Tuesday, August 8, 2017

Memahami Kehidupan dari 'Orang-Orang Proyek'

“Mas Kabul, dulu Ki Hajar Dewantara bilang begini. Pilih mana dari dua kondisi ini: Numpak motor sinambi sawan tangis atau mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng...” (hlm. 22).

Kalimat yang diutarakan Pak Tarya, seorang mantan wartawan dan pegawai yang sehari-hari menghabiskan waktunya untuk memancing, kepada Kabul, seorang pengawas proyek, adalah  inti dari novel ini. Ahmad Tohari memotret secara alami kondisi dunia pembangunan di masa Orde Baru di mana dana untuk pembangunan banyak dijadikan bancakan.

Seorang Kabul yang sangat idealis; mantan aktivis kampus penentang Orba, dihadapkan pada situasi serba sulit. Ia yang tengah terlibat sebuah pembangunan jembatan terjepit pada satu sistem korup yang menganggap rekayasa dana proyek sebagai hal biasa. Hati nuraninya berontak karena merekayasa pembangunan berarti mengabaikan mutu bangunan. Namun Dalkijo, atasan sekaligus seniornya, menganggap hal tersebut tak perlu dirisaukan. Sudah sewajarnya sebuah proyek mendatangkan untung kepada pemborong. Dalkijo yang akrab disapa Koboi menggambarkan bagaimana ia bisa mengganti motor Harley Davidsonnya ketika merampungkan satu proyek.

Dalkijo adalah sosok yang mewakili sikap kemaruk. Ia yang memiliki masa lalu tercekik kemiskinan ingin membalas dendam dengan perilaku jor-joran. Apalagi saat ini ia berada di situasi yang cukup baik, sebagai pemborong proyek dan bendahara di partai penguasa. Untuk apa hidup kalau bukan dinikmati? Begitu pikirnya. Ia pun ingin menularkan pemahamannya tentang hidup kepada Kabul.

Kabul si insinyur muda yang masih bujangan itu kebalikan dari Dalkijo. Baginya, proyek adalah sepenuhnya hak rakyat. Karenanya akan sangat tidak adil jika pembangunan hanya mementingkan golongan penguasa. Sikap demikian timbul karena Kabul dididik dengan cara yang sangat bersahaja. Ia dibesarkan dengan makan nasi inthil dan lauk seadanya. Tirakat yang dilakukan ibunya membuat ia dan adik-adiknya bisa bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi.

Di benak saya, kedua tokoh ini mewakili dua situasi yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dalkijo adalah orang yang naik motor tapi menahan beban di hidupnya, beban untuk membalas dendam kemiskinan masa lalunya. Ia memilih hidup penuh gaya walau dikejar-kejar tuntutan daripada hidup sederhana dan dianggap ketinggalan zaman. Sementara Kabul ingin segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Ia memilih untuk menjamin keberhasilan suatu proyek jangka panjang daripada memperkaya diri dengan mengorbankan banyak hal.

Hidup banyak harta tapi gelisah, atau hidup sederhana tapi bermakna? Pilihan yang disodorkan Ki Hajar adalah pilihan yang sulit dijawab. Jika ada pilihan alternatif, tentu orang akan memilih hidup banyak harta tapi bermakna. Tapi Ki Hajar tidak salah dengan memberi pilihan yang hitam putih itu. Ia ingin menjangkau hal paling fundamental dalam diri manusia untuk memilih pilihan yang paling ekstrem.

Apalagi kaya harta dan kaya rasa merupakan pondasi cara hidup seseorang. Jika ia memilih kaya harta dan mengabaikan rasa, ia akan mengejar harta tanpa memedulikan bagian lain dalam hidup, termasuk agama. Inilah yang menyebabkan banyak rayap di setiap proyek khususnya pemerintah. Rayap-rayap ini sangat ganas karena tidak hanya doyan aspal, semen, dan besi, tapi juga nggragas nyimiti kitab suci. Ironisnya, sebgaimana digambarkan Tohari, mereka sangat sadar jika perbuatan mereka keliru. Tapi mau bagaimana lagi?

Sementara kaya rasa membuat orang mempertimbangkan keseimbangan dalam hidup. Ia bisa tersenyum dalam kondisi paling terbatas sekali pun. Namun seringkali orang semacam ini sulit untuk melejit karirnya karena akan terbentur dengan nilai-nilai pragmatisme yang sudah jadi wabah di tengah masyarakat. Inilah pilihan sulit yang dialami Kabul.

Saya menikmati karya-karya Ahmad Tohari yang selalu memotret realitas hidup tanpa menghakimi. Di novel ini ia memberi gambaran kehidupan para tukang, pemilik warung, waria penghibur, hingga percintaan dengan sewajarnya. Tanpa drama berlebihan. Lihat bagaimana situasi kejiwaan seorang Kabul yang terus mendapat perhatian dari seorang karyawati bernama Wati yang sudah punya pacar. Sebaliknya betapa tidak naifnya seorang Wati yang menaruh perhatian pada atasannya di proyek sekali pun ia punya pacar. Tapi pacarnya kan masih seorang mahasiswa. Di sini pertarungan antara rasa dan rasionalisme menjadi bumbu yang mak nyuk-nyuk.

Selain dialog yang menyatir perkataan Ki Hajar Dewantara, bagian yang paling saya suka adalah tembang yang dikumandangkan oleh Pak Tarya berjudul Asmaradana.

