Menulis adalah salah satu cara. Cara untuk mengekspresikan diri. Cara
untuk membuat dokumen sejarah pribadi. Cara untuk menegaskan bahwa kita
berbeda dengan tumbuhan dan bebatuan. Namun menulis merupakan kegiatan
ekstra yang banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran. Itu merupakan
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Seorang guru pernah berkata, tulislah apa-apa yang kamu alami dengan
bahasa yang paling sederhana sekalipun. Katanya, catatan itu akan sangat
berguna ketika kita ingin membaca sejarah pribadi. Efeknya akan terasa
beberapa tahun kemudian.
Ingatanku melayang pada periode 2011 silam, ketika menghadiri sebuah
seminar kepenulisan yang diisi oleh Triyanto Triwikromo dan Ulil Abshar
Abdalla. Triyanto menyebut bahwa menulis perintah merupakan ‘fardlu kifayah’ untuk ‘fardlu ‘ain’ yang harus dilakukan semua umat manusia, yaitu iqra’!.
Fardlu kifayah merupakan kewajiban (fardlu) yang harus dilakukan oleh
minimal satu orang dalam sebuah komunitas sosial. Sementara fardlu ‘ain adalah kewajiban yang mutlak harus dilakukan oleh umat manusia.
Iqra’, atau dalam bahasa sederhana disebut membaca, bukan berarti membaca teks buku saja. Iqra’
adalah aktivitas membaca, menelaah, mengamati setiap hal. Seseorang
yang tak mengenal huruf sekalipun harus membaca gejala-gejala yang ada
di sekitarnya. Inilah yang mendorong seseorang bisa menjadi lebih peka
dan peduli. Tentu saja kembali kepada ‘khittah’ kemanusiaan sebagai
makhluk sosial.
Kembali ke fardlu kifayah, ada ungkapan menarik dari Triyanto.
Bagaimana seseorang membaca kalau tidak ada tulisan? Bagaimana tulisan
bisa ada jika tidak ada penulis? Maka menjadi penulis adalah sebuah
kewajiban, sebuah fardlu kifayah.
Banyak quote menarik tentang menulis atau menjadi penulis. Pramoedya AT
misalnya, ia mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ya, bekerja untuk
keabadian. Bekerja untuk menulis sejarah, prasasti, atau kenangan.
Kembali ke acara seminar dulu. Ulil Abshar Abdalla mengkritik kurangnya
minat baca masyarakat Indonesia. Walau di Indonesia siswa-siswi sejak SD
sudah disuruh membawa buku tebal, tapi nyatanya buku itu hanya
dipanggul saja. Aku mengakui apa yang disangkakan Ulil sama persis
dengan apa yang kurasa saat SD dulu. Ada beberapa kritik yang aku
sampaikan. Pertama, tampilan buku pelajaran kurang menarik untuk usiaku.
Kedua, penatnya belajar di kelas. Maklum, aku termasuk orang yang suka
model belajar outdoor.
Kembali ke iqra. Mengapa ayat pertama di alqur’an redaksinya iqra (bacalah), bukan uktub
(tulislah)? Karena menulis tanpa bacaan, tanpa membaca, tanpa referensi
akan menjadikan tulisan tersebut kurang gizi. Dan menulis memang tidak
semata-mata menuangkan cat di atas kanvas sekenanya. Menulis adalah
proses merasakan, menikmati, dan coba menggambarkan tanda-tanda. Bukan
sembarang tanda-tanda. Tetapi tanda-tanda yang dibutuhkan oleh
kehidupan. Tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda yang memiliki
kekuatan.
Griya GUSDURian
10 Februari 2015
Friday, April 17, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment