FILSAFAT MANUSIA
Karya Tulis Ini Disusun Guna Melengkapi Tugas Matakuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Rifa'i
Disusun oleh: Sarjoko, Abdul Halim, Salsabila, Rizkiyawati
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat
Manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus merefleksikan hakekat
atau esensi dari manusia. Filsafat Manusia sering juga disebut sebagai
Antropologi Filosofis. Filsafat Manusia memiliki kedudukan yang setara dengan
cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, epistemologi, kosmologi, dll.
Akan tetapi Filsafat Manusia juga memiliki kedudukan yang istimewa, karena
semua persoalan filsafat itu berawal dan berakhir tentang pertanyaan mengenai
esensi dari manusia, yang merupakan tema utama refleksi Filsafat Manusia.
B.
Tujuan
1. Memahami pengertian dan ruang lingkup
Filsafat Manusia.
2. Memahami hakekat Manusia
3. Memahami ciri-ciri Filsafat Manusia
4. Memahami esensi Manusia
C.
Rumusan Makalah
1. Apa yang dimaksud dengan Filsafat Manusia?
2. Apa yang dimaksud dengan Hakekat Manusia?
3. Apa saja yang termasuk ciri-ciri Filsafat
Manusia?
4. Apa yang dimaksud dengan Esensi Manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat
Manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus merefleksikan hakekat
atau esensi dari manusia. Filsafat Manusia sering juga disebut sebagai
Antropologi Filosofis. Filsafat Manusia memiliki kedudukan yang setara dengan
cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, epistemologi, kosmologi, dll.
Akan tetapi Filsafat Manusia juga memiliki kedudukan yang istimewa, karena
semua persoalan filsafat itu berawal dan berakhir tentang pertanyaan mengenai
esensi dari manusia, yang merupakan tema utama refleksi Filsafat Manusia.
Manusia secara bahasa disebut juga insan, yang dalam bahasa arabnya berasal
dari kata ‘nasiya’ yang berarti lupa. Dan jika dilihat dari kata dasar ‘al-uns’
yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang baru disekitarnya. Manusia memiliki cara keberadaan yang sekaligus
membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan
mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir, dan berfikir tersebut
yang menentukan manusia pada hakekat manusia.
A.
PANDANGAN FILSAFAT MANUSIA MENURUT BEBERAPA AHLI
Manusia
juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain.
Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting
psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya.
Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang
menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan
teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan
melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental.
Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada
pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat
Islam, 1999)
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai
macam perfektif. Ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal
rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain
menilai manusia sebagai animal simbolik, pernyataan tersebut dikarenakan
manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan
simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai
homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila
terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu
pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup.
Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus
menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut
sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli makhluk
yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan
manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian
yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang
bermain). Dalam bermain manusia memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan
bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permainan
dalam sejarahnya juga digunakan untuk memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu
kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritual suci. (K. Bertens, Panorama
Filsafat Modern, 2005)
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang
kebutuhannya. Binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya, sedangkan
manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya.
Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya
dan keturunannya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari
kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari
kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi
menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi menurut
berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia
berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas
dan universal, bebas dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung,
universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama.
Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah
satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada
nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah
menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran
Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang
mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu
mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian
menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam
dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan
dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah
kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupakan
pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang
manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final
dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam
subtansinya tidak berubah. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang
memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki
sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak
kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan
dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi
intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan
mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan
dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat
hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan
disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan.
manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah.
(Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya,
seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan
yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur
rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang
menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling
menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan
pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan
unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan
manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan
hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu
tidak pernah menciptakan dirinya , akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak
dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam
kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan
memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan
perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam,1999)
B.
FILSAFAT SEBAGAI ILMU TENTANG KEHIDUPAN MANUSIA
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan
yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara
lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu
dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri
dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama.
Dalam makalah
ini akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu
manusia untuk hidup lebih baik. Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam
arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia
sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan
lebih kritis.
Filsafat
bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah
ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat
tiga unsur pembentukan manusia.
Ketiga unsur
pembentuk itu antara lain:
I.
Pengetahuan Manusia Tentang Diri Sendiri Dan Lingkungannya
II. Manusia
Dalam Hubungannya Dengan Hidup Komunitas
Pengetahuan
menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik.
Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya.
Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui
secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya
menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok
megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat
oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia
tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal
dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam
dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan
pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki
tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara
cepat dan lebih mudah.
Manusia
ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan
dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu
sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk
dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih
bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup
bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami
kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas
inilah yang turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup
atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain
yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia dapat
hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama
mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik
bagi penganutnya.
I.
Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang
penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik
dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan
akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia
sebagai tempat dirinya bereksistensi.
Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia
yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di
mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna
bagi pembentukan dan pengembangan dirinya. Pengetahuan merupakan kekayaan dan
kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui
segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap
pengetahuan kurang.
Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang
yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak
tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan
dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri. Namun, pengetahuan
manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena
dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka
pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif.
Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau
luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi
manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan
itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang
tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar
jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan
manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki
manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara
lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan
dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya
berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam
dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun
tantangan yang diperhadapkan kepadanya.
Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa
yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan
orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan
dunianya membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih
baik. Salah satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah
melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan
untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya
dari semua binatang.
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai
suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi
pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak
dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu
dengan yang lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti
sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang
membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang
dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama.
Misalnya,
nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam
mencapai tujuan bersama itu setiap individu saling berinteraksi atau
bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas
kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi.
Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan
kepada setiap individu. Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan
dalam diri setiap individu.