Nora gampang wong ngaurip
Yen tan weruh uripira
Uripe padha lan kebo

Hidup tidaklah mudah bila kita tidak tahu makna kehidupan. Hidupnya akan sama seperti kerbau. Sebuah ungkapan filosofis yang ditulis oleh Pakubuwana IV, seperti meramalkan akan datang suatu masa di mana banyak orang bekerja hanya untuk perut tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya.
Orde Baru yang disebut korup sudah berlalu. Agaknya kerbau-kerbau ini belum lagi berevolusi jadi manusia. Bahkan virus kerbau sepertinya semakin ganas menjangkiti generasi muda. Selaras dengan Kidung Sinom Ranggawarsita:

Amenangi zaman edan // Ewuh aya ing pambudi // Melu edan ora tahan // Yen tan melu anglakoni // Boya keduman milik // Kaliren wekasanipun // Ndilalah kersaning Allah // Begja begjaning kang lali // Luwih begja kang eling lan waspada. (Menyaksikan zaman edan // Tidaklah mudah untuk dimengerti // Ikut edan tidak sampai hati // Bila tidak ikut // Tidak kebagian harta // Akhirnya kelaparan // Namun kehendak Tuhan // Seberapapun keberuntungan orang yang lupa // Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada).

Akhir kata, selamat menyelami novel gurih-gurih nyoi ini.

Wallahua’lam.

Wednesday, May 31, 2017

Selamat Jalan, Bupati Bersahaja

Tak banyak persinggungan yang kualami dengan Bapak Mahsun Zain, bupati Purworejo (2008-2015). Paling sering tentu melihat fotonya di beberapa baliho di kota itu yang saban tahun hampir selalu aku lewati, baik ketika masih mondok di Pati atau kuliah di Jogja. Namun pada seminggu terakhir, aku mengunjungi kediamannya dua kali.

Kamis (25 Mei 2017) adalah pertama kalinya aku bertemu beliau. Ia mengenakan kaos oblong putih dan bersarung layaknya santri, menunggu aku dan beberapa teman yang ingin menginap di kediamannya seusai melihat acara Among-Among Pancasila di Kebumen. Salah satu rekan kami adalah anak beliau. 

Beliau berada di teras depan rumah dan mempersilakan kami segera masuk. 


"Nanti tidur di kamar saya, ya?" ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar. Ia sendiri, setelah berbincang-bincang ringan dengan kami dan mempersilakan kami segera istirahat, langsung menuju ruang depan. Mungkin beliau tidur di sofa.


Pagi harinya, ketika kami hendak pamit ke Jogja, beliau berada di teras rumah. Saat itu, dengan masih mengenakan kaos oblong sederhananya, beliau tengah memotong kacang panjang. Aku dan teman-teman yang lain menyucup tangannya dan mengucap salam. Tak dinyana, itulah salam terakhir yang kami ucapkan pada pria hebat kelahiran 1959 itu. 


Kesehatan beliau belakangan memang kurang baik. Mungkin karena aktivitas padatnya selama menjabat sebagai orang nomor 2 dan 1 di Purworejo. Bapak Mahsun kabarnya sudah melakukan cuci darah sejak beberapa tahun terakhir. Selasa malam (30 Mei 2017) pukul 19.10 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir di RS Tjitrowardoyo, Purworejo. 


Dini hari tadi, di jam yang hampir sama saat aku pertama ke sana, aku kembali mengucap salam. Berbeda dengan seminggu lalu yang suasananya sangat sepi, malam tadi berdiri terop/tarub dengan puluhan pelayat yang masih terus berdatangan. Ah, 


Kematian memang sebuah misteri.... 


Sebuah pertemuan singkat dengan bapak bupati ini sangat bermakna bagiku. Ya, karena aku menemukan kata sederhana yang tak selalu kutemukan pada para pejabat yang pernah kutemui. 


Ada sebuah kisah bahwa beliau sebenarnya masih diminta warga Purworejo maju di pemilihan bupati 2015 lalu. Tapi beliau menolak. Padahal, sebagai petahana, seharusnya mudah baginya untuk memenangkan kursi pemilihan. Tapi beliau bukanlah sosok yang gila jabatan. Ya, karena jabatan adalah amanah sekaligus ujian. Tak perlu diburu. Tak perlu dipertahankan mati-matian. 


Aku jadi ingat sesi wawancara Gus Dur dengan Andi F. Noya. Di salah satu sesi, Gus Dur lantang mengatakan "saya jadi presiden itu karena diminta oleh 5 guru saya." Jika tidak diminta, ya tidak usah ngotot memburunya. Bisa jadi, bapak Mahsun pun demikian. 


Selamat jalan, pak...
 

Lahul fatihah...

