Monday, May 9, 2016

Belajar dari Paus

sumber gambar jpnn
Di hari Paskah kemarin,  Paus Fransiskus mencuci kaki dua belas migran yang di antaranya adalah muslim, Kristen, dan Hindu. Tidak hanya mencuci, sang Paus bahkan mencium kaki para migran tersebut. Hati siapa yang tidak bergetar?
Peristiwa tersebut tentu sangat mengharukan. Terlebih dilakukan beberapa hari selepas tragedi bom Brussels yang menewaskan 34 orang dan membuat ratusan lainnya terluka. Ketika beberapa kalangan menggunakan isu terorisme tersebut untuk mengembangkan islamophobia, Paus justru memberikan pesan bahwa terorisme tidak terikat dengan agama apapun di dunia.
Tindakan Paus dalam menghormati pemeluk agama lain hendaknya menjadi teladan bagi semua orang, tak terkecuali umat Islam. Kaum muslimin mendapat tugas untuk berjihad dalam arti sesungguhnya, yakni memberikan rasa aman bagi semesta alam. Apalagi Allah SWT menegaskan dalam AlQur’an bahwa tugas manusia di bumi adalah untuk menjadi khalifah (QS 02:30) dan menyeimbangkan segala sendi kehidupan.
Dari asal katanya, Islam berarti kedamaian. Mengatasnamakan agama Islam berarti menampilkan unsur-unsur perdamaian. Pengakuan teroris bahwa mereka berjuang di jalan Allah tentu saja tidak bisa dibenarkan, karena hal itu sangat tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan agama, seperti yang diutarakan Gus Dur, “Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah’.

Rasulullah dan Kisah Bersama Yahudi
Mengobarkan semangat toleransi dan mengasihi pengikut agama lain adalah ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi dalam berbagai kesempatan. Misalnya adalah tentang pelayanan Rasulullah kepada seorang Yahudi yang buta.
Setiap hari ada hal yang tidak pernah beliau ditinggalkan, yaitu pergi ke pasar dan menyuapi si Yahudi buta. Ketika menyuapi orang tersebut, Rasulullah acap mendengar sumpah serapah darinya menjelekkan Rasulullah Bukannya marah, beliau justru semakin menunjukkan keramahan dan rasa sayangnya. Ketika beliau wafat, hal tersebut dilanjutkan oleh Abu Bakar.
Merasa ada yang aneh, si Yahudi berkata bahwa seseorang yang menyuapinya saat  ini bukanlah orang yang biasa memberikan makan kepadanya tersebut. Sahabat Abu Bakar pun mengiyakan, dan menjelaskan bahwa yang biasa menyuapinya adalah Muhammad, sosok yang selalu menjadi bahan cacian si Yahudi. Penjelasan Abu Bakar itu membuat hati si Yahudi tersebut tersentuh, dan kemudian ia menemukan hidayahnya.
Kisah pelayanan Rasulullah kepada orang Yahudi itu menjadi contoh yang tak terbantahkan bahwa Islam mengajarkan toleransi, bahkan kepada orang yang sangat membencinya.
Kebencian ibarat bara api. Jika kebencian dilawan dengan kebencian, yang terjadi justru kobaran api yang sangat dahsyat. Dan yang mampu memadamkan api kebencian adalah salju bernama kasih sayang.
Peristiwa teror di Brussels dan banyak tempat lainnya adalah buah dari kebencian yang terus dipelihara oleh sebagian orang. Ia akan terus membesar apabila disikapi dengan kebencian yang lain. Sebagai agen muslim yang baik, sudah menjadi kewajiban kita untuk memadamkan bara api itu dengan ajaran agung sang Rasulullah yaitu ajaran damai yang berasaskan cinta, kasih, dan sayang.
Rasulullah telah mencontohkan, saatnya kita meneruskan. Pertanyaanya kemudian, siapkah kita menjadi agen muslim yang baik?

Tulisan ini pernah dimuat di islami.co http://islami.co/belajar-dari-paus/

Surat Cinta untuk Adikku Calon Mahasiswa

sumber gambar: rumahukm
Tabik!
Beberapa saat lagi kampus-kampus akan disibukkan dengan beragam agenda yang berhubungan dengan anak didik baru: SNMPTN, SMBPTN, seleksi mandiri, Ospek dll. Seperti biasa, para calon mahasiswa akan datang dengan segenggam asa, sepercik harapan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Salah satu orang yang berada di kerumunan itu mungkin kau, adikku. Seperti katamu dahulu, kau ingin membanggakan orang tua. Masuk kuliah tentu menjadi salah satu caramu, bukan? Tapi aku ingin menyampaikan beberapa hal padamu, adikku.
Kau pasti melihat, ada berita demonstrasi beberapa waktu yang lalu, bukan? Ya, demo di salah satu perguruan tinggi terkenal di kota kakakmu ini menimba pengalaman. Ada banyak tuntutan yang hampir seluruhnya berhubungan dengan uang. Uang. Iya, uang. Banyak yang menilai, biaya pendidikan di negara kita sangat mahal. Apalagi setelah diberlakukannya sistem pembayaran bernama uang kuliah tunggal (UKT). Kelak, jika kau jadi masuk ke perguruan tinggi negeri akan mengetahuinya. Saat ini, simak surat kakakmu ini terlebih dahulu.
Terkait dengan uang, sampaikan kepada orang tua kita jika biayanya memang tidak sedikit. Untuk itu, tidak semua orang bisa masuk perguruan tinggi. Apakah pendidikan hanya dikhususkan bagi orang kaya? Ah, sama sekali tidak, adikku. Ini tinggal bagaimana cara kita memaknai pendidikan. Jika kau memaknai pendidikan sebagai sebuah interaksi antara guru-murid atau mahasiswa-dosen dalam satu ruang kelas, maka pemaknaanmu terlalu sempit. Sangat sempit.
Sedikit bocoran, adikku. Kakakmu ini adalah salah seorang mahasiswa yang ogah-ogahan masuk kelas. Ya, seringkali kakakmu merasa bosan berada di ruang kelas, mendengar presentasi kelompok lain dan tak jarang presentasinya membuat kakak menjadi jenuh. Walhasil, kakak lebih sering piknik. Lihat saja akun instagram kakakmu ini. Mulai gunung, laut, sampai dinding rumah orang jadi latar menarik. Walau pun begitu, nilai kakakmu tidaklah buruk. Masih di atas 3.5 IPK-nya dari nilai maksimal 4.0.
Kakakmu ini lebih sering berkegiatan di luar, berinteraksi langsung dengan masalah yang sepele. Mungkin sebagian besar mahasiswa ogah mengurus hal-hal sepele karena namanya "maha". Jadi kakakmu tidak seidealis mahasiswa yang saban hari bergelut dengan Plato dan Marx serta tokoh lainnya. Kakakmu tidak secanggih mahasiswa pada umumnya yang ngobrol ngalor ngidul soal wujud negara ideal, kapitalisasi global, hingga revolusi total yang membuat otak ingin meledak. Kakakmu lebih suka ngobrol soal kiai kampung atau pol mentok sedikit-sedikit ngutip Ibnu Sina yang gak masuk radar bacaan mahasiswa pada umumnya.
Kembali lagi ke soal biaya, adikku. Kakak ingin mengutip perkataan salah seorang teman kakak yang menuntut pendidikan murah dan inklusif alias terbuka bagi siapa saja. Pendidikan saat ini disebutnya masih sangat eksklusif karena hanya bisa diakses oleh sebagian kecil orang dan biayanya sangat mahal. Ia bercerita jika demi kuliahnya, orang tuanya sampai menjual 4 ekor kambing dan sebidang tanah. Ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada orang lain. Nah, perkataan teman kakak inilah yang mendorong kakak menulis surat ini. Kakak perlu menyampaikannya sebelum kau benar-benar memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi.
Pertama, ruang kelas sangat terbatas. Kau harus berpikir realistis peluang masuk perguruan tinggi, lebih-lebih negeri, sangat tipis. Kakak pernah mendengar ceramah rektor jika dari 90.000 pendaftar di kampus kakak, hanya 3000 orang yang berhak masuk ke universitas. Jumlah tersebut dari tahun ke tahun semakin dibatasi karena jumlah anak didik yang masuk tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang keluar. Ya, kampus bukan seperti SMA yang dibatasi waktu 3 tahun harus selesai. Di kampus kakak banyak sekali mahasiswa yang sudah sangat lama kuliah. Tapi kakak tidak mengatakan gara-gara mereka, kuota masuk perguruan tinggi jadi dibatasi. Mahasiswa boleh-boleh saja dong mau lulus kapan. Toh, yang penting sudah bayar. Mahal lagi. Soal peluang adik-adiknya makin kecil ya bukan urusan mahasiswa. Di sini perjuanganmu akan sangat berat.
Kedua, soal biaya mahal, jangan khawatir. Di kampus kakak dan juga kampus lainnya ada banyak tawaran beasiswa. Modelnya pun beragam, ada yang seleksinya sangat mudah, sampai yang sulit. Kakak juga pernah merasakan dapat tunjangan dari perusahaan berupa beasiswa selama satu tahun dengan perjuangan yang warbyasah. Dari puluhan ribu yang mendaftar, hanya 500an orang yang menerima. Ya, inilah persaingan, dik. Kelak, jika kau jadi masuk perguruan tinggi dan mendapat beasiswa, gunakan biaya dari pemerintah atau perusahaan itu untuk mendukung belajarmu. Jangan seperti teman kakak yang dapat beasiswa malah digunakan untuk beli gadget. Padahal itu jenis beasiswa miskin yang diambil dari pembayaran pajak masyarakat. Bahkan seorang pemulung juga membayar pajak untuk rumahnya. Masak kau tega, jika bayaran mereka digunakan untuk foya-foya?
Tak kalah penting, jika kelak kau masuk perguruan tinggi, bergabunglah di organisasi. Apapun organisasi itu, yang penting tidak melupakan tujuan awalmu masuk kuliah. Biarkan jika ada yang bertanya, "lulus cepat buat apa?". Kalau berani, tanya balik, "Lulus lama buat apa?". Bukannya kakak melarangmu untuk mengikuti jejak Pak Seno yang sekarang jadi gubernur dan mengatakan kalau dulunya ia kuliah 10 tahun. Lha wong dulu belum ada S2 dan minat masuk kampus belum seramai sekarang.
Sekarang kalkulasi saja berapa biaya yang harus dibayar orang tua jika kau menunda kelulusanmu. Katakanlah dalam satu bulan kau habis 1,5 juta untuk bayar kost, listrik, bensin, dan jatah makan. Satu bulan menunda kelulusan, sama dengan menambah biaya 1,5 juta. Bagaimana jika setahun? Kau bisa beli motor. Ya, aneh saja kalau kau akan protes biaya semester mahal. Di kampus kakak, biaya semester paling mahal 2 juta. Satu tahun berarti 4 juta. Nah, 4 juta dengan 18 juta mahal mana? Padahal biaya semester kakak 'cuma' 600 ribu. Tidak sampai separuhnya kebutuhan hidup kakak di sini.
Jika kelak kau masuk ke perguruan tinggi negeri dan bergabung di organisasi, berjuanglah untuk jadi leader. Berjuanglah untuk menjadi pemimpin yang amanah. Ingat, seluruh biaya berasal dari kita sendiri. Biaya mahal adalah karena kebutuhan kita meningkat. Jika dana untuk organisasi tidak digunakan sebagaimana mestinya, sama saja kita mengkhianati diri sendiri. Tuhan sangat benci pada pengkhianat. Jangan ragu-ragu turun ke jalan untuk berdemonstrasi jika memang perlu. Tapi jadilah demonstran yang cerdas. Jadilah demonstran yang tidak merugikan orang lain demi eksistensi diri sendiri. Tak perlu memasang wajah serius, berorasi, mengutuk pemerintah tapi minta difoto oleh temanmu menggunakan iPhone yang dibeli dari dana beasiswa, untuk diupload di media sosial. Karena hal itu bisa bikin riya' dan mereduksi nilai-nilai perjuanganmu.
Ah, surat kakak malah ngelantur ngalor ngidul. Yang jelas, ini pesan kakak padamu, jangan sekali-kali merelakan sebidang tanah dijual untuk biaya kuliah. Jika itu dilakukan, sungguh besar tanggung jawab yang kau emban pada orang tua. Mengecewakan mereka adalah dosa yang sangat besar. Kau tentu ingat bahwa doa orang tua sangat tajam. Kalau merasa biaya kuliah sangat mahal, cari beasiswa yang bisa membayar penuh. Kalau tak mampu menembus beasiswa karena gagal seleksi dan tidak mau bayar mahal, tak perlu kuliah. Beli saja buku di toko-toko. Soal peluang kerja? Ah, kuliah sama sekali tak menjamin. Banyak kok sarjana yang menganggur sampai-sampai Iwan Fals pernah membuat lagu sarjana muda yang bagian liriknya berbunyi:
Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Tak berguna ijasahmu
Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya
Setengah putus asa dia berucap
"maaf ibu..."
Toh, di bangku kuliah, kau akan banyak menemukan orang-orang yang berkata bahwa kuliah tidak penting. Saking enggak pentingnya, mereka menganggap tabu orang yang rajin ngampus. Tapi pada akhirnya jika hidayah datang, semua mahasiswa akan menyelesaikan 144 SKSnya. So, daripada menunda-nunda, lebih baik penuhi segala kewajiban.
Kuliahlah pada bidang yang kau inginkan. Jika gagal, dan kau mau mengambil bidang lain, jangan gengsi untuk mengubah rencana hidupmu. Tak perlu menjadi orang yang idealis untuk urusan pekerjaan. Asal halal dan mampu kau kerjakan, lakukan! Kakak dulu juga ingin jadi pilot.
Sekian dulu, ya adikku. Kapan-kapan kakak sambung lagi.
Wassalam...