Friday, December 18, 2015

Interaksi sebagai Kata Kunci

gambar: annida-online.com
Sekian banyak orang menentang proyek yang digagas oleh Dr. Eleanor Ann Alloway untuk menyelami alam raya dalam rangka menemukan makhluk hidup di luar bumi.  Proyek itu dilakukan karena adanya ‘kode’ dari ‘makhluk’ luar angkasa yang sempat ditangkap radio penelitian sang doktor. Ia berhipotesa bahwa ada makhluk tertentu yang ingin menghubungi manusia di bumi dan menyampaikan sebuah pesan melalui bunyi berpola. Penolakan proyek yang menelan biaya ratusan triliun dolar AS itu disebabkan karena proyek 'gila' itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini oleh pemeluk agama. Dalam berbagai agama disebutkan hanya bumilah satu-satunya tempat di mana makhluk hidup diciptakan. Tapi atas nama pencarian kebenaran, Dr. Eleanor yang ateis terus berjuang merealisasikan proyek luar angkasa tersebut.
Penggalan kisah dalam film Contact garapan sutradara Robert Zameckis yang diadaptasi dari novel karya Carl Sagan itu membuka mata saya tentang melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang. Bagi seorang beragama, tentu menjadi pertimbangan utama untuk meletakkan dasar doktrin agama sebagai acuan utama. Tetapi apakah saya yang muslim harus memaksakan seorang Eleanor yang ateis untuk sama-sama memahami kebenaran dari sudut pandang Islam? Tentu saja memaksakan kebenaran semacam ini kurang arif. Terlebih jika melihat bagaimana realitas kebenaran memiliki tolak ukur yang beragam.
Sehari setelah menonton film Contact yang kata Joko Anwar merupakan film paling religius baginya, saya berkesempatan mengikuti sebuah kajian menarik bersama seorang teologis dari Universitas Notre Dame Amerika. Ia bernama Mun’im Sirry yang membuat heboh karena ‘berani’ menulis sebuah renungan panjangnya berjudul Kontroversi Islam Awal. Buku tersebut heboh karena memuat banyak literatur yang bagi kebanyakan orang muslim dianggap tabu, saru, pamali, bid’ah, sesat dan istilah-istilah lain yang sepadan. Dan berikut saya akan mengulas beberapa poin yang saya tangkap dari kajian malam ini.
“Jika ingin melihat Alqur’an maka lihatlah kitab-kitab lain yang berinteraksi dengannya. Jika ingin melihat Alqur’an dari sudut pandang muslim, bacalah tafsir-tafsirnya.” Kurang lebih itu kalimat kunci dari Mun’im Sirry (selanjutnya saya sebut Cak Mun) yang menjadi pengantar NGOPI (Ngobrol Pintar) bertema ‘Alqur’an dan Sejarah Islam’ di griya Gusdurian, Timoho, Yogyakarta.  Dari kalimat pengantar itu, tampak sebuah ajakan dari Cak Mun bagi peserta diskusi untuk mau membuka pikiran selebar dan seluas-luasnya. Ia mencontohkan para akademisi Barat tidak melakukan pembacaan terhadap Alquran melalui tafsir-tafsir yang ditulis oleh ilmuwan muslim, tetapi mereka membaca Alquran dari berbagai literatur yang memiliki interaksi dengan Alquran.
Pernah dalam sebuah kelas, seorang ustad saya mengatakan bahwa Islam memiliki kesinambungan dengan agama-agama lain sebelumnya. Ia menyebut bahwa Islam adalah agama yang menghapus agama sebelumnya karena dianggap telah menyimpang dari ajaran tauhid. Begitu pula dengan Alquran yang jika dipahami akan memiliki banyak kemiripan kisah dengan kitab-kitab suci lain di dunia. Karena Alquran diturunkan sebagai kitab penyempurna dari kitab-kitab lain yang sudah diturunkan berabad-abad sebelum era Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini memiliki perbedaan dengan sudut pandang yang ditawarkan cak Mun, bahwa ia lebih memilih menggunakan redaksi interaksi Alquran dengan kitab-kitab lain dibanding menyebutnya sebagai pengganti kitab-kitab terdahulu. Ia juga kurang sreg jika ada yang mengatakan Alquran dipengaruhi Bibel, dan atau sebaliknya. Sekali lagi ia lebih oke menggunakan redaksi interaksi.

