intinya berpamitan, mengatakan mungkin hari itu adalah hari terakhir
mereka karena sebentar lagi rezim Bashar akan membantainya. Ajaibnya, sehari
kemudian wajah mereka nongol di beberapa stasiun televisi.
Tetapi apa boleh buat. Keberadaan akun-akun ini
terlanjur dianggap sebagai saluran informasi para ‘mujahidin’ yang ‘membela
agama’ di negara sekuler Suriah. Teori jarum hipodermik yang ketika saya kuliah dianggap sudah usang, justru menjadi relevan di saat manusia modern sudah
berkenalan dengan istilah literasi media.
Saking gregetannya, untuk menantang tuduhan genosida, Mbak Dina meminta untuk ditunjukkan satu foto saja terkait kejahatan Bashar. Ia telah melakukan analisis beberapa foto propaganda yang beredar, dan semuanya tidak terkait dengan konflik Suriah.
Lalu apa tujuan dari berita HOAX itu? Salah satunya tentu
memenangkan pertarungan wacana di dunia maya. Tapi yang tidak banyak disadari,
mereka tengah mengaduk emosi banyak orang di dunia supaya tergerak berdonasi
melalui saluran-saluran yang telah mereka persiapkan. Yah, namanya juga
perjuangan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka tidak mengejutkan apabila ditemukan kardus bantuan yang berasal dari Indonesia masuk ke markas milisi bersenjata di Aleppo.
Indonesia
dan Suriah
Konflik Suriah bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia,
ujar Mbak Dina. Pendapat ini pernah saya dengar di beberapa forum, termasuk
yang diselenggarakan oleh BNPT. Di Indonesia narasi-narasi yang digunakan untuk
mengguncang Suriah mulai diterapkan kepada pemerintahan saat ini.
Beberapa narasi seperti pemerintah menzalimi umat
Islam, demokrasi sistem gagal, pemerintah bersekutu dengan komunis dan lain
sebagainya sudah berseliweran di media sosial. Ajakan untuk melakukan
penggulingan terhadap pemerintah yang sah pun mulai digaungkan. Untungnya pembelian senjata di Indonesia
sangat ketat prosedurnya. Jika mereka bisa mendapat akses senjata, bukan tidak
mungkin negara ini memanas. Na’udzubillah.
Satu hal yang mengejutkan adalah tuduhan penistaan
Al-Quran yang menjadi salah satu pemicu konflik Suriah. Bashar dituduh
menistakan surat Al-Ikhlas karena ‘menganggap’ dirinya sebagai Tuhan. Padahal,
tuduhan itu adalah HOAX. Tapi jutaan orang terlanjur percaya dan marah pada
rezim yang menentang kesewenang-wenangan Israel di Palestina itu.
Saya sendiri masih perlu membaca literatur untuk memahami
secara utuh persoalan di Suriah. Namun diskusi dengan Mbak Dina, yang sudah
melakukan banyak pengamatan dan riset, menambah banyak wawasan terkait krisis
di negara itu. Walau karena pendapatnya, Mbak Dina kerap mendapat tantangan
dari pihak-pihak tertentu. Ia dianggap mengada-ada hingga dilabeli Syiah. Tapi kebenaran harus disuarakan walau itu pahit.
Mbak Dina kemudian menjelaskan rasa syukurnya karena
saat ini banyak alumni Suriah yang mulai berani buka suara untuk menjelaskan
keadaan sebenarnya. Ia menilai muncul kesadaran di benak para alumni untuk
mencegah Indonesia tercinta ini mengalami situasi pilu seperti Suriah. Wallahua’lam.
Berikut link pernyataan para alumni Suriah membantah HOAX seputar krisis Suriah sebagaimana dimuat situs NU Online