Malam kemerdekaan, salah satu film yang diadaptasi dari novel tetralogi legendaris Pramoedya Ananta Toer ditayangkan di sebuah stasiun TV nasional. Di Twitter, kata kunci “Bumi Manusia” sempat trending beberapa jam. Ketika di klik, ternyata terkait dengan film atau pun novel tersebut.
Maaf maaf nih ya Mas
Hanung Rais Bramantyo. Saya harus jujur. Dulu, saat film ini dirilis,
ada banyak teman saya yang meragukan akan mendulang sukses, baik secara
kualitas atau pun kuantitas. Mengapa demikian?
Paling utama dan
substansil adalah soal pemilihan pemeran karakter Minke. Minke ini tokoh muda
berbahaya nan sangar dengan upaya yang begitu heroik dalam membangun pers
perjuangan di Hindia Belanda. Ia berasal dari Blora. Terinspirasi dari tokoh
pers bernama Tirto Adhie Soerjo.
Nah, pertanyaannya,
mengapa tokoh sesangar Minke diperankan oleh Dilan alias Iqbaal? Iqbaal ini
sudah sangat lekat dengan ‘rindu itu berat’ yang ala-ala. Lha kok malah diminta
memerankan tokoh dari novel wajib para social justice warrior atau SJW?
Orang kemudian
membandingkan dengan Bunga Penutup Abad, sebuah pementasan teater yang
diperankan artis sejuta film, Reza Rahardian. Drama tersebut juga diangkat dari
novel Bumi Manusia (plus Anak Semua Bangsa). Tokoh utama dalam teater tersebut
diisi oleh pemeran kelas kakap lain seperti Happy Salma (Nyai Ontosoroh),
Chelsea Islan (Annelies), dan Lukman Sardi (Jean Marais).
Tentu sebuah
pekerjaan berat bagi penikmat novel dan teater untuk menerima nama-nama baru
yang muncul di casting ‘Bumi Manusia’. Annelies diperankan oleh artis pendatang
baru Mawar Eva de Jongh. Nyai Ontosoroh diperankan oleh Sha Inne Febriyanti.
Apakah film ini bisa se-epik novel dan versi teaternya?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu yang membuat saya kesulitan mendapat teman menonton. Beberapa teman
yang saya tahu pernah membaca pun meletakkan ekspektasi yang kelewat rendah
dari film ini. Mereka merasa beberapa film bio epik yang digarap oleh Hanung
Bramantyo mengecewakan. Misalnya film Soekarno dan Kartini.
‘Halah paling gitu
juga. Merusak imajinasi saya.’ Begitu kata salah seorang kawan.
Beberapa hari
menjelang pemutaran perdana 15 Agustus 2019, komentar-komentar negatif pun
bermunculan di timeline. Banyak sekali yang menghujat trailer, mulai dari
kurang geregetnya Iqbaal hingga aspek bahasa yang ‘tidak 1910-an’. Namun,
karena saya ingat pesan Pramoedya untuk ‘adil sejak dalam pikiran’, saya
abaikan suara-suara sumbang tersebut. Hasilnya?
Pertama, saya
mengapresiasi Hanung yang akhirnya berhasil memvisualkan novel yang pernah
dilarang beredar di masa Orde Baru tersebut. Dulu novel yang memiliki kisah yang
kompleks dengan isu percintaan, kemanusiaan, kolonialisme, nasionalisme itu
disebut mengandung ajaran Marxisme-Lenninisme. Bayangkan, dari yang dilarang
oleh negara sampai jadi tontonan bebas di bioskop.
Ide untuk
memvisualkan novel sudah dimulai sejak 2004, saat Pram masih hidup. Saat itu
Pram ingin sineas Indonesia yang menggarapnya. Karenanya, ia menolak tawaran
1,5 juta dollar AS dari sineas Hollywood Oliver Stone. Hak adaptasi pun jatuh
ke tangan Hatoek Subroto, bos PT Elang Perkasa.
