Friday, October 4, 2013

Makalah: Efek Behavioral Tayangan Televisi


Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahrirabbil ‘alamin, nahmaduhu hamdan hamdan, wa nasykuruhu syukron syukron. Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan nikmat serta inayah-Nya sehingga tugas penulisan makalah ini dapat dirampungkan sebagaimana rencana semula. Shalawat serta salam kami sampaikan kepada baginda Rasul Muhammad SAW yang memberi inspirasi lewat hadits-hadits dan prilaku politik islaminya.
            Dalam sambutan ini kami ucapkan beribu terima kasih kepada Allah SWT atas firman “afalaa ta’qilun” yang terus menuntun penulis untuk terus berusaha menggarap tugas salah satu disiplin ilmu baru bagi penulis. Namun berkat usaha dan dorongan dosen, teman-teman dan atas bimbingan-Nya, makalah sederhana ini terwujud walau kekurangan masih terdapat di sana-sini. Kepada baginda Rasul Muhammad SAW sang inspirator. Kepada dosen pengampu matakuliah Komunikasi Massa, Ibu Ristiana Kadarsih yang senantiasa memberi pencerahan penulis di dalam memahami matakuliah. Tak lupa kepada teman-teman seperjuangan yang semoga bersama-sama menjadi komunikator yang baik di tengah-tengah khayalak.
            Akhirnya penulis serahkan penilaian atas usaha maksimal penulis ini kepada dosen pengampu. Permintaan maaf tak lupa penulis sampaikan apabila masih banyak kekurangan-kekurangan akibat kelalaian penulis dalam menyusun makalah ini. Akhir kata, wallahumuwafiq ilaa aqwam at-thariq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Yogyakarta, 25 April 2013
Penyusun
Sarjoko
12210119


Daftar Isi
1. Pengantar..................................................................................... 2
2. Daftar isi...................................................................................... 4
3. BAB I-PENDAHULUAN.......................................................... 5
5. BAB II-PEMBAHASAN........................................................... 7
6. BAB III-PENUTUP.................................................................... 23
7. Daftar pustaka.............................................................................. 24


BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Beberapa tahun yang lalu Indonesia gempar. Salah satu tayangan favorit kala itu harus dihentikan penayangannya karena dianggap sebagai biang terjadinya penganiayaan. Orangtua dan beberapa pihak yang merasa sangat dirugikan bereaksi keras untuk menentang tayangan gulat Amerika SmackDown!. Terlebih ada korban meninggal akibat aksi yang dilakukan oleh temannya dengan menggunakan jurus-jurus ala tayangan itu.
            Pro-kontra penghentian tayangan ini berlangsung berbulan-bulan. Ada yang mendukung penuh sebab tayangan itu rawan ditiru, sementara pihak kontra berargumen tayangan televisi tidaklah berpengaruh banyak, atau paling tidak bukan merupakan satu-satunya yang mempengaruhi perilaku manusia. Dampak itu ada, tapi relatif kecil. Pada akhirnya pihak penayang menyerah, mereka memilih untuk menghentikan tayangan.
            Sebenarnya, bagaimana mungkin tayangan televisi bisa berpengaruh terhadap perilaku pemirsa? Sementara banyak adegan kekerasan yang berpotensi ditiru, bagaimana pula cara meminimalisir terjadinya aksi kekerasan akibat tayangan televisi? Secara umum makalah ini akan membahas mengenai efek behavioral tayangan televisi dan mengajukan solusi penayangan yang ideal sesuai regulasi.
b. Rumusan makalah
Makalah ini disusun berdasar rumusan pertanyaan-pertanyaan:
1)      Apa efek behavioral yang terjadi akibat tayangan televisi  itu?
2)      Mengapa hal itu bisa terjadi?
3)      Bagaimana cara mengendalikannya?
C. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Komunikasi Massa yang diampu oleh Ibu Ristiana Kadarsih. Isi di dalam makalah ini membahas efek behavioral yang diakibatkan tayangan televisi menurut konsep manusia behaviorisme dalam psikologi. Selain itu dibahas pula regulasi penayangan tayangan kekerasan dan seksualitas yang merupakan tayangan yang berefek besar bagi khayalak, serta solusi meminimalisir gejala behavioral negatif.
BAB II
PEMBAHASAN
Efek Behavioral Tayangan Televisi
Dampak Tayangan Kekerasan Dan Seksual
Pada medio 2006-an, kasus penganiayaan siswa SD dan SMP oleh temannya sendiri menjadi berita heboh. Sampai-sampai salah satu tayangan pada waktu itu SmackDown! dihentikan tayangannya karena dianggap menjadi faktor pemicu peganiayaan. Tuntutan yang disertai tuduhan dari masyarakat dan pakar sangat beralasan. Sebab penganiayaan yang dilakukan hingga membawa korban jiwa itu dikabarkan mengikuti aksi aktor-aktor gulat SmackDown!.
Menurut Aris Merdeka Sirait, dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, setidaknya sudah tujuh anak yang dilaporkan menjadi korban kekerasan antar mereka, akibat menonton tayangan SmackDown! di Stasiun TV Lativi (kini TVOne-pen). Mereka diduga meniru adegan berkelahi dalam tayangan itu. Lebih tragis lagi, dua di antaranya meninggal dunia.