C. HAKEKAT MANUSIA
Masalah
manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan
atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat
bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa
mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan
kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma
Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan
immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis.
Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang
mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman
konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan
moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan
manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal
memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan
rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana
eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia
adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak
membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros
pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real
adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging
teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang
tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak
rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya
bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti
mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui
dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah
berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan
yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat
makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum
sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny
Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego
dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian
dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan
dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis,
tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan
kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan
perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia
sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan
ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat
Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat
dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan
dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri,
dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus
mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya
tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat
unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya
dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi
manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik,
dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia
didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan
pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu
suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu.
Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah
dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai
Alat Perlawanan, 2004)
Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya
dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh
makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya,
sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
Ruh Tuhan
+ Lempung Busuk Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual
manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan.
Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk”
merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan
simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak
terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung
busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu
stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan
tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia
sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia
berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab.
Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah
mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya
adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat,
bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat
pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi
dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua
macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan
bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan
eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan
eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri
manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang
menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih
dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan
eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak
dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi
manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika
tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia
merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana
perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak
direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia
dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami
tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri
dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada
dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama
dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau
manusia sempurna.
Bagian Esensi dan Eksistensi Manusia
No
|
Eksistensi manusia
|
Esensi Kesadaran
Fitrah (Basic Human Drives)
|
Basic Human Values
(Basic Islamic Values)
|
Kebutuhan Dasar
(Basic Human Needs)
|
1
|
Al Insan
|
Rasa ingin tahu
|
Intelektual
|
Intelektual
|
2
|
Al Basyar
|
Rasa lapar, haus,
dingin
|
Biologis
|
Biologis
|
3
|
Abdullah
|
Sara ingin
berterimakasih dan bersykur kepada tuhan
|
Spiritual
|
Spiritual
|
4
|
An-Nas
|
Rasa tahan sendiri
dan menderita dalam kesepian
|
Sosial
|
Sosial
|
5
|
Khalifah fil ardli
|
Butuh keamanan,
ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan
|
Estetika
|
Estetika
|
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang
berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab
pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam
eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah.
Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri
manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat
dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah
dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan.
Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik
profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari
korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan
esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang
lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai
mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
Esensi
Manusia Menurut Sejumlah Aliran dalam Filsafat
Di dalam filsafat manusia terdapat beberapa
aliran. Tiap-tiap aliran memiliki pandangan tentang hakikat atau esensi manusia
yang berbeda-beda. Dari sekian banyak aliran, terdapat dua aliran tertua dan
terbesar, yaitu materialisme dan idealisme. Sedangkan
aliran-aliran lain, pada prinsipnya merupakan reaksi yang berkembang kemudian
terhadap kedua aliran tersebut.
1.
Materialisme
Materialisme adalah paham filsafat yang
meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau
fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati
ruang dan waktu, memiliki keluasan (res extansa), dan bersifat objektif.
Karena menempati ruang dan waktu serta bersifat objektif, maka ia bisa diukur,
dikuantifikasikan (dihitung), dan diobservasi.
Para materialis mempercayai bahwa tidak ada
kekuatan apa pun bersifat spiritual dibalik suatu gejala atau peristiwa yang
bersifat material. Kalau ada suatu gejala yang masih belum diketahui, atau
belum dipecahkan oleh akal manusia, maka hal itu bukan berarti ada kekuatan
yang bersifat spiritual dibelakang peristiwa tersebut, melainkan karena
pengetahuan dan akal fikiran kita saja yang belum dapat memahaminya. Penjelasan
tentang gejala tersebut tidak perlu dicari dalam dunia spritual, karena tidak
ada yang namanya dunia spiritual. Penejalasan
tersebut harus berdasarkan pada data-data yang bersifat inderawi.
Jenis lain dari materialisme adalah
naturalisme. Dikatakan naturalisme, karena isitilah materi diganti dengan
istilah alam (nature) atau organisme. Materialisme atau naturalisme
percaya bahwa setiap gejala dan setiap gerak dapat dijelaskan menurut hukum
stimulus-respon. Contoh tindakan agresif yang dilakukan oleh manusia tidak
terjadi begitu saja, melainkan merupakan respons dari bagian-bagian tertentu
didalam syaraf pusat manusia terhadap stimulus tertentu, sehingga tanpa
dibendung, ia mampu melakukan tindakan agresif.
Karena sangat percayapada hukum kausalitas,
maka kaum materialis pada umumnya sangat deterministik. Mereka tidak
mengakui adanya kebebasan atau independensi manusia. Seorang materialis sangat
yakin bahwa tidak ada gerak atau perilaku yang ditimbulkan oleh dirinya
sendiri. Gerak selalu bersifat mekanis, digerakan oleh kekuatan-kekuatan di
luar dirinya (eksternal). Oleh sebab itu, metafor yang digunakan oleh
materialisme untuk menjelaskan gerak atau perilaku adalah mesin, dan
benda-benda lain yang bersifat mekanis.
Ilmu-ilmu alam – seperti fisika, biologi,
kimia, kedokteran – adalah suatu bentuk dari materialisme atau naturalisme,
jika beransumsi bahwa esensi alam semesta (termasuk manusia) dan objek kajian
ilmu-ilmu alam sepenuhnya bersifat material, sehingga bisa dijelaskan secara
kausal dan mekanis. Akan tetapi, ilmu-ilmu manusia seperti psikologi dan
sosiologi pun adalah materialisme, jika memiliki asumsi bahwa objek kajianya
(yakni, perilaku manusia) adalah materi yang menempati ruang dan waktu, bisa diukur
dan dikuantifikasikan dan bergerak (berperilaku) secara kausal.
