Sambungan...
Hari keempat: Cultural Visit
Praktik membatik di GOR Djarum Kudus |
Orang
Papua adalah orang yang unik. Pertama kali aku mengenal anak Papua hari pertama
yang lalu. Aku satu bus dengan Grace. Di Merapi ballrom, aku kemudian mengenal
Onny dan Paul. Grace dan Onny memiliki wajah khas Papua, tapi tidak dengan
Paul. Dari wajahnya, Paul tampak bukan asli dari bumi Cenderawasih. Benar saja,
dia aslinya anak Sulawesi tapi kuliah di universitas Musamus Merauke.
Kedua
teman asal universitas di Papua itu nyentrik. Mereka memakai kalung yang
berasal dari binatang. Onny dengan kalung bermata taring babi, sedang Paul
menggunakan gigi buaya. Iseng-iseng, aku pesan satu gigi buaya kelak jika
diberi kesempatan bertemu di character building (CB).
Musamus.
Paul bercerita jika kata ini terinspirasi dari rumah raksasa yang dibuat oleh
semut-semut. Katanya, rumah semut ini keras seperti batu. Tingginya mencapai
tiga meter. Di lingkungan kampusnya banyak rumah semut semacam ini. maka
kampusnya memiliki filosofi, namun aku lupa kata-kata tepatnya, tapi kurang
lebih bahwa kerja keras gotong royong akan menghasilkan sesuatu yang hebat.
“Semut itu tidak bisa apa-apa kalau sendiri. Tapi kalau bersama-sama mereka
bisa buat itu rumah semut.”
Di
hari keempat ini, aroma perpisahan semakin tercium jelas. Besok sudah malam
dharma puruhita. Itu tandanya hari ini kami harus lebih akrab. Namun rasa pegal
akibat joget di konser Project Pop membuat kami benar-benar lelah. Hampir
seluruh penumpang bus GA 3 terkapar di bus. Bahkan LO kami, Angela, sampai
tidur tertelungkup di kursi bus.
Bus
membelah jalanan pantura. Jalan ini sangat akrab dengan kehidupan remajaku. Aku
ingat, saat masa MA dulu sering main ke Semarang untuk sekedar menonton bioskop
di Mall Ciputra. Saat melewati terminal Terboyo, bayangan manisku langsung
membuncah. Dulu aku bertemu dengan penulis idolaku di dekat sini, di kantor
Suara Merdeka. Ya, saat itu aku berkesempatan bertemu dan berdialog dengan
Triyanto Triwikromo, cerpenis handal, yang tulisannya sudah masuk di Kompas
berkali-kali. Kumpulan cerpennya Ular di Mangkuk Nabi mendapat penghargaan dari
pusat studi bahasa. Berkah. Setelah pertemuan itu, cerpenku nangkring di harian
Suara Merdeka. Judulnya Lembaran dari Kendeng.
Bus
terus melaju kencang. Ketika menoleh ke depan dan belakang, hampir seluruh
penumpang tidur. Iseng-iseng aku foto wajah-wajah kusut itu haha. Memang, saat
tidur adalah saat-saat di mana orang menampakkan wajah aslinya. Natural. Karena
mengantuk, aku kemudian ikut tidur.
Ketika
membuka mata, bus kami sampai di pelataran GOR bulutangkis Djarum Kudus. GOR
ini dikenal sebagai yang terbesar di Asia. Tapi entah mengapa, kami tidak
mampir. Beberapa beswan dipersilakan buang hajat. Bus kembali melaju, melewati
gedung-gedung yang sangat kukenal. Wajar, hampir tiap bulan aku selalu
mengunjungi kota Kudus. Setelah melewati jalanan nan sempit, kami berhenti di
pabrik pembuatan rokok kretek Djarum. SKT atau apa istilahnya, aku lupa.
Di
sana, kami diberi kesempatan melihat proses pembuatan rokok kretek yang serba
manual. Karena manual, ribuan tenaga kerja terserap. Ini tentu saja mengurangi
jumlah pengangguran yang ada di Indonesia. Beswan juga diberi kesempatan untuk
membuat kretek dengan arahan buruh yang sudah berpengalaman itu.
Oasis.