Laporan aksi kekerasan yang diduga sebagai dampak tayangan TV bermula ketika seorang pelajar usia 9 tahun Reza Ikhsan Fadillah tewas setelah dianiaya tiga kakak kelasnya. Pelajar kelas 3 Sekolah Dasar di Bandung Jawa Barat itu meninggal setelah sekitar sepekan dirawat di rumah sakit. Belakangan ayah korban, Herman Suratman, menyatakan, putranya meninggal karena dianiaya ketiga kakak kelasnya yang meniru adegan SmackDown! di layar TV. Saat itu Kantor Pusat World Wrestling Entertainment (WWE) di Connecticut, perusahaan yang memproduksi tayangan SmackDown!, menyatakan tidak ada hubungan antara acara TV tersebut dengan kematian Reza. Hal itu didukung pendapat Psikolog Universitas Atmajaya, Irwanto. Ia menjabarkan faktor yang menentukan perilaku seorang anak bukan hanya dari tontotan televisi. Bila sekedar menonton, efek menirukan adegan, relatif kecil. Namun bila ada faktor-faktor lain, misalnya permainan elektronik yang bersifat pertarungan, bisa jadi mempengaruhi perilaku anak[1].
Di Amerika Serikat terdapat juga kisah nyata yang memilukan (pernah dimuat dalam Majalah Al-Falah edisi 147/Juni 2000). Pada suatu siang, di sebuah apartemen lantai empat, seorang bocah dengan bangga menepuk dada. Di depan cermin ia berlagak seperti Superman. Sambil mengibas-ngibaskan sayap di baju ala Superman yang ia kenakan, tiba-tiba ia melompat keluar jendela apartemen dan berteriak, “Suuuupermaaaannn...!”
Ibu sang anak tidak menyangka akan hal ini dan langsung menjerit histeris. Suaranya tercekat di kerongkongan karena melihat anaknya melompat dari lantai empat. Sementara itu, sang anak masih saja yakin bahwa dirinya bisa terbang seperti sang idola di televisi yang ia lihat setiap hari. Memang, ia bisa terbang, tetapi ke arah bawah. Semakin ia dekat ke bawah, maka semakin dekat pula malaikat maut menjemput. Kemudian, matilah “Sang Superman” bersimbah darah[2].
Beberapa contoh di atas hanyalah sedikit dari kasus di mana tayangan televisi diduga menjadi penyebab terjadinya musibah. Terutama bagi tayangan-tayangan yang mengandung unsur kekerasan, masyarakat akan mudah mengatakan bahwa tayangan itulah yang menjadi sebab maraknya terjadi penganiayaan.
Simak pula kisah nyata berikut ini. Di suatu daerah terjadi kasus pemerkosaan seorang pelajar wanita oleh empat teman siswanya. Sebelum digilir, terlebih dahulu siswi tersebut dicekoki minuman beralkohol. Dalam keadaan mabuk berat, siswi tersebut mengalami pelecehan seksual. Beberapa bulan pasca peristiwa, siswi tersebut hamil. Keempat pelaku tidak ada yang bertanggungjawab sehingga terdorong keinginan siswi untuk melaporkan mereka. Keempat pelaku akhirnya ditangkap oleh kepolisian. Salah satu pelaku dipaksa untuk menikahi teman siswi tersebut. Sebuah rangkaian peristiwa nyata yang kini banyak dijadikan alur cerita oleh program tayangan televisi.
Rangkaian peritiwa di atas sempat diliput secara intensif oleh media-media massa daerah. Bahkan diletakkan sebagai topik utama mengalahkan berita yang merupakan berita positif. Di kasus yang sama tapi berbeda daerah, program berita televisi-televisi swasta menayangkan kabar serupa. Setiap hari selalu ada berita tentang pelecehan seksual yang dibarengi berita-berita kriminal.
Di infotainment kabar artis melakukan seks bebas beberapa kali menjadi santapan utama. Kasus Ariel Peter Pan dengan Luna Maya dan Cut Tari dieksploitasi besar-besaran. Dalam eksploitasi berita itu tak sedikit pun menggambarkan hukuman moril yang dirasakan mereka. Justru media seperti membuka pikiran pemakluman dan mendukung habis-habis pembelaan mereka. Hasilnya setelah keluar bui nama Ariel kembali melejit. Bahkan lebih diperhitungkan. Sebuah contoh bagaimana aspek materi lebih diburu mengesampingkan aspek moral.
Di samping banyak catatan negatifnya, tayangan televisi juga membawa banyak efek positif. Sebagai media hiburan, televisi memberikan masyarakat berbagai tontonan segar. Adapun  beberapa macam tayangan tersebut, antara lain sinetron, komedi, kartun, film, dan drama. Di sini, tayangan televisi akan menghibur masyarakat dan menyegarkan kembali pikiran setelah seharian beraktivitas. Tak jarang tayangan yang bernilai positif ditiru masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Tayangan televisi juga berperan sebagai media pendidikan. Lewat tayangan televisi, kita telah melakukan pembelajaran audio visual. Hal ini terbukti saat kita menonton salah satu tayangan televisi yang berjudul: Laptop Si Unyil yang pada waktu itu sedang membahas tentang pembuatan tas daur ulang. Secara tidak langsung, kita telah mendapat pengetahuan akan cara pembuatan, bahan-bahan yang digunakan serta manfaat dari tas tersebut. Di sini, kita telah melakukan pengamatan lebih cermat lagi yang akhirnya mendapat kesan yang mendalam. Kesan itulah yang menjadikan kita untuk lebih mudah mengingat kembali apa yang telah kita pelajari. Subroto (1995:78) mengatakan bahwa menurut hasil penelitian, pembelajaran menggunakan audio visual seperti tayangan televisi mampu meningkatkan efisiensi pengajaran antara 20 hingga 50 persen.