Yogyakarta, 31 Mei 2017

Friday, May 5, 2017

Jurnalis Harus Gila


gambar: erabaru.com

Jendral itu beberapa kali membuat pernyataan bahwa ia tidak perlu bersusah payah meladeni tulisan Allan Nairn yang dimuat situs tirto.id karena takut dianggap gila. Meladeni orang gila sama dengan gila. Begitu katanya. Di acara Rosi #PanglimaDiRosi malam Jumat lalu, Pak Jendral secara terbuka mengatakan hal tersebut kembali.
Di hadapan jutaan pemirsa dan beberapa pemimpin redaksi media ternama, Pak Jendral membuat tulisan Allan jadi lebih kriuk di mata saya. Itu karena tidak ada sanggahan secara tegas dan tanggapan yang melemahkan atas data yang dibuka oleh Allan melalui THE INTERCEPT yang kemudian dimuat tirto. Pak Jendral dan salah satu pengamat militer malah membelokkan isu ini menjadi "jangan terlalu percaya jurnalis asing" atau "jurnalis asing tidak selalu benar". Ya, semua jurnalis tidak selalu benar karena jurnalis juga manusia. Tetapi kerja jurnalisme memiliki aturan: data, fakta, akurasi dan keberimbangan menjadi bagian tak terelakkan.
Dari sekian pernyataan jendral, hanya aspek keberimbangan yang jadi soal. Di tulisannya, Allan mengatakan telah berusaha menghubungi jendral tetapi urung berhasil. Sementara jendral menyatakan sebaliknya: ia belum pernah dihubungi jurnalis asing yang membongkar wawancara off the record dengan Prabowo saat pilpres lalu.
Oleh karenanya, para pemimpin redaksi media ternama mengatakan, sebagai sebuah tulisan yang memuat berbagai data dan fakta, tulisan Allan tidak bisa disebut sebagai berita (news), tetapi opini atau kolom. Sebagai kolom, tulisan itu masih bisa disebut sebagai karya jurnalisme. Dengan merebaknya kasus ini, semoga Allan bisa bertemu dengan Jendral untuk mengklarifikasi data-data yang ditulisnya.
Di era kolonial, Tirto Adhi Soerjo muncul dengan surat kabar nasional pertama di Indonesia, Medan Prijai. Media itu yang memberitakan ‘sesuatu’ yang tidak dimuat oleh pers mainstream, De Locomotief misalnya. Bagi penguasa kolonial, laporan yang dimuat oleh MP sangat mencemaskan karena bisa menimbulkan gejolak perlawanan di tengah masyarakat. Tirto pun mendapat ancaman. Ia kemudian diasingkan ke pulau Bacan, dekat Halmahera. Ia gila. Gila karena meninggalkan kemapanan demi memperjuangkan keadilan.
Pada awal 1950-an, Mochtar Lubis mendapat kesempatan untuk meliput perang Korea. Ia diundang secara khusus oleh PBB. Di tengah kecamuk perang, jurnalis yang juga sastrawan itu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia kemudian menulis buku Catatan Perang Korea untuk menulis banyak sisi perang yang baginya ‘meruntuhkan sisi peri kemanusiaan’. Ia gila. Gila karena meninggalkan situasi aman di Indonesia demi memberi kabar kepada masyarakat luas tentang konflik di sebuah negara yang bahkan tidak ada kaitan budaya dengannya.
Tiga hari setelah Tsunami menerjang Aceh, Najwa Shihab melaporkan situasi yang kalut. Ia melihat tumpukan mayat dan kerusakan yang luar biasa. Saat melaporkan, putri ahli tafsir Habib Quraish Shihab itu sangat emosional hingga menangis. Ia yang harus berjalan kaki sekian kilometer, menembus medan yang tak mudah, semakin ngilu melihat kenyataan di sekitarnya. Ia gila. Gila karena berani mengambil resiko yang oleh jurnalis lain urung dilakukan.
Tirto, Mochtar, dan Najwa adalah tiga jurnalis beda masa yang disatukan oleh kata ‘gila’. Kata yang barangkali jarang dimiliki oleh kebanyakan jurnalis saat ini, lebih-lebih yang menjadi jurnalis bukan dasar kemauan memperjuangkan sesuatu. Lebih-lebih media saat ini dikuasai koorporasi yang membuat semuanya menjadi semakin bias. Ada 1.076 media cetak, 1.248 radio, 351 pemancar televisi dan ribuan situs online, yang ternyata hanya dimiliki oleh 12 konglomerat!
Bagi jurnalis yang memperjuangkan idealismenya, konglomerasi media adalah sebuah ancaman. Ia bisa memenjarakan manusia sebelum manusia itu sempat berpikir. Ia akan menyingkirkan independensi sebab mengikuti titah si tuan. Karenanya, mereka berusaha untuk membuat media alternatif. Setahu saya, tirto.id adalah media alternatif yang dibangun oleh para jurnalis pemberani yang pernah mengenyam pendidikan kewartawanan di lembaga pers mahasiswa. Pers mahasiswa dalam sejarahnya selalu melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kampus.
Di luar negeri, The Intercept, media tempat bekerja Allan Nairn, adalah media alternatif yang sangat berbeda dengan The New York Times dan sejenisnya. Media ini berani meliput hal-hal yang oleh media mainstream disebut sebagai ‘hal konyol’ karena akan menurunkan reputasi media tersebut. Tidak hanya menurunkan reputasi, lebih dari itu, akan membuat medianya terancam.
Allan Nairn, sebagai seorang jurnalis, memiliki reputasi yang sangat bagus di bidang investigasi. Ia sekaligus jadi ancaman bagi para jendral dan rezim-rezim totaliter di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, ia beberapa kali diancam oleh militer untuk diseret ke pengadilan karena melaporkan beberapa pembantaian yang dilakukan oleh sedadu. Pada 2009, ia diancam akan ditahan dan diseret ke pengadilan karena melaporkan pembunuhan sipil oleh serdadu di Aceh.
Sebagai masyarakat awam, saya menunggu adanya langkah nyata untuk menganggap serius tulisan Allan ini. Apalagi Pak Jendral adalah salah satu idola banyak orang, termasuk saya. Pak Jendral perlu memberi keterangan kepada ‘orang gila’ ini mengenai tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Dalam tulisannya, Allan mengutip pendapat dari beberapa sumber yang sangat jelas disebutkan namanya. Pak Jendral hanya perlu mengatakan itu sebagai keterangan palsu dan sejenisnya dan semua kasus selesai. Laporan Allan jadi berimbang.
Kalau pun dianggap mencemarkan nama baik, Pak Jendral tidak perlu sungkan menyeret Allan ke pengadilan. Di pengadilan, semua bisa dibuka mulai tokoh yang diwawancara hingga bukti rekaman. Jangan sampai karena hal kecil ini membuat reputasi lembaga negara menjadi buruk. Apalagi akun twitter PusPen TNI sudah buru-buru mengecap kolom Allan sebagai HOAX. Sebuah tuduhan menyakitkan bagi para jurnalis karena untuk mendapatkan data-data harus memutus urat takut terlebih dahulu. Tuduhan HOAX sama saja menganggap media tersebut sekelas media kaum radikal yang menulis tanpa data atau hanya fitnah belaka.
Akhir kata ini hanyalah pepesan kosong masyarakat awam yang sangat mencintai negara dan TNI serta Polrinya. Semoga negara kita terhindar dari politik tinggat tinggi yang berencana untuk menggulingkan presidennya dengan alasan rebut kekuasan, alih-alih kesejahteraan rakyatnya. Wallahua’lam.


