Friday, May 9, 2014

Galauku pada Agama dan Jurnalistik (1)

sumber: sorotgunungkidul.com
Oleh Sarjoko 

Perkenalkan, nama saya Bambang. Saya seorang wartawan media gurem di sebuah daerah terpencil. Orang biasa menyebutnya Yogyakarta. Namun kampungku sangat jauh dari pusat kerajaan Mataram Islam itu. Kampungku lebih dikenal sebagai ladang emas para perampas hak rakyat. Pantai-pantai indah menghampar di sepanjang kampungku. Bukit-bukit menjulang, mengandung berbagai kekayaan alam yang bisa dieksploitasi sepenuhnya oleh mereka. Aku menyebutnya para bandit!
Lupakan tentang bandit perampas itu. Aku ingin kau punya jawaban yang memuaskan untukku. Saat ini aku benar-benar bingung, atau bahkan linglung. Ada sebuah kasus besar yang tengah kuhadapi. Aku sudah mencoba membuka obrolan dengan beberapa rekan. Namun pilihannya selalu sulit.
Beberapa waktu yang lalu aku tengah berhenti di sebuah lampu merah. Beberapa saat kemudian, datang segerombolan massa mengerubungi mobil sedan yang tengah berhenti menunggu nyala lampu hijau. Tanpa sebab yang jelas, ba bi bu... Mobil tersebut dirusak oleh kawanan orang tak kukenal itu. Saat si pengemudi keluar, aku tersentak. Itu Udin! Teman baikku di berbagai forum diskusi ilmiah!
Peristiwa tersebut segera kurekam dan kutulis menjadi sebuah berita. Seorang Pengemudi dikeroyok kawanan tidak dikenal. Begitu isi beritaku. Berita tersebut segera menyebar luas. Udin meminta perlindungan ke kantor polisi. Di sana ia memang lebih aman.
Aku mencari alasan mengapa orang sebaik Udin dikeroyok. Usut punya usut, pengeroyok melakukan tindakan tersebut karena tidak suka dengan kegiatan Udin sebagai ketua forum lintas Iman di daerahku. Menurutnya, itu melanggar agama. Aku langsung bertanya, agama mana yang dilanggar? Maaf, aku sangat awam dengan ilmu agama. Maka aku bertanya demikian. Bukankah kelompok pengeroyok yang melanggar agama? Mereka menyegel gereja, tempat ibadah orang lain. Mereka juga beberapa kali melakukan perusakan. Aku pernah mendengar dari seorang guru ngaji bahwa Nabi Muhammad sebagai panutan tidak pernah merusak tempat ibadah orang lain. Bahkan dosenku pernah bercerita bahwa Muhammad mengumpulkan orang Yahudi dan Nasrani untuk diajak bermusyawarah dalam merumuskan UU pertama di dunia bernama Piagam Madinah.
Aku bingung!
Sekarang hatiku terketuk untuk membela temanku. Namun aku terkendala aturan bahwa seorang jurnalis harus indepen. Aku tidak boleh memihak siapa-siapa. Baik pelaku atau korban hanya menjadi objek penggalian fakta. Tidak lebih! Aku hanya boleh membuat berita. Netral. Aih... Hati ini perih sekali. Harus seperti inikah seorang jurnalis?
Saat aku ke kantor, pemred menyarankan agar aku diam. Saat aku bercerita kepada ahli hukum, dia hanya berbelasungkawa atas segala kesaksian yang kualami. Saat aku berdiskusi dengan sesama jurnalis, mereka hanya mengatakan, "Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti bingung!"
Ah... Apakah seorang jurnalis selalu begini?

Bersambung....

Catatan ini kutulis teruntuk temanku yang tengah menghadapi sebuah kegalauan. Semoga kau lekas mendapat jawaban, kawan!

Yogyakarta, 08 Mei 2014

0 comments:

Post a Comment