Ini tempat yang membuatku tercengang. Ternyata pabrik rokok Djarum memiliki
tempat pengolahan limbah yang luar biasa. Oasis tempat di mana pemandangan
gunung Muria terhampar indah. Lokasinya cukup jauh, melewati universitas Muria
Kudus. Di Oasis, limbah bekas pencucian tembakau dikelola, dinetralisir
kembali. Airnya dijadikan air kolam yang bisa digunakan menernak ikan,
endapannya bisa digunakan sebagai pupuk. Beswan boleh membawanya sekedar
oleh-oleh. Di sana kami diberi kesempatan memakan ikan gurame yang dipelihara
di air hasil netralisir.
Di Oasis
ada banyak taman. Sungguh, aku tak pernah menyangka ada tempat semacam ini di
Kudus sebelumnya. Taman-taman ini dikonsep program-program bakti Djarum
Foundation. Ada replika berbagai piala yang diperoleh atlet yang disponsori
oleh Djarum. Di sini pula kami mendapat banyak ilmu tentang pemeliharaan
lingkungan. Djarum trees for life mengadakan program-program unggulan seperti
penanaman pohon trembesi di sepanjang jalur pantura, mulai Anyer sampai
Banyuwangi.
Trembesi.
Pohon ini sangat berjasa meloloskanku untuk menjadi bagian beswan Djarum. Saat
tes menggambar, trembesi adalah pohon yang kugambar. Aku kerap mendengar bahwa
pohon nangka paling manjur. Tapi aku bergeming. Aku memiliki pohon idola yang
harus kugambar ketika ujian ini.
Selanjutnya
kami menuju masjid menara Kudus. Sekedar melihat makna dua bangunan yang
melambangkan dua keyakinan berbeda. Aku menyempatkan diri untuk berziarah ke
makam sunan Kudus yang berada di belakang bangunan masjid.
Masjid ini wujud kerukunan umat Islam-Hindu. Arsitektur
menara di masjid ini sangat identik dengan bangunan hindu. Di Kudus, sapi
merupakan hewan yang tidak boleh disembelih. Alkisah, Sunan Kudus berkawan
dengan tokoh Hindu di wilayah ini. Demi menghormati agama Hindu, Sunan Kudus
melarang pengikutnya menyembelih hewan yang disucikan dalam tradisi agama Hindu
ini. Tradisi ini berlanjut hingga sekarang. Di masjid Al-Aqsha ini, aku
bernostalgia dengan berbagai kenangan yang pernah kuukir bersama teman-teman di
pesantren dahulu. Di masjid ini aku bertemu lagi dengan teman satu pesantrenku.
Seorang tunanetra yang menghafalkan Qur’an. Namanya Ahmad, dipanggil Mad. Sudah
tiga tahun aku tidak bertemu orang ini.
“Atiqah
mana?” Dirga dan Angela mencari dua penumpang bus yang urung muncul. Ah, setelah
ditunggu beberapa saat, dua orang tersebut muncul. Ternyata mereka baru keluar
dari kamar kecil. Inilah awal nama Atiqah dibully sebagai ‘penunggu WC’. Karena
setelah dari masjid menara, ia juga telat masuk bus dengan alasan yang sama.
GOR
Bulutangkis merupakan tujuan akhir kami dalam agenda cultural visit ini.
Di sasana bulutangkis yang besar ini, kami mendapat kesempatan untuk mencoba
membatik, corak batik Bali. Batik tulis. Ternyata memang sulit untuk ‘melukiskan’
lilin yang sudah dipanaskan ke atas kain bergambar. Pantas saja harga batik
tulis sangat waw. Membatik di atas kain seukuran kurang lebih 30 x 30 cm saja sudah
membuat frustrasi. So, jangan sekali-kali meremehkan budaya bangsa ini. Rencananya
batik ini akan diproses dan dikembalikan pada ‘pengrajinnya’. Kelak, di
kegiatan Djarum lainnya yang akan diikuti beswan Djarum.
Di hari
keempat ini, kami para penghuni GA 3 saling bertukar PIN BBM, bertukar akun
instagram, twitter dan lainnya. Suasana jauh lebih akrab. Sangat akrab. Kami
merasa menjadi sebuah keluarga yang kenal sejak lama. Di bangku paling depan,
kami menyaksikan ada sepasang orang yang terlihat sangat ‘mesra’. Ketika dikonfirmasi,
orang Bali dan Pontianak menyangkal terjadi sesuatu dengan hati mereka. Tapi siapa
tahu? Ya, hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu.
Kami
menciptakan kenangan terindah yang kelak menyesakkan dada kami sendiri
0 comments:
Post a Comment