Perbincangan
sore ini di griya GUSDURian lebih spesifik kepada pernikahan. Sempat tercengang
juga karena timingnya pas. Setelah kuliah 3 sks, balik-balik dapat ceramah
tentang pernikahan heuheu. Mas Pondra, salah seorang GUSDURian tengah
menceritakan banyak hal. Ceritanya ia sampaikan berdasar pengalaman pribadi
ataupun dari kisah-kisah yang pernah didengarnya. Saat itu saya tengah memasuki
item budaya pernikahan di daerah-daerah. Budaya memang selalu menarik.
Saya sempat
melontarkan kisah pernikahan yang terjadi di daerah saya, Riau. Budaya perniakahan
suku asli di sana memang berbeda dengan budaya di Jawa kebanyakan. Di Riau—suku
melayu—untuk menikahi seorang perempuan harus menyediakan mahar. Memang, sih,
mahar merupakan bagian dari kewajiban calon suami terhadap calon istri yang
akan dinikahi. Kalau tidak ada mahar ya tidak sah pernikahannya. Nah, mahar di
sana biasanya berupa sejumlah uang yang “dibebankan” kepada mempelai pria. Besaran
nilainya tergantung permintaan pihak perempuan. Biasanya semakin bagus bobot,
bibit, dan bebetnya membuat mahar yang harus diberikan “menyesuaikan”. Bagi saya
hal tersebut wajar, walau banyak teman-teman atau ustadz saya yang mengecam. Dalihnya
sih nabi pernah bersabda jika semulia-mulianya perempuan adalah yang meminta
mahar yang tidak menyusahkan.
Eits.
Jangan lihat sudut pandang yang itu. Bukankah Nabi juga pernah bersabda, jika
semulia-mulianya lelaki adalah yang memberi mahar terbaik? Nah, belum lagi
dalam teks agama yang pernah saya pelajari, disebutkan anjuran keserasian. Keserasian
yang dimaksud antara lain serasi dalam agama, rupawan, harta, dan keturunan. Jika
merujuknya pada anjuran-anjuran semacam ini, sah-sah saja dong seorang
perempuan cantik jelita, trahnya oke, duitnya banyak mencari pasangan yang
sesuai dengannya. Artinya hanya orang yang sesuai yang sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
sebagai seorang individu. Masak mau cari pasangan yang beda jauh? Crash dong...
Tetapi
banyak orang menganggap keserasian tersebut sudah tidak jaman di era sekarang. Semua
setara. Orang yang biasa makan tempe sah-sah saja mendapatkan pasangan yang
biasa makan pizza hut. Atau anak dukun boleh menikahi anak gubernur. Semua itu
bisa didobrak oleh satu kata bernama C-I-N-T-A.
Saya tidak
perlu mengeluarkan argumen-argumen. Di sini saya hanya ingin menulis kembali
apa yang disampaikan mas Pondra. Ia mengaku pernah kesulitan untuk menikahi
istrinya. Kesulitan yang banyak orang tidak sadari, padahal itu merupakan
sebuah pondasi. Apa itu? Nilai! Ya, nilai. Nilai yang dianutnya berbeda dengan
calon istrinya (sekarang sudah menjadi istrinya). Saat nekat membangun bahtera
rumah tangga, memang nilai itu yang kerap menimbulkan perselisihan.
Saya tidak
sedang membahas soal perbedaan agama dan lain sebagainya. Di sini yang akan
saya kemukakan adalah tentang nilai atau prinsip. Mas Pondra mengaku sebagai
orang yang menanamkan nilai keharmonisan, sedang istrinya memiliki nilai
kejujuran. Sekilas kedua nilai ini serasi, sama baiknya. Ya, semua sama
baiknya. Tetapi coba simak contoh di bawah ini:
Udin
baru saja menikah. Tanpa disengaja, ia bertemu Intan, sang mantan waktu masih
SMA. Pertemuan mereka terjadi di kantor. Kebetulan mereka bekerja di satu
kantor. Suatu siang, hujan turun sangat deras. Udin rencana mau makan di warteg
depan kantor. Saat hendak melangkah, ia melihat Intan melakukan hal serupa. Udin
bawa payung, sedang Intan tidak. Akhirnya sebagai wujud rasa kemanusiaan, Udin
mengajak Intan untuk memakai payung bersama.
