Tuesday, August 18, 2020

Cara Menikmati Film Bumi Manusia bagi Kamu yang Anti-Hanung

Gambar: akurat.co
Malam kemerdekaan, salah satu film yang diadaptasi dari novel tetralogi legendaris Pramoedya Ananta Toer ditayangkan di sebuah stasiun TV nasional. Di Twitter, kata kunci “Bumi Manusia” sempat trending beberapa jam. Ketika di klik, ternyata terkait dengan film atau pun novel tersebut.

Maaf maaf nih ya Mas Hanung Rais Bramantyo. Saya harus jujur. Dulu, saat film ini dirilis, ada banyak teman saya yang meragukan akan mendulang sukses, baik secara kualitas atau pun kuantitas. Mengapa demikian?

Paling utama dan substansil adalah soal pemilihan pemeran karakter Minke. Minke ini tokoh muda berbahaya nan sangar dengan upaya yang begitu heroik dalam membangun pers perjuangan di Hindia Belanda. Ia berasal dari Blora. Terinspirasi dari tokoh pers bernama Tirto Adhie Soerjo.

Nah, pertanyaannya, mengapa tokoh sesangar Minke diperankan oleh Dilan alias Iqbaal? Iqbaal ini sudah sangat lekat dengan ‘rindu itu berat’ yang ala-ala. Lha kok malah diminta memerankan tokoh dari novel wajib para social justice warrior atau SJW?

Orang kemudian membandingkan dengan Bunga Penutup Abad, sebuah pementasan teater yang diperankan artis sejuta film, Reza Rahardian. Drama tersebut juga diangkat dari novel Bumi Manusia (plus Anak Semua Bangsa). Tokoh utama dalam teater tersebut diisi oleh pemeran kelas kakap lain seperti Happy Salma (Nyai Ontosoroh), Chelsea Islan (Annelies), dan Lukman Sardi (Jean Marais).

Tentu sebuah pekerjaan berat bagi penikmat novel dan teater untuk menerima nama-nama baru yang muncul di casting ‘Bumi Manusia’. Annelies diperankan oleh artis pendatang baru Mawar Eva de Jongh. Nyai Ontosoroh diperankan oleh Sha Inne Febriyanti. Apakah film ini bisa se-epik novel dan versi teaternya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang membuat saya kesulitan mendapat teman menonton. Beberapa teman yang saya tahu pernah membaca pun meletakkan ekspektasi yang kelewat rendah dari film ini. Mereka merasa beberapa film bio epik yang digarap oleh Hanung Bramantyo mengecewakan. Misalnya film Soekarno dan Kartini.

‘Halah paling gitu juga. Merusak imajinasi saya.’ Begitu kata salah seorang kawan.

Beberapa hari menjelang pemutaran perdana 15 Agustus 2019, komentar-komentar negatif pun bermunculan di timeline. Banyak sekali yang menghujat trailer, mulai dari kurang geregetnya Iqbaal hingga aspek bahasa yang ‘tidak 1910-an’. Namun, karena saya ingat pesan Pramoedya untuk ‘adil sejak dalam pikiran’, saya abaikan suara-suara sumbang tersebut. Hasilnya?

Pertama, saya mengapresiasi Hanung yang akhirnya berhasil memvisualkan novel yang pernah dilarang beredar di masa Orde Baru tersebut. Dulu novel yang memiliki kisah yang kompleks dengan isu percintaan, kemanusiaan, kolonialisme, nasionalisme itu disebut mengandung ajaran Marxisme-Lenninisme. Bayangkan, dari yang dilarang oleh negara sampai jadi tontonan bebas di bioskop.

Ide untuk memvisualkan novel sudah dimulai sejak 2004, saat Pram masih hidup. Saat itu Pram ingin sineas Indonesia yang menggarapnya. Karenanya, ia menolak tawaran 1,5 juta dollar AS dari sineas Hollywood Oliver Stone. Hak adaptasi pun jatuh ke tangan Hatoek Subroto, bos PT Elang Perkasa.