Injil dan Nasrani
Sebelumnya, saya menekankan bahwa apa yang saya tulis berikut ini merupakan penangkapan saya terhadap materi yang disampaikan oleh Cak Mun. Mungkin subjektivitas saya membuat konten tulisan berikut ini menjadi tidak sesuai. Namun saya menjamin tidak ada usaha dari saya untuk mengubah substansi dari diskusi malam ini. Untuk itu bila ada kesalahan, mohon agar diluruskan.
Di dalam Alquran sering disinggung mengenai kitab-kitab suci yang diturunkan sebelum Alquran. Kitab-kitab tersebut merujuk pada Injil, Taurat, dan Zabur. Sering kali pula para akademisi muslim menyebut kitab-kitab sebelum Alquran sudah tidak berlaku karena digantikan oleh Alquran. Alasannya adalah karena kitab-kitab tersebut tidak lagi otentik. Logika ini dipertanyakan oleh Cak Mun. Ia bertanya, “Bagaimana bisa mengatakan bibel yang ada saat ini salah jika tidak pernah ditemukan yang asli?”
Ia menyebut ada cara pandang yang berbeda dari muslim dan kristen pada umumnya mengenai Injil. Perlu diketahui pula bahwa Injil merupakan sejarah hidup Yesus yang ditulis oleh beberapa orang muridnya. Maka ditemukanlah berbagai versi Injil yang ditulis oleh murid Isa AS yang berbeda-beda. Perlu diketahui pula bahwa munculnya ajaran kristen tidak terekam baik sebagaimana kemunculan agama Islam awal. Untuk itu banyak istilah-istilah yang masih rancu dipahami oleh banyak orang. Bahkan untuk menyebut orang yang mengikuti ajaran Yesus, terdapat berbagai pendapat. Di Indonesia dikenal ada dua pengikut Yesus, yaitu Kristen dan Katolik.
Cak Mun menjelaskan bahwa dalam budaya dan kitab suci mana pun, seseorang yang mengimani Yesus disebut sebagai kristen/ kristiani/ Christian dan bahasa lain yang secara redaksional tidak jauh berbeda. Dalam budaya Arab, orang yang mengimani agama Isa Al-Masih disebut sebagai al-masihiyun. Ia kemudian melontarkan sebuah pertanyaan, mengapa di dalam Alquran kebanyakan kata yang digunakan untuk menyebut pengikut Isa AS adalah kaum Nasrani? Dan inilah pentingnya melakukan pembacaan dengan kitab-kitab suci lain yang memiliki interaksi dengan Alquran.
Kata Cak Mun, dalam Bibel, tercatat hanya satu kali kata Nasrani ditulis yakni saat Tertulus menghakimi Paulus. Saat itu Tertulus mengatakan bahwa Paulus membuat kekacauan orang-orang Yahudi seluruh dunia dan ia disebut sebagai ketua sekte Nasrani. Paulus pada mulanya merupakan orang Yahudi bernama Saulus yang memerangi orang Kristen. Ia kemudian mengimani kristus karena sebuah sebab di Damaskus. Namun banyak yang mengatakan bahwa ajaran Paulus ditentang oleh kebanyakan orang kristen. Itu berarti satu-satunya redaksi Nasrani di dalam Bibel membahas mengenai sosok yang ditentang oleh mayoritas pengikut ajaran kristus tersebut. Lalu apakah Nasrani dalam Alquran (yang kerap ditentang) merujuk pada sekte yang dianggap sesat oleh orang Kristen itu? Wallahua’lam. Tetapi saya pernah mendengar jika kata Nasrani diambil dari kata Nazareth, tempat asal Nabi Isa As. Maka pengikutnya disebut Nasrani.
Selama ini saya pribadi mendapat informasi melalui website-website (yang kadang ekstrim) jika yang masih dibenarkan dalam Alquran adalah Nasrani, sedangkan kristen adalah sebuah sekte yang dibentuk belakangan, kongkritnya saat peristiwa Saulus menjadi Paulus. Tetapi penjabaran panjang lebar dalam diskusi ini mengubah segalanya. Perjumpaan saya dengan Cak Mun memancing saya untuk kembali mengkaji definisi yang sudah ada dalam benak saya sebelumnya. Ia juga menyinggung istilah mu’minum dan muslimun. Menurut Cak Mun, yang digunakan Alquran dalam menyebut pengikut Nabi Muhammad SAW adalah mu’minun, yang berarti mengimani kerasulan Muhammad. Bagi yang belum mengimani kerasulan Nabi Muhammad, mereka masih digolongkan muslimun. Pendapat ini sangat berbeda dari pelajaran agama yang pernah saya terima di bangku sekolah dulu. Mu’minun justru digunakan untuk semua komunitas yang beriman pada Tuhan yang Esa. Sementara muslimun hanya untuk menyebut komunitas muslim belaka. Wallahua’lam.

Halaman Belakang
Jika kebenaran adalah hal yang pasti, maka tidak ada pencarian-pencarian yang dilakukan untuk mengungkapnya. Jika tidak ada pencarian-pencarian, maka kebenaran telah menuntun sebuah peradaban untuk menjadi jumud. Barangkali ada hikmah mengapa kebenaran tidak pernah mewujudkan dirinya sebagai sebuah bentuk yang absolut. Jika saya berbicara dengan bahasa jurnalistik, kebenaran adalah bagaimana cara kita mengonstruksi sebuah realita. Angle atau sudut pandang menentukan bagaimana sebuah kebenaran itu dipilih.
Berbicara mengenai lintas agama dan lintas keyakinan memang tidak ada habisnya. Namun sangat disayangkan jika seseorang beriman hanya karena faktor kepasrahan. “Imannya seorang yang historis cenderung lebih kuat,” kata Cak Mun. “Saya tidak pernah takut apabila pencarian saya membuat iman saya berkurang,” sambungnya lagi. Justru pembacaan interaksi kitab suci Alquran dengan kitab-kitab suci lain membuatnya semakin memahami betapa romantisnya sang pencipta. Bukankah Ia yang Maha Benar tak pernah menampakkan wujudnya yang absolut?
Tema diskusi ini memang cukup berat. Dan bahkan beberapa orang yang hadir akan merasa panas dingin mendengar pernyataan-pernyataan lugas dan vulgar dari Cak Mun. Bagi saya pribadi, diskusi malam ini memantik rasa ingin tahu saya mengenai kajian lintas agama semakin terpacu. Tentu saja, banyak poin-poin tak terduga yang baru saya ketahui. “Oh, ternyata ada yang demikian, ya?” Batin saya tersebut mengemuka saat Cak Mun menceritakan seorang ilmuwan Barat bernama John W Brow mempertanyakan, benarkan Alquran turun di jazirah Arab yang primitif? Mas Brow sangsi jika Alquran yang sangat filosofis turun di tengah masyarakat yang menurut buku-buku sejarah Islam awal gemar membunuh bayi perempuan? Menurutnya, Alquran harusnya turun di sebuah peradaban yang sangat maju dan memiliki kajian-kajian intelektual. Mas Brow bahkan memiliki tesis jika Alquran turun di dataran Mesopotamia!
Akhirnya saya akan menutup tulisan ini dengan salah satu kajian yang sangat kontroversial dari Cak Mun. Di dalam forum NGOPI, sampai ada dua orang yang mempertanyakan mengenai ‘tafsir’ dari Cak Mun terkait surat Al-Kafirun. Konon pernyataan Cak Mun sampai memanaskan ruang diskusi di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Saya heran, mengapa banyak orang hanya mengutip ayat terakhir dari surat Al-Kafirun untuk mengatakan bahwa Alquran adalah kitab toleransi?” ujarnya memberi pertanyaan. Ia sendiri menilai jika ayat yang berbunyi lakum dinukum waliyadin tidak bisa dimaknai sebagai ayat toleransi jika menyambungkannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Misalnya saja redaksi ayat kedua laa a’budu maa ta’budun yang artinya saya tidak menyembah apa yang kamu sembah. Bagi Cak Mun, hal itu menunjukkan adanya eksklusivitas karena adanya penafian terhadap kepercayaan orang lain. “Di mana toleransinya?” ujarnya.
Berangkat dari kegelisahan karena tidak adanya ‘sambungan’ ayat lakum dinukum waliyadin dengan ayat-ayat sebelumnya, Cak Mun lalu melakukan penelitian. Ia mencari manuskrip-manuskrip kuno mengenai ayat-ayat tersebut di tujuh perpustakaan besar di dunia. Dari situ ia menemukan adanya problem terkait huruf alif yang ada di belakang huruf lam. Beberapa literatur awal menunjukkan adanya potensi perbedaan bacaan dari yang kita kenal saat ini (Alquran pada awal ditulis tanpa titik dan harakat, juga tanpa penambahan huruf alif untuk tanda panjang). Karena dalam bahasa Arab beda satu huruf bisa membuat makna yang sangat berbeda. Dalam ayat laa a’budu maa ta’budun (huruf lam disambung alif) berarti saya tidak menyembah apa yang kamu sembah. Tetapi jika tanpa alif, maka dibaca laa'budu maa ta'budun berarti saya sesungguhnya menyembah apa yang kamu sembah. Posisi huruf lam sebelum huruf alif berfungsi sebagai lam ta'kid, atau penegas. Ini, bagi Cak Mun, menunjukkan adanya sinergitas antara ayat lakum dinukum waliyadin dengan ayat-ayat sebelumnya. Dengan pendekatan ini pula menjadi semakin tegas jika Tuhan yang disembah oleh seluruh umat manusia adalah satu zat yang sama. “Dan semakin nyata jika surat Al-Kafirun memang mengandung ayat-ayat toleransi.”
Yang jelas, semua pendapat yang dikemukakan oleh Cak Mun tidak harus dibenarkan seluruhnya. Bagi orang yang setuju dengan gagasannya, silakan. Jika tidak pun tidak masalah. Toh, kebenaran hanyalah soal dari sudut mana sesuatu itu dilihat. Seperti Dr. Eleanor Ann Alloway pada akhirnya merasakan sebuah perjalanan misterius. Ia mengaku telah menembus lubang cacing dan masuk ke galaxy antah berantah. Padahal dari sudut pandang manusia yang hadir di acara peluncuran Dr. Eleanor ke luar angkasa, mesin yang akan mengantarkan Eleanor ke penjelajahan mengalami masalah dan akhirnya terjatuh ke laut. Namun dalam waktu yang sangat singkat, Dr. Eleanor mengaku menembus beberapa tempat di luar angkasa dan kemudian bertemu ayahnya di sebuah tempat. Ini, bagi Eleanor, merupakan pembuktian dari teori relativitas Einstein, bahwa waktu beberapa detik di Bumi bisa berarti beberapa jam atau hari di luar sana. Tetapi bagi orang yang tidak setuju dengan penjelasannya, maka dengan mudah Eleanor disebut berhalusinasi. Wallahua’lam.

