Carilah
pasangan yang berkeadilan gender, begitu salah seorang dosen. Ia mewanti-wanti
agar mahasiswanya tidak salah dalam memilih pasangan hidup. Salah pilih gubernur
waktu Pilkada hanya menyesal lima tahun. Tetapi salah memilih pasangan? Bisa
panjang urusannya.
Pesan
ini secara eksplisit memang ditujukan kepada kaum muda, terutama mahasiswi di
kelas sang dosen. Akan tetapi, pesan yang disampaikan ini sangat relevan ditujukan
kepada semua kalangan. Bagi penulis, pesan ini menjadi titik awal ketertarikan
penulis terhadap isu-isu feminisme yang sempat menguat beberapa tahun yang
lalu, tetapi kemudian melemah beberapa waktu belakangan.
Mengapa
dikatakan melemah? Munculnya banyak tokoh seleb agama yang mengampanyekan
semangat patriarki adalah salah satu sebabnya. Ironisnya, pemikiran mereka yang
menggiring perempuan kembali ke bilik dapur dan rumah tangga ini sangat
digandrungi. Forum-forumnya selalu ramai. Tak jarang, forum tersebut dijadikan
ajang menghabisi konsep keadilan gender yang sudah disuarakan sejak lama.
Singkat kata, perempuan dianggap cukup untuk mengurus keperluan domestik rumah
tangga, alih-alih turut beraktivitas dan berkarya di kehidupan.
Munculnya
pemikiran semacam ini membuat dunia seakan mundur 1500 tahun ke belakang.
Sebelum Islam datang, perempuan merupakan manusia kelas dua yang tidak memiliki
hak bersuara. Perempuan bahkan dianggap aib oleh masyarakat. Hal ini bisa
dilihat dari perilaku jahiliyah bangsa Arab yang mengubur hidup-hidup anak
perempuannya karena merasa malu. Bangsa jahiliyah pun memperbolehkan seorang
lelaki mengawini puluhan atau bahkan ratusan perempuan sekaligus. Setelah
Rasulullah SAW mendakwahkan Islam, perempuan memiliki kehormatan yang sama
dengan lelaki.
Hal
ini dirasakan pula oleh sahabat Umar ibn Khattab RA. Khalifah kedua umat Islam
ini berkata, “Pada masa jahiliyah, kami tidak pernah memperhitungkan perempuan. Hingga Islam
datang dan Allah SWT menyebut-nyebut mereka, barulah kami sadar bahwa mereka
punya hak yang tidak bisa kami intervensi sama sekali.” (Fath al-Bari).
Islam
datang untuk mendobrak tradisi patriarkis bangsa jahiliyah Arab yang
menempatkan perempuan hanya sebagai objek. Pada perjalanan waktunya, banyak
tokoh-tokoh perempuan Islam yang menjadi tokoh perubahan. Di Indonesia, kita
mengenal banyak perempuan muslim yang dikenang sebagai tokoh emansipasi dan
revolusi seperti Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia dan lain
sebagainya. Jika masih ada orang yang berpikir perempuan sebagai manusia kelas
dua, patut dicurigai ia manusia yang seharusnya lahir 15 abad yang lalu.
Jika
ingin menilik umat Islam yang ideal, lihatlah Islam pasca hijrah ke Madinah.
Hijrah adalah titik balik perjalanan umat Islam dari masa kegelapan menuju
sebuah era yang terang benderang. Di periode inilah diturunkan banyak ayat
Al-Qur’an terkait akhlak, muamalah, yang termasuk juga di dalamnya tentang
ayat-ayat keadilan gender.
Di
masa kini, hijrah bisa dimaknai sebagai sebuah paradigma atau pola pikir
masyarakat. Hijrah adalah simbol sebuah perubahan paradigma masyarakat dari
konservatif menuju progresif. Bagaimana bisa melihat seseorang itu konservatif
dan progresif? Lihatlah caranya memandang keterlibatan perempuan dalam segala
aspek kehidupan.
Orang
konservatif cenderung menolak keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial.
Ia menilai tugas seorang perempuan hanya manak (melahirkan), macak (berias),
dan masak. Perempuan yang sempurna adalah yang bisa menguasai ketiga hal
tersebut. Perempuan yang berkenan untuk tidak keluar dari rumah barang
sejengkal adalah favoritnya.
Sementara
lelaki progresif memandang perempuan memiliki kesempatan dan peran serta
tanggung jawab yang sama dalam pembangunan sosial. Ia memberi keleluasaan bagi
pasangannya untuk melakukan hal-hal baik yang bermanfaat bagi sesama.
Sebagaimana firman Allah SWT, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat
bagi manusia lainnya.
Wallahua’lam.
0 comments:
Post a Comment