Friday, December 18, 2015

Interaksi sebagai Kata Kunci

gambar: annida-online.com
Sekian banyak orang menentang proyek yang digagas oleh Dr. Eleanor Ann Alloway untuk menyelami alam raya dalam rangka menemukan makhluk hidup di luar bumi.  Proyek itu dilakukan karena adanya ‘kode’ dari ‘makhluk’ luar angkasa yang sempat ditangkap radio penelitian sang doktor. Ia berhipotesa bahwa ada makhluk tertentu yang ingin menghubungi manusia di bumi dan menyampaikan sebuah pesan melalui bunyi berpola. Penolakan proyek yang menelan biaya ratusan triliun dolar AS itu disebabkan karena proyek 'gila' itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini oleh pemeluk agama. Dalam berbagai agama disebutkan hanya bumilah satu-satunya tempat di mana makhluk hidup diciptakan. Tapi atas nama pencarian kebenaran, Dr. Eleanor yang ateis terus berjuang merealisasikan proyek luar angkasa tersebut.
Penggalan kisah dalam film Contact garapan sutradara Robert Zameckis yang diadaptasi dari novel karya Carl Sagan itu membuka mata saya tentang melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang. Bagi seorang beragama, tentu menjadi pertimbangan utama untuk meletakkan dasar doktrin agama sebagai acuan utama. Tetapi apakah saya yang muslim harus memaksakan seorang Eleanor yang ateis untuk sama-sama memahami kebenaran dari sudut pandang Islam? Tentu saja memaksakan kebenaran semacam ini kurang arif. Terlebih jika melihat bagaimana realitas kebenaran memiliki tolak ukur yang beragam.
Sehari setelah menonton film Contact yang kata Joko Anwar merupakan film paling religius baginya, saya berkesempatan mengikuti sebuah kajian menarik bersama seorang teologis dari Universitas Notre Dame Amerika. Ia bernama Mun’im Sirry yang membuat heboh karena ‘berani’ menulis sebuah renungan panjangnya berjudul Kontroversi Islam Awal. Buku tersebut heboh karena memuat banyak literatur yang bagi kebanyakan orang muslim dianggap tabu, saru, pamali, bid’ah, sesat dan istilah-istilah lain yang sepadan. Dan berikut saya akan mengulas beberapa poin yang saya tangkap dari kajian malam ini.
“Jika ingin melihat Alqur’an maka lihatlah kitab-kitab lain yang berinteraksi dengannya. Jika ingin melihat Alqur’an dari sudut pandang muslim, bacalah tafsir-tafsirnya.” Kurang lebih itu kalimat kunci dari Mun’im Sirry (selanjutnya saya sebut Cak Mun) yang menjadi pengantar NGOPI (Ngobrol Pintar) bertema ‘Alqur’an dan Sejarah Islam’ di griya Gusdurian, Timoho, Yogyakarta.  Dari kalimat pengantar itu, tampak sebuah ajakan dari Cak Mun bagi peserta diskusi untuk mau membuka pikiran selebar dan seluas-luasnya. Ia mencontohkan para akademisi Barat tidak melakukan pembacaan terhadap Alquran melalui tafsir-tafsir yang ditulis oleh ilmuwan muslim, tetapi mereka membaca Alquran dari berbagai literatur yang memiliki interaksi dengan Alquran.
Pernah dalam sebuah kelas, seorang ustad saya mengatakan bahwa Islam memiliki kesinambungan dengan agama-agama lain sebelumnya. Ia menyebut bahwa Islam adalah agama yang menghapus agama sebelumnya karena dianggap telah menyimpang dari ajaran tauhid. Begitu pula dengan Alquran yang jika dipahami akan memiliki banyak kemiripan kisah dengan kitab-kitab suci lain di dunia. Karena Alquran diturunkan sebagai kitab penyempurna dari kitab-kitab lain yang sudah diturunkan berabad-abad sebelum era Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini memiliki perbedaan dengan sudut pandang yang ditawarkan cak Mun, bahwa ia lebih memilih menggunakan redaksi interaksi Alquran dengan kitab-kitab lain dibanding menyebutnya sebagai pengganti kitab-kitab terdahulu. Ia juga kurang sreg jika ada yang mengatakan Alquran dipengaruhi Bibel, dan atau sebaliknya. Sekali lagi ia lebih oke menggunakan redaksi interaksi.