Yogyakarta, 19 Desember 2015

Wednesday, October 21, 2015

Perdamaian dengan Keadilan

Gambar: detik.com
Kasus kekerasan atas nama agama seolah menjadi masalah yang tak pernah selesai di negeri ini. Walau seruan toleransi terus digaungkan, toh kenyataannya masih banyak kasus-kasus kekerasan yang seolah legal karena membawa bendera agama.  Yang terbaru adalah kasus perusakan rumah ibadah di wilayah Singkil Aceh. Peristiwa tersebut sampai membuat ribuan warga terpaksa mengungsi ke daerah-daerah lain di sekitarnya.
Sebelum kasus Singkil terjadi, beberapa waktu silam publik juga dihebohkan dengan terjadinya pembakaran rumah ibadah di Tolikara. Banyak yang menilai baik di Singkil atau Tolikara, keduanya sama-sama terjadi karena tidak direstuinya pembangunan rumah ibadah di masing-masing wilayah. Jika benar demikian, maka sungguh ironis karena sudah ratusan tahun lamanya bangsa ini memegang teguh semboyan bhinneka tunggal ika, walau berbeda-beda tetap satu jua.
Ketentuan kebebasan beragama telah tertuang dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Pasal tersebut didukung dengan pasal-pasal lain seperti pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...dst”. Dari dua pasal ini bisa dilihat bagaimana kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai tuntutan agamanya adalah hak bagi setiap warga negara.
Menurut penulis, dua peristiwa memilukan itu terjadi karena beberapa sebab, salah satunya adalah regulasi pendirian rumah ibadah dari pemerintah yang tidak memiliki sense of minority. Dalam pendirian rumah ibadah, pemerintah meregulasikan adanya persetujuan minimal 60 orang warga sekitar lokasi untuk menyetujui didirikannya rumah ibadah. Bagaimana jika jumlah penduduk suatu daerah tidak mencapai angka 60 jiwa? Regulasi ini pun tentu sangat menyulitkan apabila agama mayoritas di suatu wilayah berbeda dengan pihak yang akan mendirikan rumah ibadah. Sementara setiap pemeluk agama membutuhkan rumah ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pelarangan mendirikan rumah ibadah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sangat serius. Dengan melarang berdirinya tempat ibadah, berarti melarang seseorang untuk menjalankan ritual keagamaannya. Padahal konstitusi sudah menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ritual agama sesuai kepercayaan masing-masing. Dalam hal ini yang harus dilakukan pemerintah adalah mengedukasi masyarakat agar bersikap toleran disamping mengubah regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada minoritas.
Belajar dari kasus Singkil dan Tolikara, sudah semestinya masyarakat kembali memaknai toleransi sebagai salah satu juru selamat bangsa ini dari perpecahan. Sikap egosentris merasa kelompoknya paling benar justru akan semakin menyeret bangsa ini pada kehancuran. Sudah saatnya bangsa ini semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Sebagai kader penerus bangsa, mahasiswa harus berupaya mendorong perdamaian dengan cara menanamkan nilai-nilai toleransi agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Sikap saling menghargai dan menghormati merupakan cerminan bangsa ini meneladani ajaran-ajaran agamanya secara kaffah (menyeluruh). Sebab salah satu ajaran fundamental di setiap agama adalah terwujudnya perdamaian di seluruh alam semesta.
Namun perlu dicatat bahwa perdamaian tidak akan pernah terjadi jika keadilan tidak ditegakkan. Terjadinya berbagai konflik adalah indikasi adanya ketidak-adilan di berbagai aspek kehidupan yang dirasakan, baik oleh individu atau pun kelompok masyarakat tertentu. Mengutip perkataan KH. Abdurrahman Wahid, bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.