Yogyakarta, 06 Mei 2017

Thursday, April 27, 2017

Lelaki Hijrah dan Jahiliyah



Carilah pasangan yang berkeadilan gender, begitu salah seorang dosen. Ia mewanti-wanti agar mahasiswanya tidak salah dalam memilih pasangan hidup. Salah pilih gubernur waktu Pilkada hanya menyesal lima tahun. Tetapi salah memilih pasangan? Bisa panjang urusannya.
Pesan ini secara eksplisit memang ditujukan kepada kaum muda, terutama mahasiswi di kelas sang dosen. Akan tetapi, pesan yang disampaikan ini sangat relevan ditujukan kepada semua kalangan. Bagi penulis, pesan ini menjadi titik awal ketertarikan penulis terhadap isu-isu feminisme yang sempat menguat beberapa tahun yang lalu, tetapi kemudian melemah beberapa waktu belakangan.
Mengapa dikatakan melemah? Munculnya banyak tokoh seleb agama yang mengampanyekan semangat patriarki adalah salah satu sebabnya. Ironisnya, pemikiran mereka yang menggiring perempuan kembali ke bilik dapur dan rumah tangga ini sangat digandrungi. Forum-forumnya selalu ramai. Tak jarang, forum tersebut dijadikan ajang menghabisi konsep keadilan gender yang sudah disuarakan sejak lama. Singkat kata, perempuan dianggap cukup untuk mengurus keperluan domestik rumah tangga, alih-alih turut beraktivitas dan berkarya di kehidupan.
Munculnya pemikiran semacam ini membuat dunia seakan mundur 1500 tahun ke belakang. Sebelum Islam datang, perempuan merupakan manusia kelas dua yang tidak memiliki hak bersuara. Perempuan bahkan dianggap aib oleh masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari perilaku jahiliyah bangsa Arab yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya karena merasa malu. Bangsa jahiliyah pun memperbolehkan seorang lelaki mengawini puluhan atau bahkan ratusan perempuan sekaligus. Setelah Rasulullah SAW mendakwahkan Islam, perempuan memiliki kehormatan yang sama dengan lelaki.
Hal ini dirasakan pula oleh sahabat Umar ibn Khattab RA. Khalifah kedua umat Islam ini berkata, “Pada masa jahiliyah, kami tidak pernah  memperhitungkan perempuan. Hingga Islam datang dan Allah SWT menyebut-nyebut mereka, barulah kami sadar bahwa mereka punya hak yang tidak bisa kami intervensi sama sekali.” (Fath al-Bari).
Islam datang untuk mendobrak tradisi patriarkis bangsa jahiliyah Arab yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek. Pada perjalanan waktunya, banyak tokoh-tokoh perempuan Islam yang menjadi tokoh perubahan. Di Indonesia, kita mengenal banyak perempuan muslim yang dikenang sebagai tokoh emansipasi dan revolusi seperti Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia dan lain sebagainya. Jika masih ada orang yang berpikir perempuan sebagai manusia kelas dua, patut dicurigai ia manusia yang seharusnya lahir 15 abad yang lalu.
Jika ingin menilik umat Islam yang ideal, lihatlah Islam pasca hijrah ke Madinah. Hijrah adalah titik balik perjalanan umat Islam dari masa kegelapan menuju sebuah era yang terang benderang. Di periode inilah diturunkan banyak ayat Al-Qur’an terkait akhlak, muamalah, yang termasuk juga di dalamnya tentang ayat-ayat keadilan gender.
Di masa kini, hijrah bisa dimaknai sebagai sebuah paradigma atau pola pikir masyarakat. Hijrah adalah simbol sebuah perubahan paradigma masyarakat dari konservatif menuju progresif. Bagaimana bisa melihat seseorang itu konservatif dan progresif? Lihatlah caranya memandang keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Orang konservatif cenderung menolak keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial. Ia menilai tugas seorang perempuan hanya manak (melahirkan), macak (berias), dan masak. Perempuan yang sempurna adalah yang bisa menguasai ketiga hal tersebut. Perempuan yang berkenan untuk tidak keluar dari rumah barang sejengkal adalah favoritnya.
Sementara lelaki progresif memandang perempuan memiliki kesempatan dan peran serta tanggung jawab yang sama dalam pembangunan sosial. Ia memberi keleluasaan bagi pasangannya untuk melakukan hal-hal baik yang bermanfaat bagi sesama. Sebagaimana firman Allah SWT, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Wallahua’lam.

Kongres Para Perempuan yang Bangkit



Saya dan Tim Pencari Jajan di KUPI


Hatoon Al-Fassi memberikan penjabaran tentang kondisi perempuan di negaranya, Arab Saudi. Di hadapan ratusan peserta seminar internasional, aktivis yang identik dengan pakaian tradisional Arab itu mengatakan perempuan di Indonesia jauh lebih beruntung. Terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang didukung banyak kalangan, termasuk pemerintah, adalah bukti suara perempuan sangat dihargai di sini.
Hal senada disuarakan Zainah. Perempuan asal negeri jiran Malaysia itu mengungkapkan kekagumannya pada gerakan perempuan di Indonesia. “Mengumpulkan lebih dari 400 perempuan ulama di sebuah forum adalah hal yang luar biasa,” pujinya. Ya, gaung suara perempuan kembali meletup setelah sekian lama tak terlalu terdengar. Ribut-ribut Pilkada DKI beberapa waktu silam membuat negeri ini seolah-olah sesempit Jakarta saja. Kongres ini mengawali bangsa Indonesia untuk memikirkan sesuatu yang jauh lebih kongkrit daripada pesta politik lima tahunan.
Badriyah Fayumi, tokoh agama, mengatakan kongres ini sebagai panggilan iman dan sejarah. Kongres ini bukan saja melantangkan suara perempuan untuk memperjuangkan keadilan baginya, tapi juga mengingatkan kepada banyak orang betapa Islam sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Di masa lampau pun sudah banyak perempuan yang menjadi ulama.
Masriyah Amva, pengasuh Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu tempat diselenggarakannya KUPI, menambahi bahwa perempuan bukan makhluk terbelakang. Baik lelaki dan perempuan diciptakan dengan derajat yang sama. Masriyah sekaligus menjadi contoh betapa pesantren yang dikenal sangat patriarkis bisa dipimpin oleh seorang perempuan. Lebih dari 1000 santri berada di bawah naungan Bu Nyai yang puitis itu.