Sebagai media informasi, tayangan televisi mampu memberikan informasi secara aktual dan cepat. Tayangan televisi dapat menayangkan informasi bersamaan saat terjadinya suatu peristiwa dan saat itu juga seluruh Indonesia dapat menyaksikannya secara serempak dalam waktu yang sama. Selain itu, tayangan televisi juga dapat menyiarkan informasi dari segala penjuru dunia sehingga masyarakat Indonesia dapat mengetahui adanya bencana alam di negara lain tanpa harus datang ke negara itu.
Dalam kehidupan, kita sebagai manusia sering kali memilki rasa ingin tahu yang sangat besar. Banyak pertanyaan yang hadir dalam diri kita setiap kali berada dalam situasi yang tidak kita mengerti. Tentunya hal yang diharapkan adalah sebuah jawaban dan jawaban itu berupa sebuah informasi yang penting untuk kita ketahui. Oleh karena itu, peran tayangan televisi sebagai media informasi sering kali ditunggu-tunggu kehadirannya.
Sebagai media iklan, tayangan televisi mampu menawarkan berbagai bentuk produk dan jasa kepada khalayak. Biasanya, iklan-iklan yang ditawarkan berhubungan dengan kebutuhan masyarakat, seperti sabun mandi, pasta gigi, makanan ringan, dan pakaian.
Iklan televisi dibuat secara menarik untuk menarik pinat masyarakat. Cara penayangan iklan sering kali memakai jasa model dan dibuat dalam bentuk cerita singkat yang mampu meninggalkan kesan mendalam bagi penontonnya. Segala cara dilakukan dalam penayangan iklan sekalipun itu harus berbohong, contohnya dapat kita lihat di berbagai iklan detergen yang menawarkan keampuhannya dalam mengatasi noda membandel, padahal sebenarnya hal tersebut tidaklah benar. Namun, berbohong dalam iklan bukan berarti penipuan. Tergantung kita sebagai pemirsa dalam menyikapinya. Mau percaya atau tidak. Menurut Bungin (2008:120), realitas iklan televisi hanya merupakan gambaran terhadap sebuah dunia yang hanya ada dalam televisi[3].
Dalam tayangan sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”, misalnya, kita dapat menemukan banyak fungsi dan efek dalam kehidupan bermasyarakat. Selain sebagai hiburan yang memberikan kesenangan, tayangan tersebut membawa pesan pendidikan yang berefek pada prilaku masyarakat yang semakin baik. Banyak adegan-adegan positif yang ditiru oleh masyarakat, di samping beberapa adegan “berbaya” khas sinetron yang wajib diwaspadai. Sehingga apapun jenis sinetron (sekalipun acara keluarga) tetap berlabel BO (bimbingan orangtua).
Antara tayangan televisi dan masyarakat (pemirsa) memiliki pola hubungan yang sinergis. Bahkan bisa dikatakan tayangan televisi mempengaruhi pemirsa yang menyaksikannya. Pemirsa selalu memiliki kecenderungan untuk meniru, terlebih tayangan tertentu diaggap sesuai dengan karakter dirinya. Lalu mengapa masyarakat memiliki kecenderungan untuk meniru? Lantas bagaimana cara mengurangi dampak negatif tayangan televisi bagi masyarakat?
A. Tinjauan Psikologis dan Efek Tayangan
Apakah media erotika, selain merangsang gairah seksual, juga menimbulkan perilaku seksual yang menyimpang? Apakah adegan kekerasan dalam televisi atau film menyebabkan orang beringas? Apakah siaran kesejahteraan keluarga dalam televisi menyebabkan ibu-ibu rumah tangga memiliki keterampilan baru? Pertanyaan-pertanyaan ini mencoba mengungkapkan efek komunikasi massa pada perilaku khayalaknya, pada tindakan dan gerakan yang tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
            Kurang lebih ada tiga dampak (efek) yang ditimbulkan dari acara televisi terhadap pemirsa, yaitu:
1.      Dampak kognitif yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Contoh: acara kuis di televisi.
2.      Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisi. Contoh: model pakaian, model rambut dari bintang televisi yang kemudian digandrungi atau ditiru secara fisik.
3.      Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Contoh: sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang mengintemalisasikan hubungan sosial bagi masyarakat.
Ketiga dampak tersebut tak lepas dari konsep psikologi tentang manusia yang telah dirumuskan oleh para ahli. Ada empat konsep manusia (Jalaluddin Rachmat: 2009) yaitu: psikoanalisis, kognitif, behaviorisme, dan humanisme. Dari keempat konsep yang ditawarkan—sebagaimana tema makalah ini—konsep behavioral manusia yang akan dibahas mendalam.
Mengapa manusia memiliki kecenderungan untuk meniru? Arsitoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632-1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan[4]. Konsep ini menegaskan bahwa seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience).
