sumber gambar: suarakita.org |
Sujud
merupakan simbol kepasrahan sebenar-benarnya pasrah. Seorang ustadz pernah
menerangkan bagaimana posisi sujud dalam shalat memiliki makna filosofi yang
luar biasa.Namun hal tersebut jarang disadari, atau tidak pernah berusaha
dicari maknanya. Posisi sujud yang benar—kata ustadz—adalah posisi pantat
berada di atas semua anggota tubuh yang lain. Sementara kepala berada di posisi
paling bawah.
Pantat
selama ini identik dengan sesuatu yang rendah. Yang berhubungan dengan pantat—selain
suntik bu bidan—adalah kentut dan veses. Kentut dan veses merupakan kotoran
fisik paling hina yang keluar dari manusia. Di salah satu gerakan shalat,
pantat mendapat porsi untuk menjadi paling tinggi di antara anggota tubuh
lainnya. Sementara kepala adalah kebalikan dari pantat. Di kepala terdapat dua
lobang mata, dua lobang hidung, satu lobang mulut, dan dua lobang telinga. Total
ada tujuh macam lobang yang seluruhnya merupakan ‘kunci’ dari kehidupan. Di dalam
kepala terdapat akal yang menurut banyak orang adalah hal yang membedakan
antara manusia dengan hewan. Di dalam shalat, hal paling berharga bagi manusia
tersebut harus berada pada posisi paling di bawah.
Dari pantat
dan kepala, saya memaknai bahwa kehidupan ini bukanlah suatu hal yang statis. Hidup
ini dinamis. Ada kalanya, sesuatu yang buruk berada pada posisi puncak. Sementara
kebaikan kadang kala harus tersungkur. Makna lainnya adalah bahwa seorang
manusia dilarang untuk menyombongkan diri, juga dilarang untuk berputus asa.
Tuhan bisa saja memberikan si X suatu kenikmatan. Namun Tuhan juga memberinya
sesuatu yang dalam hitungan manusia merupakan suatu kehinaan. Sebaliknya Tuhan
bisa saja memberi cobaan berupa kehinaan. Namun Tuhan mungkin memberinya posisi
puncak. Pada akhirnya manusia harus mengakui kebesaran-Nya. Tidak ada yang
lebih berkuasa selain-Nya.
Berbicara
mengenai sujud, saya baru saja mendapatkan pengalaman menarik. Kemarin (19/04/2015)
saya dan kawan-kawan GUSDURian baru saja melakukan kunjungan ke Sapta Darma (aksen
Jawa: Sapto Darmo). Sapta Darma merupakan salah satu kepercayaan lokal
(pengkhayat) yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Diperkirakan warga
Sapta Darma berjumlah 10 juta jiwa.
Saya tidak
akan membahas panjang lebar mengenai apa itu Sapta Darma, di mana kemunculannya
dan bagian-bagian sejarah lain. Yang ingin saya tuliskan di sini adalah perihal
ritual ibadah Sapta Darma yang gerakannya seperti ritual agama semit khususnya
Islam. Sujud. Ya, sujud. Di Sapta Darma, ritula ibadah ya sujud itu. Sujud dilakukan
sekali dalam sehari. Namun sujud yang dilkukan bukan sembarang sujud. Warga Sapta
Darma harus melakukan sujud tersebut dengan penghayatan sejati. Dalam bahasa
Arab disebut khusyu’.
Walau
terkesan mudah karena hanya dilakukan sekali, ibadah Sapta Darma itu ternyata tidak
mudah dilakukan. Sapta Darma memang tidak memberi batasan waktu berapa lama
durasi sujud. Namun warga melakukannya dengan penuh perasaan. Karena itu
satu-satunya waktu untuk menghadap Allah Hyang maha Rakhim (Allah merupakan
sebutan Tuhan di Sapta Darma), warga menjalankannya dengan penghayatan penuh. Saya
menyaksikan sendiri bagaimana dua warga Sapta Darma melakukan ritual tersebut.
