Pertemuan saya dengan Slamet Thohari atau Amex terjadi di
iklim yang normal sebagaimana kebanyakan mahasiswa, dalam forum diskusi. Salah
satu poin keunggulan menjadi mahasiswa ya di situ, bisa bertemu siapa saja. Dan
pertemuan bisa terselenggara jika kita kenal siapa yang ingin ditemui.
Awalnya saya tidak kenal siapa itu Slamet Thohari. Dalam
undangan yang saya terima, dijelaskan bahwa pria yang akrab disapa Amex itu
merupakan tokoh disabilitas (atau difabilitas. Amex menjelaskan betapa kurang
esensinya perdebatan istilah). Sebagaimana tertera dalam cv-nya, ia merupakan
jebolan University iof Hawaii dan kini mengajar di salah satu universitas
terkemuka di tanah air, Universitas Brawijaya. Karena ketertarikan saya
terhadap isu-isu difabilitas (atau disabilitas), maka saya antusias menghadiri
diskusi agak tertutup ini.
Saya tidak akan merangkum semua poin diskusi pada Kamis malam
tadi. Namun saya akan mengulas beberapa hal yang menurut saya menjadi hal
paling menarik dan mengena.
Saya tercengang dengan salah satu wacana yang dilemparkan ke
forum tentang fasilitas umum untuk kalangan difabel. Halte Trans Jogja,
misalnya. Secara kasat mata, halte tersebut sangat tidak ramah bagi penyandang
difabel. Hal ini berbeda dengan fasilitas yang tersedia di Barat sana. Di sana,
fasilitas-fasilitas umum sudah didesain menjadi ramah bagi semua kalangan,
termasuk orang difabel. Alih-alih menuntut pembangunan sarana umum yang
sensitif difabel, Amex justru memahaminya secara filosofis. Bahwa dalam etika
orang Jawa (dan kebanyakan orang Indonesia), sikap saling membantu itu masih
melekat erat. Ketika ada orang kesusahan, maka saudaranya akan membantu dengan
senang hati. Maka fasilitas umum seperti sarana trasportasi yang didesain untuk
kalangan difabel masih belum begitu menuntut. Berbeda dengan kondisi di Barat
yang menekankan kemandirian. Di jalan-jalan biasa ditemui orang difabel yang
menggunakan fasilitas transportasi umum. Namun ia tetap merekomendasikan adanya
pembangunan fasilitas umum yang ramah difabel.
Isu difabel memang menarik. Menurut data Amex, sekitar 36
juta warga negara Indonesia adalah penyandang difabel. Namun mengapa kita
jarang menjumpai? Karena banyak sekali lingkungan yang masih memasung,
memingit, atau memenjarakan orang-orang difabel ini di rumah. Banyak orang tua
yang masih merasa malu jika anaknya difabel. Sementara institusi lembaga
pendidikan juga masih banyak yang menolak kalangan difabel. Hanya beberapa
kampus saja yang sudah terbuka dengan isu-isu semacam ini. Di lapangan
pekerjaan juga demikian. Orang difabel selalu dikaitkan dengan orang yang
lemah. Maka kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan kepada penyandang difabel
adalah menjadi operator telefon.
Ada satu kisah menarik yang saya dengar tadi malam. Seorang
mahasiswa Universitas Brawijaya bernama Husein sempat ditolak masuk ke UGM di
fakultas teknik. Alasannya karena dia difabel. Padahal Husein tidak memiliki
kelainan dengan orang-orang lainnya. Hanya saja ia menderita sebuah penyakit
yang mengharuskannya duduk di kursi roda. Di Brawijaya, ia masuk ke jurusan
Ilmu Komputer. Super! IPK-nya mencapai 3.9! Dan ia sudah menjalin kerjasama
dengan UNESCO dalam bidang tertentu! Dan ternyata, keberadaan Husein di UB
memang sedikit banyak karena program bang Amex ini merintis kampus inklusi di
sana.
Kebanyakan orang berlomba-lomba menjadi terkenal untuk
menunjukkan eksistensinya. Namun tidak bagi Amex. Berkali-kali ia ditawari ke
berbagai program talkshow seperti Hitam Putih dan sejenisnya, berkali-kali ia
belum memenuhi panggilan itu. Ketenaran bukanlah hal yang dicari. Untuk
menyampaikan pandangan terkait dengan isu-isu disabilitas juga tidak melulu
harus lewat program tivi.
“Sudah banyak mahasiswa saya yang tampil di acara seperti
itu,” kisahnya.
Amex pernah mendapat inklusi award pada 2013 lalu. Baginya,
pencapaian itu bukanlah sebagai sesuatu yang istimewa. Perjuangan mendapatkan
hak-hak keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakannya. Karena, menurutnya,
perjuangan itu ibarat makan dan minum. Makan dan minum adalah sesuatu yang
pasti dan harus dilakukan oleh manusia.
Luar bisa memang. Tampilan sederhananya membuat saya
hampir-hampir tidak percaya jika Amex menjadi kandidat menteri di kabinet kerja
versi tim transisi Jokowi-JK. Dia diproyeksikan menjadi mentri Sosial yang kini
dijabat oleh kawannya Khofifah Indar Parawansa. Pertemuan ide kedua orang ini
tengah merintis sebuah kampung inklusi di sebuah daerah di Jawa Timur. Kalau
tidak salah di Banyuwangi. Konsep yang digunakan adalah social capital, urunan,
gotong royong dan makna sejenisnya.
Amex menegaskan, sebenarnya orang cacat itu tidak ada.
Istilah cacat hanyalah konstruksi sosial yang terbangun di tengah-tengah
masyarakat dan sayangnya diamini kebenarannya. Saya akan menuliskan contoh yang
disampaikan Amex terkait persamaan ini melalui tunanetra. Jika boleh fair, yang
membedakan orang tunanetra denga nontunanetra, misalnya, hanyalah alat. Orang
tunanetra membutuhkan tonjolan untuk membaca. Sementara yang bukan tunanetra
membutuhkan cahaya untuk melihat bacaan. Sama-sama membutuhkan alat, bukan?
0 comments:
Post a Comment