Saya dan Tim Pencari Jajan di KUPI |
Hatoon Al-Fassi
memberikan penjabaran tentang kondisi perempuan di negaranya, Arab Saudi. Di
hadapan ratusan peserta seminar internasional, aktivis yang identik dengan
pakaian tradisional Arab itu mengatakan perempuan di Indonesia jauh lebih
beruntung. Terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang
didukung banyak kalangan, termasuk pemerintah, adalah bukti suara perempuan
sangat dihargai di sini.
Hal senada
disuarakan Zainah. Perempuan asal negeri jiran Malaysia itu mengungkapkan
kekagumannya pada gerakan perempuan di Indonesia. “Mengumpulkan lebih dari 400
perempuan ulama di sebuah forum adalah hal yang luar biasa,” pujinya. Ya, gaung
suara perempuan kembali meletup setelah sekian lama tak terlalu terdengar. Ribut-ribut
Pilkada DKI beberapa waktu silam membuat negeri ini seolah-olah sesempit
Jakarta saja. Kongres ini mengawali bangsa Indonesia untuk memikirkan sesuatu
yang jauh lebih kongkrit daripada pesta politik lima tahunan.
Badriyah Fayumi,
tokoh agama, mengatakan kongres ini sebagai panggilan iman dan sejarah. Kongres
ini bukan saja melantangkan suara perempuan untuk memperjuangkan keadilan
baginya, tapi juga mengingatkan kepada banyak orang betapa Islam sangat
menjunjung tinggi martabat perempuan. Di masa lampau pun sudah banyak perempuan
yang menjadi ulama.
Masriyah Amva,
pengasuh Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu tempat diselenggarakannya KUPI, menambahi
bahwa perempuan bukan makhluk terbelakang. Baik lelaki dan perempuan diciptakan
dengan derajat yang sama. Masriyah sekaligus menjadi contoh betapa pesantren
yang dikenal sangat patriarkis bisa dipimpin oleh seorang perempuan. Lebih dari
1000 santri berada di bawah naungan Bu Nyai yang puitis itu.
Ulama
Perempuan
Banyak yang
bertanya-tanya, mengapa nama kongresnya ulama perempuan? Kok, ada lelakinya? Bukankah
ulama, secara etimologi, sudah mencakup laki-laki dan perempuan? Hal ini tidak
lain adalah sebagai penegasan. Istilah ulama perempuan itu pun bukan berarti ulama
berjenis kelamin perempuan, tetapi ulama, baik laki-laki atau perempuan, yang
memiliki pandangan yang berpihak pada perjuangan hak-hak perempuan. Jika ulama itu perempuan maka disebut sebagai
perempuan ulama.
Masriyah
menjelaskan bahwa kongres ini terselenggara berkat perjuangan yang cukup
melelahkan. Banyak pihak yang tidak menghendaki adanya kegiatan ini karena
dianggap kebablasan. Padahal, acara ini murni untuk menyamakan persepsi banyak
tokoh terkait pandangan Islam terhadap perempuan. Juga untuk merumuskan
strategi besar peran perempuan dalam kehidupan.
Direktur Fahmina
Institute KH Husein Muhammad mengatakan bahwa kongres ini adalah yang pertama
diselenggarakan di dunia. Ia belum pernah mengetahui ada kongres serupa yang
pernah diadakan di belahan dunia lain. Kata Kiai, Cirebon dipilih sebagai titik
awal dan ia berharap akan ada kongres-kongres perempuan lain di kemudian hari.
Tidak hanya Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Umi, salah satu
peserta dari Aceh, mengaku mendapat banyak manfaat dari kegiatan ini. Perempuan
bercadar yang memiliki majlis pengajian itu menyadari bahwa banyak hal bisa
dilakukan oleh perempuan. ‘Kita tidak hanya bekerja di dapur dan kasur, tapi
bisa jauh lebih dari itu,’ ujarnya. Ia menilai KUPI patut diselenggarakan di
berbagai wilayah agar menimbulkan kesadaran bersama terkait peran perempuan.
Terlebih bagi orang sepertinya yang juga bekerja di LBH bagian kekerasan
seksual dan perlindungan anak.