Wednesday, October 7, 2015

'Saya Semakin Takut Menjadi Qari’ Pengajian’

Tulisan lama ini ditulis saat rame-rame qari' langgam Jawa. Tapi sayangnya baru sempat diposting karena baru punya semangat ngeblog lagi...
Sekitar lima tahun yang lalu, ketika saya masih nyantri di salah satu pesantren di Jawa Tengah, saya bertanya kepada seorang teman: “Kita kok tidak latihan qira’ah sab’ah?”. Pertanyaan ini muncul karena saya iri melihat beberapa teman saya yang setiap Jum’at siang selalu ngaji qira’ah sab’ah di ndalem romo kiai. Teman saya menjawab, “Lha kita saja belum hafiz, kok ingin ngaji sab’ah. Ya  gak boleh,” jelasnya. Aku pun manthuk-manthuk saja.
Percakapan sederhana itu cukup membekas, membuat seorang saya menjadi tidak pede untuk bercita-cita mengenal qira’ah sab’ah. Sebab syaratnya harus menjadi hafiz—orang yang hafal Qur’an—terlebih dahulu. Sementara saya, waktu itu, menghafal kitab Jauharul Maknun saja keteteran. Walhasil saya “melupakan” impian untuk mengetahui tujuh bacaan dalam membaca Alqur’an karena syarat tersebut.
Setelah sekian lama, ketertarikan saya terhadap tujuh bacaan tersebut kembali mencuat seiring maraknya pemberitaan mengenai kontroversi pembacaan Qur’an dalam langgam Jawa. Berita itu muncul beberapa saat setelah kawan saya bercerita bahwa seorang temannya baru saja membaca Alqur’an dengan langgam Jawa di istana negara. Temannya tersebut merupakan seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tempat saya menimba pengalaman saat ini. Namanya Muhammad Yasser Arrafat.
Dalam acara peringatan Isra’ dan Mi’raj di istana negara, Yasser membaca Alqur’an dengan versi yang tidak biasa didengar oleh publik secara luas, yaitu menggunakan langgam Jawa. Namun saya heran, mengapa langgam Jawa diperdebatkan. Sebab di Yogyakarta hal tersebut sangat biasa. Saya beberapa kali shalat Jum’at di masjid yang berbeda-beda, dan beberapa di antaranya melantunkan bacaan Alqur’an dengan langgam Jawa. Saya perhatikan, tidak ada masalah dengan bacaan tajwid dan makhrajnya.
Secara lebih bombastis, beberapa situs yang kerap menjadi rujukan teman-teman kuliah saya menjudge bahwa pembacaan dalam langgam Jawa merupakan upaya deislamisasi. Hal tersebut ditenggarai adalah proyek besar freemasonry atau pun JIL. Ah, saya hanyalah orang awam yang tidak tahu apa itu freemasonry atau pun JIL yang kerap ditakuti teman-teman. Yang jelas salah satu tokoh JIL saat ini lebih sibuk menjadi orang partai daripada mengurus organisasi yang pernah “melambungkan” namanya. Dan partainya pun bukan partai pemerintah, melainkan partai oposisi. Jadi kesimpulan itu proyek JIL sepertinya terlalu mengada-ada. Kalau proyek nusantaraisasi, bisa jadi iya.
Di dalam khazanah Islam yang umumnya dipelajari, cara membaca Alqur’an hanya ada tujuh macam yang dikenal sebagai qira’ah sab’ah. Cara membaca yang tujuh ini disebut yang paling sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Namun, di bangku kuliah, saya justru mendengar adanya pengetahuan baru tentang bacaan sepuluh hingga bacaan empat puluh. Bahkan dosen saya meragukan kredibilitas sumber yang menyebut bacaan Alqur’an hanya ada tujuh saja.
Sebagai contoh sederhana tentang qira’ah sab’ah, setiap jenis qira’ah memiliki variasi nada dan penekanan yang beragam.  Misalnya, sebagaimana saya dengar dari teman yang hafidz, salah satu qira’ah membaca surat Adl-dluha dengan: Wadl-dluhaa. Wal-laili idza sajaa. Lalu ada yang membacanya: Wadl-dluhee. Wal-laili idza sajee. Tapi saya akui, saya belum tahu persis bagaimana cara membaca qira’ah sab’ah karena saya bukan hafiz. Dan hafiz merupakan syarat untuk mempelajarinya. Saya hanya sebatas mencari pengetahuan.
Saya mengutip apa yang disampaikan oleh KH Ahsin Sakho Muhammad. Ia merupakan rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) dan juga pengasuh di pondok pesantren Dar Al-Tauhid, Cirebon[1]. Bahwa langgam bacaan Alqur’an sebenarnya muncul dari Persia (kini Iran). Kala itu, orang Makkah dan Madinah sedang membersihkan Ka’bah. Di sana ada orang Farsi yang sedang melantunkan bacaan Alquran dengan langgam nada lagu asal negerinya. Ketika itu orang Makkah kemudian menerapkannya ke dalam bacaan Alqur’an dan ternyata merdu didengar. Sejak saat itu pun lahirlah lagu syarqi yang bernuansa ketimuran.
Dari cerita Kiai Ahsin di atas, saya membuat kesimpulan bahwa lagu-lagu dalam membaca Alqur’an bisa saja berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Seorang ustadz di madrasah Aliyah saya pernah bercerita bahwa ketika ia pergi ke Turki, ia mendengar varian-varian yang berbeda dari apa yang didengarnya di Mesir. Pun ketika berada di satu daerah, logat lokalnya masih terbawa walau dilantunkan sefasih apapun. Karena logat merupakan budaya yang melekat pada diri seseorang yang tinggal di suatu daerah.
Jika lokalitas dalam membaca Alqur’an dilarang, atau jika ada orang membaca Alqur’an tidak sesuai dengan qira’ah sab’ah, bagaimana hukumnya tetangga saya yang selalu menjadi qari’ di masjid yang bahkan ia belum mengenal qira’ah sab’ah? Bagaimana pula hukumnya imam masjid di beberapa masjid Yogyakarta yang masih mengikuti logat yang mewarisi tradisi leluhurnya, menggunakan langgam Jawa? Ah, saya merasa heran mengapa masalah langgam saja diperdebatkan. Bukankah yang penting adalah sesuai tajwid dan makhrajnya?
Saya menjadi ngeri ketika para wali dahulu menyebarkan Islam dengan cara yang “benar” sebagaimana standar para penghujat langgam Jawa. Misalnya saja Sunan Kalijaga mengajari warga membaca: “Alhamdulillahi robbil ‘alamin”. Lalu warga membacanya: “Alkamdullillahi rabbil ngalamin” dan sang sunan marah kemudian mengatakan bahwa si warga sesat, bid’ah, dan sebagainya, entah bagaimana nasib Islam di nusantara saat ini.
Kembali pada langgam Jawa, secara harfiah, langgam berarti bentuk irama lagu. Yang namanya irama tentu boleh berbeda-beda. Begitu juga cara membaca Alqur’an. Setiap orang bisa saja menggunakan irama yang berbeda, dengan catatan masih sesuai makhraj dan tajwidnya. Makhraj pun masih ditolerir—sebagaimana kasus ‘ngalamin’ yang masih banyak terjadi di desa-desa—asal tidak mengubah makna.
Di pesantren saya, setiap pagi dan sore selalu memutar murattal (bacaan Alqur’an yang dilantunkan dengan lagu-lagu tertentu). Antara satu  qari’ dengan qari’ lainnya berbeda. Lagu Muammar berbeda dengan lagunya Sudais, berbeda pula dengan Husein.yang menghubungkan kesamaan mereka adalah makhraj dan tajwidnya yang tidak melenceng dari kaidah bahasa Arab, terutama kaidah membaca Alqur’an.
Jika lagu dalam murattal ada standarnya, dan jika standar lagunya wajib sama dengan qira’ah sab’ah, saya semakin takut jika ditunjuk sebagai qari’ di acara pengajian kampung. Maklum, saya belum pernah belajar qira’ah sab’ah. Maklum, saya bukan hafiz yang bisa belajar qira’ah sab’ah.
Wallahua’lam.