Dengan konsep ini, tayangan yang dinikmati oleh pemirsa menjadi pengalaman yang dapat mempengaruhi perilaku, kepribadian, dan tempramen pemirsa tersebut. Seorang yang gemar menonton film-film laga cenderung lebih “kasar” dibandingkan orang yang gemar menonton film drama India. Secara proporsional, orang yang gemar menonton tayangan pendidikan cenderung lebih pintar dibanding orang yang hanya menonton tayangan “sampah”. Akan sangat positif apabila tayangan yang disaksikan mengandung nilai-nilai pendidikan.
Sayangnya sedikit sekali tayangan televisi yang memiliki unsur pendidikan khususnya bagi anak-anak. Bahkan di jam pulang sekolah, anak-anak diberi suguhan berbagai tayangan yang seharusnya hanya boleh dikonsumsi usia remaja ke atas. Pada jam-jam tersebut berjibun tayangan infotainment, FTV dan jenis tayangan yang belum layak ditonton oleh anak-anak.
Untuk dapat membandingkan acara-acara yang ditayangkan, di bawah ini ada beberapa tayangan televisi di Indonesia pada jam 12.00-17.00.
INDOSIAR
TRANS 7
RCTI
12.00-Sinema pintu taubat siang
14.00-Hot Kiss
15.00-Fokus
15.30-Penolong misterius
16.00-Witt cabe rawit
17.00-Drama Asia (Korea)
12.00-Selebrita siang
12.30-Si bolang
13.00-Laptop si Unyil
13.30-Dunia binatang
14.00-Brownies
14.30-Tau gak sih
15.00-Fish n chef
15.30-Jejak petualang
16.00-Redaksi sore
16.30-Indonesiaku
17.00-Orang pinggiran
12.00-Seputar Indonesia (siang)
12.30-Si Doel Anak Sekolahan
14.30-Kabar kabari
15.00-Silet
15.30-Layar Drama Indonesia
16.30-Seputar Indonesia
17.00-Yang Muda yang Bercinta
Diakses melalui jadwaltvku.blogspot.com pada 22 April 2013
Dari tabel di atas ada beberapa catatan penting yang dapat disimpulkan. Pertama, dibanding dua stasiun tv lain, Trans 7 masih memiliki tayangan yang lebih bersahabat—kalau disebut tayangan anak tidak etis. Kedua, tidak ada jam yang terbebas dari tayangan infotainment di mana tayangan ini tidak layak dikonsumsi anak-anak. Ketiga stasiun televisi di atas seakan-akan “saling melengkapi” dalam menayangkan infotainment. Itu baru 3 stasiun televisi, bagaimana jika dibandingkan dengan seluruh stasiun televisi nasional yang jumlahnya belasan?
Semisal, katakanlah hanya Trans 7 satu-satunya stasiun yang masih layak ditonton oleh semua tingkat usia. Tayangan Si Bolang dan Laptop si Unyil dianggap sebagai tayangan yang benar-benar layak ditonton oleh anak usia dini. Apabila suatu daerah tidak bisa mendapat gelombang sinyal Trans 7, bagaimana anak-anak di daerah tersebut melihat televisi di jam-jam pulang sekolah? Kemungkinan terbesar ialah mereka akan mengonsumsi jenis tayangan apa saja yang tersedia.
Pemerintah juga perlu memperhatikan masalah ini, dengan menayangkan acara-acara yang berpihak pada perkembangan anak, memberi sumbangan pendidikan dan pengetahuan yang cukup, serta menyedediakan banyak alternatif tontonan pada anak. Sehingga, anak tidak lari pada acara yang kurang pas buat mereka. Televisi publik seyogyanya lebih banyak membawa misi ini dibanding televisi komersial. Namun, peran ini harus ditumbuhkan oleh keduanya secara bersamaan. Selain itu televisi publik (TVRI) kurang digemari di Indonesia. Berbeda dengan televisi publik Inggris, BBC yang digandrungi masyarakatnya. Sebuah pekerjaan rumah bagaimana memasyarakatkan televisi milik rakyat tersebut.
Ketidaktersedianya banyak tayangan anak menyebabkan—salah satunya—anak beralih ke game yang mengandung unsur kekerasan. Dan ironisnya, game-game tersebut dianggap sebagai game untuk anak sehingga tak banyak orangtua yang melarang. SmackDown! walau sudah lama dilarang tayang di layar kaca televisi, tetapi sangat bebas diakses di playstation atau pun game online. Mengutip pernyataan Irwanto, “Bila sekedar menonton, efek menirukan adegan, relatif kecil. Namun bila ada faktor-faktor lain, misalnya permainan elektronik yang bersifat pertarungan, bisa jadi mempengaruhi perilaku anak”. Game playstation mencakup semua unsur itu. Bahkan di dalam game ini ada peluang pornografi. Jika yang bertarung sama-sama perempuan, dalam game tersebut masing-masing dapat menarik bra lawannya.