Perempuan seringkali
dipersepsikan sebagai kaum yang lemah dan dipersalahkan. Padahal kenyataannya
perempuan itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Di kongres ini, dibahas pula peran perempuan
dalam meningkatkan mutu pendidikan hingga menyoal ekologi, bukti bahwa
perempuan bukanlah makhluk domestik yang hanya akrab dengan kasur, dapur, dan
sumur.
Poligami
Menurut Perempuan Sedunia
Acara ini
bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Walau secara nama skalanya nasional,
tapi peserta kongres berasal dari berbagai negara. Tercatat ada 16 negara yang
berpartisipasi di kegiatan ini.
Salah satu bahasan
lama yang masih menarik ialah poligami. Beberapa orang menganggap poligami
diperbolehkan karena di Al-Qur’an teksnya memperbolehkan seorang lelaki
menikahi hingga empat istri. Tetapi banyak pula yang mengatakan tidak
diperbolehkan, sebab di Al-Qur’an ada syarat khusus bagi seseorang yang
menghendaki poligami: adil.
Ulfat H Masibo,
seorang perempuan ulama dari Nigeria menegaskan diperbolehkannya poligami hanya
dalam satu kondisi, yaitu seorang suami bisa adil. Jika tidak, maka poligami
tidak diperbolehkan. Sementara Rafatu Abdul Hamid (Kenya) menilai poligami acap
kali melanggar hak-hak perempuan. Pun, bagaimana bisa berbuat adil kepada lebih
dari satu orang?
Penolakan
poligami pun disuarakan ulama asal Pakistan Bushra Qadeem Hyder. Ia mengkritik
dalih diperbolehkannya poligami berdasar ayat suci. Tetapi para pelaku tidak mengetahui
syarat dan kondisi diperbolehkannya poligami ini sehingga yang terjadi adalah
eksploitasi pada perempuan. Kongres ini mengingatkan saya suatu kali disodori pertanyaan, bolehkah poligami? Dengan sedikit guyon saya pun menjawab, "Halah, satu saja belum berani kok mikir poligami." Ketika diburu dengan pertanyaan yang sama, jawabanku hanya, "Jika kau tanyakan padaku, maka jawabannya sama dengan lubuk hatimu. Bisakah adil kepada lebih dari satu orang?"
Bagi saya yang
mengikuti kongres ini sejak hari pertama, saya terkesan dengan cara perempuan mendobrak
stigma negatif yang ditujukan kepadanya. Tidak berlebihan jika Nyai Umdah
(Jombang) mengatakan kongres ini lebih tepatnya sebagai hari kebangkitan yang
menyejarah. Mereka menggunakan cara elegan untuk berteriak melalui KUPI.
Kongres yang
awalnya banyak diragukan hingga dicibir perlahan mendapat tempat di hati banyak
orang. Di hari penutupan, GKR Hemas dan Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin
memberikan apresiasi luar biasa atas terselenggaranya kongres ini. Lukman
sampai menyatakan kesiapannya mendirikan sebuah Ma’had Aliy yang diperuntukkan
untuk mengader ulama perempuan.
Salah satu yang luar
biasa di KUPI adalah ketiadaan batas peserta yang ikut di kongres ini. Mereka datang
dari berbagai lintas organisasi dan mazhab. Perbedaan cara pandang fikih
disingkirkan demi mengkaji hal-hal pokok yang bertujuan menghadirkan keadilan
bagi perempuan.
Di kongres ini
saya menjumpai keragaman, mulai yang mengenakan kerudung, jilbab, cadar, hingga
tanpa tudung. Mereka sama-sama berada di satu forum, saling berbincang terkait
isu perempuan, KDRT, penyakit, dan lain sebagainya. Umi, peserta dari Aceh itu
salah satu peserta yang membuat saya terkesan. Di balik cadarnya, ia adalah
pribadi yang sangat bersahabat, jauh dari stigma negatif pengguna cadar
sebagaimana sering saya dengar.
Sesaat setelah
diwawancara, Umi menepuk pundak saya dan mendoakan, “Semoga sukses!”. Sebuah
doa yang langsung saya amini. Ketika akan pulang, saya sempat bertemu dengan
Umi. Ia menghampiri saya dan menyodorkan tangannya di balik kain hijabnya. Aku pun
langsung menyambut dan menyalami sembari mengecup tangannya, seperti budaya
pedesaan pada umumnya.[]
0 comments:
Post a Comment