Injil dan Nasrani
Sebelumnya, saya menekankan bahwa apa yang saya tulis berikut ini merupakan penangkapan saya terhadap materi yang disampaikan oleh Cak Mun. Mungkin subjektivitas saya membuat konten tulisan berikut ini menjadi tidak sesuai. Namun saya menjamin tidak ada usaha dari saya untuk mengubah substansi dari diskusi malam ini. Untuk itu bila ada kesalahan, mohon agar diluruskan.
Di dalam Alquran sering disinggung mengenai kitab-kitab suci yang diturunkan sebelum Alquran. Kitab-kitab tersebut merujuk pada Injil, Taurat, dan Zabur. Sering kali pula para akademisi muslim menyebut kitab-kitab sebelum Alquran sudah tidak berlaku karena digantikan oleh Alquran. Alasannya adalah karena kitab-kitab tersebut tidak lagi otentik. Logika ini dipertanyakan oleh Cak Mun. Ia bertanya, “Bagaimana bisa mengatakan bibel yang ada saat ini salah jika tidak pernah ditemukan yang asli?”
Ia menyebut ada cara pandang yang berbeda dari muslim dan kristen pada umumnya mengenai Injil. Perlu diketahui pula bahwa Injil merupakan sejarah hidup Yesus yang ditulis oleh beberapa orang muridnya. Maka ditemukanlah berbagai versi Injil yang ditulis oleh murid Isa AS yang berbeda-beda. Perlu diketahui pula bahwa munculnya ajaran kristen tidak terekam baik sebagaimana kemunculan agama Islam awal. Untuk itu banyak istilah-istilah yang masih rancu dipahami oleh banyak orang. Bahkan untuk menyebut orang yang mengikuti ajaran Yesus, terdapat berbagai pendapat. Di Indonesia dikenal ada dua pengikut Yesus, yaitu Kristen dan Katolik.
Cak Mun menjelaskan bahwa dalam budaya dan kitab suci mana pun, seseorang yang mengimani Yesus disebut sebagai kristen/ kristiani/ Christian dan bahasa lain yang secara redaksional tidak jauh berbeda. Dalam budaya Arab, orang yang mengimani agama Isa Al-Masih disebut sebagai al-masihiyun. Ia kemudian melontarkan sebuah pertanyaan, mengapa di dalam Alquran kebanyakan kata yang digunakan untuk menyebut pengikut Isa AS adalah kaum Nasrani? Dan inilah pentingnya melakukan pembacaan dengan kitab-kitab suci lain yang memiliki interaksi dengan Alquran.
Kata Cak Mun, dalam Bibel, tercatat hanya satu kali kata Nasrani ditulis yakni saat Tertulus menghakimi Paulus. Saat itu Tertulus mengatakan bahwa Paulus membuat kekacauan orang-orang Yahudi seluruh dunia dan ia disebut sebagai ketua sekte Nasrani. Paulus pada mulanya merupakan orang Yahudi bernama Saulus yang memerangi orang Kristen. Ia kemudian mengimani kristus karena sebuah sebab di Damaskus. Namun banyak yang mengatakan bahwa ajaran Paulus ditentang oleh kebanyakan orang kristen. Itu berarti satu-satunya redaksi Nasrani di dalam Bibel membahas mengenai sosok yang ditentang oleh mayoritas pengikut ajaran kristus tersebut. Lalu apakah Nasrani dalam Alquran (yang kerap ditentang) merujuk pada sekte yang dianggap sesat oleh orang Kristen itu? Wallahua’lam. Tetapi saya pernah mendengar jika kata Nasrani diambil dari kata Nazareth, tempat asal Nabi Isa As. Maka pengikutnya disebut Nasrani.