Permasalahan yang cukup mendasar mungkin terletak pada tiadanya dana untuk membiayai siaran yang dikehendaki itu. Kita bisa melihat kecenderungan yang sekarang terjadi di mana insan perfilman dan pihak televisi lebih mengutamakan acara-acara yang umum—(untuk konsumsi orang dewasa yang biasanya diwarnai dengan adegan seks dan kekerasan yang bagi anak-anak, hal ini sebaiknya dihindari)—dibanding memproduksi tayangan yang spesifik untuk anak-anak. Aspek komersial bisa menjadi faktor utama dan pertama dalam hal ini. Para audien televisi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengajukan usul dan saran[5].  
Hal ini tentu berbahaya jika ditilik dari konsep behaviorisme. Informasi dari tayangan yang tidak dapat difilter dengan baik membuat kacaunya tatanan sosial. Seorang anak usia 7 tahun yang biasa menonton film remaja sudah mengerti kata-kata “cinta”, “pacaran”, “ciuman” dan banyak sitilah lainnya. Atau seorang anak gamer permainan kekerasan mengenal banyak jurus atau teknik berkelahi. Ujing-ujungnya mereka ingin mempraktikkan apa yang dilihatnya kepada temannya.
Efek behavioral dari tayangan televisi banyak dijumpai saat ini. Artis-artis kerap melakukan pencitraan dirinya dengan membuat kata-kata khusus, seperti Syahrini dengan kata “sesuatu” dan “cetar membahana”-nya. Komedian Sule dengan “prikitiw”-nya dan sederet nama-nama lain yang kemudian kata mereka menjadi bahasa pergaulan. Khayalak tidak mau tahu apa maksud dari kata-kata mereka. Ketika dirasa bagus dan cocok, dengan spontan khayalak menirukannya.
Efek tayangan televisi memang berpengaruh besar terhadap keadaan jiwa seseorang. Tayangan itulah yang menjadi informasi sekaligus pengalaman yang ada di pikiran anak. Perkenalan anak usia dini dengan dunia yang jauh dari usianya membuat ia tergerak untuk melakukan hal yang sama. Semisal seorang anak menonton tayangan orang dewasa, bukan tidak mungkin ia mencoba melakukan hal yang sama. Beberapa saat yang lalu tersiar kabar anak SD dicabuli teman sekelasnya sendiri! Tak dapat dipungkiri, perilaku tersebut, selain dari tayangan televisi juga mendapat dukungan dari teknologi yang dapat dijadikan fasilitas konten dewasa.
Memang benar pendapat bahwa proporsionalisasi tayangan televisi merupakan hal mustahil jika tak ada arahan dari orangtua. Peletakan simbol BO, R, D dll seakan menjadi hal yang percuma tanpa arahan dan teguran. Kembali pada contoh SmackDown! terdahulu, pihak penayang—Lativi (kini TVOne)—sebenarnya sudah melakukan langkah antisipatif agar tayangan itu tidak ditonton oleh anak usia dini, dengan menayangkannya pada jam malam. Bahkan pihak Lativi sudah memasang logo dewasa di pojok kiri monitor.
            Ada sebuah ironi lagi di mana tayangantayangan yang oleh sebagian besar orang merupakan tayangan untuk anak justru penuh dengan adegan kekerasan. Lihat saja bagaimana film-film kartun seperti One Pieces, Naruto, Dragon Ball Z, Power Ranger dan lainnya tak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kekerasan. Baku hantam menjadi tontonan utama. Secara imajinatif pun, alur cerita film yang diproduksi di negara “Shinto” ini berbahaya bagi akidah umat Islam. Bagaimana tidak, ketika guru ngaji mengajarkan Tuhan, surga, dan neraka di film-film kartun menafikan semua unsur itu. Dragon Ball Z dengan jelas menggambarkan bahwa dunia dewa bisa ditembus! Walau sifatnya fiksi, tetapi harus ada pendampingan dan pengertian dari orangtua agar anak tidak keliru memahaminya.
            Yang patut dipertanyakan pula, mengapa penayangan film-film ‘anak’ tersebut diadakan setelah waktu maghrib? Padahal mayoritas umat Islam adalah beragama Islam. Sebelum era televisi, di waktu maghrib anak-anak masih semangat untuk mengaji. Tapi setelah derasnya arus televisi yang masuk, pergeseran budaya sangat terasa. Anak-anak lebih memilih menghabiskan waktu di depan layar televisi dibanding mengaji di masjid.
            Pendidikan moral bagi anak sangat diperlukan agar mereka tidak terjebak dalam fantasi yang keliru. Anak-anak memang belum memiliki filter yang baik dalam memilah mana yang sekedar tontonan dan mana yang nyata. Bagi mereka gambar-gambar yang disaksikan melalui layar kaca itulah faktanya. Tidak peduli terdapat unsur-unsur kebohongan yang memang dibutuhkan dalam sebuah jalan cerita.
            Anak-anak ibarat kertas putih yang dapat ditulisi apa saja. Ketika sebuah pengalaman masuk ke dalam memori otaknya, bayangan itu masuk ke hatinya. Ketika sudah masuk ke hati, pengalaman itu akan tergambar dan tersalurkan. Peristiwa penganiayaan ala SmackDown! dan matinya sang “Superman” menjadi contoh bagaimana manusia, terutama anak-anak mengalami efek behavioral dari tayangan televisi yang dilihatnya.
