Sambungan...
Malam
dharma puruhita hanyalah awal dari segala awal. Ini lembaran hidup yang baru. Ini
merupakan saat di mana kami, paramahasiswa dari penjuru Indonesia, merayakan
perbedaan. Bahwa perbedaan bukan untuk dikonfrontasikan. Namun perbedaan adalah
anugerah yang musti bisa disejajarkan dalam senyum-senyum kebahagiaan.
Tarian
demi tarian, lagu demi lagu kami bawakan bersama. Kami tidak pernah memandang
siapa kamu, apa agamamu, apa sukumu. Yang kami yakini sebagai kebenaran adalah
bahwa kami merupakan orang Indonesia. Kami adalah anak para leluhur yang memiliki
sejarahnya masing-masing. Ya, kami adalah Islam. Kami Kristen. Kami Katholik.
Kami Hindu. Kami Buddha. Kami Kong Hu Chu. Kami adalah Jawa, Bali, Sunda,
Batak, Tionghoa, Melayu, Dayak dan semua suku yang menjadi kesatuan bernama
Indonesia.
Kelak
sejarah akan mencatat kami sebagai para pejuang keberagaman. Seperti tema
talkshow tempo hari. Sejujurnya kami begitu miris melihat kekerasan. Kami menangis
mendengar jerit kesakitan akibat perpecahan. Ya, kami, atau aku pribadi adalah
orang yang paling menentang kekerasan atas nama agama. Lihat, tangan kami
bergandengan kala menyanyikan hymne beswan. Kami bersama-sama menghayati makna
indahnya perdamaian di atas bumi yang indah nan permai ini.
14.662
disaring menjadi 8.410. Jumlah tersebut menyusut menjadi 1.509. Lalu dengan
berbagai pertimbangan, terpilihlah 516 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk
mengikuti kegiatan ini. Tentu saja ini pencapaian luar biasa. Bagi aku sendiri,
hal ini menjadi sebuah keberuntungan yang besar. Bukan karena ada fee yang
didapat selama 12 bulan, namun mengenal orang dari Sabang sampai Merauke adalah
kesempatan yang sangat luar biasa. Apalagi mereka jelas merupakan orang-orang
berprestasi. Jadi sedikit banyak aku yang masih bodoh ini bisa belajar, belajar
dan belajar.
Damai
Bumi Dewata adalah tema yang disusung pada malam dharma ini. Kenapa Bali? Bali
merupakan salah satu pulau kebanggaan Indonesia. Dari sisi pariwisata, Bali
sangat dikenal di mancanegara. Bahkan tak jarang para turis lebih mengenal Bali
daripada Indonesia. Keindahan alam dan keramahan masyarakatnya serta tenangnya
kehidupan di Bali membuat siapa saja takjub dan ingin kembali mengunjungi pulau
dewata.
Namun
Bali yang indah itu pernah menjelma menjadi kota mati tatkala peristiwa bom Bali
meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan di sana. Mencekam. Puluhan atau bahkan
ratusan mayat tak berdosa bergelimpangan. Turis mancanegara menjadi takut
melihat indahnya matahari terbit di Sanur. Para turis enggan memberi makan pada
monyet-monyet lucu di monkey forest. Ya, semua itu karena keegoisan sebagian
golongan yang mengatasnamakan kebenaran. Biadab! Tidak ada satu pun agama yang
mengajarkan kekerasan. Apalagi Islam yang turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Agama yang membawa seluruh rahmat bagi alam. Bukan hanya bagi pemeluknya. Bahkan
sang Rasul agung Muhammad SAW sangat menghormati keberadaan orang-orang Nasrani
dan Yahudi. Di Madinah misalnya, saat membuat piagam Madinah, Rasul melibatkan warga,
baik beragama Islam atau pun tidak, juga seluruh suku yang mendiami kota
Yatsrib, kota yang kemudian berubah nama menjadi Madinah Al-Munawarah. Jadi kemudian
menjadi ambigu jika aksi teror tersebut dilakukan mengatasnamakan agama.
Kini
Bali dihadapkan pada berbagai permasalahan. Salah satunya reklamasi. Aku sendiri
kurang memahami apa itu reklamasi Teluk Banoa yang saat ini gencar dilawan. SID
misalnya, band asal Bali yang tak pernah jera menyuarakan penentangan reklamasi
ini menganggap reklamasi mengancam keseimbangan alam di sana. Ya, apapun itu, semoga
Bali tetap berada dalam garis kedamaian. Hei.. o wa e o... Kembalikan Baliku
padaku...
Malam
dharma puruhita berjalan dengan sangat baik dan fantastis. Nyaris tidak ada
cela seperti saat run through sore harinya. Saat itu penari kera gagal
melakukan atraksinya. Malam ini kami benar-benar all-out. Para penari
mempersembahkan yang terbaik. Begitu juga dengan paduan suara. Pementasan yang
hanya dipersiapkan selama lima hari ini benar-benar meriah. Penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Danny Malik cs. Juga Brigitta cs.
