Gus Dur bersama Prof Kato (Jepang) |
Masyarakat
Indonesia pernah beberapa kali dihebohkan oleh kasus penistaan agama. Salah satu yang cukup menghebohkan adalah
kasus Monitor. Pada tahun 1990,
tabloid Monitor yang digawangi Arswendo Atmowiloto mengeluarkan laporan ‘tokoh
idola’ pembaca tabloid tersebut. Yang mencengangkan adalah Nabi Muhammad SAW
berada di nomor sebelas, lebih rendah dari posisi Arswendo di nomor urut sepuluh.
Sontak
hal ini menyulut kemarahan sebagian kaum muslimin. Mahasiswa muslim di seantero
negeri melakukan demonstrasi. Banyak tokoh muslim yang mengecam dan mengeluarkan
komentar keras. Kantor redaksi Monitor
diacak-acak. Arswendo kemudian dipenjara
karena ‘melecehkan’ ketokohan Nabi Muhammad.
Di
tengah bara api kemarahan, Gus Dur muncul dan mengeluarkan komentar yang
membuat banyak orang bertanya-tanya. Ia menganggap Monitor tidak menistakan agama. Lha, kok? Berikut adalah wawancara
imajiner penulis dengan Gus Dur, menanggapi soal penistaan agama.
Assalamu’alaikum, Gus
Wa’alaikumsalam.
Mari-mari duduk di sini (Gus Dur yang awalnya tiduran, kemudian bangkit dan
mempersilakan saya duduk di depannya. Saya mencucup tangannya lalu berbasa-basi
sejenak. Setelah itu, saya menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya
bertamu ke Ciganjur, Jakarta).
Begini, Gus. Jauh-jauh dari Jogja saya
hanya ingin tabayun dengan panjenengan soal kasus Monitor tahun 1990 lalu. Di
saat banyak kaum muslimin merasa terlecehkan dengan hasil survei Monitor, mengapa Anda justru membela
Arswendo?
Lho,
siapa yang membela? Saya tidak membela siapa-siapa. Lha wong saya cuma
menyampaikan pendapat saja
Tapi... Sebagian kaum muslimin dan
para intelektual muslim merasa dilecehkan lho, Gus
Lha
itu kan perasaan mereka. Jadi sah-sah saja dong berbeda. Saya justru heran
kalau Nabi Muhammad itu jadi tokoh paling populer di tabloid tersebut
Lha kok gitu, Gus?
Salah satu edisi Tabloid Monitor |
Em... Rhoma Irama kali, Gus?
Salah. Ya
jelas saya, dong ha ha ha (Gus Dur tertawa lepas. Saya pun tak kuasa menahan
tawa)
Kembali ke Monitor, Gus. Tadi
panjenengan mengatakan bahwa Anda tidak membela Arswendo. Lalu siapa yang Anda
bela?
Mas,
saya ini cuma membela akal sehat. Masak gara-gara survei itu, masyarakat
menuntut tabloid Monitor dibredel.
Bagi saya ini enggak bener caranya. Saat itu Soeharto lagi hobi memberedel pers
yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Nah, saya lagi berjuang agar
pers bisa independen, tidak tertekan siapa-siapa.
Lagi
pula bukan survei dong kalau hasilnya bisa didikte... Ini kayak tulisan Hart
(Michael H. Hart) yang menulis Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh
sepanjang sejarah umat manusia. Orang Kristen dan Yahudi ya ndak terima. Apalagi
Yesus ditaruh di nomor tiga setelah Newton. Bagi mereka ini penistaan. Tapi
bagi saya ya sah-sah saja si Hart nulis kayak gitu. Toh, itu menurut pendapat
pribadinya. Kalau gak setuju ya tinggal bikin buku tandingan. Gitu aja kok
repot.
Kita
ini hidup di negara demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan
berekspresi, lho. Masak hanya karena ketidaksetujuan sebagian orang, kok asal
main bredel saja. Kalau tidak setuju ya
tinggal ndak usah beli majalahnya. Gitu aja kok repot! Lagi pula, di edisi
selanjutnya, pihak Monitor menyampaikan permohonan maaf mereka.
