Alan Turing/bbc |
Beberapa hari lalu menteri riset
dan teknologi (Menristek) M Nasir membuat pernyataan yang menghebohkan publik. Ia
melarang lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masuk kampus! Alasannya karena LGBT tidak sesuai dengan nilai-nilai asusila bangsa. Pernyataan
itu menanggapi adanya sebuah lembaga kajian di kampus Universitas Indonesia bernama Support
Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) yang didirikan sejak tahun 2014
lalu. Lembaga kajian itu salah satunya membahas soal LGBT.
Pernyataan
menteri tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap
pernyataan menteri tersebut sudah tepat, sebagian lagi menyayangkan dan bahkan
menghujatnya. Bagi yang mendukung menteri, mereka membenarkan bahwa LGBT
bukanlah budaya bangsa ini. LGBT disebut sebagai penyakit moral yang harus
disembuhkan. Sebaliknya, bagi yang menentang pernyataan sang menteri, ucapan tersebut
dianggap melecehkan. Karena bagaimana pun, LGBT adalah orientasi seksual yang
muncul dari alam bawah sadar. Seseorang tidak pernah memilih dirinya untuk
menjadi LGBT.
Pernyataan
kontroversial sang menteri kemudian diklarifikasi beberapa saat kemudian. M Nasir
menyebut yang dilarang di kampus adalah perilaku seksualnya, misalnya mengumbar
kemesraan di depan umum. Sementara kegiatan lainnya, M Nasir memperbolehkan
dengan dalih berserikat dan berkumpul adalah hak seluruh warga negara
Indonesia.
LGBT memang menjadi topik sensitif
karena melibatkan banyak hal, termasuk ajaran agama dan hak asasi manusia. Namun
pernyataan M Nasir yang spesifik menyebut LGBT dilarang masuk kampus, atau pun
LGBT dilarang bermesraan di kampus, hal ini perlu dikaji ulang.
Jika benar LGBT dilarang masuk
kampus, jelas saja sang menteri mencederai kebebasan di ruang akademik. Ruang akademik
adalah ruang yang sangat bebas, tidak dibatasi pada persoalan pribadi. Terlebih
jika melibatkan hal pribadi yang menjadi hak privasi, atau malah persoalan yang
sifatnya intim seperti orientasi seksual.
Kalau pun Menristek sudah melakukan
klarifikasi bahwa yang dilarang adalah perilaku yang mengarah pada kegiatan
seksual, seperti bercumbu, bermesraan dan lain sebagainya, apakah yang dilarang
hanya LGBT? Bagaimana pernyataan sang menteri terhadap prilaku mengarah pada
kegiatan seksual yang dialami pasangan non-LGBT? Apakah dilegalkan? Saya rasa klarifikasi
dari sang menteri membuat pernyataannya semakin absurd. Jika sudah wilayahnya
adalah tindakan mengarah pada perilaku seksual, maka seruan tersebut etisnya disampaikan
kepada seluruh orang, bukan hanya LGBT. Sebab hal tersebut sudah masuk wilayah
kesopanan umum, tidak hanya golongan tertentu.
Kalau pun Menristek sudah melakukan klarifikasi bahwa yang dilarang adalah perilaku yang mengarah pada kegiatan seksual, seperti bercumbu, bermesraan dan lain sebagainya, apakah yang dilarang hanya LGBT? Bagaimana pernyataan sang menteri terhadap prilaku mengarah pada kegiatan seksual yang dialami pasangan non-LGBT? Apakah dilegalkan?
Dalam konteks pelarangan LGBT masuk
kampus, apakah sosok yang sama, atau siapa pun yang menentang keberadaan LGBT
di kampus, berani mengatakan ‘seluruh produksi yang melibatkan LGBT dilarang
masuk kampus!’? Jika berani maka tinggalkan saja perangkat komputer! Karena sejarah
awal komputer diciptakan oleh sosok yang masuk dalam kategori dihinakan itu.
Alan Mathison Turing, penemu mesin
komputer, adalah seorang gay. Karena statusnya itu, Alan dikebiri oleh
otoritas Inggris, kemudian mati bunuh diri karena depresi, menggunakan racun
sianida. Inggris saat itu masih menganggap LGBT sebagai kriminal. Namun dari
kerja kerasnya, seluruh aktivitas manusia modern saat ini menjadi lebih ringan
dengan keberadaan mesin komputer. Apakah ada teks yang menjelaskan Alan Turing pernah bermesraan di depan umum saat kuliah? Sepertinya tidak. Pada 2009 lalu, otoritas Inggris meminta maaf
secara terbuka dan mencabut dakwaan kriminal seksual yang dialamatkan kepada
Turing.
Sosok Alan Turing hanyalah satu
dari sekian orang yang memiliki orientasi seksual berbeda, tetapi jasa mereka bisa dinikmati oleh seluruh orang di dunia. Belakangan Paus
Fransiskus, pemimpin katolik Roma, tengah menggodok aturan agar LGBT diterima sebagai jemaat, walau pun pilihan hidupnya tidak perlu didukung. Sebab banyak
kaum LGBT yang telah memberi jasa bagi peradaban. Alan Turing adalah contoh
yang paling nyata.
Sebagai seorang yang belajar agama,
seseorang boleh saja tidak setuju dengan perilaku LGBT. Tetapi hal tersebut
tidak lantas menjadi alasan melakukan tindakan diskriminasi yang melanggar
prinsip kebebasan, keadilan, dan hak asasi manusia. Utamanya bagi agamawan, yang
bisa dilakukan ialah memberi edukasi kepada masyarakat. Bukan malah memberikan
sentimen terhadap pelaku LGBT dengan dalil-dalil, atau bahkan menghukumi sesat. Menggunakan dalil
agama sebagai penguat klaim sesat justru melegalkan perbuatan diskriminasi
kepada mereka.
Sebagai seorang akademis, maka
wajib bagi kita mempertahankan kebebasan berpendapat dan
berpikir di ruang akademik. Jangan sampai ada pihak yang mengebiri kebebasan dengan
alasan tidak sesuai dengan standar pihak tertentu. Sebab pada dasarnya ruang
akademik akan terus hidup jika asas kebeasan ini dijamin. Tentu saja bebas yang bertanggung
jawab. Wallahua'lam.
0 comments:
Post a Comment