Nah, perjalanan film ini sangat panjang. Beberapa nama besar sineas Indonesia seperti Mira Lesmana dan Riri Reza, Anggy Umbara, hingga Garin Nugroho pernah mencoba menggarak proyek film tersebut. Namun semua gagal, mulai dari keterbatasan dana, beda visi dengan produser, dan lain sebagainya. Padahal, penggarapannya sudah melalui riset yang cukup panjang. Garin misalnya sudah menggarap skenario hingga 80 persen.

Hanung sendiri mengaku sudah pernah mendapat tawaran pada tahun 2006. Entah mengapa proyek itu batal. Padahal, menurut pengakuannya, ia rela tidak dibayar demi menggarap film yang diadaptasi dari salah satu novel favoritnya. Beruntung, ia mendapat amanah itu 12 tahun kemudian.

Kedua, film ini menyampaikan pesan perjuangan yang cukup kuat. Beberapa kutipan dan adegan epik tidak dilewatkan oleh Hanung. Misalnya saat Nyai Ontosoroh melakukan pembelaan di persidangan Annelies. Inne yang memerankan Nyai Ontosoroh berhasil membuat saya mbrebes mili. Bagi saya, adegan ngamuknya Nyai Ontosoroh menjadi adegan terbaik di film ini.

Ketiga, totalitas. Pemeran dalam film Bumi Manusia sangat banyak dan kompleks seperti novelnya. Hanung membawa beberapa pemeran teater untuk berperan di film ini. Selain Inne, ada nama Whani Darmawan yang secara apik memerankan karakter Darsam. Juga ada Ayu Laksmi yang memerankan ibunya Rini Minke.

Sementara dari Belanda, Hanung menggunakan artis mancanegara seperti Angelica Reitsma (Magda Peters), Peter Sterk (Herman Mellema), Jeroen Lezer (dr. Martinet), Salome van Grunsven (Miriam de la Croix), dan Hans de Kraker (Jean Marais). Semuanya artis dari Belanda.

Meski demikian, tak ada gading yang tak retak. Film ini tentu tidak akan mampu memuaskan semua pembaca tetralogi, apalagi yang sangat ingin terlihat real detil seperti 1910-an seperti aspek bahasa dan bahan pakaian yang diimpor dari mana.

Satu lagi, film ini memang digarap untuk kebutuhan industri. Tak perlu demo apabila menemukan beberapa adegan yang memang tidak terbayang saat membaca novelnya. Namanya saja adaptasi. Jika tidak puas, berkarirlah sebagai sutradara. Buat versi rebootnya di masa depan.

Bagaimana sentimen publik? Film itu ditonton sebanyak 1,4 juta di bioskop. Sebuah angka yang tidak terlalu mengecewakan. Saya bisa kutip beberapa twit secara utuh dari keyword ‘Bumi Manusia’ saat trending.

Second time crying Bumi Manusia

Bumi manusia adlh film terbaik Indonesia menurutku. Durasi 3 jam tapi berasa singkat sekali. Paling suka dgn karakter Nyai Ontosoroh, beliau perempuan yang tangguh, berani, & penuh optimisme. Pada zaman itu 'nyai' dianggap hal yg rendah tp dia membuktikan bahwa dirinya berbeda.

Pada film bumi manusia, kamu bisa tau bahwa, tidak direstuinya sebuah hubungan bukan karena masalah weton atau beda agama saja, tapi status sosial juga. Namun, dari kisah itu kamu bisa belajar bahwa, sebaik baiknya mencintai adalah berjuang bersama.

Apa kabar kamu yang pernah nonton bioskop Bumi Manusia bersamaku kala itu? Masih ku simpan foto ini di galeriku, meski kau sudah menghapus diriku dari ingatanmu.

Selebihnya, silakan nilai setelah menontonnya.