B. Tayangan Kekerasan dan Regulasinya
SmackDown! menjadi tayangan hiburan sekaligus kekhawatiran bagi orangtua. Bagaimana tidak, tayangan berlabel dewasa ini justru digandrungi oleh anak-anak usia dini. Tidak jarang anak-anak memperagakan gerakan-gerakan pegulat SmackDown! walau dari tahap paling sederhana sekalipun. Puncaknya pada akhir 2006 lalu, masyarakat mendesak pihak penayang untuk menghentikan tayangan ini karena di beberapa tempat terjadi aksi kriminalitas atas nama SmackDown!.
Akan tetapi kekerasan dalam tayangan televisi tidak berakhir sampai di situ. Adegan kekerasan, penganiayaan,  atau gambar korban yang mengerikan, tiap  hari bisa kita saksikan di hampir seluruh stasiun televisi swasta. Pelakunya pun beragam. Kadang penjahat, kadang warga masyarakat, dan tak jarang polisi. Peristiwanya sendiri ada yang direkam kamera ketika kejadiannya berlangsung. Tapi ada pula yang reka ulang. Jadi adegannya sering mirip “film action”. Tapi ada pula yang seperti sandiwara. Dan itu semua dianggap sebagai hal biasa!
Hampir seluruh stasiun televisi yang mempunyai program acara berita, kasus kriminal dan kekerasan lebih mendominasi dibanding berita lainnya. Kasus ini semakin didukung ulah infotainment yang “ikut-ikutan” masuk ke ranah ini dengan menayangkan perseteruan hebat antarartis. Yang aktual ialah perseteruan Adi Bing Slamet dengan ‘mantan’ guru spiritualnya Eyang Subur yang ditayangkan selama berhari-hari, siang dan malam. Bahkan di tayangan tersebut ada adegan di mana Arya Guna, seorang ‘mantan’ pengikut Eyang Subur lainnya, menyuarakan sumpah serapah dan ancaman.
Tayangan kriminalitas dan kekerasan memang sudah menjadi menu harian di televisi. Tayangan itu hadir di tengah keluarga kita. Masuk ke ruang tamu, bahkan kamar tidur. Penayangannya pun tak mempedulikan waktu. Ada yang malam, sore, ataupun  siang hari. Seakan publik terus menerus haus berita kriminal dan kekerasan. Anak-anak pun seakan layak belajar dan mengenal berbagai jenis kekerasan dan kriminal. Pengelola televisi sepertinya kurang peka, bahwa di waktu siang dan sore, bagi anak-anak televisi merupakan “teman bermain“, “guru“, bahkan pengganti orang tua yang masih bekerja.  Lalu bagaimana jadinya,  jika tiap hari diberi suguhan tayangan kekerasan dan kriminalitas?
Dahulu adegan kekerasan hanyalah diperlakukan sebagai bumbu sebuah tayangan atau berita. Sekarang ketika pertelevisian bersaing ketat, kekerasan dan kriminalitas telah menjadi menu favorit yang dikemas, dijual, dan diberi acara tersendiri di hampir sebagian besar stasiun televisi. Selama ratingnya tinggi, pengelola televisi seakan merasa “sah“ menayangkan adegan demikian.
Padahal tayangan televisi menurut berbagai studi terbukti mempunyai pengaruh yang kuat. Dengan melihat, orang menjadi lebih percaya. Apa yang nampak di televisi dianggap sebagai realitas yang bermakna. Gerbner dalam Growing up with television (1994), juga Porter dalam On Media Violence (1999),  menuturkan, efek tayangan kekerasan di televisi  memilliki efek segera atau  jangka pendek, dan efek jangka panjang.
            Munculnya rasa takut dan ngeri, kemudian tekanan darah naik, merupakan contoh efek segera dari emotional effect dan physiological effect. Namun beberapa ahli juga menunjukan potensi adanya imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang sering muncul  di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi.
Sedangkan efek jangka panjangnya adalah habituation. Yaitu menjadi terbiasa dengan kekerasan dan kriminal. Orang menjadi tidak peka, permisive,  dan tolerance. Bahkan Poter (1999)  menunjukkan adanya learning social norms, karena tayangan yang terus menerus, kekerasan bisa dianggap sebagai cara yang dibenarkan untuk menyelesaikan masalah. Makanya tak heran kalau masyarakat Indonesia menjadi “makin akrab” terhadap berbagai bentuk kekerasan. Terlebih kalau obyeknya  tersangka pelaku kriminal. Untuk mereka, dihajar, ditembak, dibunuh, bahkan dibakar hidup-hidup seakan sudah dianggap “wajar”.  Hukum, dan prasangka baik, sering tidak berlaku bagi tersangka kriminal. Apalagi mempertimbangkan, bahwa mereka itu mungkin juga korban keadaan. Di mana keadaan ekonomi dan sosial, sering mengkondisikan orang-orang tertentu untuk berbuat jahat.   Tapi pemikiran demikian tenggelam dengan “dipupuknya” budaya kekerasan oleh media massa, yang secara tak langsung juga mensosialisasikan cara berpikir pendek, tidak cerdas,  dan tidak mencerahkan[6].
Di Yogyakarta (Sleman) kasus penyerangan LP Cebongan oleh anggota Kopassus mendapat dukungan simpatik dari sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat menilai apa yang dilakukan oleh Kopassus yang berjiwa corsa amatlah wajar. Hal ini selain melanggar hak asasi manusia (HAM) juga menjadi bias hukum. Bagaimana mungkin seorang tahanan negara diadili melalui jalan yang keji? Bisa jadi, pemakluman atau bahkan dukungan sebagian masyarakat itu merupakan efek jangka panjang dari tontonan kekerasan yang biasa dikonsumsinya.
