Sumber gambar |
Media-media
(dalam tanda kutip) Islam melakukan banyak inovasi dalam menanamkan pengaruhnya
di Indonesia. Setidaknya hal tersebut yang saya tangkap dari diskusi bersama
Arie Setyaningrum Pamungkas di Pendopo LKiS malam ini (26/02). Banyak hal yang
ia sampaikan dalam pemaparan berdurasi 90 menit itu. Yang membuat saya terhenyak,
sebagai (calon) orang media, saya merasa kalah telak dengan dosen Sosiologi UGM
tersebut.
Saya
mulai dengan berkomentar mengenai sosok Mbak Tia. Dia mengaku sebagai mantan
aktivis T (inisial), sebuah organisasi tangan kanan salah satu sekte Islam
puritan. Bisa dikatakan, sebagai peneliti wawasannya sangat mumpuni. Dia memang
mengakui kesulitan-kesulitan dalam menghadapi istilah-istilah ‘islami’, namun
semua itu tidak mengurangi kualitas pemparan Mbak Tia karena ia pernah menjadi
bagian dari T. Diskusi ini sebenarnya bertemakan “Islamic Media in Post
Authoritarian Rules Indonesia; Revivalism, Da’wa Practices, Islamic Activism,
and Popular Culture”.
Sejarah
media ‘Islam’ pertama muncul di Padang bernama Al-Munir (1906). Al-Munir
merupakan sebuah jurnal yang membahas pemikiran Rasyid Ridha dan pemikir yang
sealiran. Lalu ada Medan Moeslimin dan Islam Bergerak (1915) yang dipelopori
oleh H. Misbach. Pada 1930, PERSIS yang diprakarsai Ahmad Hasan dan Moch.
Natsir menerbitkan Madjalah Pembela Islam. Majalah ini disebut punya kaitan
dengan Jurnal Al-Iman yang terbit di Singapura (1906). Di tahun 1930 ini muncul pula beberapa media
lainnya, salah satunya Swara Muhammadiyah.
Pada
tahun 1950, Masyumi menerbitkan media bernama Al-Islam. Mendengar namanya, saya
teringat bulletin yang terbit setiap Jum’at dan disebar di masjid-masjid. Namun
kini penerbitnya bukan lagi Masyumi, namun Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam
diskusi malam ini saya baru tahu bahwa UIN dulu (PTAIN) menerbitkan jurnal
bernama Al-Djami’ah.
Secara
garis besar, pemateri mengemukakan analisisnya bahwa media-media ‘Islam’
mengadopsi pikiran para cendikiawan Islam seperti Sayyid Qutb. Yang menjadi
rujukan adalah dua kitabnya yaitu kitab Ma’alim fi at-Thariq dan Fizilal Qur’an.
Pada awalnya media-media tersebut sangat konservatif. Tidak ada gambar
perempuan dan hal-hal yang dianggap tabu. Namun seiring zaman, keterbukaan
media Islam tersebut terhadap isu-isu moderasi (wasathiyah) membuat mereka
melakukan banyak perubahan. Gambar perempuan mulai ada dan konten-kontennya
dibuat mengikuti arus budaya setempat. Isu-isu yang kontroversi begitu
dihindari.
Diskusi
ini pada akhirnya mengerucut pada media yang menjadi pusat penelitian Mbak Tia,
yaitu majalah UMMI. Majalah ini merupakan salah satu majalah islami yang terbit
sejak Mbak Tia masih kuliah S1, kira-kira 20 tahunan yang lalu. Mbak Tia
gelisah dengan majalah yang dulu dibacanya ini. Setidaknya ada beberapa
kegelisan yang sempat saya catat.
Walau
bernama UMMI (Indonesia: Ibu), pada mulanya majalah ini sama sekali tidak
memuat gambar, pembahasan serta isu tentang perempuan. Bahasa jurnalisme yang
digunakan cenderung vulgar. Sebagai contoh, dalam mewartakan berita pembantaian
Bosnia, ada redaksi yang menggunakan bahasa “dipotong kemaluan dan disayat
payudaranya”. Kini, majalah tersebut melakukan banyak perubahan. Mbak Tia
mengatakan, dulu majalah ini merupakan kepanjangan dari kelompok tertentu. Namun
kini mereka mulai menyembunyikan identitasnya agar terkesan terlepas dari
kelompok itu. Mbak Tia berujar, itu bagian dari strategi kultural mereka.
Dulu sekali,
majalah UMMI membahas isu-isu besar seperti poligami. Bahkan ada salah satu judul
besarnya “Yuk, poligami!”. Kini apabila isu seperti ini diangkat, jumlah pembaca bisa menurun drastis. Karena menurut survei, sebagian besar
perempuan tidak mau dipoligami. Untuk itu mereka juga mulai menyesuaikan pasar.
Pada
tahun 90-an, banyak media-media ‘Islam’ bermunculan. Terlebih saat keran
reformasi dibuka. Pada saat itu, media-media yang bertahan ialah media yang
sensasional. Muncul nama Sabili dengan bongkar Yahudinya. Hidayah dengan kisah
azabnya. Lalu banyak media-media lain yang sealiran. Hebatnya, media-media ini
laku keras di masyarakat.
Sayang
sekali waktu diskusi tidak terlalu panjang. Mulai jam 19.30, diskusi diakhiri
pada pukul 22.00. masih banyak pertanyaan yang berkutat di benak saya, utamanya
mengenai fenomena media online yang luar biasa. Sayangnya waktu tidak mengizinkan.
Catatan kecil ini saya buat sebagai pengingat saja. Banyak hal yang sengaja tidak
saya tuliskan karena penjabarannya bisa bercabang-cabang. Wallahua'lam.
Baca juga
Tks mas Sarjoko utk catatannya
ReplyDeleteManteb banget. sip cupuwatu resto tempat kuliner khas jogja
ReplyDelete