Dua warga
melakukan sujud dengan kaki bersimpuh. Mereka mengenakan sarung dan beralaskan
kain putih yang digelar menyerupai gambar wajik. Bagi warga perempuan posisi
kaki memang bersimpuh. Berbeda dengan pria di mana posisi kakinya bersila. Tangan
mereka bersedekap, tangan kanan memegang lengan kiri, begitu juga sebaliknya. Beberapa
kali warga itu sujud, duduk, lalu sujud lagi. Karena penasaran, saya bertanya
kepada salah seorang rekan di sana. Sebut saja Mawar.
“Gerakannya
memang kayak gitu?” Ia mengiyakan. “Lha, berapa kali harus sujud, duduk, lalu
sujud lagi, kemudian duduk lagi?”
“Kalau
itu otomatis sendiri, mas. Ketika seseorang melakukan sujud sesuai dengan
ajaran yang kami anut, maka rasanya seperti ada yang menggerakkan,” jelasnya. Mawar
mengaku awalnya ia penganut agama Islam.
Namun karena suatu sebab, dara asal kota di Jawa Tengah itu kini melakukan
sujud. Dalam bahasa sederhananya, ia beralih keyakinan.
“Beda,
mas, antara sujud saat saya lakukan sewaktu shalat dengan sujud yang seperti
ini. Orang shalat terkadang kurang khusyu’, tetapi kalau ini kita bisa
merasakan sebuah ketentraman”. Deg. Jantungku seakan berhenti bergerak. Sebuah sindiran
luar biasa kutangkap lewat indra pendengarku. Saya mendadak ingat bagaimana
shalatku, sujudku, saat ini tidak dilakukan dengan penghayatan penuh, bahkan
terkesan untuk menggugurkan kewajiban semata. Lalu di mana posisi Tuhan pada
saat saya ibadah? Astaghfirullah. Bukankah shalat merupakan ritual seorang saya
sowan kepada-Nya? Saya juga teringat bagaimana ketika bulan puasa datang, saya
cenderung mencari mushala atau masjid yang shalat tarawihnya ‘PATAS’, alias
cepat. Padahal shalat tarawih, walau hukumnya sunah, merupakan ritual
menghadap-Nya. Kenapa saya justru terburu-buru? Jika memang dilakukan dengan
penuh rasa cinta, mengapa ingin segera undur diri?
Rasa.
Rasa tentram membuat Mawar memiliki kepercayaan yang baru. Bahwa dengan
melakukan sujud itu, ia lebih bisa menjadi pribadi yang—menurutnya—lebih baik. Ia yakin, di setiap aliran darahnya, di
setiap pujian agung yang dipanjatkannya untuk Allah yang maha Rakhim, Tuhan
selalu hadir memberinya kekuatan. “Saya dulu sakit berat, mas. Setiap beberapa
menit, saya amnesia. Lalu saya dibawa ke sini dan diajari sujud. Saya lakukan
itu. Luar biasa, kini saya sudah sembuh,” akunya. Ia buru-buru menjelaskan
bahwa ketika orang melakukan sujud seperti apa yang dilakukan oleh warga Sapta
Darma, bukan berarti lantas membuat seseorang mengikuti keyakinan Sapta Darma. Sujud
itu bisa dilakukan siapa saja dan tidak mengikat. Anggap saja seperti terapi.
Saya jadi
sadar bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk ketentraman. Walau sujud saya
belum bisa khusyu’, tetapi ada rasa tentram ketika saya sudah shalat. Jika belum
shalat, ada kegelisahan luar biasa yang saya rasakan. Mungkin hal ini dirasakan
oleh orang muslim lainnya.
Orang
Islam merasa tentram ketika ia sudah melakukan kewajiban-kewajiban yang
diberikan Tuhan secara ikhlas, pasrah, tawakkal. Orang Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha dan sebagainya juga tak jauh berbeda. Tentu saja dengan caranya
masing-masing. Ritual yang digunakan untuk mengekspresikan kecintaan, kepatuhannya
pada pencipta pun beragam yang pada intinya sama, berbakti pada-Nya. Dan sujud merupakan satu di antara sekian cara untuk
mengekspresikan rasa itu. Wallahua’lam.
Griya GUSDURian Timoho
Yogyakarta, 20 April 2015
16:24 WIB
0 comments:
Post a Comment