2.
Idealisme
Kebalikan dari materialisme adalah idealisme.
Menurut aliran ini, kenyataan sejati adalah bersifat spiritual (oleh sebab itu,
aliran ini sering disebut juga spiritualisme). Para idealis percaya bahwa ada
kekuatan atau kenyataan spiritual dibelakang setiap penampakan atau kejadian.
Esensi dari kenyataan spiritual dibelakang setiap penampakan atau kejadian.
Esensi dari kenyataan spiritual ini adalah berpikir (res cogitans). Karena
kekuatan atau kenyataan spiritual tidak bisa diukur atau dijelaskan berdasarkan
pada pengamatan empiris, maka kita hanya bisa menggunakan metafor-metafor
kesadaran manusia.
Dengan diakuinya kenyataan sejati sebagai
bersifat spiritual, tidak berarti bahwa idealis menolak kekuatan-kekuatan yang
bersifat fisik (material) dan menolak adanya hukum alam. Sebagaimana
dikemukakan oleh Hegel (1770-1831) kekuatan fisik dan hukum alam itu memang
ada, tetapi keberadaanya merupakan manifestasi dari kekuatan atau kenyataan
yang sejati dan lebih tinggi, yakni Roh Absolut. Seperti halnya kebudayaan dan
kesenian merupakan manifestasi lahiriah dari jiwa manusia, alam fisik pun
adalah manifestasi lahiriah dari kenyataan yang sejati yakni Roh Absolut atau
Tuhan. Para idealis percaya adanya gerak pada setiap planet dan adanya hukum
alam, tetapi baik gerak planet-planet maupun hukum alam, sudah didesain
terlebih dahulu oleh kekutan spiritual.
Jika kenyataan pada dasarnya bersifat
spiritual atau nonfisik, maka hal-hal yang bersifat ideal dan normatif, seperti
agama, hukum, nilai, cita-cita atau ide, memegang peran penting dalam
kehidupan. Hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta agama dan
nilai dalam kehidupan sosial dan pribadi, merupakan norma-norma yang
menggerakkan perilaku manusia dan masyarakat manusia. Norma-norma atau
nilai-nilai tersebut adalah panduan dan sekaligus sasaran kearah mana manusia
hendak menuju atau kearah mana perilaku manusia diarahkan untuk mewujudkannya.
Jika perilaku manusia diarahkan pada
nilai-nilai atau norma-norma, maka hidup manusia adalah bertujuan (teleologis),
yakni hendak menggapai dan sekaligus mengaktualisasikan nilai, norma, atau
hukum. Perilaku manusia mengandung maksud dan tujuan, bukan semata-mata
bergerak secara mekanis. Penggerak utama perilaku bukan kekuatan eksternal,
melainkan internal, yakni jiwa, yang hendak mewujudkan dirinya dalam menggapai
nilai-nilai pribadinya dan norma-norma atau hukum-hukum masyarakat dan agamanya.
3.
Dualisme
Menurut
aliran dualisme, kenyataan sejati pada dasarnya adalah baik bersifat fisik
maupun spiritual. Semua hal dan kejadian di alam semesta ini pada dasarnya
tidak bisa diasalkan hanya pada satu substansi atau esensi saja. Esensi
kenyataan tidak bersifat fisik material, karena pada dasarnya kejadian didunia
ini yang tidak bisa dijelaskan dengan
ilmu alam atau pancaindra. Esensi kenyataan juga bukan berarti roh atau jiwa,
karena siapapun tidak bisa menyangkal keberadaan dan kekuatan yang nyata dari
materi. Yang benar adalah bahwa kenyataan sejati merupakan perpaduan antara
materi dan roh.
Manusia terdiri dari dua substansi, yakni
materi dan roh, atau tubuh dan jiwa. Menurut Descartes (1596-1650), tubuh
adalah substansi yang cirinya adalah berkeluasan (res extensa), menempati ruang dan waktu. Karena ciri dari tubuh
adalah res extensa, maka siapapun
bisa mengamati, menyentuh dan mengukur. Ini berarti bahwa materi atau tubuh itu
ada dan tidak bisa ditolak. Akan tetapi, dengan diakuinya keberadaan tubuh
bukan berarti menolak keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa, meski tidak bisa
diamati secara inderawi, tetapi bisa dibuktikan secara rasio (pikiran). Menurut
Descartes, keberadaan jiwa karakteristiknya adalah res cogitans (berfikir) justru lebih jelas dan tegas dibandingkan
dengan keberadaan tubuh. Untuk membuktikannya maka perlu berfikir secara
skeptis, misalnya meragukan keberadaan apa saja yang bersifat fisik (computer,
kekasih yang berada disamping kita dan keberadaan tubuh kita sendiri). Semua
itu bisa diragukan keberadaannya atau hanya halusinasi kita, hanya dalam mimpi dan bukan kenyataan yang sebenarnya.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak bisa diragukan keberadaannya, yaitu “aku”
yang sedang meragukan atau sedang berfikir. Descartes menyebutnya “Cogito ergo sum”- “aku berfikir
(meragukan), maka aku ada.”
4.