Selama ini saya pribadi mendapat informasi melalui website-website (yang kadang ekstrim) jika yang masih dibenarkan dalam Alquran adalah Nasrani, sedangkan kristen adalah sebuah sekte yang dibentuk belakangan, kongkritnya saat peristiwa Saulus menjadi Paulus. Tetapi penjabaran panjang lebar dalam diskusi ini mengubah segalanya. Perjumpaan saya dengan Cak Mun memancing saya untuk kembali mengkaji definisi yang sudah ada dalam benak saya sebelumnya. Ia juga menyinggung istilah mu’minum dan muslimun. Menurut Cak Mun, yang digunakan Alquran dalam menyebut pengikut Nabi Muhammad SAW adalah mu’minun, yang berarti mengimani kerasulan Muhammad. Bagi yang belum mengimani kerasulan Nabi Muhammad, mereka masih digolongkan muslimun. Pendapat ini sangat berbeda dari pelajaran agama yang pernah saya terima di bangku sekolah dulu. Mu’minun justru digunakan untuk semua komunitas yang beriman pada Tuhan yang Esa. Sementara muslimun hanya untuk menyebut komunitas muslim belaka. Wallahua’lam.

Halaman Belakang
Jika kebenaran adalah hal yang pasti, maka tidak ada pencarian-pencarian yang dilakukan untuk mengungkapnya. Jika tidak ada pencarian-pencarian, maka kebenaran telah menuntun sebuah peradaban untuk menjadi jumud. Barangkali ada hikmah mengapa kebenaran tidak pernah mewujudkan dirinya sebagai sebuah bentuk yang absolut. Jika saya berbicara dengan bahasa jurnalistik, kebenaran adalah bagaimana cara kita mengonstruksi sebuah realita. Angle atau sudut pandang menentukan bagaimana sebuah kebenaran itu dipilih.
Berbicara mengenai lintas agama dan lintas keyakinan memang tidak ada habisnya. Namun sangat disayangkan jika seseorang beriman hanya karena faktor kepasrahan. “Imannya seorang yang historis cenderung lebih kuat,” kata Cak Mun. “Saya tidak pernah takut apabila pencarian saya membuat iman saya berkurang,” sambungnya lagi. Justru pembacaan interaksi kitab suci Alquran dengan kitab-kitab suci lain membuatnya semakin memahami betapa romantisnya sang pencipta. Bukankah Ia yang Maha Benar tak pernah menampakkan wujudnya yang absolut?
Tema diskusi ini memang cukup berat. Dan bahkan beberapa orang yang hadir akan merasa panas dingin mendengar pernyataan-pernyataan lugas dan vulgar dari Cak Mun. Bagi saya pribadi, diskusi malam ini memantik rasa ingin tahu saya mengenai kajian lintas agama semakin terpacu. Tentu saja, banyak poin-poin tak terduga yang baru saya ketahui. “Oh, ternyata ada yang demikian, ya?” Batin saya tersebut mengemuka saat Cak Mun menceritakan seorang ilmuwan Barat bernama John W Brow mempertanyakan, benarkan Alquran turun di jazirah Arab yang primitif? Mas Brow sangsi jika Alquran yang sangat filosofis turun di tengah masyarakat yang menurut buku-buku sejarah Islam awal gemar membunuh bayi perempuan? Menurutnya, Alquran harusnya turun di sebuah peradaban yang sangat maju dan memiliki kajian-kajian intelektual. Mas Brow bahkan memiliki tesis jika Alquran turun di dataran Mesopotamia!