Ulama Perempuan
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa nama kongresnya ulama perempuan? Kok, ada lelakinya? Bukankah ulama, secara etimologi, sudah mencakup laki-laki dan perempuan? Hal ini tidak lain adalah sebagai penegasan. Istilah ulama perempuan itu pun bukan berarti ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi ulama, baik laki-laki atau perempuan, yang memiliki pandangan yang berpihak pada perjuangan hak-hak perempuan. Jika  ulama itu perempuan maka disebut sebagai perempuan ulama.
Masriyah menjelaskan bahwa kongres ini terselenggara berkat perjuangan yang cukup melelahkan. Banyak pihak yang tidak menghendaki adanya kegiatan ini karena dianggap kebablasan. Padahal, acara ini murni untuk menyamakan persepsi banyak tokoh terkait pandangan Islam terhadap perempuan. Juga untuk merumuskan strategi besar peran perempuan dalam kehidupan.
Direktur Fahmina Institute KH Husein Muhammad mengatakan bahwa kongres ini adalah yang pertama diselenggarakan di dunia. Ia belum pernah mengetahui ada kongres serupa yang pernah diadakan di belahan dunia lain. Kata Kiai, Cirebon dipilih sebagai titik awal dan ia berharap akan ada kongres-kongres perempuan lain di kemudian hari. Tidak hanya Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Umi, salah satu peserta dari Aceh, mengaku mendapat banyak manfaat dari kegiatan ini. Perempuan bercadar yang memiliki majlis pengajian itu menyadari bahwa banyak hal bisa dilakukan oleh perempuan. ‘Kita tidak hanya bekerja di dapur dan kasur, tapi bisa jauh lebih dari itu,’ ujarnya. Ia menilai KUPI patut diselenggarakan di berbagai wilayah agar menimbulkan kesadaran bersama terkait peran perempuan. Terlebih bagi orang sepertinya yang juga bekerja di LBH bagian kekerasan seksual dan perlindungan anak.
Perempuan seringkali dipersepsikan sebagai kaum yang lemah dan dipersalahkan. Padahal kenyataannya perempuan itu memiliki kekuatan yang sangat besar.  Di kongres ini, dibahas pula peran perempuan dalam meningkatkan mutu pendidikan hingga menyoal ekologi, bukti bahwa perempuan bukanlah makhluk domestik yang hanya akrab dengan kasur, dapur, dan sumur.

Poligami Menurut Perempuan Sedunia
Acara ini bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Walau secara nama skalanya nasional, tapi peserta kongres berasal dari berbagai negara. Tercatat ada 16 negara yang berpartisipasi di kegiatan ini.
Salah satu bahasan lama yang masih menarik ialah poligami. Beberapa orang menganggap poligami diperbolehkan karena di Al-Qur’an teksnya memperbolehkan seorang lelaki menikahi hingga empat istri. Tetapi banyak pula yang mengatakan tidak diperbolehkan, sebab di Al-Qur’an ada syarat khusus bagi seseorang yang menghendaki poligami: adil.
Ulfat H Masibo, seorang perempuan ulama dari Nigeria menegaskan diperbolehkannya poligami hanya dalam satu kondisi, yaitu seorang suami bisa adil. Jika tidak, maka poligami tidak diperbolehkan. Sementara Rafatu Abdul Hamid (Kenya) menilai poligami acap kali melanggar hak-hak perempuan. Pun, bagaimana bisa berbuat adil kepada lebih dari satu orang?
Penolakan poligami pun disuarakan ulama asal Pakistan Bushra Qadeem Hyder. Ia mengkritik dalih diperbolehkannya poligami berdasar ayat suci. Tetapi para pelaku tidak mengetahui syarat dan kondisi diperbolehkannya poligami ini sehingga yang terjadi adalah eksploitasi pada perempuan. Kongres ini mengingatkan saya suatu kali disodori pertanyaan, bolehkah poligami? Dengan sedikit guyon saya pun menjawab, "Halah, satu saja belum berani kok mikir poligami." Ketika diburu dengan pertanyaan yang sama, jawabanku hanya, "Jika kau tanyakan padaku, maka jawabannya sama dengan lubuk hatimu. Bisakah adil kepada lebih dari satu orang?"
Bagi saya yang mengikuti kongres ini sejak hari pertama, saya terkesan dengan cara perempuan mendobrak stigma negatif yang ditujukan kepadanya. Tidak berlebihan jika Nyai Umdah (Jombang) mengatakan kongres ini lebih tepatnya sebagai hari kebangkitan yang menyejarah. Mereka menggunakan cara elegan untuk berteriak melalui KUPI.
Kongres yang awalnya banyak diragukan hingga dicibir perlahan mendapat tempat di hati banyak orang. Di hari penutupan, GKR Hemas dan Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan apresiasi luar biasa atas terselenggaranya kongres ini. Lukman sampai menyatakan kesiapannya mendirikan sebuah Ma’had Aliy yang diperuntukkan untuk mengader ulama perempuan.
Salah satu yang luar biasa di KUPI adalah ketiadaan batas peserta yang ikut di kongres ini. Mereka datang dari berbagai lintas organisasi dan mazhab. Perbedaan cara pandang fikih disingkirkan demi mengkaji hal-hal pokok yang bertujuan menghadirkan keadilan bagi perempuan.
Di kongres ini saya menjumpai keragaman, mulai yang mengenakan kerudung, jilbab, cadar, hingga tanpa tudung. Mereka sama-sama berada di satu forum, saling berbincang terkait isu perempuan, KDRT, penyakit, dan lain sebagainya. Umi, peserta dari Aceh itu salah satu peserta yang membuat saya terkesan. Di balik cadarnya, ia adalah pribadi yang sangat bersahabat, jauh dari stigma negatif pengguna cadar sebagaimana sering saya dengar.
Sesaat setelah diwawancara, Umi menepuk pundak saya dan mendoakan, “Semoga sukses!”. Sebuah doa yang langsung saya amini. Ketika akan pulang, saya sempat bertemu dengan Umi. Ia menghampiri saya dan menyodorkan tangannya di balik kain hijabnya. Aku pun langsung menyambut dan menyalami sembari mengecup tangannya, seperti budaya pedesaan pada umumnya.[]