Bersatu seikat
beswan Djarum
Kita semua
bergandengan tangan
Membuka hati
membuka harapan bawa citra harum...
Rasa
sesak benar-benar memenuhi rongga dada kala kami menyanyikan lagu ini. Kami berpegang
erat satu sama lain. Berharap kekeluargaan ini abadi, tak lekang oleh waktu. Ya,
semakin mendekati puncak acara, semakin dekat kami dengan perpisahan. Kami harus
kembali ke kehidupan kami yang sebenarnya. Dan lagu pamungkas ‘selamanya
Indonesia’ benar-benar tiba. ‘Kita adalah sayap-sayap sang garuda. Di atas
samudra di langit katulistiwa.’
Kami
berpelukan satu dengan lainnya. Di tribun meong, kami berikrar untuk menjaga
kebersamaan ini. Bagaimana pun caranya. Bersama bukan harus bersanding. Bersama
adalah ketika kami tidak melupakan segala kenangan yang didapatkan. Kami tetap
mengenal satu sama lain sebagai saudara.
Setelah
acara di dalam ruangan, kami digiring untuk keluar. Di sana ada panggung kecil
yang digunakan sebagai tempat hiburan. Setelah Project Pop, penyanyi mana lagi
yang dipersiapkan Djarum untuk menghibur kami? Dan sosok Duta terlihat ketika
cahaya lampu sorot menerpa wajahnya. Satu persatu personel Sheila On 7
terlihat. Para beswan semakin histeris. kami bernyanyi bersama, berjoged ria. Kami
seperti melupakan semua sekat-sekat perbedaan. Lelaki atau perempuan
melompat-lompat. Bahkan rekan dari Aceh tak kalah heboh. Sebuah pemandangan
yang merobohkan anggapanku mengenai perempuan Aceh yang kaku dan serba
tertutup.
Perlahan-lahan
hujan turun. Gitaris dan basis So7 tampak gelisah dengan kondisi ini. Di
panggung terbuka, sudah barang tentu hujan membuat petikan gitar mereka
terganggu. Duta, sang vokalis, mengaba-aba jika pertunjukkan akan dipercepat. Sementara
sebagian beswan berhamburan ke gedung Merbabu, banyak pula yang masih bertahan
di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Dan puncak dari pertunjukkan itu
adalah pesta kembang api. Meriah dan semakin menambah kenangan bagi kami.
Seusai
acara hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Aku berkumpul bersama
teman sekamar, Naufal dan Sami. Di situ ada pula Juanda dan dua mahasiswi asal
Aceh, Tjut Aqsha dan Ocut. Keduanya
benar-benar membuatku mengubah pandangan mengenai perempuan Aceh. Ternyata mereka
supel dan enak diajak ngobrol. Namun panggilan dari LO bus membuat obrolan kami
terpotong. Kami harus kembali ke dalam bus.
Tidak
banyak kata-kata yang bisa kami utarakan. Sepanjang jalan hanya ada gurauan-gurauan
kecil yang dipaksakan. Ketika bus sudah dekat dengan hotel, barulah LO bus kami berbicara, menyampaikan rasa terima kasih dan maafnya. Dan hujan masih turun walau tinggal
rintik-rintik saja. Sepertinya ia turun karena ingin menghapus air mata kami.
Ya,
inilah malam yang membuat kami limbung dengan kesedihan. Kami hanya bisa
menggeleng dan menghela nafas dalam-dalam. Malam ini kami melepas kepergian
sahabat-sahabat dari RSO Jakarta dan Bandung. Kami melepas Naufal, Putri, genk
Ponti dan lainnya. Argi si gajah liar juga ikut berpisah. Di kamar, aku dan
Sami tak banyak bercakap-cakap.
Setelah
sarapan pagi, banjir air mata memenuhi lobi hotel Grand Aston. Satu persatu
sahabat kami melakukan check-out. Satu persatu menaiki bus yang akan
mengantarkan kami kembali ke kehidupan yang nyata, yang beberapa saat terakhir
kami tinggalkan. Dan lambaian tangan itu terasa sangat menyesakkan. Aku menyaksikan
kegetiran pada satu episode dalam hidup yang selamanya akan kuingat sebagai
sebuah pengalaman berharga ini. Terima kasih, kawan. Selamat kembali menjadi
mahasiswa sebenarnya. Mari rangkai mozaik demi mozaik kisah ini menjadi pengalaman
yang indah bagi kita semua. Yakinlah bahwa ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari
segala awal.[]
Kami
menciptakan kenangan terindah yang kelak menyesakkan dada kami sendiri
Selesai...
Ditulis oleh Sarjoko
Yogyakarta, 6-11 November 2014
Diselesaikan di suatu sore yang hujan sudah mereda.
Episode sebelumnya klik link ini
Untuk melihat video rekaman selama Nation Building, klik di sini
0 comments:
Post a Comment