Tulisan
ini semata-mata untuk mengenang persahabatan kita, kawan...
Sebuah Permulaan
Di: Bus
Grand Aston Tiga
Luar biasa... Fantastis... Yes yes yes Beswan Beswan Djarum
yes...
Pekik koor itu masih sangat terngiang di telingaku, kawan. Perlahan-lahan
teringat pula suara-suara menggetarkan kita kala menyanyikan hymne Beswan
Djarum. Beberapa kali air mataku ingin tumpah karena mengingat itu semua.
Sebagian orang mengatakan bahwa meratapi perpisahan adalah
sikap yang lebai, berlebihan. Oke, aku siap menjadi orang lebai kali ini. Bertemu
dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat dari berbagai wilayah di Indonesia merupakan
hal yang sangat istimewa. Wajar, sebagai manusia dadaku terasa sakit ketika
mendengar ucapan perpisahan dan lambaian tangan. Selamat jalan, semoga bisa
bertemu lagi. Ini yang selalu kita ucapkan. Kita selalu mencoba menghibur diri
bahwa suatu saat kita akan bertemu kembali. Ya, suatu saat. Entah saat kapan
itu.
Hari ini belum genap waktu memisah jarak kita dalam hitungan
hari. Kala menulis ini, aku teringat dua sahabatku, Sami dan Naufal. Sami orang
Kendari, kuliah di universitas Hallui leo dan Naufal orang Lampung kuliah di
universitas Lampung. Sementara aku? Aku lahir di Kebumen. Menurut cerita orang
tua, saat aku berusia dua tahun, aku dibawa ke Riau untuk transmigrasi. Saat lulus
SD, aku meneruskan studi tingkat SMP dan SMA di kabupaten Pati, Jawa Tengah. Lalu
aku kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Benar-benar latar belakang gado-gado.
Di dalam program beasiswa Djarum, ada empat regional yang
membawahi beberapa distrik. Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Sam
berasal dari RSO Surabaya, Naufal RSO Jakarta dan aku RSO Semarang. Kami dikenalkan
dalam satu kamar, kamar nomor 807 hotel Grand Aston Semarang. Di hotel inilah
aku pertama kalinya merasakan enaknya berendam di air hangat hahaha.
Beswan Jogja sampai ke Grand Aston pukul 22.00-an. Aku
langsung check-in dan masuk ke kamar di lantai 8. Saat pertama kali masuk, kamar
hotelnya bersih. Ada tiga spring bed yang tersedia. Aku ingat, pak Aryo,
pembina kami mengatakan kalau kamar di hotel hanya ada dua kasur yang bagus. Sementara
satu lainnya kasur tambahan. Kasur tambahan tidak enak dan slimutnya tipis. Makanya
kami harus segera sampai jika tidak ingin mendapat bagian yang kurang bagus.
Di atas springbed, masing-masing tersedia goody bag. Aku mencari
goody bag yang tertulis namaku. Ketemu! Syukurlah, aku ditempatkan di springbed
yang ‘sempurna’. Di kamar memang springbednya macam-macam. Yang satunya lagi
tertulis nama Sami tidak terlalu tinggi, tapi selimutnya tebal. Sementara Naufal
mendapat jatah spring bed yang cukup tinggi tapi selimutnya tipisnya maxi.
Aku membuka goody bag-ku. Di sana terdapat bermacam-macam barang perlengkapan. Ada satu kemeja, satu kaos oblong dan satu kaos polo. Ada juga satu gantungan kunci, satu gantungan guide book, satu pin dan dua lembar surat. Surat pertama berisi tata tertib hotel. Yang kedua adalah surat 'langsung' dari program director bakti pendidikan, bapak Primadi H. Serad. Isi surat kedua adalah menyampaikan ucapan selamat dan penjelasan beberapa softskill yang bisa kami dapatkan.
Aku membuka goody bag-ku. Di sana terdapat bermacam-macam barang perlengkapan. Ada satu kemeja, satu kaos oblong dan satu kaos polo. Ada juga satu gantungan kunci, satu gantungan guide book, satu pin dan dua lembar surat. Surat pertama berisi tata tertib hotel. Yang kedua adalah surat 'langsung' dari program director bakti pendidikan, bapak Primadi H. Serad. Isi surat kedua adalah menyampaikan ucapan selamat dan penjelasan beberapa softskill yang bisa kami dapatkan.
Sam datang sekitar jam 1 malam. Saat itu aku tengah tidur. Kedatangannya
membuatku terbangun. Setelah berkenalan ala kadarnya, karena masih mengantuk,
aku langsung tidur lagi. Jam 3 dinihari Naufal datang. Ia masuk dengan
mengucapkan salam. Lagi-lagi aku terbangun. Sam juga terbangun. Setelah berkenalan
ala kadarnya lagi, kami tertidur. Sewaktu bangun, jam sarapan sudah tiba. Kami,
dalam kekikukan, bersama-sama turun.