Friday, April 21, 2017

Sang Joki Hoki


Sosok Prabowo adalah kunci Pilkada DKI dua periode belakangan. Mantan denjen KOPASSUS yang dituduh terlibat penculikan aktivis '98 itu memegang peranan penting saat memainkan perhelatan pesta demokrasi di provinsi berbujet 70an trilyun pertahun. Dua kali ia menumbangkan incumbent!
Pertama adalah Foke-Nara. Foke yang bedarah Jawa-Betawi dan didukung oleh sejumlah parpol dan ormas Islam melenggang mulus di beberapa rilis survei. Mereka unggul 5-10% dari pasangan Jokowi-Ahok, 'anak' Prabowo. Foke diprediksi menang karena ia lebih memahami cara mengelola manusia 7 juta jiwa dibanding Jokowi yang 'hanya' ratusan ribu saja. Saat itu Prabowo meyakinkan warga DKI untuk memilih Jokowi-Ahok karena keduanya sangat Indonesia banget. Jokowi, orang Solo, Jawa, beragama Islam. Sedang Ahok orang Belitung, Tionghoa, beragama Kristen. Keduanya disebut siap membawa demokrasi ke arah yang lebih maju. Isu SARA yang dihempaskan kubu Foke-Nara ditangkal dengan dalih kebinekaan.
Pasca rilis quick count putaran kedua pilkada DKI oleh sejumlah lembaga survei, Prabowo tersenyum puas. Anak-anaknya berhasil menendang petahana. Ia terlampau semangat sampai menimbulkan dugaan bahwa sebenarnya Prabowo-lah gubernur DKI. Jokowi-Ahok hanyalah boneka mainan yang bisa digerak-gerakkan sekenanya. Sebelumnya, majalah TEMPO membuat sampul bergambar sosok Prabowo yang tengah memegang sebuah koran bergambar Jokowi. Tema laporannya "Bandar calon DKI".

Banyak yang menilai Prabowo tengah menyusun kekuatan politiknya untuk berkuasa di 2014. Jika ia berhasil menanam bibit di DKI, kelak, jika ia memerintah, urusannya akan jadi lebih mudah. Jokowi-Ahok adalah langkah awalnya untuk menuju RI-1. Dan benar saja, ia gencar kampanye akan membawa Indonesia menjadi macan Asia. Tampaknya ia sudah cukup yakin karena 'hanya' akan melawan ambisi Aburizal, Harry Tanoe, Anies, Dahlan, dan Wiranto.
Tapi Prabowo seakan kesamber gledek. Pasca PDIP memenangi kursi legislatif, partai berlogo banteng itu berambisi menjadi penguasa utama. Jokowi, sang anak Prabowo, beserta JK, mantan lawan politiknya di pilpres 2009, dideklarasikan untuk menantangnya bersaing pada 9 Juli 2014. Ia pun meradang. Terlebih setelah pengusaha kayu kurus itu mempecundanginya 51% : 49%.
Adalah Anies si perintis Indonesia Mengajar dan gerakan turun tangan yang turut mendongkrak suara Jokowi. Jubir Jokowi-JK itu meyakinkan banyak swing voters untuk memilih Jokowi-JK karena keduanya bebas dari dosa masa lalu. Masa lalu? Ya, Anies yang dulu aktivis kampus tentu merasakan 'dosa' para jendral yang menghilangkan banyak rekan aktivisnya. Ia berkali-kali mengatakan, saatnya orang baik memimpin.
Tahun 2016, setahun pasca Anies diberhentikan sebagai mentri pendidikan, alumnus Jogja itu menerima tawaran Prabowo untuk maju DKI-1. Ia berpasangan dengan Sandiaga Uno, 20 besar manusia terkaya di Indonesia (versi FORBES). Ia didaftarkan menjelang detik-detik akhir pendaftaran. Diduga, Prabowo kembali ingin membangun pondasi kekuatan politiknya untuk 2019.
Sekali lagi, mantan menantu Soeharto itu berhasil memenangkan 'anaknya'. Terlepas gelombang isu SARA yang menerpa, strategi politik Prabowo harus diakui jempol. Selain itu, dream team pasukan tim sukses Anies ternyata teruji jitu. Eep Saefulloh, sahabat semasa di Amerika, yang dulu jadi konsultan politik Jokowi (dan mengaku tidak dibayar), bisa meliuk-liuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas seorang Anies.
Jokowi-Ahok dibawa ke Jakarta oleh Prabowo. Jokowi jadi lawan Prabowo di Pilpres. Anies jubir pilpres Jokowi dan tim transisi, jadi lawan Ahok, karena disung Prabowo. Eep si konsultan Jokowi, jadi konsultan Anies yang dibackingi Prabowo. Melihat politik dari Prabowo, Jokowi, Ahok, Anies, dan Eep saja sudah membuatku ngakak jika ada yang terlalu serius mengikuti dinamika politik di Indonesia.
Sudahlah... Sudahi pertikaian. Pertemanan lebih mahal dibanding ngotot bela para penguasa. Mereka dapat dollar, kita dapat apa?


