Sambungan...
Hari
ketiga
“Tribun satu.... Pong!”
Keriuhan terjadi. Kivlan atau Aang terus saja membuat
sensasi. Malam tadi, ia menjadi orator untuk berpanas-ria dengan para LO. Kemarin
sore, ia menggagas ‘identitas’ tribun berupa penutup kepala dari handuk. Sekarang
dia mulai ribut dengan yel-yelnya. Beberapa saat dipraktikkan, yel-yel kami
berubah jadi “meong-meong...pong!”
Meong-meong dan pong adalah kombinasi dari lagu yang
dinyanyikan tim choir. Meong-meong adalah lagu daerah Bali, sementara ‘pong’
adalah suara tim bas saat menyanyi lagu janger. Keriuhan kami menular ke
tribun-tribun lain. Dimulai dengan ‘demam’ penutup kepala sampai ada yel-yel
pertribun. Di loud spot, banyak yang berselfie ria menggunakan penutup kepala
ala Aang yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Fafa, LO tribun kami, membuat suasana lebih hidup. Apalagi dua
sahabat Andre dan Andi tampak bersemangat melihat kakak angkatannya di beswan
itu. Ia terus memberi semangat dan membangunkeakraban tribun dengan berbagai cara,
mulai dengan membuat ‘poster’ sampai berteriak-teriak. Walhasil, aku bisa
optimis tribun kami paling berisik. Apalagi ada Paul si orang Papua dan Sam
yang tidak bisa berhenti berbicara barang satu menit.
Tribun satu memang menyimpan banyak kenangan. Ya, paling
tidak ini yang membuat sahabat saya Kivlan, sang orator Jakarta, meruntuhkan
track recordnya. Ia bercerita kalau selama hidupnya tidak pernah menangis untuk
perpisahan. Tapi suasana tribun satu membuatnya benar-benar menyesakkan dada. Aku
tidak tahu, setelah malam dharma puruhita ia menangis atau tidak. Yang jelas di
grup LINE dia sepertinya galau hahaha.
Kembali ke hari ketiga. Agenda kami hari ini adalah gladi
kotor dan talkshow. Masing-masing tim choir harusnya sudah hafal lagu-lagu yang
digembleng selama beberapa hari ini. Aku sendiri merasa aneh dengan metode mbak
Brig dkk. Metode mereka membuat aku mudah menghafalkan lagu. Padahal aku bukan
orang yang mudah mengingat lagu. Ya, mungkin karena mereka pelatih profesional,
seorang komposer handal yang punya cara tertentu untuk membuat yang dilatih
nyaman.
Lagu janger yang awalnya jadi hantu, ternyata menjadi lagu
favorit. Lagu janger dinyanyikan buat bersantai, santai. Agar segar jiwa raga
yang telah lunglai... Begitu sepenggal lirik lagu daerah Bali ini. Kami semakin
tidak sabar untuk menantikan momen malam dharma, walau di sisi lain kami
berpikir berat untuk sampai di malam itu. Malam dharma berarti hari perpisahan
dengan teman-teman se-Indonesia. Setelah gladi dan shalat Ashar, kami
bersama-sama naik bus untuk menuju gedung 168 converence. Hari ini kami memakai
dress code kaos polo bertuliskan ‘nation building’.
Bus GA 3 mulai akrab. Lagu Krispatih mengantarkan kami larut
dalam nyanyian-nyanyian. Naufal adalah penyanyi pertama. Sementara yang lain
jadi ‘backing vocal’. Kami bernyanyi dan berjoget layaknya orang yang sudah
lama kenal. Saling membaur. Baru kali ini kami merasa benar-benar bebas. Aku jadi
ingat apa yang pernah dikatakan beberapa kakak angkatan, bahwa setelah NB
beswan tidak akan mengenal kata malu. Padahal di dalam bus ada bu Popi dan
admin twitter. Eh, adminnya lumayan cakep, lho... Ia foto kami melalui kamera
iphone-nya. Beberapa saat kemudian muncul wajah kami di twitter @BeswanDjarum. Indra,
beswan Bali yang pertama memberitahuku kalau muka kami masuk ke twitter. Oh,
itu tho adminnya...
