HADITS DILIHAT DARI KUANTITAS PERAWI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Hadits
Dosen pengampu : M. Fajrul Munawir
Disusun
Oleh :
Sarjoko 12210119
Nur
Azizah 12210120
Noviani 12210121
PRODI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Penelitian suatu
hadits itu salah satunya dapat ditinjau
dari kualitas dan kuantitas rawi.
Hal ini dilakukan oleh ulama dalam upaya
menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadits yang dikumpulkannya. Sehingga dengan penelitian
kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadits lebih dapat
dipertimbangkan.
Hadits merupakan semua hal, baik
ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang disandarkan kepada nabi Muhammad
SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadits menjadi sumber ajaran berada di bawah
kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi tidak sembarang hadits yang dijadikan sebagai
dasar hukum. Perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut mengenai kriteria
hadits untuk dijadikan sebagai hujjah, baik segi matan maupun sanadnya. Oleh
sebab itu muncullah disiplin ilmu yang membahas mengenai hadits, ulumul hadits
dan musthalah hadits.
Pembagian
hadits dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkankan menjadi dua
bagian yang besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir terbagi menjadi
mutawatir lafzi,
mutawatir ma’nawi dan mutawatir amali. Bagian-bagian ini menjadi nas
hukum dalam bidang akidah dan syariah. Hadits ahad terbagi pula menjadi tiga
bagian yaitu masyhur, aziz dan gharib.
Pada
kesempatan ini kami
akan menjabarkan perawi hadits dilihat dari kuantitas (jumlah)
periwayatnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
HADITS
DILIHAT DARI KUANTITAS PERAWINYA
Ditinjau dari segi kuantitas perawinya,
hadits dibedakan menjadi dua macam. Hadits mutawatir dan hadits ahad. Kedua
kategori hadits ini digolongkan berdasar jumlah perawinya.
A.
Hadits Mutawatir.
1.
Pengertian Hadits
Mutawatir
Secara lughowi istilah mutawatir
berasal dari isim fail musytaq dari al-tawatur yang berarti tatabu’ (datang
berturut-turut dan beriringan satu dengan yang lainnya). Seperti dalam Q.S.
al-mu’minun (23) : 44.
§NèO $uZù=yör&
$oYn=ßâ
#uøIs? ( ¨@ä.
$tB
uä!%y`
Zp¨Bé&
$olé;qߧ çnqç/¤x. 4 $oY÷èt7ø?r'sù
Nåk|Õ÷èt/
$VÒ÷èt/ öNßg»oYù=yèy_ur y]Ï%tnr& 4
#Y÷èç7sù
5Qöqs)Ïj9
w tbqãZÏB÷sã ÇÍÍÈ
44. Kemudian Kami utus (kepada
umat-umat itu) Rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang Rasul
datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya. Maka Kami perikutkan
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami jadikan mereka
buah tutur (manusia).
Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman.
Secara istilah
yang dimaksud dengan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak
periwayat dalam setiap tingkatan satu dengan lainnya dan masing-masing
periwayat tersebut semuanya adil yang tidak memungkinkan mereka itu semuanya
sepakat berdusta atau bohong semuanya bersandar pada panca indra. [1]
Hadits mutawatir
berada pada tingkatan paling
tinggi dalam hal meyakinkan penerima informasi.
Ia sejajar dengan Al-Qur’an, dalam arti
sama diriwayatkan secara mutawatir. Segolongan ulama’ berkata bahwa ilmu
(keyakinan) yang diperoleh dari khabar mutawatir sama dengan keyakinan yang didapati
dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ulama’ sependapat bahwa hadits
mutawatir harus diterima sebagai berasal dari Nabi. Daya ikat hadits mutawatir
ini disebut di dalam kitab-kitab bahwa orang-orang Islam.
Hukum hadits Mutawatir
1. Berfaidah
keyakinan. Bahwa hadits mutawatir memberi faidah harus diyakini apa adanya. Ini
disebut sebagai ilmu dharuri yang tidak lagi dapat ditawar kebenarannya. Orang
harus meyakini bahwa apa yang diriwayatkan para perawi memang pernah
disampaikan atau dilakukan oleh Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak
mungkin bersepakat berdusta.
2. Pasti
shahih. Maka tidak dibutuhkan pembahasan mengenai hal ihwal periwayatannya.
3. Wajib
meyakini keshahihannya seperti meyakini Al-Qur’an. Bahwa mengingkari hadits mutawatir
dapat menyebabkan kekufuran.
4. Wajib mengamalkannya. Maksudnya, bila
disana Nabi menyebut perintah, maka harus dilaksanakan, sebaliknya bila disana
Nabi melarang, maka harus disingkiri.
2.
Syarat-syarat Hadits
Mutawatir.
a.
Bilangan atau jumlah periwayatnya
banyak.
Dalam hal ini para ulama’ berselisih
tentang jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4
orang periwayat berdasarkan pemahaman atas Q.S. al-nur (24):13.
wöq©9 râä!%y` Ïmøn=tã Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà 4
øÎ*sù
öNs9 (#qè?ù't Ïä!#ypk¶9$$Î/ Í´¯»s9'ré'sù
yZÏã «!$#
ãNèd tbqç/É»s3ø9$#
ÇÊÌÈ
13. mengapa mereka
(yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?
Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka itulah pada sisi Allah
orang- orang yang dusta.
Ada yang
berpendapat 5, sebagai pemahaman mengertai ayat-ayat yang menerangkan tentang mula’anah.
Ada pendapat
lain yang mengatakan minimal 10 periwayat karena dengan alasan jumlah kurang
dari 10 merupakan bilangan satuan. Di samping itu masih banyak yang berpendapat bahwa
mutawatir berjumlah sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh puluh,
bahkan ada yang mengatakan lebih dari tiga ratus perawi.
Banyaknya
periwayat dari awal sanad sampai akhir cenderung stabil. Jumlah periwayatnya
imbang masing-masing tingkatan, yaitu tidak gemuk di satu tingkatan sedang
ditingkatan lainnya kecil. Atau
dengan kata lain, jumlah periwayatnya dari generasi satu ke generasi yang lainnya bertambah
tidak berubah menjadi sedikit. Tidak adanya kesepakatan mereka untuk berdusta.
Oleh karena itu, isi atau teks hadits yang diriwayatkan diantara mereka nyata
atau tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya. Atau dengan kata lain,
mereka tidak berdusta atas yang disampaikannya merupakan benar-benar dari
Rosulullah SAW.
b.
Semuanya bersandar pada panca indra.
Persyaratan ini menjadikan hadits
mutawatir mencapai derajat yang tiggi karena transmisinya dilakukan dengan
metode al-sama’. Dalam pandangan
ulama’ metode penyampaian hadits tersebut merupakan metode yang terbaik dalam
periwayatan hadits atau kegiatan tahammul
wa al-ada’. [2]
Metode menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal
pemikiran manusia mengenai sesuatu. Contoh angka satu merupakan hasil
pengurangan dua dikurang satu, dan lain sebagainya.
c.
Adanya keseimbangan jumlah antara
rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh
berikutnya.
Oleh karena itu,
kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian
diterima oleh lima orang tabi’in
dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits
mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama,
kedua dan ketiga.
3.
Pembagian Hadits
Mutawatir.
Para ahli ushul membagi hadits
mutawatir kepada dua bagian. Yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Hadits
mutawatir lafdzi
adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat (mutawatir) dari sisi
lafalnya. Lafadz tersebut antara satu
dengan lainnya sama dengan hadits Nabi Muhammad SAW.
Contoh adalah
hadits mengenai bacaan ta’awudz:
لقد
قرأت على عبدالله بن مسعود فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال قل اعوذ بالله من
الشيطان الرجيم قل فلقد قرأت على رسول الله صلعم فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال لى
يا ابن ام عبد قل اعوذ بالله من الشيطان
الرجيم هكذا أقرأنيه جبريل عن القلم عن اللوح المحفوظ.