[1] Kutipan selengkapnya dari link http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/rektor-iiq-sangat-boleh-baca-al-quran-langgam-indonesia.html

Friday, May 22, 2015

Belajar dari Amex


Pertemuan saya dengan Slamet Thohari atau Amex terjadi di iklim yang normal sebagaimana kebanyakan mahasiswa, dalam forum diskusi. Salah satu poin keunggulan menjadi mahasiswa ya di situ, bisa bertemu siapa saja. Dan pertemuan bisa terselenggara jika kita kenal siapa yang ingin ditemui.
Awalnya saya tidak kenal siapa itu Slamet Thohari. Dalam undangan yang saya terima, dijelaskan bahwa pria yang akrab disapa Amex itu merupakan tokoh disabilitas (atau difabilitas. Amex menjelaskan betapa kurang esensinya perdebatan istilah). Sebagaimana tertera dalam cv-nya, ia merupakan jebolan University iof Hawaii dan kini mengajar di salah satu universitas terkemuka di tanah air, Universitas Brawijaya. Karena ketertarikan saya terhadap isu-isu difabilitas (atau disabilitas), maka saya antusias menghadiri diskusi agak tertutup ini.
Saya tidak akan merangkum semua poin diskusi pada Kamis malam tadi. Namun saya akan mengulas beberapa hal yang menurut saya menjadi hal paling menarik dan mengena.
Saya tercengang dengan salah satu wacana yang dilemparkan ke forum tentang fasilitas umum untuk kalangan difabel. Halte Trans Jogja, misalnya. Secara kasat mata, halte tersebut sangat tidak ramah bagi penyandang difabel. Hal ini berbeda dengan fasilitas yang tersedia di Barat sana. Di sana, fasilitas-fasilitas umum sudah didesain menjadi ramah bagi semua kalangan, termasuk orang difabel. Alih-alih menuntut pembangunan sarana umum yang sensitif difabel, Amex justru memahaminya secara filosofis. Bahwa dalam etika orang Jawa (dan kebanyakan orang Indonesia), sikap saling membantu itu masih melekat erat. Ketika ada orang kesusahan, maka saudaranya akan membantu dengan senang hati. Maka fasilitas umum seperti sarana trasportasi yang didesain untuk kalangan difabel masih belum begitu menuntut. Berbeda dengan kondisi di Barat yang menekankan kemandirian. Di jalan-jalan biasa ditemui orang difabel yang menggunakan fasilitas transportasi umum. Namun ia tetap merekomendasikan adanya pembangunan fasilitas umum yang ramah difabel.
Isu difabel memang menarik. Menurut data Amex, sekitar 36 juta warga negara Indonesia adalah penyandang difabel. Namun mengapa kita jarang menjumpai? Karena banyak sekali lingkungan yang masih memasung, memingit, atau memenjarakan orang-orang difabel ini di rumah. Banyak orang tua yang masih merasa malu jika anaknya difabel. Sementara institusi lembaga pendidikan juga masih banyak yang menolak kalangan difabel. Hanya beberapa kampus saja yang sudah terbuka dengan isu-isu semacam ini. Di lapangan pekerjaan juga demikian. Orang difabel selalu dikaitkan dengan orang yang lemah. Maka kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan kepada penyandang difabel adalah menjadi operator telefon.
Ada satu kisah menarik yang saya dengar tadi malam. Seorang mahasiswa Universitas Brawijaya bernama Husein sempat ditolak masuk ke UGM di fakultas teknik. Alasannya karena dia difabel. Padahal Husein tidak memiliki kelainan dengan orang-orang lainnya. Hanya saja ia menderita sebuah penyakit yang mengharuskannya duduk di kursi roda. Di Brawijaya, ia masuk ke jurusan Ilmu Komputer. Super! IPK-nya mencapai 3.9! Dan ia sudah menjalin kerjasama dengan UNESCO dalam bidang tertentu! Dan ternyata, keberadaan Husein di UB memang sedikit banyak karena program bang Amex ini merintis kampus inklusi di sana.
Kebanyakan orang berlomba-lomba menjadi terkenal untuk menunjukkan eksistensinya. Namun tidak bagi Amex. Berkali-kali ia ditawari ke berbagai program talkshow seperti Hitam Putih dan sejenisnya, berkali-kali ia belum memenuhi panggilan itu. Ketenaran bukanlah hal yang dicari. Untuk menyampaikan pandangan terkait dengan isu-isu disabilitas juga tidak melulu harus lewat program tivi.
“Sudah banyak mahasiswa saya yang tampil di acara seperti itu,” kisahnya.
Amex pernah mendapat inklusi award pada 2013 lalu. Baginya, pencapaian itu bukanlah sebagai sesuatu yang istimewa. Perjuangan mendapatkan hak-hak keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakannya. Karena, menurutnya, perjuangan itu ibarat makan dan minum. Makan dan minum adalah sesuatu yang pasti dan harus dilakukan oleh manusia.
Luar bisa memang. Tampilan sederhananya membuat saya hampir-hampir tidak percaya jika Amex menjadi kandidat menteri di kabinet kerja versi tim transisi Jokowi-JK. Dia diproyeksikan menjadi mentri Sosial yang kini dijabat oleh kawannya Khofifah Indar Parawansa. Pertemuan ide kedua orang ini tengah merintis sebuah kampung inklusi di sebuah daerah di Jawa Timur. Kalau tidak salah di Banyuwangi. Konsep yang digunakan adalah social capital, urunan, gotong royong dan makna sejenisnya.
Amex menegaskan, sebenarnya orang cacat itu tidak ada. Istilah cacat hanyalah konstruksi sosial yang terbangun di tengah-tengah masyarakat dan sayangnya diamini kebenarannya. Saya akan menuliskan contoh yang disampaikan Amex terkait persamaan ini melalui tunanetra. Jika boleh fair, yang membedakan orang tunanetra denga nontunanetra, misalnya, hanyalah alat. Orang tunanetra membutuhkan tonjolan untuk membaca. Sementara yang bukan tunanetra membutuhkan cahaya untuk melihat bacaan. Sama-sama membutuhkan alat, bukan?