Akhirnya saya akan menutup tulisan ini dengan salah satu kajian yang sangat kontroversial dari Cak Mun. Di dalam forum NGOPI, sampai ada dua orang yang mempertanyakan mengenai ‘tafsir’ dari Cak Mun terkait surat Al-Kafirun. Konon pernyataan Cak Mun sampai memanaskan ruang diskusi di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Saya heran, mengapa banyak orang hanya mengutip ayat terakhir dari surat Al-Kafirun untuk mengatakan bahwa Alquran adalah kitab toleransi?” ujarnya memberi pertanyaan. Ia sendiri menilai jika ayat yang berbunyi lakum dinukum waliyadin tidak bisa dimaknai sebagai ayat toleransi jika menyambungkannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Misalnya saja redaksi ayat kedua laa a’budu maa ta’budun yang artinya saya tidak menyembah apa yang kamu sembah. Bagi Cak Mun, hal itu menunjukkan adanya eksklusivitas karena adanya penafian terhadap kepercayaan orang lain. “Di mana toleransinya?” ujarnya.
Berangkat dari kegelisahan karena tidak adanya ‘sambungan’ ayat lakum dinukum waliyadin dengan ayat-ayat sebelumnya, Cak Mun lalu melakukan penelitian. Ia mencari manuskrip-manuskrip kuno mengenai ayat-ayat tersebut di tujuh perpustakaan besar di dunia. Dari situ ia menemukan adanya problem terkait huruf alif yang ada di belakang huruf lam. Beberapa literatur awal menunjukkan adanya potensi perbedaan bacaan dari yang kita kenal saat ini (Alquran pada awal ditulis tanpa titik dan harakat, juga tanpa penambahan huruf alif untuk tanda panjang). Karena dalam bahasa Arab beda satu huruf bisa membuat makna yang sangat berbeda. Dalam ayat laa a’budu maa ta’budun (huruf lam disambung alif) berarti saya tidak menyembah apa yang kamu sembah. Tetapi jika tanpa alif, maka dibaca laa'budu maa ta'budun berarti saya sesungguhnya menyembah apa yang kamu sembah. Posisi huruf lam sebelum huruf alif berfungsi sebagai lam ta'kid, atau penegas. Ini, bagi Cak Mun, menunjukkan adanya sinergitas antara ayat lakum dinukum waliyadin dengan ayat-ayat sebelumnya. Dengan pendekatan ini pula menjadi semakin tegas jika Tuhan yang disembah oleh seluruh umat manusia adalah satu zat yang sama. “Dan semakin nyata jika surat Al-Kafirun memang mengandung ayat-ayat toleransi.”
Yang jelas, semua pendapat yang dikemukakan oleh Cak Mun tidak harus dibenarkan seluruhnya. Bagi orang yang setuju dengan gagasannya, silakan. Jika tidak pun tidak masalah. Toh, kebenaran hanyalah soal dari sudut mana sesuatu itu dilihat. Seperti Dr. Eleanor Ann Alloway pada akhirnya merasakan sebuah perjalanan misterius. Ia mengaku telah menembus lubang cacing dan masuk ke galaxy antah berantah. Padahal dari sudut pandang manusia yang hadir di acara peluncuran Dr. Eleanor ke luar angkasa, mesin yang akan mengantarkan Eleanor ke penjelajahan mengalami masalah dan akhirnya terjatuh ke laut. Namun dalam waktu yang sangat singkat, Dr. Eleanor mengaku menembus beberapa tempat di luar angkasa dan kemudian bertemu ayahnya di sebuah tempat. Ini, bagi Eleanor, merupakan pembuktian dari teori relativitas Einstein, bahwa waktu beberapa detik di Bumi bisa berarti beberapa jam atau hari di luar sana. Tetapi bagi orang yang tidak setuju dengan penjelasannya, maka dengan mudah Eleanor disebut berhalusinasi. Wallahua’lam.

Yogyakarta, 19 Desember 2015