Suatu
ketika sang istri bertanya, “Apa benar kamu satu kantor dengan mantan kamu?”
Dalam tahapan ini, Udin bisa menjawab “ya” dengan berbagai kalimat penjelasan
di belakangnya. Lalu bagaimana jika datang pertanyaan kedua, “kamu ngapain aja,
hayo?”
Bagaimana
Udin harus menjawab? Kalau ia sebagai orang harmonis, sudah tentu ia akan
mengatakan tidak ada apa-apa. Itu hanyalah sebagai masa lalu bla bla bla. Beda jika
dia jujur. Mungkin kata-katanya bisa: “Iya. Bahkan kemarin kami jalan bersama
ke warteg. Maaf ya, aku tidak bermaksud apa-apa bla bla bla”. Keduanya memiliki
plus minus yang Anda sendiri pasti bisa menjabarkan.
Bagi
Anda yang hendak menikah, sebaiknya pahami nilai dan karakter calon pasangannya
yah...
Oh,
ya. Sekalian saya mau ngeshare pendapat seorang teman. Banyak orang yang
berpendapat kecantikan itu relatif. Tetapi ketika ditanya mengenai kriteria
pasangan, banyak pula yang menafikan unsur kecantikan. Teman saya berkata itu
bullshit. Kecantikan atau ketampanan merupakan prioritas di samping faktor
lainnya. Kan relatif! “Lu harus bayangin bakal tiap hari liat muka tuh
pasangan. Kalo carinya asal-asalan, terus lu eneg, lu mau ngapain kalo gak
nyerong?” Begitu kira-kira.
Hal yang
menarik di sore ini adalah dua kata yang menancap di hati saya. Saat mendengar
video di Youtube, seorang da’i perempuan asal Kota Gudeg ini pernah merasakan kemelaratan
akibat perpisahan dengan suaminya. Ia berpisah dengan tanpa diberi harta
apapun. Perpisahan terjadi karena prinsip. Ia hanya membawa 260
ribu, sementara ia membawa tiga anak. Sang da’i bertanya pada anak-anaknya,
lebih baik diapakan uang itu. Ada seorang anaknya mengatakan: “dikasihkan orang
aja, bu. Kalau kita suka ngasih orang kan orang lain juga bakal ngasih ke kita”.
Sebuah jawaban yang sangat polos. Sang da’i akhirnya bertandang ke panti asuhan
dan memberi 250 ribu. Ia sisakan 10 ribu untuk sarapan. Tanpa dinyana, setelah
sarapan, ada yang memintanya bantuan dengan pemberian jasa sekitar 10 juta. Subhanallah...
Di kelas,
Bu Evi dosen penulisan fiksi baru saja memberi puisi karya Mustofa Bisri
berjudul berkah. Nah, sore ini, mas Pondra mengatakan bahwa Bang Erman, istri
mbak Alissa, pernah memberinya nasihat agar sering memberi daripada meminta. Dengan
memberi, maka segalanya justru menjadi lebih mudah. Dalam bahasa Gus Mus,
berkah.
Sebagai
penutup catatan hari ini, saya tuliskan kembali puisi Gus Mus berjudul “Berkah”.
Semoga hidup Anda menjadi berkah. Amin...
Berkah
Kalau
Anda dipuji padahal
Anda
tak sepantasnya dipuji
Mengapa
Anda merasa senang?
Dan kalau
Anda dicela padahal
Anda
tak sepantasnya dicela
Mengapa
Anda harus marah?
Dalam
hidup ini gunakanlah dua cermin:
Satu untuk
melihat
Kekuranganmu,
Dan satu
lagi untuk melihat
Kelebihan
orang lain
Jangan
banyak-banyak mencari banyak, tetapi banyak-banyaklah
Mencari
berkah
Banyak
mudah didapat dengan hanya meminta
Tetapi
berkah hanya bisa didapat dengan memberi
Ditulis di Griya GUSDURian
Yogyakarta, 17 April 2015
16:58
Agak beda dengan melayu pontianak yg klau nikah kbykn pakai adat "nasional"
ReplyDelete