Thursday, November 6, 2014

Sekedar Cerita (3)

Sambungan...
Hari ketiga
 
Keriuhan Bus GA 3
“Tribun satu.... Pong!”
Keriuhan terjadi. Kivlan atau Aang terus saja membuat sensasi. Malam tadi, ia menjadi orator untuk berpanas-ria dengan para LO. Kemarin sore, ia menggagas ‘identitas’ tribun berupa penutup kepala dari handuk. Sekarang dia mulai ribut dengan yel-yelnya. Beberapa saat dipraktikkan, yel-yel kami berubah jadi “meong-meong...pong!”
Meong-meong dan pong adalah kombinasi dari lagu yang dinyanyikan tim choir. Meong-meong adalah lagu daerah Bali, sementara ‘pong’ adalah suara tim bas saat menyanyi lagu janger. Keriuhan kami menular ke tribun-tribun lain. Dimulai dengan ‘demam’ penutup kepala sampai ada yel-yel pertribun. Di loud spot, banyak yang berselfie ria menggunakan penutup kepala ala Aang yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Fafa, LO tribun kami, membuat suasana lebih hidup. Apalagi dua sahabat Andre dan Andi tampak bersemangat melihat kakak angkatannya di beswan itu. Ia terus memberi semangat dan membangunkeakraban tribun dengan berbagai cara, mulai dengan membuat ‘poster’ sampai berteriak-teriak. Walhasil, aku bisa optimis tribun kami paling berisik. Apalagi ada Paul si orang Papua dan Sam yang tidak bisa berhenti berbicara barang satu menit.
Tribun satu memang menyimpan banyak kenangan. Ya, paling tidak ini yang membuat sahabat saya Kivlan, sang orator Jakarta, meruntuhkan track recordnya. Ia bercerita kalau selama hidupnya tidak pernah menangis untuk perpisahan. Tapi suasana tribun satu membuatnya benar-benar menyesakkan dada. Aku tidak tahu, setelah malam dharma puruhita ia menangis atau tidak. Yang jelas di grup LINE dia sepertinya galau hahaha.
Kembali ke hari ketiga. Agenda kami hari ini adalah gladi kotor dan talkshow. Masing-masing tim choir harusnya sudah hafal lagu-lagu yang digembleng selama beberapa hari ini. Aku sendiri merasa aneh dengan metode mbak Brig dkk. Metode mereka membuat aku mudah menghafalkan lagu. Padahal aku bukan orang yang mudah mengingat lagu. Ya, mungkin karena mereka pelatih profesional, seorang komposer handal yang punya cara tertentu untuk membuat yang dilatih nyaman.
Lagu janger yang awalnya jadi hantu, ternyata menjadi lagu favorit. Lagu janger dinyanyikan buat bersantai, santai. Agar segar jiwa raga yang telah lunglai... Begitu sepenggal lirik lagu daerah Bali ini. Kami semakin tidak sabar untuk menantikan momen malam dharma, walau di sisi lain kami berpikir berat untuk sampai di malam itu. Malam dharma berarti hari perpisahan dengan teman-teman se-Indonesia. Setelah gladi dan shalat Ashar, kami bersama-sama naik bus untuk menuju gedung 168 converence. Hari ini kami memakai dress code kaos polo bertuliskan ‘nation building’.
Bus GA 3 mulai akrab. Lagu Krispatih mengantarkan kami larut dalam nyanyian-nyanyian. Naufal adalah penyanyi pertama. Sementara yang lain jadi ‘backing vocal’. Kami bernyanyi dan berjoget layaknya orang yang sudah lama kenal. Saling membaur. Baru kali ini kami merasa benar-benar bebas. Aku jadi ingat apa yang pernah dikatakan beberapa kakak angkatan, bahwa setelah NB beswan tidak akan mengenal kata malu. Padahal di dalam bus ada bu Popi dan admin twitter. Eh, adminnya lumayan cakep, lho... Ia foto kami melalui kamera iphone-nya. Beberapa saat kemudian muncul wajah kami di twitter @BeswanDjarum. Indra, beswan Bali yang pertama memberitahuku kalau muka kami masuk ke twitter. Oh, itu tho adminnya...