Terkait tayangan kekerasan dan seksual yang dianggap membawa pengaruh besar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah membuat dan menerapkan regulasi penayangan. Yaitu pada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) BAB XII PROGRAM SIARAN BERMUATAN SEKSUAL Pasal 16: Lembaga penyiaran  wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual; dan BAB XIII PROGRAM SIARAN BERMUATAN KEKERASAN Pasal 17: Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.
Demikian pula, KPI telah membuat peraturan muatan tontonan berdasar usia sebagaimana termaktub dalam BAB XVII PENGGOLONGAN PROGRAM SIARAN  Pasal 21: (1) Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan penggolongan program siaran berdasarkan usia dan tingkat kedewasaan khalayak di setiap acara. (2) Penggolongan program siaran diklasifikasikan dalam 5 (lima) kelompok berdasarkan usia, yaitu: a. Klasifikasi P: Siaran untuk anak-anak usia Pra-Sekolah, yakni khalayak berusia 2-6  tahun; b. Klasifikasi A: Siaran untuk Anak-Anak, yakni khalayak berusia 7- 12 tahun; c. Klasifikasi R: Siaran untuk Remaja, yakni khalayak berusia 13 – 17 tahun; d. Klasifikasi D: Siaran untuk Dewasa, yakni khalayak di atas 18 tahun; dan e. Klasifikasi SU: Siaran untuk Semua Umur, yakni khalayak di atas 2 tahun. (3) Lembaga penyiaran televisi wajib menayangkan klasifikasi program siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas dalam bentuk karakter huruf dan kelompok usia penontonnya, yaitu:  P (2-6), A (7-12), R (13- 17), D (18+), dan SU (2+) secara jelas dan diletakkan pada posisi atas layar televisi sepanjang acara berlangsung untuk memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi program siaran. (4) Penayangan klasifikasi P (2-6), A (7-12) atau R (13-17) oleh lembaga penyiaran wajib disertai dengan imbauan atau peringatan tambahan tentang arahan dan bimbingan orangtua yang ditayangkan pada awal tayangan program siaran.
Pada standar program siaran (SPS) ditegaskan dalam BAB I KETENTUAN UMUM pasal 1 ayat (25) bahwa Adegan kekerasan adalah gambar atau rangkaian gambar dan/atau suara  yang menampilkan tindakan verbal dan/atau nonverbal yang menimbulkan rasa sakit secara fisik, psikis, dan/atau sosial bagi korban kekerasan. Serta ayat (26) Adegan seksual adalah gambar atau rangkaian gambar dan/atau suara yang berkaitan dengan seks, ketelanjangan, dan/atau aktivitas seksual[7].
Khusus untuk kekerasan, KPI sudah melakukan penegasan dengan menetapkan program siaran yang mengandung muatan adegan kekerasan dibatasi hanya boleh disiarkan pada klasifikasi D, pukul 22.00-03.00 waktu setempat. Pun jenis adegan kekerasan sudah diatur sedemikian rupa. Namun peraturan yang dibuat seakan hanya menjadi formalitas lembaga yang mengatasnamakan dirinya sebagai lembaga negara independen tersebut. Pada kenyataannya banyak pelanggaran yang dilakukan oleh stasiun televisi yang dibiarkan begitu saja.
Walaupun demikian usaha yang dilakukan oleh KPI sepatutnya diapresiasi. Paling tidak sudah ada batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh pihak penayang. Adanya konsumsi tontonan dewasa, terutama kekerasan oleh anak usia dini berarti menjadi tanggung jawab orangtua sebagai pengawas. Faktanya tayangan televisi memang sudah mencantumkan logo/simbol kategori usia pemirsa. Walau pelaksanaan penayangannya masih kerap dilakukan di jam-jam yang rawan ditonton anak usia dini.
C. Solusi Tayangan
Menghilangkan tayangan kekerasan dan unsur seksual dalam pertelevisian sangatlah tidak mungkin. Selain karena digemari, adegan kekerasan dan seksual yang dapat memicu efek behavioral negatif sudah dianggap seni. Untuk seksual dalam dunia pertelevisian memang sangat minim, tetapi masih ada unsur itu di beberapa tayangan. Bahkan di pemberitaan, kasus pelecehan seksual kerap dijadikan berita utama apalagi yang menyangkut artis.
            Yang mungkin  bisa dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan pemirsa salah satunya adalah mengatur jam tayang. Mengutip tulisan Henry Subiakto, Dosen Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga bahwa kekerasan di televisi memang harus diatur waktu dan cara penayangannya. Karena karakteristik media massa, terutama televisi dan radio memang sarat dengan aturan. Filosofi ini berlaku di manapun, termasuk di negara liberal sekalipun seperti Amerika dan Inggris. Dibuatnya Draf Pedoman Perilaku dan Standar Program Penyiaran oleh KPI hendaknya direspon dengan bijak dan hati-hati. Di samping karena hal itu berdasar amanat UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pengaturan demikian juga didasarkan pada kepentingan penonton.