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits
yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita
yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan
kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar
seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik
persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
Namun ada ulama
yang mengatakan bahwa hadits mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu dengan
menambahkan hadits amali sebagaimana penjelasan Sayyid Abdul majid al-Ghouri
dalam kitabnya “al-Muyassar fi ‘ulum al-Hadits”.
Hadits mutawatir
amali merupakan hadits yang diambil oleh orang-orang, semisal dari satu bangsa
ke bangsa lainnya, dan karenanya tidak membedakan antara satu mukmin dengan
mukmin lainnya seperti shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, haji dan
lain-lain. Semua itu dilakukan berdasar mutawatir amali dari nabi Muhammad SAW,
kemudian diikuti para sahabat hingga sampailah pada era sekarang ini.
Keseluruhannya tidak berbeda dalam pelaksanaan, baik bangsa barat maupun bangsa
timur.
Dalam segi
perawian hadits mutawatir, ada sebuah contoh metode yang masih terus dilakukan oleh umat
muslim hingga kini. Metode itu biasa disebut dengan musalsal, yaitu
meriwayatkan hadits nabi secara mutawatir baik dari segi lafadz, makna dan
pengamalannya. Sebagai contoh ialah musalsal bi a’udzubillahi mina
asy-syaithoni ar-rajim, musalsal bi al-fatihah, musalsal bil buka’ dan musalsal
bil musyabakah.
4.
Faedah hadits mutawatir
Hadits mutawatir itu memberikan faedah
ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan
yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan
qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah
mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh sebagian golongan membawa
keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak
menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini
ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan
tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini
kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir
yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi
hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhobitannya, sebab
dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan di atas, menjadikan mereka tidak munkin
sepakat melakukan dusta.
B.
Hadits
Ahad
1.
Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi
bahasa berarti satu, maka khobar ahad atau khobar wahid berarti suatu berita
yang disampaikan oleh orang satu.
Adapun yang
dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’,
antara lain:
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya
tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga,
empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi
tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir. Ada juga ulama’ yang mendefinisikan
hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
mutawatir.
Muhammad Abu
Zarhah mendefinisikan hadits ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang diriwayatkan
oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi
persyaratan hadits mutawatir.
Abdul Wahab
Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu,
dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi
hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama
sampai perawi terakhir. [3]
2.
Pembagian Hadits
Ahad
Para muhadditsin membagi atau memberi
nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang
berada pada tiap-tiap thabaqot, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits farad dan hadits ghorib.
a.
Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh
tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir.
Ibnu Hajar mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang
mempunyai jalan terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada
batas hadits mutawatir.
Hadits ini
dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’
yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak
mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur.
Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati,
kedekatan pada keyakinan dan kewajiban
untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadits masyhur ini ada yang berstatus
sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits
masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad
maupun matannya.
Hadits masyhur
terbagi atas
-
Masyhur mutlak yaitu hadits yang
terkenal baik di kalangan ahli hadits maupun lainnya semisal:
إنماالاعمل
بالنيات
-
Masyhur muqayyad yaitu hadits yang
terkenal antarkalangan ahli hadits saja seperti hadits Anas
قنت شهرا بعد الركوع يدعو على
رعل وذكوان
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits
masyhur hasan adalah apabila telah mencapai ketentuan hadits hasan, begitu juga
dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits sahih.
Hadits masyhur disebut juga dengan
hadits mustafidl. Disebutkan bahwa hadits mustafidl ialah hadits masyhur yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan.
b.
Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini.
Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari
dua. Sebagai contoh
ialah hadits “laa yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihu min waalidihi
wawaladihi wannasi ajma’in”. Diriwayatkan dari Anas oleh dua orang: Qotadah dan
Abdul Aziz bin Shuhaib. Dan dari Abdul Aziz kepada Isma’il bin Alayyah dan
Abdul Warits.
c.
Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu
perowi saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib
nisbi. Ghorib mutlaq terjadi apabila
penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat.
Hadits ghorib
nisbi terjadi apabila penyendiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari
seorang perawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan
dengan ketsiqahan
rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Di banyak
kitab-kitab atau buku-buku yang membahas ilmu hadits dijelaskan bahwa tiga
jenis inilah pembagian daripada hadits ahad. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa
hadits fard merupakan jenis dari hadits ahad. Namun beberapa lainnya menganggap
antara hadits Fard dan Ghorib sama. Yang membedakan hanya dari segi
penyebutannya saja. Beberapa ahli hadits mengatakan al-fard mendominasi (al-fard
al-mutlaq) sementara ghorib mendominasi (al-fard an-nisbi).
Dalam Minhatul
Mughits karangan Hafidz Anas dijelaskan bahwa hadits ghorib terbagi atas dua
bagian, mutlak dan nisbi. Mutlak ialah sendirinya hadits sahabat atau tabi’in.
Nisbi ialah selain sahabat dan tabi’in.
Hukum Hadits Ahad
Hukum hadits ahad,
sebagaimana dikatakan oleh al-hafidz Ibnu Hajar menurut jumhur ulama ialah dapat
diterima dalam artian tidak wajib mengamalkannya. Adapun yang ditolak, yaitu
hadits ahad yang tidak memiliki landasan kebenaran atas pembahasan mengenai
tingkah rawi selain yang pertama, yaitu mutawatir. Semua mutawatir itu diterima
karena dijaminnya kebenaran periwayatannya.
Akan tetapi
sesungguhnya wajib mengamalkan sebab diterimanya apabila menemukan di dalamnya
sifat asal diterima, yaitu ditetapkannya kebenaran periwayat (adil dan
terpecaya). Atau asal penolakan yaitu ditetapkannya kebohongan periwayatan,
ataupun tidak (yaitu tidak sesuai dengan kriteria asal sifat diterimanya, tidak
dengan asal sifat penolakan. Maka hal ini mencakup dengan diterima dan ditolak
seperti jeleknya hafalan dan dianggap bodoh).
-
Pertama (diterima) mencakup keyakinan
kebenaran riwayat untuk menetapkan kebenaran pengambilannya, maka boleh
mengambilnya.
-
Kedua (ditolak) meliputi keyakinan
kebohongan cerita. Maka ditolak.
-
Ketiga (ditolak/diterima) apabila
menemukan alasan (sifat atau tingkah) yang mencakup satu dari dua jenis
kebenaran. Apabila tidak, maka hal ini terhenti. Ketika terjadi penghentian pengamalan,
hadits menjadi seperti ditolak. Bukan sebab ditetapkannya sifat penolakan,
tetapi karena tidak ditemukannya sifat wajib diterimanya hadits tersebut.
-
Wallahua’lam.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hadits Mutawatir
adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
Hadits mutawatir
lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi
dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Hadits mutawatir
ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi
pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada
prinsipnya.
Hadits Ahad adalah
hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada
batasan mutawatir.
Hadits Aziz adalah
hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
Hadits
Ghorib Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Octoberinsyah, M.Ag, Imam Muhsin, M.Ag dan M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag, Al Hadits, Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, (Yogyakarta : 2005).
Prof.
Dr. Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah
historis dan Metodologis, PT. Tiara Wacana, (Yogyakarta : 2003).
Mudasir,
Ilmu Hadits,
Pustaka Setia, hlm:113
Fathur
Rahman.1974. Ikhtisar
Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79
Syekh Abdul Majid al-Ghouri. Al-Muyassar fi Ulum
al-Hadits. Hlm.33, 34, 35, 209. Daar Ibn Katsir, Damaskus, Beirut.
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi ilmi
musthalah al-hadits, Andalas Surabaya.
0 comments:
Post a Comment