Jogja, 20/04/2017

Tuesday, March 28, 2017

Bincang Santai tentang Wilayah yang Memerah


Bersama Mbak Dina Y. Sulaeman, penulis buku Salju di Aleppo
Kang Abad adalah teman saya yang pernah mengenyam bangku pendidikan di Libya, sebuah negara di Timur Tengah. Ia merasakan bagaimana mencekamnya situasi negara tersebut pada tahun 2011, yang membuatnya harus meninggalkan bangku kuliah lebih cepat demi alasan keamanan. Di tahun itu, Moammar Khadafi, sang presiden yang berkuasa puluhan tahun, tewas dikeroyok massa.
Libya bukan satu-satunya negara yang bergejolak. Sebelumnya, Tunisia lebih dulu memanas yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Zine El-Abidine Ben Ali. Dalam waktu yang tidak berselang lama, Mesir, Kuwait, Lebanon, Yaman, Suriah dan banyak negara lainnya ketularan hobi demo. Mereka menuntut demokratisasi yang mengatur batas maksimum periode kekuasaan seorang presiden.
Arab Springs (the great middle east)
Di banyak negara itu, sebagian besar pemimpinnya berhasil ditumbangkan oleh gelombang aksi massa. Jika beruntung, para pemimpin itu bisa melarikan diri dengan selamat ke nagara lain. Jika tidak, nasibnya seperti Moammar Khadafi. Namun ada satu negara yang cukup kuat dalam menghadapi huru hara di negaranya, yakni Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-As’ad. Saat ini, di negara yang pernah jadi mercusuar kerajaan Islam itu masih terjadi perang saudara.

Konflik di Suriah
Saya secara pribadi kurang mengikuti isu Arab Spring, sampai pada kemunculan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) di beranda media sosial saya. Ketika saya klik di google, muncul banyak berita mengenai gerakan masyarakat sipil bersenjata itu.
Ketertarikan saya semakin bertambah saat banyak teman saya mengutuk keras Bashar Al-As’ad karena dianggap melakukan genosida di negaranya sendiri. Bashar yang konon Syiah Dinaggap membantai warga Sunni yang menjadi mayoritas. Sampai-sampai muncul narasi seperti ini: waspadai Syiah karena mereka tega membantai muslim Sunni di Timur Tengah.
Kutukan pada Bashar semakin menguat di penghujung 2016 saat pemerintah membombardir kota Aleppo. Di banyak tempat muncul spanduk-spanduk bertagar #SaveAleppo. Teman saya yang sejak beberapa waktu anti dengan Bashar langsung menulis status makian terhadap pemimpin Suriah itu.
Sejak saat itulah, saya mencari tahu apa itu Aleppo, siapa sebenarnya Bashar Al-As’ad dan mengapa di Suriah terjadi konflik berdarah. Dan beruntung saya membaca ulasan konflik di Suriah ini dari Mbak Dina Y. Sulaeman melalui blognya. Semakin beruntung karena saya bisa bertemu langsung dengannya di malam hari ini. Tulisan ini adalah refleksi saya terkait ngobrol santai dengan Mbak Dina.
Sebelum krisis, Suriah termasuk negara dengan tingkat kriminalitas terendah di dunia. Kota-kotanya tidak begitu besar, tapi cukup indah. Di negara ini banyak peninggalan kuno yang menjadi salah satu daya tarik wisata para pelancong. Hingga pada satu waktu, terjadi demonstrasi untuk menuntut adanya maksimum periode kekuasaan. Permintaan ini pun direspon dengan dihapusnya state emergency law dan diadakannya referendum UUD baru Suriah yang membuat seorang presiden memiliki batas waktu berkuasa (26 Februari 2012).
Aleppo before the war (Huffington Post)
Pada tahun 2014, negara sosialis sekuler ini mengadakan pemilihan umum. Bashar Al-As’ad yang telah berkuasa sejak tahun 2000 terpilih dengan prosentase suara 88,7%. Sebuah angka yang fantastis. Di sisi lain, sebagian warga bergabung dengan kelompok milisi bersenjata untuk menentang kekuasaan Bashar Al-As’ad. Mereka menuntut ditegakkannya sebuah negara berdasarkan sistem khilafah.
Beberapa wilayah berhasil mereka kuasai, salah satunya adalah kota Aleppo Timur. “Para milisi bersenjata inilah yang diperangi oleh Bashar,” ujar Mbak Dina menjelaskan. Sebelum menggempur Aleppo, Bashar lebih dulu memberi waktu agar penduduk sipil bisa meninggalkan medan pertempuran itu. Namun setelah beberapa waktu, tidak ada penduduk yang meninggalkan kota. Ternyata, mereka diancam akan ditembak oleh milisi bersenjata jika berusaha meninggalkan Aleppo. Hal ini terkonfirmasi dengan adanya laporan dari PBB yang menyebut adanya puluhan warga yang mati ditembak.
“Ada yang bilang ini ulah tentara Suriah. Tapi coba dipikir dengan jernih. Saat itu tentara Suriah belum masuk ke Aleppo karena menunggu warga dievakuasi. Bagaimana mungkin para tentara negara yang menembaki para warga?” tanya Mbak Dina. Pernyataan ini saya konfirmasi dengan laporan dari akun twitter centang biru Yusha Yuseef @MIG29_, reporter The Arab Sources, selama krisis Suriah memuncak.
Dari akun ini pula, saya mengetahui adanya kiriman puluhan bus dari pemerintah yang mengangkut para milisi bersenjata untuk meninggalkan Aleppo. Para milisi itu pindah ke Idlib, sebuah kota yang mereka kuasai. Pada malam natal, Aleppo berpesta karena berhasil mengusir para pemberontak. Menurut Mbak Dina, sikap pemerintah Bashar yang sedemikian menunjukkan pemerintah tidak semena-mena dalam menyikapi konflik di negaranya.