Di negara liberal seperti Inggris, tayangan program  yang mengandung kekerasan  juga diatur. Regulasi itu menyangkut cara menampilkannya (the portrayal of violence), maupun jadwal penayangannya (scheduling programmes). OFCOM, nama baru Komisi Penyiaran Inggris  yang berlaku sejak 1 April 2004 lalu, dalam salah satu aturannya berbunyi “programmes containing violent material is unsuitable for children will not be shown before the watershed time of 9 pm”.  Ada lagi aturan yang menyebutkan “in reporting or depicting violent crime, programmes will avoid glamourising it or promoting fear of crime.” Jadi di sana program yang mengandung kekerasan tidak boleh ditayangkan pada saat anak-anak sedang banyak menonton. Kemudian,  berita kekerasan dan kriminal, juga harus menghindarkan kesan yang mengagumkan, pantas dicontoh, atau membangkitkan rasa takut. 
KPI nampaknya ingin melakukan hal serupa sebagaimana komisi sejenis di luar negeri. Makanya semua pihak harus siap kalau berbagai isi televisi dan radio akan diatur. Termasuk ketentuan tentang imparsialitas program berita, persoalan kesopanan isi program, periklanan, sponsorship, hingga penempatan waktu tayang. Persoalannya apakah pengaturan demikian itu berarti pembelengguan terhadap kebebasan pers? Sebagaimana sempat  dikhawatirkan kalangan Assosiasi Televisi Swasta Indonesia (Kompas, 27 Mei 2004).
Yang jelas sebagaimana diulas di atas,  karakteristik televisi dan radio memang  sarat dengan aturan detail. Tapi KPI tidak boleh seenaknya dalam membuat regulasi. Tetap harus memperhatikan prinsip yang paling dasar. Yaitu tidak boleh bertentangan dengan kebebasan pers yang telah dijamin UUD 1945  pasal 28F, dan UU no 40 th 1999 pasal 4 dan 5. Juga harus berpegang pada aturan mengenai tugas dan keawajiban KPI,  menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia (UU no 32 th 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat 3).  Dengan demikian lembaga penyiaran tetap menjadi kekuatan kontrol terhadap kekuasaan, serta menyajikan informasi yang menjadikan warga negara mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
Selain regulasi, peran dan bimbingan orangtua menjadi kunci keberhasilan pengarahan tayangan televisi bagi anak. Dengan menemani sang anak dan menjelaskan bahwa semua tontonan itu tidak nyata, ada kecenderungan anak untuk  mengambil sisi hiburannya saja. Lebih dari itu, pemilihan tayangan yang mengandung nilai-nilai pendidikan sangat disarankan agar—sesuai konsep behaviorisme—perilaku yang ditiru menjurus ke hal-hal yang positif.


BAB III
Penutup
Kesimpulan
Tayangan televisi memiliki pengaruh besar terhadap perilaku khayalak yang menyaksikannya. Ketika tayangan yang dilihat bernilai positif, hal tersebut bisa berpengaruh pada individu. Jika ditinjau dari psikologi, konsep manusia behaviorisme menyatakan hal tersebut. Bahwa manusia merupakan kertas putih yang bisa ditulisi apa saja. Terutama bagi anak-anak, jenis konsumsi tayangan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya.
            Ironisnya tayangan-tayangan yang ada banyak yang tidak sesuai untuk anak usia dini. Bermacam televisi yang ada lebih memprioritaskan pasar, dalam hal ini remaja ke atas. Untuk tayangan anak pun, adegan kekerasan masih menjadi tontonan utama. Seperti Naruto, One Pieces dan lainnya. Dikhawatirkan hal itu mempengaruhi pemikiran anak ke hal-hal yang negatif.
            Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah menetapkan regulasi penayangan, termasuk ke tayangan yang mengandung adegan kekerasan dan seksual. Dalam regulasi pun sudah dicantumkan jam-jam tayang yang diperbolehkan. Akan tetapi nyatanya banyak televisi yang melanggar dan itu menjadi PR bersama, bagaimana tayangan yang ada tidak membawa efek negatif yang berlebihan.


Daftar Pustaka
Kuswandi, Wawan Drs. Komunikasi Massa, sebuah analisis media televisi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996
Rachmat Jalaludin Drs. M. Sc., Psikologi Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2009
Darwanto, Drs. S.S., Televisi Sebagai Media Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2 2011
Musbikin, Imam. Dibesarkan Kantong Ajaib Doraemon, Yogyakarta: Divapress, 2009
KPI, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran: 2012 (pdf)
http://bbloghenry.blogspot.com
http://misseunggi.blogspot.com
www.dw.de



[1] www.dw.de katalog 1 Desember 2006. Diakses 16 April 2013 dengan perubahan
[2] Imam Musbikin, Dibesarkan Kantong Ajaib Doraemon, Divapress, Yogyakarta 2009
[3] http://misseunggi.blogspot.com dengan perubahan
[4] Drs. Jalaluddin Rachmat, M. Sc., Psikologi Komunikasi: 2009
[5] Arini Hidayat: Televisi dan Perkembangan Sosial Anak hal 5
[6] Diolah dengan banyak perubahan dari http://bbloghenry.blogspot.com
[7] KPI, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran: 2012

0 comments:

Post a Comment