Wednesday, May 31, 2017

Selamat Jalan, Bupati Bersahaja

Tak banyak persinggungan yang kualami dengan Bapak Mahsun Zain, bupati Purworejo (2008-2015). Paling sering tentu melihat fotonya di beberapa baliho di kota itu yang saban tahun hampir selalu aku lewati, baik ketika masih mondok di Pati atau kuliah di Jogja. Namun pada seminggu terakhir, aku mengunjungi kediamannya dua kali.

Kamis (25 Mei 2017) adalah pertama kalinya aku bertemu beliau. Ia mengenakan kaos oblong putih dan bersarung layaknya santri, menunggu aku dan beberapa teman yang ingin menginap di kediamannya seusai melihat acara Among-Among Pancasila di Kebumen. Salah satu rekan kami adalah anak beliau. 

Beliau berada di teras depan rumah dan mempersilakan kami segera masuk. 


"Nanti tidur di kamar saya, ya?" ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar. Ia sendiri, setelah berbincang-bincang ringan dengan kami dan mempersilakan kami segera istirahat, langsung menuju ruang depan. Mungkin beliau tidur di sofa.


Pagi harinya, ketika kami hendak pamit ke Jogja, beliau berada di teras rumah. Saat itu, dengan masih mengenakan kaos oblong sederhananya, beliau tengah memotong kacang panjang. Aku dan teman-teman yang lain menyucup tangannya dan mengucap salam. Tak dinyana, itulah salam terakhir yang kami ucapkan pada pria hebat kelahiran 1959 itu. 


Kesehatan beliau belakangan memang kurang baik. Mungkin karena aktivitas padatnya selama menjabat sebagai orang nomor 2 dan 1 di Purworejo. Bapak Mahsun kabarnya sudah melakukan cuci darah sejak beberapa tahun terakhir. Selasa malam (30 Mei 2017) pukul 19.10 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir di RS Tjitrowardoyo, Purworejo. 


Dini hari tadi, di jam yang hampir sama saat aku pertama ke sana, aku kembali mengucap salam. Berbeda dengan seminggu lalu yang suasananya sangat sepi, malam tadi berdiri terop/tarub dengan puluhan pelayat yang masih terus berdatangan. Ah, 


Kematian memang sebuah misteri.... 


Sebuah pertemuan singkat dengan bapak bupati ini sangat bermakna bagiku. Ya, karena aku menemukan kata sederhana yang tak selalu kutemukan pada para pejabat yang pernah kutemui. 


Ada sebuah kisah bahwa beliau sebenarnya masih diminta warga Purworejo maju di pemilihan bupati 2015 lalu. Tapi beliau menolak. Padahal, sebagai petahana, seharusnya mudah baginya untuk memenangkan kursi pemilihan. Tapi beliau bukanlah sosok yang gila jabatan. Ya, karena jabatan adalah amanah sekaligus ujian. Tak perlu diburu. Tak perlu dipertahankan mati-matian. 


Aku jadi ingat sesi wawancara Gus Dur dengan Andi F. Noya. Di salah satu sesi, Gus Dur lantang mengatakan "saya jadi presiden itu karena diminta oleh 5 guru saya." Jika tidak diminta, ya tidak usah ngotot memburunya. Bisa jadi, bapak Mahsun pun demikian. 


Selamat jalan, pak...
 

Lahul fatihah...

