Saturday, November 8, 2014

Sekedar Cerita (4)

Sambungan...
Hari keempat: Cultural Visit
Praktik membatik di GOR Djarum Kudus

Orang Papua adalah orang yang unik. Pertama kali aku mengenal anak Papua hari pertama yang lalu. Aku satu bus dengan Grace. Di Merapi ballrom, aku kemudian mengenal Onny dan Paul. Grace dan Onny memiliki wajah khas Papua, tapi tidak dengan Paul. Dari wajahnya, Paul tampak bukan asli dari bumi Cenderawasih. Benar saja, dia aslinya anak Sulawesi tapi kuliah di universitas Musamus Merauke.
Kedua teman asal universitas di Papua itu nyentrik. Mereka memakai kalung yang berasal dari binatang. Onny dengan kalung bermata taring babi, sedang Paul menggunakan gigi buaya. Iseng-iseng, aku pesan satu gigi buaya kelak jika diberi kesempatan bertemu di character building (CB).
Musamus. Paul bercerita jika kata ini terinspirasi dari rumah raksasa yang dibuat oleh semut-semut. Katanya, rumah semut ini keras seperti batu. Tingginya mencapai tiga meter. Di lingkungan kampusnya banyak rumah semut semacam ini. maka kampusnya memiliki filosofi, namun aku lupa kata-kata tepatnya, tapi kurang lebih bahwa kerja keras gotong royong akan menghasilkan sesuatu yang hebat. “Semut itu tidak bisa apa-apa kalau sendiri. Tapi kalau bersama-sama mereka bisa buat itu rumah semut.”
Di hari keempat ini, aroma perpisahan semakin tercium jelas. Besok sudah malam dharma puruhita. Itu tandanya hari ini kami harus lebih akrab. Namun rasa pegal akibat joget di konser Project Pop membuat kami benar-benar lelah. Hampir seluruh penumpang bus GA 3 terkapar di bus. Bahkan LO kami, Angela, sampai tidur tertelungkup di kursi bus.
Bus membelah jalanan pantura. Jalan ini sangat akrab dengan kehidupan remajaku. Aku ingat, saat masa MA dulu sering main ke Semarang untuk sekedar menonton bioskop di Mall Ciputra. Saat melewati terminal Terboyo, bayangan manisku langsung membuncah. Dulu aku bertemu dengan penulis idolaku di dekat sini, di kantor Suara Merdeka. Ya, saat itu aku berkesempatan bertemu dan berdialog dengan Triyanto Triwikromo, cerpenis handal, yang tulisannya sudah masuk di Kompas berkali-kali. Kumpulan cerpennya Ular di Mangkuk Nabi mendapat penghargaan dari pusat studi bahasa. Berkah. Setelah pertemuan itu, cerpenku nangkring di harian Suara Merdeka. Judulnya Lembaran dari Kendeng.
Bus terus melaju kencang. Ketika menoleh ke depan dan belakang, hampir seluruh penumpang tidur. Iseng-iseng aku foto wajah-wajah kusut itu haha. Memang, saat tidur adalah saat-saat di mana orang menampakkan wajah aslinya. Natural. Karena mengantuk, aku kemudian ikut tidur.
Ketika membuka mata, bus kami sampai di pelataran GOR bulutangkis Djarum Kudus. GOR ini dikenal sebagai yang terbesar di Asia. Tapi entah mengapa, kami tidak mampir. Beberapa beswan dipersilakan buang hajat. Bus kembali melaju, melewati gedung-gedung yang sangat kukenal. Wajar, hampir tiap bulan aku selalu mengunjungi kota Kudus. Setelah melewati jalanan nan sempit, kami berhenti di pabrik pembuatan rokok kretek Djarum. SKT atau apa istilahnya, aku lupa.
Di sana, kami diberi kesempatan melihat proses pembuatan rokok kretek yang serba manual. Karena manual, ribuan tenaga kerja terserap. Ini tentu saja mengurangi jumlah pengangguran yang ada di Indonesia. Beswan juga diberi kesempatan untuk membuat kretek dengan arahan buruh yang sudah berpengalaman itu.
