Sebagai
gaya hidup, gadget kebanyakan digunakan untuk berinteraksi lewat media sosial
(medsos), selain juga digunakan untuk bermain game. Di Indonesia, jumlah medsos
jumlahnya mencapai puluhan. Penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta
tentu menjadi sasaran strategis untuk mempopulerkan berbagai jenis medsos
berikut keunggulan fitur-fiturnya. Situs techinasia melansir jumlah
pengguna medsos di Indonesia pada 2015 ini berjumlah 72 juta orang. Dari jumlah
tersebut, 62 juta pengguna mengakses medsos lewat perangkat mobile. Hal
ini yang membuat gadget dan medsos diibaratkan sebagai saudara kembar yang
saling berhubungan.
Kemudahan
serta murahnya biaya berkomunikasi lewat medsos membuat kawula muda mulai
meninggalkan cara lama dengan berkirim short massanger service (SMS). Lewat
medsos, seseorang bisa saling berkirim gambar dan file-file yang tidak
disediakan lewat layanan SMS. Salah satu yang menarik bagi kawula muda
khususnya mahasiswa adalah adanya fitur broadcast massanger (BM). Dengan
BM, seseorang bisa mengirim informasi berantai ke banyak orang dengan sekali
klik saja.
Bagi
mahasiswa, era gadget dan medsos seperti saat ini merupakan sebuah tantangan
yang nyata. Di satu sisi mahasiswa lebih mudah mendapat informasi dan melakukan
interaksi tidak langsung secara lebih efektif, di sisi lain kekritisan seorang
mahasiswa diuji. Banyaknya pesan-pesan broadcast yang masuk membuat
seorang mahasiswa harus lebih cerdas dalam menyikapinya.
Akhir-akhir
ini beredar sebuah BM yang mengajak seluruh elemen mahasiswa bersatu untuk melakukan
demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Mei 2015. Dalam pesan tersebut
tertulis sebuah tuntutan agar presiden dan wakil presiden Indonesia turun dari
jabatan politiknya sebagi kepala dan wakil kepala negara RI. Di pesan tersebut
tertera nama Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) sebagai pihak
penyelenggara. Berbagai reaksi muncul untuk menyikapi pesan tersebut. Ada yang
bersemangat karena menganggap gerakan mahasiswa ‘bangun dari tidurnya’, ada
yang menelusuri kebenaran isi pesan tersebut, dan ada yang acuh karena
menganggap pesan tersebut merupakan spam.
Sebagai
agen kontrol sosial, mahasiswa tentu harus bijak dalam menyikapi sebuah
informasi yang diterima lewat medsos. Jangan sampai sebuah gerakan justru
menjadi gerakan parsial dan hanya merupakan tunggangan kepentingan pihak-pihak
tertentu. Terlebih jika pesan tersebut tidak didasarkan pada sebuah keputusan
bersama yang mengikat, misalnya lewat agenda musyawarah besar.
Kemunculan
BM tersebut memang tengah ramai diperbincangkan di kalangan mahasiswa. Saat
penulis menelusuri informasi tersebut di website resmi BEM-SI, penulis tidak
menemukan artikel yang berisi tuntutan serupa. Bahkan di akun twitter resminya,
BEM-SI melalui retweet akun twitter koordinatornya membantah BM
tersebut. Hal ini yang perlu dicermati agar mahasiswa tidak terjebak pada
informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Di
era digital semacam ini, semua orang bisa dengan mudah membuat sebuah pesan
berantai dan mengatasnamakan sebuah institusi tertentu. Kekritisan dan kejelian
mahasiswa dalam menelusuri kebenaran informasi sangat diperlukan agar tidak
menimbulkan keresahan-keresahan yang merugikan banyak pihak.
*Tulisan ini pernah dimuat Swara Kampus Kedaulatan Rakyat, Selasa 14 April 2015
0 comments:
Post a Comment