Wednesday, April 22, 2015

Inovasi Ujian Digital*


sumber gambar: bestar.id
Mulai tahun ini, pemerintah melalui kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyelenggarakan ujian nasional (UN) model computer based test (CBT). Sistem ini mulai diujicoba di 585 sekolah dari total 70 ribu sekolahan di Indonesia. Walau baru di sebagian kecil sekolahan, inovasi pemerintah dalam menyelenggarakan UN ini patut diapresiasi.
Penggunaan teknologi IT memang harus diterapkan di segala lini kehidupan. Selain memudahkan, penyelenggaraan UN berbasis komputer menghemat biaya distribusi dan penggunaan kertas dalam jangka waktu yang panjang. CBT juga dapat mengatasi berbagai problem yang kerap menjadi kendala dalam penyelenggaraan ujian nasional selama ini.
Kendala yang kerap dialami pemerintah selama ini adalah soal distribusi. Dari tahun ke tahun, berbagai upaya telah dilakukan agar UN diselenggarakan tepat waktu. Namun kejadian keterlambatan distribusi, kekurangan soal, hingga soal-soal yang rusak masih saja terjadi. Peristiwa ini berimbas pada penundaan UN di beberapa sekolah. Kedua, ujian manual atau paper based test memerlukan penjagaan yang super ketat. Di beberapa daerah, pengawalan soal UN harus diperketat karena melewati medan yang cukup jauh. Jika tidak dikawal, dikhawatirkan terjadi banyak kecurangan. Toh, walau sudah dikawal sedemikian rupa, soal UN masih saja banyak yang bocor.
Ketiga, ujian manual kerap merugikan peserta dengan alasan-alasan nonteknis, misalnya penggunaan pensil yang palsu. Standar yang biasa digunakan dalam mengikuti ujian nasional adalah pensil jenis 2B. Kata 2B merupakan kode pensil yang memiliki kecerahan yang bagus. Sehingga ketika digunakan saat ujian hasilnya sangat terang. Penggunaan pensil yang palsu mengakibatkan hasilnya tidak terbaca oleh komputer. Imbasnya adalah peserta tersebut tidak lulus UN.
Bagaimana CBT mengatasi berbagai problema di atas? CBT bisa dikatakan sebagai inovasi yang sangat jitu dalam menjawab problema yang dialami pemerintah selama ini. Dengan menggunakan sistem komputer, pemerintah tidak perlu repot-repot mendistribusikan soal ujian. Pemerintah cukup mengirim file soal ke petugas yang telah disiapkan, lalu petugas tersebut mendownloadnya untuk kemudian diinstal pada sebuah aplikasi yang telah dibuat. Setelah selesai, jawaban yang sudah terkumpul di operator tinggal diupload ke server pusat. Keterlambatan distribusi tentu tidak terjadi lagi. Hal ini sekaligus meminimalisir resiko kecurangan pasca-UN. Penggunaan komputer sebagai basis ujian juga membuat resiko kegagalan karena faktor nonteknis seperti penggunaan pensil 2B palsu teratasi.  
Selain merencanakan berbagai persiapan CBT, pemerintah dan sekolah juga harus mengantisipasi terjadinya pemadaman listrik mendadak. Jika listrik padam, otomatis proses ujian sangat terganggu. Ada baiknya selama UN pihak sekolah menggunakan mesin genset atau pun diesel demi mengurangi resiko listrik padam ini. Setelah itu, pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas UN computer based test ini. jika terbukti lebih baik, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menerapkannya di sekolah-sekolah lainnya.
Yang perlu dilakukan pemerintah ke depannya adalah memastikan pemerataan UN CBT ke seluruh sekolah-sekolah di negara ini. Peer besar pemerintah adalah bagaimana sesegera mungkin daerah-daerah yang belum teraliri listrik dapat merasakan manfaat listrik tersebut. Bagaimana mungkin menggunakan perangkat komputer tanpa listrik? Selain itu penyediaan layanan jaringan internet perlu dilakukan di seluruh pelosok tanah air. Sebab internet sangat penting dalam rangka mengirim dan menerima data dari pusat ke daerah atau pun sebaliknya.
Semoga penyelenggaraan ujian nasional berbasis komputer ini membuat pendidikan di Indonesia semakin maju. Semoga.