Alhamdulillah... Makan prasmanan. Kami mencari tempat yang
masih kosong. Karena datang agak belakangan, agak sulit menemukan tempat makan.
Setelah menempatkan diri, seorang pramusaji menawarkan minuman, teh atau kopi. Aku
memilih kopi dengan tujuan agar tidak mengantuk.
Setelah kami makan, ada dua orang datang. Mereka bernama
Andreas dan Tegar, mahasiswa asal Jakarta dan Bandung. Setelah mengobrol
berbasa-basi ria dan mencicipi berbagai jenis makanan, aku dan teman sekamar
kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang. Dan bus pun berjalan...
Aku berada di bus Grand Aston 3 (GA 3). Kami mendapati LO
yang awalnya terkesan cukup membosankan. LO kami bernama Dirga Makassar dan
Angela Jambi. Mereka belum mampu mengeluarkan potensinya untuk membuat suasana
bus menjadi hidup. Aku duduk di sampung Oji, teman dari UIN. Saat menoleh ke
kiri dan kanan, depan belakang, semua terlihat asing.
Hari pertama diisi dengan perkenalan. Beberapa nama mulai
kuingat seperti orang Bali Wintara dan Indra. Lalu ada orang Papua Grace. Ada
orang Lampung Juwanda dan lain sebagainya. Di bus tersebut juga ada beberapa anggota
beswan Jogja seperti Rifka, Helen, Dina dan Kilana. Setelah melewati pelabuhan
Tanjung Emas, kami sampai di kompleks gedung PRPP, tempat latihan.
Di PRPP, ada beberapa gedung yang semuanya diberikan
nama-nama gunung yang ada di Jawa Tengah. Merapi, Merbabu, Perahu, Dieng,
Ungaran dll menjadi nama-nama gedung. Kami ditempatkan di gedung Merapi. Hari pertama
kami berkenalan dengan para pelatih, baik tim teater atau pun choir. Pelatih teater
paling top tentu saja Denny Malik. Sementara choir dipimpin oleh seorang musisi
Brigitta. Setelah dipisah antara teater dan choir, tim choir diposisikan
menjadi beberapa kriteria, mulai sopran, alto, tenor dan bas. Aku dan teman
sekamarku, Sam, sama-sama di bas. Latihan pertama kami adalah sakato (aku gak
tahu tulisannya gimana. Buta musik). Intinya kami harus mendesis-desis yang
suaranya ditumpukan pada dorongan diafragma.
Kami dipisah. Perempuan di gedung utama, sementara laki-laki
di gedung sebelahnya yang lebih kecil. Gus Yogi yang memimpin latihan pertama
kami. Di hari pertama kami langsung dihajar dengan latihan ekstra. Tujuh lagu
dipelajari sekaligus, beserta not-nya. Untung saja makanan tidak telat. Aku
pernah mendengar dari Fahmi, beswan 29 asal UIN Jogja yang mengatakan bahwa
setelah NB biasanya kita akan alergi dengan yang namanya roti dan makanan. Namun
di hari pertama ini, aku cukup menikmatinya. Bayangkan saja, pukul 07.00
sarapan, 10.00 snack, 12.00 makan siang. Pukul 15.00 snack serta pocari sweat,
18.00 makan malam. Betapa gendutnya diriku jika ini selalu terjadi setiap hari.
Dari latihan ini aku baru mengenal pembagian nada-nada. Ternyata
nada untuk alto beda dengan bas dan lainnya. Makanya paduan suara kalau
menyanyi terdengar bersahut-sahutan. Eh, ternyata ada teorinya. Di lirik hymne
beswan pun, nada untuk bas berbeda dengan alto dan sopran. Di sopran dan alto,
untuk lirik “ikrarkan tekad kebersamaa..” tapi di tenor dan bas ‘ikrar’nya
hilang. Tapi kata ‘tekad’nya dipanjangkan. ‘Te....kad’.
Dari sekian lagu, aku paling suka dengan lagu janger. Lagu daerah
Bali ini memang sangat susah untuk dihapal. Namun nadanya enak sekali didengar.
Apalagi kalau tentornya mbak-mbak kacamata yang nyanyi. Wah... Semangat sekali
kami. Ehm... ehm...
Saat perjalanan
pulang, aku serasa menghitung jangkrik. Krik... krik... krik... Orangnya pada
pendiem semua. Sesampainya di kamar hotel, Naufal langsung berendam. Pakaiannya
sangat kotor. Ia bercerita, di tim teater, ia mendapat kesempatan belajar tari
kera. Latihannya cukup keras. Makanya badannya pegel semua. Bersambung...
Episode selanjutnya klik di sini
Episode selanjutnya klik di sini
0 comments:
Post a Comment