Vitalisme
Vitalisme
adalah paham didalam filsafat yang beranggapan bahwa kenyataan sejati pada
dasarnya adalah energi, daya, kekuatan atau nafsu yang bersifat irrasional
(tidak rasional). Vitalisme percaya bahwa seluruh aktivitas atau perilaku
manusia pada dasarnya merupakan perwujudan dari energy-energi atau kekuatan
yang tidak rasional atau instingtif. Acuan utama vitalisme adalah ilmu biologi
dan sejarah. Biologi mengajarkan bagaimana kehidupan ditentukan bukan oleh
rasio, melainkan oleh kekuatan untuk bertahan hidup (survive) yang sifatnya tidak rasional dan instingtif. Agar
organisme tetap bisa bertahan hidup, maka tidak ada dan tidak diperlukan
pertimbangan rasional, melainkan naluri untuk mempertahankan hidup. Tingkah
laku hewan dan semua jenis organism termasuk manusia, menunjukkan bagaimana
energy yang bersifat instingtif tersebut sangat menentukan tingkah
lakunya. Hewan dan manusia melalui
kehendaknya yang tidak rasional dan liar , justru lebih bisa mempertahankan
hidupnya daripada menggunakan pikiran yang rasional.
5.
Eksistensialisme
Eksistensialisme
ini tidak membahas esensi manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik
meneliti kenyataan kongkret manusia sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam
dunianya. Eksistensialisme tidak mencari esensi atau substansi yang ada dibalik
penampakan manusia, melainkan hendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana
yang dialami oleh manusia itu sendiri.
Istilah eksistensi berasal dari kata
existere (eks = keluar, sister = ada atau berada). Dengan demikian, eksistensi
memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau
“sesuatu yang melampaui dirinya sendiri”. Dalam kenyataan hidu sehari-hari
tidak ada sesuatupun yang mempunyai ciri existere
selain manusia. hanya manusia yang bereksistensi. Hanya manausia yang
sanggup keluar dari dirinya, melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan
fisiknya. Oleh karena itu, para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu
proses, “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis.
6.
Strukturalisme
Strukturalisme
dapat diartikan sebagai aliran dalam filsafat yang menempatkan struktur
(sistem) bahasa dan nudaya sebagai kekuatan-kekuatan yang menetukan perilaku
dan bahkan kesadaran manusia. Berbeda dengan pandangan eksistensialisme, para
strukturalis meyakini bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak
bebas, yang terstruktur oleh sistem bahasa dan budayanya. Tidak ada perilaku,
pola piker dan kesadaran manusia yang bersifat individual dan unik yang bebas
dari sistem bahasa dan budaya yang mengungkapkannya.
Artinya
aliran ini secara tegas menolak humanisme, menolak pandangan tentang kebebasan
dan keluhuran (keagungan) manusia. strukturalisme juga tidak mengakui adanya
“ego”, “aku” atau “kesadaran”. Aliran
ini berpendapat bahwa “aku” atau manusia bukanlah pusat realitas. Makna dan
keberadaaan manusia pada dasarnya tidak tergantung pada diri manusia itu
sendiri, melainkan pada kedudukan dan fungsinya dalam sistem.
7.
Posmodernisme
Aliran
posmodernisme ini hampir sama dengan strukturalisme. Kedua ailiran ini bolrh
disebut anti humanism, jika humanisme dipahami sebagai pengakuan atas
keberadaan dan didominasi “aku” yang terlepas dari sistem atau kondisi yang
mengitari hidupnya. Akan tetapi berbeda dengan posmodernisme yang membahas
tentang aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan actual. Posmodernisme
menentang bukan hanya “aku” yang seolah-olah
bebas dan mampu melepaskan diri
dari sistem sosial budayanya, tetapi juga menafikkan dominasi sitem sosial,
budaya, politik, kesenian, ekonomi bahkan arsitektur. Menurut pandangan
posmodernisme, telah terjadi dominasi atau “kolonilisasi yang halus dan
diam-diam” dalam semua aspek kehidupan manusia. misalnya : dominasi nilai
kesenian barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian yang berasal dari
bangsa timur atau Negara berkembang. The
one identik dengan kebudayaan barat dan the
plural dengan kebudayaan timur.
Akibat dari pandangan yang demikian maka ada penghargaan terhadap
budaya-budaya lokal atau terhadap sistem budaya yang dianggap penting. Menurut
para posmodernisme, the plural harus diperhatikan, di ungkap ke permukaan
karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai-nilai yang
terkandung dalam the One. (Filsafat
Manusia, Zainal Abidin, Rosda Bandung 2011 hal. 25-36)
Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk
hidup secara lebih baik dan lebih sempurna.
Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi.
Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan
dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu
yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk
yang memilikinya.
Manusia dapat mengetahui
segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap
pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik
bila
dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa.
Pengetahuan menjadikan manusia
berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks.
Pengetahuan manusia menjadi
kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk
yang bersifat daging dan jiwa sekaligus,
maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif.
Pengetahuan
dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara,
pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu
memperlihatkan kepada manusia,
dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak
ada
lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk
manusia untuk hidup
secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik
kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara,
manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam
dunianya itu,
baik
potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang
diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya.
Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk
mengarahkan dirinya kepada hidup
yang lebih baik.
Salah satu cara manusia mengetahui dirinya
dan
lingkungannya adalah melalui pendidikan.
Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan
yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang
membedakannya dari semua binatang.
Kedudukan dan
Peran Manusia
Manusia sebagai mahluk yang
berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum
membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan
eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai
abdullah (kedudukan ketuhanan), an-nas (kedudukan antar manusia), al insan
(kedudukan antar alam), al basyar (peran sebagai manusia biasa) dan khalifah
(peran sebagai pemimpin).
Kedudukan dan
peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan
sebagai khalifah di muka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia di sini harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah dengan
mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di
semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan
sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam
sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain
memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan
bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan
pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam
sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang
dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid
asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah
hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, di mana harus menjaga agama, jiwa,
keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai
khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid
asy-syari’ah.