Di hari ketiga, suasana benar-benar cair. Dirga dan Angela
yang sebelumnya kurang greget mulai bisa membaur dengan adik angkatannya. Sejak
awal dua LO itu sebenarnya ingin membuat suasana cair. Tapi kami saja yang
malu-malu hehe. Aku sendiri mulai bisa mengenal beberapa teman sebus. Walau sejujurnya
aku belum banyak mengenal, kecuali beberapa saja. Terutama genk Ponti yang
sejak hari kedua sudah ngobrol. Bahkan Indra, Wintara, Kumis, Budel, Riska dan
lainnya baru kukenal—artinya diajak ngobrol—di hari ketiga ini. Aku semakin
merasa memiliki keluarga bernama ‘mereka’. Sama dengan tribun satu yang mulai
menumbuhkan benih-benih keakraban.
Didi, beswan Kalteng, diminta membuat yel-yel bus kami. Aku agak
lupa bagaimana bentuk yel-yelnya. Kalau gak salah seperti ini: GA 3... Ya
iyalah... GA 3... Ya iya dong... Yang lain... LEWAAAAATTTT...
Sesampainya di depan gedung sixteen 8, kami berfoto ria. Aku,
Sam, dan Naufal juga mengabadikan momen ini untuk kenang-kenangan. Begitu juga
dengan genk Ponti yang kebetulan satu bus semua. Mungkin akan sangat sulit
untuk bertemu lagi dengan mereka kelak. Kecuali lewat media sosial... Hahaha
berteman dengan hp lagi deh...
Maghrib tiba. Kami shalat di mushala dekat gedung. Saking banyaknya
beswan, antrian panjang tak terelakkan. Namun kami menjemput panggilan Tuhan
ini dengan kesadaran penuh. Kami adalah makhluk Tuhan yang sudah semestinya ‘sowan’
kepada-Nya di waktu-waktu yang telah ditentukan. Sebagaimana diajarkan oleh
guru-guru, ulama-ulama, dan para Nabi yang kami imani.
Setelah sarapan, talkshow dimulai. Gedung 168 tidak terlalu
besar. Bahkan ketika makan, suasananya panas. Seorang teman berujar, “Baru kali
ini makan di hotel dengan lesehan”. Tapi kami menikmati momen ini. Seiring berjalannya
waktu, aroma perpisahan juga mulai tercium. Namun kami harus menjemput momen
demi momen yang sudah semestinya kami lalui. Dan kehadiran Rosiana Silalahi
membuat suasana gempar. Presenter top Kompas TV itu menjadi moderator dalam
talkshow bertema “Menjadi Pejuang Keberagaman”.
Yang membuatku gempar tentu kehadiran Franz Magnis Suseno. Filsuf
berdarah Jerman asal STF Dwikarya itu hadir di depan panggung, berdampingan
dengan Gus Nuril Arifin dan produser/sutradara Nia Daniati. Kami berdiskusi
mengenai hakikat keberagaman dan lain sebagainya. Namun sejujurnya aku merasa
bosan dengan jalannya diskusi ini. Tiap minggu di Jogja aku beserta kawan-kawan
Gusdurian kerap berdiskusi dengan tema serupa, atau bahkan lebih radikal. Tapi aku
menikmati karena di depan ada Franz Magnis Suseno.
Usai diskusi, kami dihebohkan dengan munculnya grup vokal
musik Project Pop. Lagu miopi membuat para beswan berhamburan ke depan panggung
untuk bernyanyi dan berjoget bersama. Semakin larut, suasana semakin
menjadi-jadi. Lagu-lagu disko yang dibawakan grup ini membuat kami hilang
kendali. Kami berputar dan melompat, menggeleng-geleng dan mengangguk-angguk. Berteriak
sekencang-kencangnya sampai suara kami hilang. Kami kembali ke hotel. namun
kelelahan membuat kami tak seheboh saat berangkat ke gedung ini.
Besok agendanya cultural visit di kabupaten Kudus. Toh, aku,
Juwanda, Naufal, Sam dan beberapa teman lainnya berencana berenang. Kami sudah
mempersiapkan segala kebutuhan. Tapi sial. Kolam renang ditutup jam 20.00. Walau
dinego keras, pihak hotel tetap tidak mengijinkan. Walhasil, kami hanya
mengintip indahnya bintang-bintang dari tepi kolam renang yang tenang. Beberapa
bayangan orang terlihat dari balik gorden jendela kamar hotel di lantai atas.
0 comments:
Post a Comment