*Tulisan ini pernah dimuat di rubrik 'Pojok Digital' Kedaulatan Rakyat edisi Senin, 20 April 2015

Monday, April 20, 2015

Tentang Sujud, Tuhan, dan Rasa

sumber gambar: suarakita.org
Sujud. Saya rasa kata ini yang menginspirasi bangunan tempat orang Islam beribadah dinamakan masjid. Huruf ‘mim’ pada kata ‘sajada’ lalu di baca ‘masjidun’ merupakanisim makan, kata keterangan tempat.
Sujud merupakan simbol kepasrahan sebenar-benarnya pasrah. Seorang ustadz pernah menerangkan bagaimana posisi sujud dalam shalat memiliki makna filosofi yang luar biasa.Namun hal tersebut jarang disadari, atau tidak pernah berusaha dicari maknanya. Posisi sujud yang benar—kata ustadz—adalah posisi pantat berada di atas semua anggota tubuh yang lain. Sementara kepala berada di posisi paling bawah.
Pantat selama ini identik dengan sesuatu yang rendah. Yang berhubungan dengan pantat—selain suntik bu bidan—adalah kentut dan veses. Kentut dan veses merupakan kotoran fisik paling hina yang keluar dari manusia. Di salah satu gerakan shalat, pantat mendapat porsi untuk menjadi paling tinggi di antara anggota tubuh lainnya. Sementara kepala adalah kebalikan dari pantat. Di kepala terdapat dua lobang mata, dua lobang hidung, satu lobang mulut, dan dua lobang telinga. Total ada tujuh macam lobang yang seluruhnya merupakan ‘kunci’ dari kehidupan. Di dalam kepala terdapat akal yang menurut banyak orang adalah hal yang membedakan antara manusia dengan hewan. Di dalam shalat, hal paling berharga bagi manusia tersebut harus berada pada posisi paling di bawah.
Dari pantat dan kepala, saya memaknai bahwa kehidupan ini bukanlah suatu hal yang statis. Hidup ini dinamis. Ada kalanya, sesuatu yang buruk berada pada posisi puncak. Sementara kebaikan kadang kala harus tersungkur. Makna lainnya adalah bahwa seorang manusia dilarang untuk menyombongkan diri, juga dilarang untuk berputus asa. Tuhan bisa saja memberikan si X suatu kenikmatan. Namun Tuhan juga memberinya sesuatu yang dalam hitungan manusia merupakan suatu kehinaan. Sebaliknya Tuhan bisa saja memberi cobaan berupa kehinaan. Namun Tuhan mungkin memberinya posisi puncak. Pada akhirnya manusia harus mengakui kebesaran-Nya. Tidak ada yang lebih berkuasa selain-Nya.
Berbicara mengenai sujud, saya baru saja mendapatkan pengalaman menarik. Kemarin (19/04/2015) saya dan kawan-kawan GUSDURian baru saja melakukan kunjungan ke Sapta Darma (aksen Jawa: Sapto Darmo). Sapta Darma merupakan salah satu kepercayaan lokal (pengkhayat) yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Diperkirakan warga Sapta Darma berjumlah 10 juta jiwa.
Saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai apa itu Sapta Darma, di mana kemunculannya dan bagian-bagian sejarah lain. Yang ingin saya tuliskan di sini adalah perihal ritual ibadah Sapta Darma yang gerakannya seperti ritual agama semit khususnya Islam. Sujud. Ya, sujud. Di Sapta Darma, ritula ibadah ya sujud itu. Sujud dilakukan sekali dalam sehari. Namun sujud yang dilkukan bukan sembarang sujud. Warga Sapta Darma harus melakukan sujud tersebut dengan penghayatan sejati. Dalam bahasa Arab disebut khusyu’.
Walau terkesan mudah karena hanya dilakukan sekali, ibadah Sapta Darma itu ternyata tidak mudah dilakukan. Sapta Darma memang tidak memberi batasan waktu berapa lama durasi sujud. Namun warga melakukannya dengan penuh perasaan. Karena itu satu-satunya waktu untuk menghadap Allah Hyang maha Rakhim (Allah merupakan sebutan Tuhan di Sapta Darma), warga menjalankannya dengan penghayatan penuh. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dua warga Sapta Darma melakukan ritual tersebut.
Dua warga melakukan sujud dengan kaki bersimpuh. Mereka mengenakan sarung dan beralaskan kain putih yang digelar menyerupai gambar wajik. Bagi warga perempuan posisi kaki memang bersimpuh. Berbeda dengan pria di mana posisi kakinya bersila. Tangan mereka bersedekap, tangan kanan memegang lengan kiri, begitu juga sebaliknya. Beberapa kali warga itu sujud, duduk, lalu sujud lagi. Karena penasaran, saya bertanya kepada salah seorang rekan di sana. Sebut saja Mawar.
“Gerakannya memang kayak gitu?” Ia mengiyakan. “Lha, berapa kali harus sujud, duduk, lalu sujud lagi, kemudian duduk lagi?”
“Kalau itu otomatis sendiri, mas. Ketika seseorang melakukan sujud sesuai dengan ajaran yang kami anut, maka rasanya seperti ada yang menggerakkan,” jelasnya. Mawar  mengaku awalnya ia penganut agama Islam. Namun karena suatu sebab, dara asal kota di Jawa Tengah itu kini melakukan sujud. Dalam bahasa sederhananya, ia beralih keyakinan.
“Beda, mas, antara sujud saat saya lakukan sewaktu shalat dengan sujud yang seperti ini. Orang shalat terkadang kurang khusyu’, tetapi kalau ini kita bisa merasakan sebuah ketentraman”. Deg. Jantungku seakan berhenti bergerak. Sebuah sindiran luar biasa kutangkap lewat indra pendengarku. Saya mendadak ingat bagaimana shalatku, sujudku, saat ini tidak dilakukan dengan penghayatan penuh, bahkan terkesan untuk menggugurkan kewajiban semata. Lalu di mana posisi Tuhan pada saat saya ibadah? Astaghfirullah. Bukankah shalat merupakan ritual seorang saya sowan kepada-Nya? Saya juga teringat bagaimana ketika bulan puasa datang, saya cenderung mencari mushala atau masjid yang shalat tarawihnya ‘PATAS’, alias cepat. Padahal shalat tarawih, walau hukumnya sunah, merupakan ritual menghadap-Nya. Kenapa saya justru terburu-buru? Jika memang dilakukan dengan penuh rasa cinta, mengapa ingin segera undur diri?
Rasa. Rasa tentram membuat Mawar memiliki kepercayaan yang baru. Bahwa dengan melakukan sujud itu, ia lebih bisa menjadi pribadi yang—menurutnya—lebih baik.  Ia yakin, di setiap aliran darahnya, di setiap pujian agung yang dipanjatkannya untuk Allah yang maha Rakhim, Tuhan selalu hadir memberinya kekuatan. “Saya dulu sakit berat, mas. Setiap beberapa menit, saya amnesia. Lalu saya dibawa ke sini dan diajari sujud. Saya lakukan itu. Luar biasa, kini saya sudah sembuh,” akunya. Ia buru-buru menjelaskan bahwa ketika orang melakukan sujud seperti apa yang dilakukan oleh warga Sapta Darma, bukan berarti lantas membuat seseorang mengikuti keyakinan Sapta Darma. Sujud itu bisa dilakukan siapa saja dan tidak mengikat. Anggap saja seperti terapi.
Saya jadi sadar bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk ketentraman. Walau sujud saya belum bisa khusyu’, tetapi ada rasa tentram ketika saya sudah shalat. Jika belum shalat, ada kegelisahan luar biasa yang saya rasakan. Mungkin hal ini dirasakan oleh orang muslim lainnya.
Orang Islam merasa tentram ketika ia sudah melakukan kewajiban-kewajiban yang diberikan Tuhan secara ikhlas, pasrah, tawakkal. Orang Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan sebagainya juga tak jauh berbeda. Tentu saja dengan caranya masing-masing. Ritual yang digunakan untuk mengekspresikan kecintaan, kepatuhannya pada pencipta pun beragam yang pada intinya sama, berbakti pada-Nya. Dan sujud  merupakan satu di antara sekian cara untuk mengekspresikan rasa itu. Wallahua’lam.

