Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Pasal ini yang menjadi pijakan kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Akan tetapi kemerdekaan beragama dan beribadah di
Indonesia belum dirasakan oleh semua penduduknya. Sebut saja kekerasan yang
ditujukan kepada kelompok Syiah dan Ahmadiyah.
Sedikitnya ada
tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan ini. Pertama, mereka menganggap aksi
kekerasan yang dilakukannya adalah jihad karena membentengi umat dari
kesesatan. Syiah dan Ahmadiyah dianggap sebagai aliran sesat yang tidak sesuai
dengan Islam. Kedua, ‘dukungan’
pemerintah dalam memvonis sesat dua kelompok tersebut. Hal ini dibuktikan salah
satunya dengan pernyataan-pernyataan mentri agama Indonesia tentang “pencerahan”
warga Syiah sebelum dipulangkan serta sejumlah komentar lainnya. Ketiga, aksi subordinatif ini dilegalkan
dengan adanya UU tentang Penodaan agama No 1 tahun 1965.
Sebelum kasus
Syiah mencuat, Ahmadiyah lebih dulu mengalami kekerasan serupa. Masyarakat luas
seakan memaklumi dengan apa yang terjadi pada saudara sesama bangsa itu. Namun
Syiah di Sampang Madura lebih ironi lagi karena mengalami pengusiran menjelang
hari raya umat Islam seluruh dunia.
Di dalam Negara
hukum, seharusnya hukumlah yang berkuasa. Hukum dibuat untuk seluruh masyarakat
Indonesia yang majemuk, bukan hanya sebagian kelompok yang terlebih dahulu
mapan. Perbedaan pemahaman agama merupakan fenomena yang sudah terjadi sejak
ratusan tahun yang lalu. Bahkan ketika Nabi Muhammad masih hidup, perbedaan
pemahaman para sahabat terhadap ajaran Nabi sudah ada. Akan tetapi Nabi tidak
memepermasalahkannya, bahkan justru memakluminya.
Secara de jure Indonesia memiliki landasan
konstitusi. Namun de facto-nya
pemerintah kerap melakukan berbagai pelanggaran, sampai-sampai wakil gubernur
Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mengatakan salah seorang menteri perlu
belajar konstitusi. Blunder yang dilakukan pemerintah dalam kasus Syiah berimbas
pada masyarakat luas. Pernyataan subordinatif menteri agama tentang
“pencerahan” Syiah menimbulkan persepsi pembenaran bahwa Syiah merupakan aliran
sesat yang harus dihilangkan. Karena itu masyarakat tidak segan-segan
menghakimi warga Syiah, termasuk mengusirnya.
Sebenarnya, apa
yang menjadi tolak ukur sesatnya suatu kelompok? Kita bisa berkaca pada tradisi
tahlilan yang dilakukan oleh sebagian kelompok, dan diharamkan oleh kelompok
lainnya. Padahal, permasalahan tersebut sudah menyangkut permasalahan akidah.
Kelompok yang memperbolehkannya menganggap itu tradisi yang baik, sedang yang
mengharamkan mengatakan sesat.
Akan tetapi,
hubungan kedua kelompok yang berbeda tidak sampai mengakibatkan kekerasan
seperti yang dialami Syiah dan Ahmadiyah. Karena pada dasarnya pertarungan
ideologi ialah pertarungan pikiran, bukan fisik. Apabila perbedaan pemahaman
agama dianggap suatu hal yang melegalkan kekerasan, maka hukum Negara
benar-benar telah kehilangan fungsinya.
Sangat
disayangkan ketika sesama warga Negara saling bermusuhan karena berbeda
pemahaman. Keyakinan bukanlah hal yang mudah untuk diintervensi. Walaupun warga
Syiah sepakat untuk dicerahkan, apakah ada jaminan mereka memang meninggalkan
teradisi lamanya? Sepertinya tidak, karena keyakinan tersebut sudah mengakar
selama ratusan tahun.
Solusi yang
paling logis dalam mengentaskan kasus ini ialah dengan kembali kepada
konstitusi. Negara harus tegas dalam mengambil sikap. Kasus Syiah bukanlah
perkara sederhana. Dalam kasus tersebut terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan
berbagai kalangan mulai pemerintah, tokoh agama, hingga warga. Selain itu
diupayakan pula menghapus UU yang bertentangan dengan konstitusi, seperti UU
penodaan agama.
Sejak dulu, bumi
nusantara memiliki sejarah perbedaan keyakinan. Pada masa Majapahit, Mpu
Tantular menulis kitab Sutasoma yang memuat kalimat sakti “Bhinneka Tunggal
Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Inilah prinsip kehidupan berbangsa yang
perlu kita teladani, warisan dari leluhur negeri ini. Perbedaan keyakinan bukan
alasan untuk tidak berdampingan.
Aspek toleransi
merupakan kunci utama menyikapi perbedaan. Ketika ada orang yang berbeda, maka
hormati apa yang menjadi keyakinannya. Apabila dianggap salah, maka sikapilah
dengan cara yang bijak. Di dalam kitab suci Alqur’an (An-Nahl: 125) disebutkan
tiga metode berdakwah, yaitu: hikmah (kebijaksanaan), perkataan yang baik dan
dialog yang baik pula.
Semangat
ke-bhinneka-an bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan tidak
mengganggu aktivitas ibadah orang lain. Di Kudus bahkan semangat ini sudah
ditunjukkan selama ratusan tahun lamanya. Warga setempat menaati titah Sunan
Kudus yang melarang warga menyembelih sapi, demi menghormati kepercayaan umat
Hindu yang menyucikannya. Tradisi tersebut bertahan hingga kini.
0 comments:
Post a Comment