Tiga Rantai
Kehidupan
Kedudulan manusia selain ditinjau
dari diri manusia sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah,
juga ditinjau dari tiga aspek simbiolis atau hubungan. Hubungan itu berdasar
kepada hubungan kepada Tuhan, kepada manusia dan juga alam. Ketiga hubungan ini
harus mampu diperankan dengan baik oleh seorang manusia agar mampu menjadi
seorang manusia ‘sempurna’.
a.Hubungan
kepada Tuhan (Manusia sebagai Hamba)
Dalam kondisi sosial tertentu,
tidak sedikit manusia yang melupakan faktor ketuhanan sehingga mereka menjadi
ateis. Utamanya bagi penganut materialisme yang mempercayai bahwa segala
sesuatu berasal dari benda. Tidak ada unsur spiritual yang membuat benda itu
tercipta. Hal ini bertolak belakang dengan ajaran agama-agama di dunia yang
mengatakan sumber segala sumber ialah Tuhan.
Temuan sejarah
mengenai ilmu relativitas membuktikan tidak adanya gerak atau benda yang
absolut. Jika banyak orang menyebut Einsten sebagai penemu teori relativitas,
bagaimana dengan fakta bahwa Al-Kindi –ilmuwan Muslim abad ke 9- sudah
menyinggung teori yang dipaparkan Albert Einsten 1.100 tahun setelahnya?
Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif.
Relativitas, kata dia, adalah esensi dari hukum eksistensi. “Waktu, ruang,
gerakan, benda semuanya relatif dan tak absolut,” cetus Al-Kindi. Namun,
ilmuwan Barat seperti Galileo, Descartes dan Newton menganggap semua fenomena
itu sebagai sesuatu yang absolut. Hanya Einstein yang sepaham dengan Al-Kindi.
"Waktu
hanya eksis dengan gerakan; benda, dengan gerakan; gerakan, dengan benda,”
papar Al-Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi berkata,” ... jika ada gerakan, di sana
perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan.” Pernyataan Al-Kindi
itu menegaskan bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain.
Mereka tak independen dan tak juga absolut.
Gagasan yang
dilontarkan Al-Kindi itu sangat sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam
teori relativitas umum.
"Sebelum teori relativitas
dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu adalah absolute,” papar
Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, kenyataannya pendapat yang
dilontarkan oleh Galileo, Descartes dan Newton itu tak sesuai dengan definisi waktu yang
sebenarnya.
Menurut
Al-Kindi, benda, waktu, gerakan dan
ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga ke obyek lainnya dan pengamat yang memantau
mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein.
Dalam Al-Falsafa al-Ula, Al-Kindi mencontohkan
seseorang yang melihat sebuah obyek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar
menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas
langit , dia melihat pohon-pohon lebih
kecil, jika dia bergerak ke bumi, dia
melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar.
“Kita tak
dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi kita
dapat mengatakan itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada obyek
yang lain,” tutur Al-Kindi. (Republika.co.id)
Tuhan
diwujudkan sebagai objek pengabdian makhluk di dalam agama. Sebagai orang yang
percaya adanya Tuhan, mansia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan-Nya melalui
ajaran spiritual kepercayaan masing-masing yang dianut. Antara satu agama
dengan yang lain ternyata mempunyai kesamaan di tiga tititk simbiolis tersebut
di atas. Islam, Kristen, Katolik. Hindu, Budha dan Konghucu sebagai agama yang
dibenarkan di dalam Indonesia masing-masing memiliki metode tersendiri. Dalam
hal ketuhanan setiap agama memiliki penyembahan yang berbeda-beda.
Agama, apapun
itu pasti mengajarkan hubungan kepada Tuhan sebagai hubungan yang
dinomor-satukan. Ini tidak berarti mengutamakan hubungan ketuhanan dan
memandang remeh hubungan-hubungan yang lain. Namun ketiga hubungan sebagai
manusia perlu dijalankan secara bersamaan. Hanya saja hubungan kepada Tuhan
hendaknya dijadikan patokan untuk berhubungan dengan dua yang lain. Dengan cara
selalu ingat bahwa manusia dan alam merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai manusia
perlu adanya interaksi kepada semua makhluk agar kearifan kehidupan dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
b. Hubungan
Antar Manusia. (Manusia sebagai makhluk sosial)
Hubungan lain yang harus
dijalankan manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial ialah hubungan
antarmanusia itu sendiri. Setelah membahas mengenai hubungan kepada Tuhan,
pasti menimbulkan perbedaan pendapat antar satu golongan dengan golongan yang
lain. Tuhan yang dibahasakan secara berbeda oleh masing-masing keyakinan bisa
menjadi sumber perpecahan apabila tidak dipahami secara kemanusiaan. Bahwa
setiap manusia itu berbeda-beda, pilihan keagamaan merupakan jalan pribadi yang
tidak dapat diganggu gugat keabsahannya.
Munculnya
gerakan sparatis menggunakan atribut agama menjadi contoh bagaimana oknum
manusia mengedepankan ego pribadi dibanding kepentingan masyarakat luas. Hal
ini menjadi ironi apabila pergerakan itu semakin melebarkan sayapnya dan
semakin disalahpahami oleh masyarakat luas. Pengatasnamaan negara merupakan
wujud dari mispersepsi kehidupan keberagaman yang menjadi simbol perpecahan
umat.
Perlu dibangun
sebuah peradaban manusia yang benar-benar memahami nilai-nilai keberagaman.
Manusia kepada manusia tidak diartikan dengan monoisme teologi yang tidak
mungkin dicapai kesepakatan apabila benar-benar digencarkan. Apakah oknum-oknum
tersebut melupakan satu hal bahwa ada faktor lain yang bisa merubah jalan hidup
manusia? Faktor itulah yang dijadikan oleh Tuhan sebagai ujian kepada
makhluk-Nya dan benar-benar menjadi rahasia serta hak preogratifnya.