Baik, Gus. Hanya saja, menariknya
orang-orang seperti Nurcholis Majid ikut-ikutan mengecam Monitor. Menurut panjenengan, sebenarnya apa yang membuat Cak Nur
begitu sangat bereaksi saat itu?
Ya
jangan tanya saya. Tanya Cak Nur saja. Yang jelas pada saat itu suasana hati
kaum muslimin sedang panas. Orang kalau lagi marah bawaannya susah menggunakan
akal sehat. Bukan berarti saya mengatakan Cak Nur tidak menggunakan akal sehat
lho ya. Beliau itu orang yang sangat cerdas. Tetapi dalam menyikapi kasus Monitor, saya punya pandangan dan langkah
berbeda dengan beliau.
Waktu itu panjenengan masih
berkomunikasi dengan Cak Nur?
Ya
jelas dong. Sekeras apapun perbedaan pandangan saya dengan tokoh lain, saya
tetap menyambung tali silaturrahmi. Apalagi Cak Nur. Kalau kamu pernah baca
tulisan saya berjudul Tiga Pendekar dari Chichago, Cak Nur adalah salah
satunya. Dia bersama Amin Rais dan Syafii Maarif saya anggap sebagai tokoh yang
membuat bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Setelah kasus itu, saya
beberapa kali bertukar pikiran dengan beliau. Kesan saya terhadap Cak Nur masih
sama. Beliau seorang intelektual yang hebat.
Saya
sampaikan pula waktu itu. Cak, lebih baik Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini dihapuskan saja. Sebab rentan
disalahgunakan oknum tertentu untuk menyerang orang lain yang bersebrangan
dengan dirinya. Di beberapa hal beliau setuju. Di beberapa hal lain beliau
memiliki pandangan sendiri. Ya tidak apa-apa. Namanya perbedaan kan rahmat.
Yang paling penting dalam menyikapi perbedaan adalah kita mencari titik
temunya. Bukan melebarkan perbedaan-perbedaan yang ada. Yang beda jangan
disama-samakan. Yang sama jangan dibeda-bedakan. Gitu lho...
Baik, Gus. Saya mulai tercerahkan.
Satu hal lagi, Gus. Saat ini salah satu pendekar Chichago yang masih hidup Buya
Syafii Maarif jadi bulan-bulanan orang yang tidak sependapat dengannya.
Komentar panjenengan?
Biarkan
sejarah yang menjawab apakah sikap beliau itu benar atau salah. Dulu saya juga
mendapat banyak kritikan karena pendapat-pendapat saya yang melawan arus. Saya
terima-terima saja. Toh, Gusti Allah tidak pernah tidur.
Tapi para pencela menggunakan
perkataan yang tidak patut?
Itu
konsekuensi dari masyarakat yang memahami agama sebagai bentuk luar, bukan ruh.
Orang beragama kehilangan sisi spiritualnya. Mereka lupa kalau agama diturunkan
untuk membenahi akhlak. Namun saat ini hujatan itu memang semakin keras. Banyak
orang mengaku membela agama, tapi menggunakan bahasa-bahasa sarkas, bahkan kekerasan.
Membela agama menggunakan bahasa kekerasan itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
ajaran agama.
Celakanya,
si penghujat adalah mereka yang membaca satu buku saja tidak selesai. Mereka
mendasari kelakuannya dengan hawa nafsu, kebencian dan amarah. Pesan saya,
sebagai orang muda kamu tidak boleh berhenti belajar. Silakan berbeda pendapat
dengan siapapun. Yang penting jangan berhenti belajar.
Terima kasih Gus atas waktunya. Terakhir,
saya mohon didoakan agar bisa menjadi orang yang terjaga dari segala bentuk kebencian
dan fitnah akhir zaman.
Setelah
meminta doa, saya pun mohon pamit.
(Semua hal dalam dialog imajiner ini adalah tanggung
jawab penulis. Gus Dur tidak ikut-ikutan membuatnya)