Griya GUSDURian Timoho
Yogyakarta, 20 April 2015
16:24 WIB

Friday, April 17, 2015

Medsos dan Nalar Kritis Mahasiswa

Kehidupan kawula muda termasuk mahasiswa dewasa ini tak bisa dilepaskan dari perangkat gadget. Perangkat ini memberikan berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas cah enom, baik dari sisi akademis ataupun gaya hidupnya. Di bidang akademis, perangkat gadget berguna sebagai alat pencari informasi. Berbagai fitur yang tersedia bahkan bisa digunakan sebagai penyimpan file yang aman dan mudah.
Sebagai gaya hidup, gadget kebanyakan digunakan untuk berinteraksi lewat media sosial (medsos), selain juga digunakan untuk bermain game. Di Indonesia, jumlah medsos jumlahnya mencapai puluhan. Penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta tentu menjadi sasaran strategis untuk mempopulerkan berbagai jenis medsos berikut keunggulan fitur-fiturnya. Situs techinasia melansir jumlah pengguna medsos di Indonesia pada 2015 ini berjumlah 72 juta orang. Dari jumlah tersebut, 62 juta pengguna mengakses medsos lewat perangkat mobile. Hal ini yang membuat gadget dan medsos diibaratkan sebagai saudara kembar yang saling berhubungan.
Kemudahan serta murahnya biaya berkomunikasi lewat medsos membuat kawula muda mulai meninggalkan cara lama dengan berkirim short massanger service (SMS). Lewat medsos, seseorang bisa saling berkirim gambar dan file-file yang tidak disediakan lewat layanan SMS. Salah satu yang menarik bagi kawula muda khususnya mahasiswa adalah adanya fitur broadcast massanger (BM). Dengan BM, seseorang bisa mengirim informasi berantai ke banyak orang dengan sekali klik saja.
Bagi mahasiswa, era gadget dan medsos seperti saat ini merupakan sebuah tantangan yang nyata. Di satu sisi mahasiswa lebih mudah mendapat informasi dan melakukan interaksi tidak langsung secara lebih efektif, di sisi lain kekritisan seorang mahasiswa diuji. Banyaknya pesan-pesan broadcast yang masuk membuat seorang mahasiswa harus lebih cerdas dalam menyikapinya.
Akhir-akhir ini beredar sebuah BM yang mengajak seluruh elemen mahasiswa bersatu untuk melakukan demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Mei 2015. Dalam pesan tersebut tertulis sebuah tuntutan agar presiden dan wakil presiden Indonesia turun dari jabatan politiknya sebagi kepala dan wakil kepala negara RI. Di pesan tersebut tertera nama Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) sebagai pihak penyelenggara. Berbagai reaksi muncul untuk menyikapi pesan tersebut. Ada yang bersemangat karena menganggap gerakan mahasiswa ‘bangun dari tidurnya’, ada yang menelusuri kebenaran isi pesan tersebut, dan ada yang acuh karena menganggap pesan tersebut merupakan spam.
Sebagai agen kontrol sosial, mahasiswa tentu harus bijak dalam menyikapi sebuah informasi yang diterima lewat medsos. Jangan sampai sebuah gerakan justru menjadi gerakan parsial dan hanya merupakan tunggangan kepentingan pihak-pihak tertentu. Terlebih jika pesan tersebut tidak didasarkan pada sebuah keputusan bersama yang mengikat, misalnya lewat agenda musyawarah besar.
Kemunculan BM tersebut memang tengah ramai diperbincangkan di kalangan mahasiswa. Saat penulis menelusuri informasi tersebut di website resmi BEM-SI, penulis tidak menemukan artikel yang berisi tuntutan serupa. Bahkan di akun twitter resminya, BEM-SI melalui retweet akun twitter koordinatornya membantah BM tersebut. Hal ini yang perlu dicermati agar mahasiswa tidak terjebak pada informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Di era digital semacam ini, semua orang bisa dengan mudah membuat sebuah pesan berantai dan mengatasnamakan sebuah institusi tertentu. Kekritisan dan kejelian mahasiswa dalam menelusuri kebenaran informasi sangat diperlukan agar tidak menimbulkan keresahan-keresahan yang merugikan banyak pihak. 

*Tulisan ini pernah dimuat Swara Kampus Kedaulatan Rakyat,  Selasa 14 April 2015