Di hari ketiga, suasana benar-benar cair. Dirga dan Angela yang sebelumnya kurang greget mulai bisa membaur dengan adik angkatannya. Sejak awal dua LO itu sebenarnya ingin membuat suasana cair. Tapi kami saja yang malu-malu hehe. Aku sendiri mulai bisa mengenal beberapa teman sebus. Walau sejujurnya aku belum banyak mengenal, kecuali beberapa saja. Terutama genk Ponti yang sejak hari kedua sudah ngobrol. Bahkan Indra, Wintara, Kumis, Budel, Riska dan lainnya baru kukenal—artinya diajak ngobrol—di hari ketiga ini. Aku semakin merasa memiliki keluarga bernama ‘mereka’. Sama dengan tribun satu yang mulai menumbuhkan benih-benih keakraban.
Didi, beswan Kalteng, diminta membuat yel-yel bus kami. Aku agak lupa bagaimana bentuk yel-yelnya. Kalau gak salah seperti ini: GA 3... Ya iyalah... GA 3... Ya iya dong... Yang lain... LEWAAAAATTTT...
Sesampainya di depan gedung sixteen 8, kami berfoto ria. Aku, Sam, dan Naufal juga mengabadikan momen ini untuk kenang-kenangan. Begitu juga dengan genk Ponti yang kebetulan satu bus semua. Mungkin akan sangat sulit untuk bertemu lagi dengan mereka kelak. Kecuali lewat media sosial... Hahaha berteman dengan hp lagi deh...
Maghrib tiba. Kami shalat di mushala dekat gedung. Saking banyaknya beswan, antrian panjang tak terelakkan. Namun kami menjemput panggilan Tuhan ini dengan kesadaran penuh. Kami adalah makhluk Tuhan yang sudah semestinya ‘sowan’ kepada-Nya di waktu-waktu yang telah ditentukan. Sebagaimana diajarkan oleh guru-guru, ulama-ulama, dan para Nabi yang kami imani.
Setelah sarapan, talkshow dimulai. Gedung 168 tidak terlalu besar. Bahkan ketika makan, suasananya panas. Seorang teman berujar, “Baru kali ini makan di hotel dengan lesehan”. Tapi kami menikmati momen ini. Seiring berjalannya waktu, aroma perpisahan juga mulai tercium. Namun kami harus menjemput momen demi momen yang sudah semestinya kami lalui. Dan kehadiran Rosiana Silalahi membuat suasana gempar. Presenter top Kompas TV itu menjadi moderator dalam talkshow bertema “Menjadi Pejuang Keberagaman”.
Yang membuatku gempar tentu kehadiran Franz Magnis Suseno. Filsuf berdarah Jerman asal STF Dwikarya itu hadir di depan panggung, berdampingan dengan Gus Nuril Arifin dan produser/sutradara Nia Daniati. Kami berdiskusi mengenai hakikat keberagaman dan lain sebagainya. Namun sejujurnya aku merasa bosan dengan jalannya diskusi ini. Tiap minggu di Jogja aku beserta kawan-kawan Gusdurian kerap berdiskusi dengan tema serupa, atau bahkan lebih radikal. Tapi aku menikmati karena di depan ada Franz Magnis Suseno.
Usai diskusi, kami dihebohkan dengan munculnya grup vokal musik Project Pop. Lagu miopi membuat para beswan berhamburan ke depan panggung untuk bernyanyi dan berjoget bersama. Semakin larut, suasana semakin menjadi-jadi. Lagu-lagu disko yang dibawakan grup ini membuat kami hilang kendali. Kami berputar dan melompat, menggeleng-geleng dan mengangguk-angguk. Berteriak sekencang-kencangnya sampai suara kami hilang. Kami kembali ke hotel. namun kelelahan membuat kami tak seheboh saat berangkat ke gedung ini.
Besok agendanya cultural visit di kabupaten Kudus. Toh, aku, Juwanda, Naufal, Sam dan beberapa teman lainnya berencana berenang. Kami sudah mempersiapkan segala kebutuhan. Tapi sial. Kolam renang ditutup jam 20.00. Walau dinego keras, pihak hotel tetap tidak mengijinkan. Walhasil, kami hanya mengintip indahnya bintang-bintang dari tepi kolam renang yang tenang. Beberapa bayangan orang terlihat dari balik gorden jendela kamar hotel di lantai atas.


Bersambung...

Edisi sebelumnya klik di sini
Next episode klik link ini

0 comments:

Post a Comment