Catatan ini aku tulis untuk kalian para sahabat pendakian: Ubaidillah F,
Roihan Asyrofi, Suhairi, Lafzee, Faradilla, Kiki, Laras dan Via
Negeri ini sangat indah. Aku bersumpah atas
nama Tuhanku yang menciptakan. Kau tak akan percaya apabila belum sekali pun
kau menginjakkan kaki di tanah yang menjulang tinggi di atas awan.
Hari ini tubuhku masih diselimuti pegal-pegal,
terlebih di sekitar betis. Aku bersyukur karena engkelku baik-baik saja. Padahal
tiga kali aku merintih karena keseleo. Namun bibirku terasa sangat perih karena
pecah-pecah. Sementara rasa kantuk masih mengurung diri dalam kemalasan. Ya, semua
ini adalah hadiah dari sang Lawu yang telah mengajarkanku pada salah satu
keindahan yang dicipta oleh Tuhan.
Setelah membayangkan keindahan yang lalu, aku
langsung berpikir untuk segera menuliskan apa-apa yang aku ingat dan rasakan ketika
berada di gunung Lawu, 13-15 Juni 2014 lalu.
Edelweis dan Para Penyamun
Edelweis... (Gambar Batikimono) |
Pernahkah kau melihat edelweis?
Siapapun yang pernah, kau adalah pecinta
sejati (seharusnya)
Salah satu yang diburu oleh pendaki adalah
bunga edelweis, bunga keabadian. Pada pemuncakan pertamaku di Merbabu (16
Januari 2014), edelweis tidak mekar karena musim penghujan. Konon, edelweis
hanya mekar di musim kemarau saat dinginnya gunung sedang hebat-hebatnya. Aku
sendiri kurang paham dengan gejala alam itu. Setahuku, edelweis hanya tumbuh di
gunung yang tinggi.
Aku mendapat penjelasan dari Dilla bahwa edelweis
tumbuh di atas batas vegetasi. Aku sendiri kurang mengerti dengan penjelasan
ini. Yang jelas, edelweis memiliki batasan tertentu untuk dapat tumbuh dan
memekarkan bunga-bunga ajaib.
Pertama kali aku melihat edelweis adalah di
Lawu ini. Setelah berjalan dari pos 3, aku menceletuk, “Itu edelweis?” Dilla
kurang yakin dengan apa yang kulihat. Tapi setelah kutunjukkan letaknya, ia
kemudian menjelaskan bahwa edelweis bisa saja tumbuh di pos 3 ini. Tapi
kemungkinan mekarnya sangat sedikit. Dan memang aku hanya melihat edelweis yang
malu untuk mekar. Hanya saja di kejauhan terlihat banyak edelweis yang tampak
mekar bagus. Sayangnya posisinya sangat jauh, tidak mudah didekati. Mungkin edelweis
mengerti bahwa keserakahan manusia bisa membuatnya menjadi tumbuhan mitos.
Saat aku berjalan menuju pos 4, aku melihat
seorang pria menggenggam bunga edelweis dan membawanya seakan tidak memiliki
dosa. Bagi pecinta alam, memetik edelweis sama saja merusak alam. Itu salah
satu dosa terberat bagi pendaki selain membuang sampah seenaknya. Dalam batin
aku merasa sakit. Aku mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk pelanggar
HAT (Hak Asasi Tumbuhan) seperti itu. Sehari kemudian tercipta puisi sederhana ini:
Demi bunga edelweis yang sungkan untuk bermekaran
Demi para pecinta sejati sang alam yang agung
Demi Tuhanku yang menciptakan keharmonisan
Lawu
Demi semua yang terluka atas pengkhiatan kata
cinta alam
TERKUTUK kau para pemetik bunga keabadian!
POS 3 Gunung Lawu,
-Karanganyar-Magetan (15 Juni 2014)
Di Lawu memang tidak ada penjagaan khusus. Tidak
ada polisi alam yang memeriksa barang bawaan pendaki. Tapi memetik edelweis memang
sebuah perusakan yang nyata. Memetik edelweis adalah bukti sebuah keserakahan. Dan
pecinta alam tidak akan merusak apa yang dicintainya. Bahkan seorang Rahwana yang
dicap antagonis tidak pernah menyentuh Shinta walau dia menculiknya dari Rama
yang kurang memberi kebahagiaan batin kepada sang Dewi. Karena cinta sejati
bukanlah untuk dimiliki, tapi untuk dirasakan sebagai sebuah KEINDAHAN.
0 comments:
Post a Comment