Oasis. Ini tempat yang membuatku tercengang. Ternyata pabrik rokok Djarum memiliki tempat pengolahan limbah yang luar biasa. Oasis tempat di mana pemandangan gunung Muria terhampar indah. Lokasinya cukup jauh, melewati universitas Muria Kudus. Di Oasis, limbah bekas pencucian tembakau dikelola, dinetralisir kembali. Airnya dijadikan air kolam yang bisa digunakan menernak ikan, endapannya bisa digunakan sebagai pupuk. Beswan boleh membawanya sekedar oleh-oleh. Di sana kami diberi kesempatan memakan ikan gurame yang dipelihara di air hasil netralisir.
Di Oasis ada banyak taman. Sungguh, aku tak pernah menyangka ada tempat semacam ini di Kudus sebelumnya. Taman-taman ini dikonsep program-program bakti Djarum Foundation. Ada replika berbagai piala yang diperoleh atlet yang disponsori oleh Djarum. Di sini pula kami mendapat banyak ilmu tentang pemeliharaan lingkungan. Djarum trees for life mengadakan program-program unggulan seperti penanaman pohon trembesi di sepanjang jalur pantura, mulai Anyer sampai Banyuwangi.
Trembesi. Pohon ini sangat berjasa meloloskanku untuk menjadi bagian beswan Djarum. Saat tes menggambar, trembesi adalah pohon yang kugambar. Aku kerap mendengar bahwa pohon nangka paling manjur. Tapi aku bergeming. Aku memiliki pohon idola yang harus kugambar ketika ujian ini.
Selanjutnya kami menuju masjid menara Kudus. Sekedar melihat makna dua bangunan yang melambangkan dua keyakinan berbeda. Aku menyempatkan diri untuk berziarah ke makam sunan Kudus yang berada di belakang bangunan masjid.
 Masjid ini wujud kerukunan umat Islam-Hindu. Arsitektur menara di masjid ini sangat identik dengan bangunan hindu. Di Kudus, sapi merupakan hewan yang tidak boleh disembelih. Alkisah, Sunan Kudus berkawan dengan tokoh Hindu di wilayah ini. Demi menghormati agama Hindu, Sunan Kudus melarang pengikutnya menyembelih hewan yang disucikan dalam tradisi agama Hindu ini. Tradisi ini berlanjut hingga sekarang. Di masjid Al-Aqsha ini, aku bernostalgia dengan berbagai kenangan yang pernah kuukir bersama teman-teman di pesantren dahulu. Di masjid ini aku bertemu lagi dengan teman satu pesantrenku. Seorang tunanetra yang menghafalkan Qur’an. Namanya Ahmad, dipanggil Mad. Sudah tiga tahun aku tidak bertemu orang ini.
“Atiqah mana?” Dirga dan Angela mencari dua penumpang bus yang urung muncul. Ah, setelah ditunggu beberapa saat, dua orang tersebut muncul. Ternyata mereka baru keluar dari kamar kecil. Inilah awal nama Atiqah dibully sebagai ‘penunggu WC’. Karena setelah dari masjid menara, ia juga telat masuk bus dengan alasan yang sama.
GOR Bulutangkis merupakan tujuan akhir kami dalam agenda cultural visit ini. Di sasana bulutangkis yang besar ini, kami mendapat kesempatan untuk mencoba membatik, corak batik Bali. Batik tulis. Ternyata memang sulit untuk ‘melukiskan’ lilin yang sudah dipanaskan ke atas kain bergambar. Pantas saja harga batik tulis sangat waw. Membatik di atas kain seukuran kurang lebih 30 x 30 cm saja sudah membuat frustrasi. So, jangan sekali-kali meremehkan budaya bangsa ini. Rencananya batik ini akan diproses dan dikembalikan pada ‘pengrajinnya’. Kelak, di kegiatan Djarum lainnya yang akan diikuti beswan Djarum.
Di hari keempat ini, kami para penghuni GA 3 saling bertukar PIN BBM, bertukar akun instagram, twitter dan lainnya. Suasana jauh lebih akrab. Sangat akrab. Kami merasa menjadi sebuah keluarga yang kenal sejak lama. Di bangku paling depan, kami menyaksikan ada sepasang orang yang terlihat sangat ‘mesra’. Ketika dikonfirmasi, orang Bali dan Pontianak menyangkal terjadi sesuatu dengan hati mereka. Tapi siapa tahu? Ya, hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu.
Kami menciptakan kenangan terindah yang kelak menyesakkan dada kami sendiri


Bersambung...

Edisi sebelumnya klik di sini
Selanjutnya klik link ini

0 comments:

Post a Comment