Tak banyak persinggungan yang
kualami dengan Bapak Mahsun Zain, bupati Purworejo (2008-2015). Paling
sering tentu melihat fotonya di beberapa baliho di kota itu yang saban
tahun hampir selalu aku lewati, baik ketika masih mondok di Pati atau
kuliah di Jogja. Namun pada seminggu terakhir, aku mengunjungi
kediamannya dua kali.
Kamis (25 Mei 2017) adalah pertama kalinya aku bertemu beliau. Ia mengenakan kaos oblong putih dan bersarung layaknya santri, menunggu aku dan beberapa teman yang ingin menginap di kediamannya seusai melihat acara Among-Among Pancasila di Kebumen. Salah satu rekan kami adalah anak beliau.
Beliau berada di teras depan rumah dan mempersilakan kami segera masuk.
"Nanti tidur di kamar saya, ya?" ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar. Ia sendiri, setelah berbincang-bincang ringan dengan kami dan mempersilakan kami segera istirahat, langsung menuju ruang depan. Mungkin beliau tidur di sofa.
Pagi harinya, ketika kami hendak pamit ke Jogja, beliau berada di teras rumah. Saat itu, dengan masih mengenakan kaos oblong sederhananya, beliau tengah memotong kacang panjang. Aku dan teman-teman yang lain menyucup tangannya dan mengucap salam. Tak dinyana, itulah salam terakhir yang kami ucapkan pada pria hebat kelahiran 1959 itu.
Kesehatan beliau belakangan memang kurang baik. Mungkin karena aktivitas padatnya selama menjabat sebagai orang nomor 2 dan 1 di Purworejo. Bapak Mahsun kabarnya sudah melakukan cuci darah sejak beberapa tahun terakhir. Selasa malam (30 Mei 2017) pukul 19.10 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir di RS Tjitrowardoyo, Purworejo.
Dini hari tadi, di jam yang hampir sama saat aku pertama ke sana, aku kembali mengucap salam. Berbeda dengan seminggu lalu yang suasananya sangat sepi, malam tadi berdiri terop/tarub dengan puluhan pelayat yang masih terus berdatangan. Ah,
Kematian memang sebuah misteri....
Sebuah pertemuan singkat dengan bapak bupati ini sangat bermakna bagiku. Ya, karena aku menemukan kata sederhana yang tak selalu kutemukan pada para pejabat yang pernah kutemui.
Ada sebuah kisah bahwa beliau sebenarnya masih diminta warga Purworejo maju di pemilihan bupati 2015 lalu. Tapi beliau menolak. Padahal, sebagai petahana, seharusnya mudah baginya untuk memenangkan kursi pemilihan. Tapi beliau bukanlah sosok yang gila jabatan. Ya, karena jabatan adalah amanah sekaligus ujian. Tak perlu diburu. Tak perlu dipertahankan mati-matian.
Aku jadi ingat sesi wawancara Gus Dur dengan Andi F. Noya. Di salah satu sesi, Gus Dur lantang mengatakan "saya jadi presiden itu karena diminta oleh 5 guru saya." Jika tidak diminta, ya tidak usah ngotot memburunya. Bisa jadi, bapak Mahsun pun demikian.
Selamat jalan, pak...
Lahul fatihah...
Yogyakarta, 31 Mei 2017
Kamis (25 Mei 2017) adalah pertama kalinya aku bertemu beliau. Ia mengenakan kaos oblong putih dan bersarung layaknya santri, menunggu aku dan beberapa teman yang ingin menginap di kediamannya seusai melihat acara Among-Among Pancasila di Kebumen. Salah satu rekan kami adalah anak beliau.
Beliau berada di teras depan rumah dan mempersilakan kami segera masuk.
"Nanti tidur di kamar saya, ya?" ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar. Ia sendiri, setelah berbincang-bincang ringan dengan kami dan mempersilakan kami segera istirahat, langsung menuju ruang depan. Mungkin beliau tidur di sofa.
Pagi harinya, ketika kami hendak pamit ke Jogja, beliau berada di teras rumah. Saat itu, dengan masih mengenakan kaos oblong sederhananya, beliau tengah memotong kacang panjang. Aku dan teman-teman yang lain menyucup tangannya dan mengucap salam. Tak dinyana, itulah salam terakhir yang kami ucapkan pada pria hebat kelahiran 1959 itu.
Kesehatan beliau belakangan memang kurang baik. Mungkin karena aktivitas padatnya selama menjabat sebagai orang nomor 2 dan 1 di Purworejo. Bapak Mahsun kabarnya sudah melakukan cuci darah sejak beberapa tahun terakhir. Selasa malam (30 Mei 2017) pukul 19.10 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir di RS Tjitrowardoyo, Purworejo.
Dini hari tadi, di jam yang hampir sama saat aku pertama ke sana, aku kembali mengucap salam. Berbeda dengan seminggu lalu yang suasananya sangat sepi, malam tadi berdiri terop/tarub dengan puluhan pelayat yang masih terus berdatangan. Ah,
Kematian memang sebuah misteri....
Sebuah pertemuan singkat dengan bapak bupati ini sangat bermakna bagiku. Ya, karena aku menemukan kata sederhana yang tak selalu kutemukan pada para pejabat yang pernah kutemui.
Ada sebuah kisah bahwa beliau sebenarnya masih diminta warga Purworejo maju di pemilihan bupati 2015 lalu. Tapi beliau menolak. Padahal, sebagai petahana, seharusnya mudah baginya untuk memenangkan kursi pemilihan. Tapi beliau bukanlah sosok yang gila jabatan. Ya, karena jabatan adalah amanah sekaligus ujian. Tak perlu diburu. Tak perlu dipertahankan mati-matian.
Aku jadi ingat sesi wawancara Gus Dur dengan Andi F. Noya. Di salah satu sesi, Gus Dur lantang mengatakan "saya jadi presiden itu karena diminta oleh 5 guru saya." Jika tidak diminta, ya tidak usah ngotot memburunya. Bisa jadi, bapak Mahsun pun demikian.
Selamat jalan, pak...
Lahul fatihah...
Yogyakarta, 31 Mei 2017