Nah, perjalanan film
ini sangat panjang. Beberapa nama besar sineas Indonesia seperti Mira Lesmana
dan Riri Reza, Anggy Umbara, hingga Garin Nugroho pernah mencoba menggarak
proyek film tersebut. Namun semua gagal, mulai dari keterbatasan dana, beda
visi dengan produser, dan lain sebagainya. Padahal, penggarapannya sudah
melalui riset yang cukup panjang. Garin misalnya sudah menggarap skenario
hingga 80 persen.
Hanung sendiri
mengaku sudah pernah mendapat tawaran pada tahun 2006. Entah mengapa proyek itu
batal. Padahal, menurut pengakuannya, ia rela tidak dibayar demi menggarap film
yang diadaptasi dari salah satu novel favoritnya. Beruntung, ia mendapat amanah
itu 12 tahun kemudian.
Kedua, film ini
menyampaikan pesan perjuangan yang cukup kuat. Beberapa kutipan dan adegan epik
tidak dilewatkan oleh Hanung. Misalnya saat Nyai Ontosoroh melakukan pembelaan
di persidangan Annelies. Inne yang memerankan Nyai Ontosoroh berhasil membuat
saya mbrebes mili. Bagi saya, adegan ngamuknya Nyai Ontosoroh menjadi adegan
terbaik di film ini.
Ketiga, totalitas.
Pemeran dalam film Bumi Manusia sangat banyak dan kompleks seperti novelnya.
Hanung membawa beberapa pemeran teater untuk berperan di film ini. Selain Inne,
ada nama Whani Darmawan yang secara apik memerankan karakter Darsam. Juga ada
Ayu Laksmi yang memerankan ibunya Rini Minke.
Sementara dari
Belanda, Hanung menggunakan artis mancanegara seperti Angelica Reitsma (Magda
Peters), Peter Sterk (Herman Mellema), Jeroen Lezer (dr. Martinet), Salome van
Grunsven (Miriam de la Croix), dan Hans de Kraker (Jean Marais). Semuanya artis
dari Belanda.
Meski demikian, tak
ada gading yang tak retak. Film ini tentu tidak akan mampu memuaskan semua
pembaca tetralogi, apalagi yang sangat ingin terlihat real detil seperti
1910-an seperti aspek bahasa dan bahan pakaian yang diimpor dari mana.
Satu lagi, film ini
memang digarap untuk kebutuhan industri. Tak perlu demo apabila menemukan
beberapa adegan yang memang tidak terbayang saat membaca novelnya. Namanya saja
adaptasi. Jika tidak puas, berkarirlah sebagai sutradara. Buat versi rebootnya
di masa depan.
Bagaimana sentimen
publik? Film itu ditonton sebanyak 1,4 juta di bioskop. Sebuah angka yang tidak
terlalu mengecewakan. Saya bisa kutip beberapa twit secara utuh dari keyword
‘Bumi Manusia’ saat trending.
Second time crying
Bumi Manusia
Bumi manusia adlh
film terbaik Indonesia menurutku. Durasi 3 jam tapi berasa singkat sekali.
Paling suka dgn karakter Nyai Ontosoroh, beliau perempuan yang tangguh, berani,
& penuh optimisme. Pada zaman itu 'nyai' dianggap hal yg rendah tp dia
membuktikan bahwa dirinya berbeda.
Pada film bumi
manusia, kamu bisa tau bahwa, tidak direstuinya sebuah hubungan bukan karena
masalah weton atau beda agama saja, tapi status sosial juga. Namun, dari kisah
itu kamu bisa belajar bahwa, sebaik baiknya mencintai adalah berjuang bersama.
Apa kabar kamu yang
pernah nonton bioskop Bumi Manusia bersamaku kala itu? Masih ku simpan foto ini
di galeriku, meski kau sudah menghapus diriku dari ingatanmu.
Selebihnya, silakan nilai setelah menontonnya.