Semua orang
boleh mengklaim dirinya lebih baik dibanding yang lain. Namun itu terbatas pada
tataran keyakinan yang tidak harus diungkapkan dengan gerakan-gerakan yang
justru membuat hubungan antarmanusia menjadi terhalang. Merasa lebih baik
merupakan sifat manusiawi yang tidak dapat dihilangkan, namun dapat
dikendalikan dengan pemahaman-pemahaman asas ketuhanan.
c. Hubungan
kepada Alam (manusia sebagai makhluk)
Hubungan terpenting lainnya ialah
hubungan kepada alam. Alam tidak terjustifikasi sebagai bentuk dari pepohonan,
tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Namun alam mencakup semua hal, baik alam
yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Spiritualisme
menjadi aliran yang dominan apabila pembahasan merambah ke alam yang tidak
terlihat (ghaib). Di alam ini terdapat makhluk-makhluk lain yang secara
penciptaan sejajar dengan manusia dan partikel alam lain, namun memiliki
keistimewaan yang berbeda dengan material yang tampak. Perlu pemahaman khusus
mengenai alam ini untuk dapat mempercayai dan meneliti keberadaannya.
Kepercayaan terhadap hal ghaib ini berpengaruh terdapat hubungan ketuhanan
sebab beberapa aliran keagamaan tidak menggambarkan secara detail bagaimana
wujud Tuhan sesungguhnya. Dapat disimpulkan hal ini sangat berkaitan dengan
keyakinan.
Untuk objek
material mungkin tidak perlu menggali lebih dalam. Hanya saja nilai-nilai
keberagaman perlu dipupuk agar manusia bisa memahami sisi kehidupan lain selain
kehidupan bangsanya. Ada hewan, tumbuh-tumbuhan dan partikel lain yang butuh
sentuhan tangan bijak manusia yang berperan sebagai pemimpin. Fungsi manusia
sebagai khalifah terlihat menonjol peranannya dalam kehidupan kompleks di dunia
antara manusia dan alam.
d. Peran
manusia sebagai manusia biasa
Tujuan hidup manusia dari
penciptaan hingga kembali kepada dzat yang menciptakan menapaki beberapa tahap.
Keterhubungan dan ketersaling-ketergantungan menjadi sistem kehidupan yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Konsekuensinya manusia disebut sebagai makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Satu orang
membutuhkan orang lain. Satu desa membutuhkan desa yang lain. Hingga satu
negara membutuhkan negara yang lain untuk merotasi sistem kehidupan sebagai
manusia.
Jika ada
segolong atau sekelompok manusia yang menyatakan dirinya paling benar, berarti
ia mengabaikan prinsip manusia yang saling bergantung. Dalam tiga konsep besar
yang melibatkan Tuhan, manusia dan alam di atas, peran manusia tidaklah serta
merta menjadi komunitas yang terbaik tanpa dorongan fasilitas dari
faktor-faktor lain.
Manusia tidak
akan mampu membangun gedung-gedung tinggi tanpa peran besi baja yang diolah
menjadi alat-alat berat. Atau jika lebih ke dalam, manusia tidak akan bisa
bertahan hidup tanpa jaminan tumbuhan dan binatang yang menjadi santapannya.
Maka
klasifikasi makhluk dititikberatkan pada data, bukan semerta-merta menjadikan
manusia sebagai komunitas terbaik yang boleh melakukan seenaknya kepada bagian
makhluk yang lain. Karena kesewenang-wenangan ini menjadikan gagalnya manusia
dalam menjalai perannya sebagai khalifah (pemimpin).
e. Peran
manusia sebagai khalifah
Tidak perlu dipertanyakan lagi
ketika seseorang mengatakan manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna
(menurut aliran filsafat Idealisme/ spiritualisme).
Sehingga kesempurnaan itu dituntut untuk dapat digunakan sebagai alat
kepemimpinan manusia atas bagian-bagian alam yang lain. Baik atau rusaknya alam
merupakan dampak dari kepemimpinan manusia.
Sebagai
pemimpin di muka bumi, manusia diajarkan bagaimana cara memimpin yang baik.
Lagi-lagi kembali kepada tiga konsep besar di atas. Dari Tuhan manusia memiliki
kekuatan dan pengetahuan yang jika diimplementasikan terhadap kata ‘manusia
sebagai khalifah’ akan menjadi sangat ideal. Karena hanya manusialah makhluk
yang memiliki akal dan nurani yang masing-masing menjadi pengontrol bagian
lainnya. Dengan akal manusia mengonsep, dan dengan nurani manusia dapat
membenarkan tindakannya. Begitu pula, jika nurani terlalu berhati-hati
sementara perlu dilakukannya suatu hal yang cepat, maka akal akan bertindak
dengan memperhitungkan berbagai konsekuensi-konsekuensi.
Maka sangatlah
lengkap hardwere maupun softwere manusia untuk memenuhi kriteria sebagai
pemimpin alam. Dan nyatanya saat ini kerusakan di alam merupakan buah manusia
yang gagal menjalankan perannya, baik peran sebagai basyar maupun khalifah.
Jika ditinjau lebih jauh, konsep hubungan kepada Tuhan, manusia dan alam juga
tidak diperhatikan oleh manusia kini.
Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan
manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan
penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan ke laut.
Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang
berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya
misalkan dalam bentuk imateri, maka kembali kepada pencipta dalam bentuk
imateri sedangkan unsur materi yang berada dalam diri manusia akan kembali
kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam tahapan
nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan
akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh
manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan
tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan
amal baik. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan
dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya.
Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia
menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas
abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Mengenai hal
ini tidak hanya satu agama ataupun satu aliran filsafat yang mengajarkan teori
manusia mulai dari terciptanya manusia hingga ke mana akhirnya kelak. Jika
spiritualisme mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan kelak kembali
kepada-Nya, berbeda dengan pandangan materialis yang mengatakan manusia dan
juga partikel alam lain terjadi secara kebetulan. Jika mati, siklus kehidupan
manusia berakhir di situ sebab mereka tidak percaya adanya kekuatan mahaabsolut
bernama Tuhan. Beberapa yakin bahwa jiwa/ruh seseorang akan berreinkarnasi di
masa mendatang. Si A adalah reinkarnasi dari sosok di masa lalu dan kelak ia
berreinkarnasi menjadi sesuatu yang tidak dapat diduga. Bisa saja si A
merupakan hasil reinkarnasi dari beruang di masa lalu, dan kelak jika mati ia
menjadi seekor kucing atau semut atau bahkan makhluk lainnya.
Di dalam
filsafat Islam, proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi
spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang
buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang
memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang
terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami, Rabiah al Adawiyah dan yang lain,
mereka memiliki ekspresi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan bertemunya
dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju dzat
Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia.
Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan pencipta, lantas tak
memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi
manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta
tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut
menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadikan diri sebagai
cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan
ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang
lain baik sesama manusia ataupun alam.
Dalam tataran
ilmu tasawuf terdapat tiga tingkatan manusia sebelum benar-benar menjadi insan
kamil, atau manusia sempurna. Iman, Islam dan Ihsan dipercaya sebagai konsep
yang harus dilewati oleh manusia sebelum benar-benar menjadi manusia sempurna
itu tadi. Apakah ketiganya meninggalkan unsur keberagaman dan memicu gerakan
monoisme agama? Jawabannya tidak.
Iman sebagai
keyakinan merupakan landasan yang hakiki terhadap keberlangsungan hidup umat
manusia. Peran iman dalam membentuk karakter seseorang sangatlah berpengaruh.
Semisal dalam tradisi Budha yang melarang memakan segala sesuatu yang bernyawa,
mereka akan benar-benar menghindari hal-hal yang telah diajarkan tersebut.
Dalam ajaran Hindu yang mensucikan sosok sapi, dan kristen domba, mereka akan
menghindari untuk mengonsumsi apa-apa yang telah dilarang oleh agama
masing-masing. Dan ini yang disebut sebagai hubungan dengan Tuhan.
Islam mewakili
pandangan dari sudut pandang agama, bahwa ajaran-ajaran Islam membawa kepada
kebaikan baik secara vertikal (dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dan
alam). Posisi ini ditunjang dengan keberadaan konsep ihsan yang semakin membuat
manusia memahami antara satu dengan yang lain sehingga terciptalah kesempurnaan
sebagai hamba, makhluk sosial dan juga sesama makhluk di muka bumi.
Pengembangan Manusia sebagai Makhluk Individu
Manusia sebagai makhluk
Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius.
Sifat kodrati manusia sebagai makhluk seperti disebut di atas harus
dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia
hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat.
Manusia mempunyai arti hidup secara layak jika berada di antara manusia
lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak
dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Guna meningkatkan kualitas hidup,
manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan formal, informal maupun
non-formal. Dalam kenyataannya, manusia menunjukan bahwa pendidikan merupakan
pembimbing diri sudah berlangsung sejak zaman primitif. Kegiatan pendidikan
terjadi dalam hubungan orangtua dan anak.
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu
organisasi atau kelompok, manusia harus memiliki kesadaran diri yang dimulai
dari kesadaran pribadi di antara segala kesadaran terhadap segala sesuatu.
Kesadaran diri tersebut meliputi kesadaran diri di antara realita, self-respect,
self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan
dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang
menjadi dasar bagi self-realisation. Sebagai makhluk individu, manusia
memerlukan pola tingkah laku yang bukan merupakan tindakan instingtif belaka.
Manusia yang biasa dikenal dengan Homo Sapiens memiliki akal pikiran
yang dapat digunakan untuk berpikir dan berlaku bijaksana. Dengan akal
tersebut, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya
seperti karya, cipta, dan karsa. Dengan pengembangan potensi-potensi yang ada,
manusia mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya yaitu makhluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna.
Perkembangan manusia secara perorangan pun melalui tahap-tahap yang memakan
waktu puluhan atau bahkan belasan tahun untuk menjadi dewasa. Upaya pendidikan
sangat membantu dalam menjadikan manusia semakin berkembang. Perkembangan
keindividualan tersebut memungkinkan seseorang untuk mengembangkan setiap
potensi yang ada pada dirinya secara optimal. Sebagai makhluk individu manusia
mempunyai suatu potensi yang akan berkembang jika disertai dengan pendidikan.
Melalui pendidikan, manusia dapat menggali dan mengoptimalkan segala potensi
yang ada pada dirinya. Melalui pendidikan pula manusia dapat mengembangkan
ide-ide yang ada dalam pikirannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri.
Al-Qur’an dalam kaitannya terhadap perkembangan ilmu dan filsafat manusia,
dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok.
Pertama, tujuan.
1. Akidah atau kepercayaan yang mencakup
kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) wahyu, dan
segala kaitannya dengan, antara lain kitab-kitab suci, malaikat, dan para nabi,
serta (c) hari kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
2.
Budi pekerti yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat,
dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang,
tanggung jawab dan lain-lain.
3. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, sesama manusia, diri manusia dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut di
atas diusahakan pencapaiannya oleh Al-Qur’an melalui empat cara:
1. Mengajukan manusia untuk memperhatikan alam
raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya agar
manusia –melalui perhatiannya tersebut- mendapat manfaat berganda: (a)
menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu
untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
2.
Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari
pengalaman masa lalu.
3.
Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong
manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur
dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya
tertulis dalam teks suci Al-Qur’an).
4. Janji dan ancaman baik di dunia (yakni
keputusan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan
sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga dan neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang
tertulis dalam teks suci Al-Qur’an seperti tersebut di atas, maka di
celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Qur’an
seperti yang pada garis besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok.
1. Susunan redaksinya yang mencapai puncak
tertinggi dari sastra Arab
2.
Ilmu pengetahuan (sains) dari berbagai disiplin yang diisyaratkan
3.
Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian besar telah terbukti
kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Qur’an seperti yang
dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa
Al-Qur’an berbicara mengenai ilmu pengetahuan. Kitab suci itu juga berbicara
tentang filsafat dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret menyangkut
hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi petunjuk bagi
umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang
diperselisihkan (QS 2:213).
Wallahua’lam.
BAB III
PENUTUP
Demikian kajian
sederhana mengenai filsafat manusia yang kami rangkum dalam sebuah karya tulis.
Pembahasan di dalamnya tentu masih memiliki banyak kekurangan, sebab
keterbatasan pengetahuan kami dalam membahas lebih jauh mengenai filsafat
manusia ini. Untuk mendalami kajiannya, ada baiknya dimulai dari diri masing-masing.
Selain sebagai sumber observasi, hal ini membantu untuk menambah ilmu
pengetahuan, utamanya mengenai esensi manusia dari sudut keilmuan.
Dalam tulisan ini ada beberapa dasar pengetahuan dan gagasan yang diambil
dari tokoh ahli dakwah. Hal ini bukan bermaksud membubuhi kesan “islami” dalam
tulisan ini, melainkan hanya berorientasi terhadap ilustrasi yang membuat
tulisan sederhana ini mudah dipahami.
Akhir kata, semoga apa yang telah kami bahas bisa menambah pengetahuan
penulis maupun pembaca dan mendapat ridlo dari-Nya, amin. Wallahu muwafiq
ila aqwam at-thariq.
DAFTAR PUSTAKA
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Mengenal
Manusia dengan Filsafat PT Rosda Remaja, 2006, Bandung)
K. Bertens, Panorama Filsafat
Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2005, Jakarta
Franz Magnis
Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia Pustaka Utama, 1999, Jakarta
Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika
Barat, 2001)
halimsani.wordpress.com,
republika.co.id
adivancha.blogdpot.com
TENTANG PENULIS
Sarjoko biasa menulis namanya
dengan Cucu Kertadirana Kaliwangsa, lahir di Kebumen, 10 Februari 1993. Sejak
1995 ia diajak orang tuanya transmigrasi ke kabupaten Siak provinsi Riau. Pemuda
yang hobi berkelana ini memiliki babyface sehingga sulit mendeteksi
usianya yang hampir mencapai kepala dua. Penggemar tim sepak bola Manchester
United ini menamatkan pendidikannya di MA Mathali’ul Falah Pati sebelum memilih
Komunikasi dan Penyiaran Islam fakultas Dakwah sebagai pilihan pertama kuliah
di UIN Sunan Kalijaga. Filsafat baginya merupakan bagian integral dalam
kehidupan sehari-hari.
Kontak bisa hubungi
FB: Cucu Kertadirana Kaliwangsa Twitter: @jejakpelamun
Abdul Halim Meidy lahir di Bandar
Lampung, 19 Mei 1994. Walau lahir di Lampung, ia beserta keluarganya bermigrasi
ke Palembang, Sumatra Selatan. Remaja tambun ini sangat menggemari Manga,
sehingga hari-harinya banyak dihabiskan untuk membaca serial Manga. Sebelum di
UIN Sunan Kalijaga, Halim mengenyam pendidikannya di SMK Pembangunan Pacitan
jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Menurutnya
mata kuliah Filsafat Ilmu begitu menantang dan berat di otak. Tapi itu tidak
mengurangi semangatnya untuk mempelajari teori-teori filsafat.
Untuk berkomunikasi
dengannya bisa FB: Abd. H-lim M’dy/twitter: @H-lim2dy
Salsabila Khoirun Nisa, ABG kelahiran Jakarta
26 Oktober 1995 ini merupakan salah satu mahasiswa baru termuda di UIN Sunan
Kalijaga 2012/2013. Usia muda tidak menghalanginya untuk berbaur dengan
teman-teman yang usianya lebih tua. Dara yang hobinya dengerin musik dan
travelling ini menamatkan pendidikan SMK-nya di SMKN 3 Madiun jurusan Kimia
Industri. Pandangannya tentang Filsafat Ilmu secara umum menyenangkan. Namun ia menyarankan untuk ke depannya sistem
belajar lebih disetting agar suasana belajar menjadi lebih kondusif.
FB: Salsabila Khoirun
Nisa
Twitter: @siitobil26
Rizqiyawati, mahasiswi kelahiran 29
Desember 1992 ini seakan terlahir sebagai orang filsafat. Menghitung merupakan
hal terpenting dalam hidupnya, yang membuat ia gemar berinteraksi dengan ilmu
logika. Selain itu, Rizqi yang menamatkan pendidikan MA-nya di MA Zainul Hasan
Probolinggo Jawa Timur ini jago mendeteksi jenis makanan berkat hobinya sebagai
penikmat kuliner. Filsafat menurutnya sangat berkesan karena membuat semangat
dalam belajar.
FB: Rizqy Choleh
Twitter:
@cholhrizqyei.com