Tahun
2014 disebut-sebut sebagai tahun pertikaian politik. Pada tahun ini, dipastikan
persaingan antar partai kian memanas. Hal
ini sekaligus menjadi ujian bagi masyarakat untuk tidak terjebak dalam politik
pragmatis. Masyarakat diharapkan memilih berdasar kapasitas seorang calon pemimpin.
Mahasiswa
sebagai kaum intelektual harus memberi contoh kepada masyarakat dalam rangka memerangi
politik pragmatis. Bagaimana caranya? Tentu bukan dengan menjadi golongan putih
(golput). Mahasiswa diharapkan menjadi agen sosial yang menuntun bangsa ini
menjadi pemilih yang ideal. Salah satu caranya dengan mengkampanyekan anti
politik uang (money politic).
Politik
uang ialah awal dari segala bencana bangsa. Seorang calon yang melakukan
politik uang, ketika ia terpilih dan menjabat sebagai wakil rakyat, dipastikan ia
akan mencari ganti uang yang telah dihabiskannya saat kampanye. Ini yang memicu
terjadinya kasus korupsi. Untuk itulah, perlu diadakan pendampingan masyarakat
dalam meminimalisir terjadinya politik uang. Bila perlu, adakan sayembara untuk
melaporkan pelakunya.
Politik
merupakan cara merebut kekuasaan. Dalam bahasa Arab, politik disebut siyasah yang artinya strategi. Dalam
pertarungan politik, segala cara dihalalkan selama tidak melanggar konstitusi.
Salah satu bentuk pelanggaran politik, selain politik uang, ialah kampanye hitam
(black campaign). Banyak modus yang digunakan dalam melakukan kampanye hitam, di
antaranya dengan menjatuhkan lawan politiknya dengan isu-isu SARA.
Banyak
masyarakat yang memilih berdasarkan saran tokoh yang berpengaruh di
lingkungannya. Hal ini sah-sah saja dilakukan. Namun, masyarakat yang seperti itu
rawan dijadikan alat untuk kepentingan sesaat. Sikap pragmatisme sangat berpotensi menjadi
lahan subur kampanye hitam. Di Jakarta misalnya, modus kampanye hitam berbingkai
agama pernah dilakukan terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Seorang tokoh menghimbau
agar warga tidak memilih pasangan tersebut karena berkeyakinan berbeda.
Masalah
terbesar bangsa ini ialah masih berkutatnya masyarakat terhadap paham
sekterian. Bagi masyarakat pragmatis, memilih bukanlah dari visi dan misi serta
semangat yang ditunjukan calon pemimpin, tapi dilihat dari kesamaan dan penampilan
luar. Masyarakat pragmatis juga memilih berdasarkan timbal balik yang
diterimanya dari masing-masing calon. Siapa yang berani bayar lebih, maka
medapat suara. Pemahaman politik semacam ini harus diluruskan sampai akar-akarnya.
Dalam
sejarah Politik Islam, kemajuan dinasti Abasiyah merupakan buah dari sikap
terbuka dengan budaya dan agama lain. Sikap sekterian Arabsentris yang menjadi
praktik dinasti sebelumnya ditinggalkan. Bahkan khalifah, pemimpin tertinggi,
memasukkan orang-orang yang berbeda agama ke dalam struktur pemerintahan. Sejarah
inilah yang harus dipahami agar tidak terjebak pada pragmatisme.
Sebagai
pemilih pemula, mahasiswa diharapkan tidak apatis terhadap politik. Ketika
merasa panggung politik di Indonesia sudah tidak sehat, maka tugas dan
kewajiban bersama bagaimana memperbaiki itu semua. Karena pada dasarnya, semua
permasalahan bangsa berasal dari permasalahan politik.
Pesta
demokrasi ada di depan mata. Saat-saat seperti ini, aksi sikut-sikutan
antarpartai akan menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Idealnya, mahasiswa
sebagai agen kontrol sosial turut berpartisipasi, bahkan mengawal prosesnya sejak
masa kampanye hingga hari pemilihan kelak. Jangan sampai dengan apatisnya
mahasiswa akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang tidak berkompeten.
0 comments:
Post a Comment