Beberapa Alasan Konflik
Suriah adalah negara gurun. Tentu banyak sumber energi tak terbarukan di sana, utamanya sektor migas. Inilah kepentingan negara-negara kuat untuk memperebutkannya.
Dalam upaya memerangi milisi, militer Suriah dibantu oleh negara sahabat mereka yaitu Iran, Tiongkok, dan Russia. Negara-negara ini tentu saja mempunyai kepentingan di Suriah, utamanya Russia yang sudah melakukan investasi besar-besaran di sektor migas. Karenanya, tidak mengherankan jika Putin membela mati-matian Bashar.
Lalu mengapa ada konflik? Ada puluhan ribu pasukan yang datang dari 100 negara untuk menduduki kota-kota di Suriah. Para milisi ini bergabung dengan bermacam-macam organisasi, mulai ISIS hingga Al-Nushra. Tujuan mereka sama, mendirikan sebuah negara khilafah. Inilah yang dilawan oleh rezim Bashar Al-As’ad dan aliansinya.
Yang mengejutkan, dari bocoran WikiLeaks, disebut bahwa AS merupakan donatur gerakan ISIS. Mereka menyuplai senjata dan mengadakan pelatihan militer.

Media Sosial dalam Konflik
Selama konflik berlangsung, media sosial menjadi penggerak mesin perdebatan yang sangat sengit. Situasi itu merembet ke Indonesia. Di Indonesia, narasi kekejaman Bashar menjadi pembicaraan yang banyak dibincangkan. Terlebih saat seorang bocah bernama Bana Alabed (@AlabedBana) rajin ngetwit tentang ‘kondisi’ Aleppo. Gadis cilik berusia 7 tahun itu kerap menulis ‘situasi’ menggunakan bahasa Inggris yang sangat sempurna.
Twit-twit Bana ini sempat dicapture oleh beberapa teman saya yang anti Bashar sebagai ‘bukti’ kekejaman pemerintah Suriah. Walau belakangan diketahui akun itu dikelola oleh ibu bocah itu yang di akun pribadinya terdapat foto dirinya menenteng senjata laras panjang. Sementara ayahnya sering mengunggah foto-foto bersama milisi bersenjata. Lha kok?
Akun Bana ini tidak sendiri. Banyak akun lain yang turut memberitakan hal-hal yang diada-adakan. Dalam bahasa gaulnya, akun-akun tersebut menyebar berita HOAX. Saat evakuasi berlangsung, mereka membuat video yang intinya berpamitan, mengatakan mungkin hari itu adalah hari terakhir mereka karena sebentar lagi rezim Bashar akan membantainya. Ajaibnya, sehari kemudian wajah mereka nongol di beberapa stasiun televisi.
Tetapi apa boleh buat. Keberadaan akun-akun ini terlanjur dianggap sebagai saluran informasi para ‘mujahidin’ yang ‘membela agama’ di negara sekuler Suriah. Teori jarum hipodermik yang ketika saya kuliah dianggap sudah usang, justru menjadi relevan di saat manusia modern sudah berkenalan dengan istilah literasi media.  
Saking gregetannya, untuk menantang tuduhan genosida, Mbak Dina meminta untuk ditunjukkan satu foto saja terkait kejahatan Bashar. Ia telah melakukan analisis beberapa foto propaganda yang beredar, dan semuanya tidak terkait dengan  konflik Suriah.
Lalu apa tujuan dari berita HOAX itu? Salah satunya tentu memenangkan pertarungan wacana di dunia maya. Tapi yang tidak banyak disadari, mereka tengah mengaduk emosi banyak orang di dunia supaya tergerak berdonasi melalui saluran-saluran yang telah mereka persiapkan. Yah, namanya juga perjuangan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka tidak mengejutkan apabila ditemukan kardus bantuan yang berasal dari Indonesia masuk ke markas milisi bersenjata di Aleppo.

Indonesia dan Suriah
Konflik Suriah bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, ujar Mbak Dina. Pendapat ini pernah saya dengar di beberapa forum, termasuk yang diselenggarakan oleh BNPT. Di Indonesia narasi-narasi yang digunakan untuk mengguncang Suriah mulai diterapkan kepada pemerintahan saat ini.
Beberapa narasi seperti pemerintah menzalimi umat Islam, demokrasi sistem gagal, pemerintah bersekutu dengan komunis dan lain sebagainya sudah berseliweran di media sosial. Ajakan untuk melakukan penggulingan terhadap pemerintah yang sah pun mulai digaungkan. Untungnya pembelian senjata di Indonesia sangat ketat prosedurnya. Jika mereka bisa mendapat akses senjata, bukan tidak mungkin negara ini memanas. Na’udzubillah.
Satu hal yang mengejutkan adalah tuduhan penistaan Al-Quran yang menjadi salah satu pemicu konflik Suriah. Bashar dituduh menistakan surat Al-Ikhlas karena ‘menganggap’ dirinya sebagai Tuhan. Padahal, tuduhan itu adalah HOAX. Tapi jutaan orang terlanjur percaya dan marah pada rezim yang menentang kesewenang-wenangan Israel di Palestina itu.  
Saya sendiri masih perlu membaca literatur untuk memahami secara utuh persoalan di Suriah. Namun diskusi dengan Mbak Dina, yang sudah melakukan banyak pengamatan dan riset, menambah banyak wawasan terkait krisis di negara itu. Walau karena pendapatnya, Mbak Dina kerap mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu. Ia dianggap mengada-ada hingga dilabeli Syiah. Tapi kebenaran harus disuarakan walau itu pahit.
Mbak Dina kemudian menjelaskan rasa syukurnya karena saat ini banyak alumni Suriah yang mulai berani buka suara untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Ia menilai muncul kesadaran di benak para alumni untuk mencegah Indonesia tercinta ini mengalami situasi pilu seperti Suriah. Wallahua’lam.

Berikut link pernyataan para alumni Suriah membantah HOAX seputar krisis Suriah sebagaimana dimuat situs NU Online