Yogyakarta, 31 Mei 2017

Friday, May 5, 2017

Jurnalis Harus Gila


gambar: erabaru.com

Jendral itu beberapa kali membuat pernyataan bahwa ia tidak perlu bersusah payah meladeni tulisan Allan Nairn yang dimuat situs tirto.id karena takut dianggap gila. Meladeni orang gila sama dengan gila. Begitu katanya. Di acara Rosi #PanglimaDiRosi malam Jumat lalu, Pak Jendral secara terbuka mengatakan hal tersebut kembali.
Di hadapan jutaan pemirsa dan beberapa pemimpin redaksi media ternama, Pak Jendral membuat tulisan Allan jadi lebih kriuk di mata saya. Itu karena tidak ada sanggahan secara tegas dan tanggapan yang melemahkan atas data yang dibuka oleh Allan melalui THE INTERCEPT yang kemudian dimuat tirto. Pak Jendral dan salah satu pengamat militer malah membelokkan isu ini menjadi "jangan terlalu percaya jurnalis asing" atau "jurnalis asing tidak selalu benar". Ya, semua jurnalis tidak selalu benar karena jurnalis juga manusia. Tetapi kerja jurnalisme memiliki aturan: data, fakta, akurasi dan keberimbangan menjadi bagian tak terelakkan.
Dari sekian pernyataan jendral, hanya aspek keberimbangan yang jadi soal. Di tulisannya, Allan mengatakan telah berusaha menghubungi jendral tetapi urung berhasil. Sementara jendral menyatakan sebaliknya: ia belum pernah dihubungi jurnalis asing yang membongkar wawancara off the record dengan Prabowo saat pilpres lalu.
Oleh karenanya, para pemimpin redaksi media ternama mengatakan, sebagai sebuah tulisan yang memuat berbagai data dan fakta, tulisan Allan tidak bisa disebut sebagai berita (news), tetapi opini atau kolom. Sebagai kolom, tulisan itu masih bisa disebut sebagai karya jurnalisme. Dengan merebaknya kasus ini, semoga Allan bisa bertemu dengan Jendral untuk mengklarifikasi data-data yang ditulisnya.
Di era kolonial, Tirto Adhi Soerjo muncul dengan surat kabar nasional pertama di Indonesia, Medan Prijai. Media itu yang memberitakan ‘sesuatu’ yang tidak dimuat oleh pers mainstream, De Locomotief misalnya. Bagi penguasa kolonial, laporan yang dimuat oleh MP sangat mencemaskan karena bisa menimbulkan gejolak perlawanan di tengah masyarakat. Tirto pun mendapat ancaman. Ia kemudian diasingkan ke pulau Bacan, dekat Halmahera. Ia gila. Gila karena meninggalkan kemapanan demi memperjuangkan keadilan.
Pada awal 1950-an, Mochtar Lubis mendapat kesempatan untuk meliput perang Korea. Ia diundang secara khusus oleh PBB. Di tengah kecamuk perang, jurnalis yang juga sastrawan itu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia kemudian menulis buku Catatan Perang Korea untuk menulis banyak sisi perang yang baginya ‘meruntuhkan sisi peri kemanusiaan’. Ia gila. Gila karena meninggalkan situasi aman di Indonesia demi memberi kabar kepada masyarakat luas tentang konflik di sebuah negara yang bahkan tidak ada kaitan budaya dengannya.
Tiga hari setelah Tsunami menerjang Aceh, Najwa Shihab melaporkan situasi yang kalut. Ia melihat tumpukan mayat dan kerusakan yang luar biasa. Saat melaporkan, putri ahli tafsir Habib Quraish Shihab itu sangat emosional hingga menangis. Ia yang harus berjalan kaki sekian kilometer, menembus medan yang tak mudah, semakin ngilu melihat kenyataan di sekitarnya. Ia gila. Gila karena berani mengambil resiko yang oleh jurnalis lain urung dilakukan.
Tirto, Mochtar, dan Najwa adalah tiga jurnalis beda masa yang disatukan oleh kata ‘gila’. Kata yang barangkali jarang dimiliki oleh kebanyakan jurnalis saat ini, lebih-lebih yang menjadi jurnalis bukan dasar kemauan memperjuangkan sesuatu. Lebih-lebih media saat ini dikuasai koorporasi yang membuat semuanya menjadi semakin bias. Ada 1.076 media cetak, 1.248 radio, 351 pemancar televisi dan ribuan situs online, yang ternyata hanya dimiliki oleh 12 konglomerat!
Bagi jurnalis yang memperjuangkan idealismenya, konglomerasi media adalah sebuah ancaman. Ia bisa memenjarakan manusia sebelum manusia itu sempat berpikir. Ia akan menyingkirkan independensi sebab mengikuti titah si tuan. Karenanya, mereka berusaha untuk membuat media alternatif. Setahu saya, tirto.id adalah media alternatif yang dibangun oleh para jurnalis pemberani yang pernah mengenyam pendidikan kewartawanan di lembaga pers mahasiswa. Pers mahasiswa dalam sejarahnya selalu melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kampus.
Di luar negeri, The Intercept, media tempat bekerja Allan Nairn, adalah media alternatif yang sangat berbeda dengan The New York Times dan sejenisnya. Media ini berani meliput hal-hal yang oleh media mainstream disebut sebagai ‘hal konyol’ karena akan menurunkan reputasi media tersebut. Tidak hanya menurunkan reputasi, lebih dari itu, akan membuat medianya terancam.
Allan Nairn, sebagai seorang jurnalis, memiliki reputasi yang sangat bagus di bidang investigasi. Ia sekaligus jadi ancaman bagi para jendral dan rezim-rezim totaliter di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, ia beberapa kali diancam oleh militer untuk diseret ke pengadilan karena melaporkan beberapa pembantaian yang dilakukan oleh sedadu. Pada 2009, ia diancam akan ditahan dan diseret ke pengadilan karena melaporkan pembunuhan sipil oleh serdadu di Aceh.
Sebagai masyarakat awam, saya menunggu adanya langkah nyata untuk menganggap serius tulisan Allan ini. Apalagi Pak Jendral adalah salah satu idola banyak orang, termasuk saya. Pak Jendral perlu memberi keterangan kepada ‘orang gila’ ini mengenai tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Dalam tulisannya, Allan mengutip pendapat dari beberapa sumber yang sangat jelas disebutkan namanya. Pak Jendral hanya perlu mengatakan itu sebagai keterangan palsu dan sejenisnya dan semua kasus selesai. Laporan Allan jadi berimbang.
Kalau pun dianggap mencemarkan nama baik, Pak Jendral tidak perlu sungkan menyeret Allan ke pengadilan. Di pengadilan, semua bisa dibuka mulai tokoh yang diwawancara hingga bukti rekaman. Jangan sampai karena hal kecil ini membuat reputasi lembaga negara menjadi buruk. Apalagi akun twitter PusPen TNI sudah buru-buru mengecap kolom Allan sebagai HOAX. Sebuah tuduhan menyakitkan bagi para jurnalis karena untuk mendapatkan data-data harus memutus urat takut terlebih dahulu. Tuduhan HOAX sama saja menganggap media tersebut sekelas media kaum radikal yang menulis tanpa data atau hanya fitnah belaka.
Akhir kata ini hanyalah pepesan kosong masyarakat awam yang sangat mencintai negara dan TNI serta Polrinya. Semoga negara kita terhindar dari politik tinggat tinggi yang berencana untuk menggulingkan presidennya dengan alasan rebut kekuasan, alih-alih kesejahteraan rakyatnya. Wallahua’lam.


Yogyakarta, 06 Mei 2017