Sambungan…
Argi.
Lelaki bertubuh besar dengan perut mirip bantal itu terlihat sebagai orang yang
pendiam. Paling tidak itu yang ada dalam benakku sebelum talkshow
berlangsung. Namun anggapan itu langsung memudar ketika dalam perjalanan ke
hotel ia diberi kesempatan berbicara. “Nama saya Argi, kalau malam Argita.”
Setelah itu, ia semakin berani untuk berbicara. Ah, bukan berbicara. Tapi mengoceh.
Apalagi setelah NB berakhir, ia menjadi aktivis LINE yang patut mendapat
penghargaan sebagai ‘gajah paling liar’.
Kedekatan
memang membuang sekat segala hal. Di bus GA 3 dan tribun Meong, aku merasa
menjadi satu keluarga. Pada awalnya jaim, namun seterusnya kami terbiasa
mengeluarkan tingkah asli kami, yaitu suka berbicara ceplas-ceplos. Terkadang aku
berpikir, apa ini wajah-wajah orang berprestasi dari seluruh penjuru nusantara yang
dikumpulkan menjadi satu? Tapi kenyataannya bisa jadi iya (walau aku tak tahu
apa prestasiku hahaha).
Dulu
sebelum mendaftar beasiswa ini aku membayangkan—jika lolos—akan bertemu
orang-orang yang pendiam, suka membaca, garing dan stereotip lainnya mengenai
orang pintar. Namun semua terbantah ketika kami justru menjadi orang-orang yang
sangat ceria. Kami benar-benar tidak peduli bahwa perkenalan kami baru beberapa
hari. Because we are family... Bersatu dan seikat.
Setelah
perjalanan cultural visit yang panjang dan melelahkan, beswan langsung
diarahkan ke gedung PRPP untuk melakukan gladi. Besok sudah memasuki tahap run
through. Idelanya malam ini kami harus sudah menghafal seluruh lagu. Tapi aku
sendiri masih sering lupa lirik lagu janger dan meong-meong. Soalnya menggunakan
bahasa daerah Bali. ...kenyumne manis...bunge... langsir lanjar pangulune
ngalap gading... jalan jani mejangeran... Dan lagu yang sangat menggetarkan
tentu saja ‘hymne Beswan Djarum’. Saat kami menyanyikan lagu tersebut, ada
perasaan yang benar-benar berbeda. Mau menangiskah? Ah, tidak. Jangan. Aku harus
mempertahankan track record kategori tidak pernah menangis di hadapan
umum!
Setelah
kembali ke hotel, aku, Sami dan Naufal bingung mau ke mana. Kami harus keluar
untuk sekedar mengobrol. Besok adalah malam dharma puruhita. Malam dharma
berarti detik-detik terakhir kebersamaan kami dengan beswan RSO Jakarta dan
Bandung. Artinya aku dan Sami harus kehilangan sahabat sekamar kami, Naufal. Tanpa
mempedulikan rasa lelah, kami mengajak yang lain untuk keluar ke simpang lima. Kami
coba menghubungi beberapa rekan, baik lelaki atau pun perempuan. Tapi karena
kelelahan, mereka tidak dapat ikut. Riska, Budel dan Putri yang berpotensi
untuk ikut pun sudah tidak menjawab chatt kami. Walhasil, kami berangkat
bertiga menggunakan taksi.
Membelah
jalanan ibu kota Jawa Tengah di tengah malam relatif menakutkan. Paling tidak
itu yang diceritakan supir taksi. Di jalanan yang sangat lengang itu kerap
terjadi pembegalan, perampokan dan aksi kejahatan lainnya. Dan memang, jalanan
kota Semarang berbeda dengan Yogyakarta yang relatif terus ramai. Benar-benar
sunyi, sesunyi perasaan kami yang terlanjur larut dalam bayangan perpisahan.
Di simpang
lima kami bertemu dengan banyak beswan, baik yang menginap di Ciputra atau pun
di Grand Aston seperti kami. Cukup mudah, tinggal lihat saja sandal yang
dikenakan. Bahkan kami bertemu dengan Febri, teman satu tribun asal Bali yang
pada saat gladi mengeluh sakit. ‘Sudah sembuh, Feb?’ tanyaku iseng. Ia menjawab
kalau ia sudah tidur. Seusai bangun tidur, temannya mengajaknya makan. ‘Mumpung
perut juga lapar’. Ujarnya.
Malam
terakhir ini ternyata digunakan banyak beswan untuk menciptakan kenangannya
masing-masing. Aku bertemu dengan beswan Aceh, Jambi, Medan, Makassar dan
lainnya. Namun aneh, selama NB ini aku belum bertemu dengan beswan Riau. Padahal
aku sangat berharap bisa mengela mereka. Maklum, rumahku di sana. Aku juga
bertemu dengan Dirga, LO bus kami. ‘Sudah izin?’ tanyanya. Mimik wajahnya tidak
terlalu serius. Mungkin ada gurat pemakluman di sana. Aku dan kedua sahabatku
menggeleng. ‘Enggak, mas. Malam terakhir...’. ‘Ya sudah, teruskan.’
Kami
berjalan seperti gelandangan yang tak tahu arah dan tujuan. Mau makan? Tidak lapar.
Mau masuk mall? Tutup keles! Walhasil kami duduk-duduk dan sesekali berfoto. Sialnya
batrei kameraku habis. Buat apa kubawa?
Di sebuah
tribun warung, kami bertemu dengan dua beswan asal Sumatra. Tio asal Palembang
dan Intan asal Medan. Mereka sedang menunggu teman-temannya. Naufal bersemangat
menunggu karena berharap bisa berkenalan dengan Saras, mahasiswi asal Medan
yang berperan sebagai main talent drama ‘Damai Bumi Dewata’. Berselang beberapa
saat, muncul rombongan Medan. Namun yang ditunggu-tunggu tidak ikut rombongan. ‘Yuk,
balik.’
Kami
pun langsung menghubungi supir taksi yang tadi mengantarkan kami ke simpang
lima ini.
Bersambung...
0 comments:
Post a Comment