Friday, October 4, 2013

SIKAP DAN TANTANGAN SASARAN DAKWAH

TAFSIR AYAT DAKWAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah Tafsir Ayat Dakwah yang diampu oleh Ibu Anisah Indriati

Oleh : Sarjoko (12210119)
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TA 2012/2013

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahrirabbil ‘alamin, nahmaduhu hamdan hamdan, wa nasykuruhu syukron syukron. Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan nikmat serta inayah-Nya sehingga tugas penulisan makalah ini dapat dirampungkan sebagaimana rencana semula. Shalawat serta salam kami sampaikan kepada baginda Rasul Muhammad SAW yang memberi inspirasi lewat perilaku dakwah islaminya.
Dalam sambutan ini kami ucapkan beribu terima kasih kepada Allah SWT atas firman “Ud’u ilaa sabiili robbika” yang menuntun penulis untuk terus berusaha melakukan aktivitas dakwah walau dalam tataran paling rendah sekalipun. Termasuk dalam menyusun sebuah makalah yang membahas mengenai unsur-unsur di dalam dakwah ini, penulis mengartikannya sebagai salah satu dakwah yang semoga bermanfaat. Amin. Penulis menyadari masih terjadi banyak kesalahan baik dari sitematika penulisan atau kekeliruan pemahaman penulis terhadap tafsiran beberapa ulama. Penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besar-Nya kepada para ulama, wa bil khusus kepada ibu dosen.
Ucapan terima kasih paling agung disampaikan kepada Allah SWT. Kepada baginda Rasul Muhammad SAW sang inspirator. Kepada dosen pengampu matakuliah Tafsir Ayat Dakwah, ibu Anisah Indriati yang senantiasa memberi pencerahan mahasiswa dalam memahami teks-teks dakwah. Tak lupa kepada teman-teman seperjuangan yang semoga bersama-sama menjadi kader da’i yang baik sehingga masa depan bangsa ini terselamatkan berkat pancaran cahaya Islam.
Akhirnya penulis serahkan penilaian atas usaha penulis ini kepada dosen pengampu. Permintaan maaf sekali lagi penulis sampaikan apabila masih banyak kekurangan-kekurangan akibat kelalaian dalam menyusun makalah ini. Akhir kata, wallahumuwafiq ilaa aqwam at-thariq.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 06 April 2013
Penyusun

DAFTAR ISI


Kata Pengantar 2
Daftar Isi 4
BAB I : PENDAHULUAN 5
Ayat-ayat Dakwah 7
BAB II : PEMBAHASAN 10
Fushshilat ayat 26 10
Ali Imron 19, 21 dan 186 13
Al-Muzammil 1-5 22
Al-Baqarah 214 31
BAB III: PENUTUP 34
Daftar Bacaan 35

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seorang da’i dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat. Tujuannya ialah agar mengajak seluruh manusia menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT dan menghindarkan manusia dari jalan yang tidak benar.
Dalam proses dakwah ini terdapat bermacam rintangan, salah satunya penolakan oleh golongan lain. Banyak sekali tantangan dan cobaan-cobaan yang dihadapi oleh seorang da’i dalam menjalankan misi dakwah ini. Untuk itu, seorang da’i selain harus mengetahui cara-cara berdakwah yang baik, materi dakwah yang sesuai dan beberapa persoalan lainnya, tidak kalah pentingnya ialah seorang da’i dapat mengetahui persoalan-persoalan laten yang terjadi di dunia dakwah. Hal itu dilakukan agar seorang da’i mampu menghadapi setiap situasi dengan bijak serta mampu menyikapinya dengan baik dan sesuai apa-apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT.
Makalah ini disusun dari berbagai macam perspektif yang telah dipaparkan oleh beberapa pakar tafsir mengenai ayat-ayat tentang sikap dan tantangan sasaran dakwah terhadap aktivitas dakwah.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini disusun berdasar rumusan pertanyaan-pertanyaan:
Apa sikap dan tantangan sasaran dakwah terhadap aktivitas dakwah yang terkandung di dalam ayat-ayat tentang hal tersebut?
Mengapa mereka melakukan hal itu?
Bagaimana usaha da’i dalam menanganinya?

C. Tujuan
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Tafsir Ayat Dakwah yang diampu oleh Ibu Anisah Indriati. Isi di dalam makalah ini membahas sikap dan tantangan sasaran dakwah terhadap aktivitas dakwah dan cara sikap serta penanganan yanag seharusnya dilakukan oleh seorang da’i.





AYAT-AYAT DAKWAH

Q.S Fushshilat ayat 26
             
26. Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka".

Q.S Ali Imron 19, 21 dan 186

                             
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

                   
21. Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil. Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.
                           
186. Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu, dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.

Q.S Al-Baqarah 214

                                 
214. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

Q.S Al-Muzammil 1-5
                                   
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
5. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat.


BAB II
PEMBAHASAN

Sikap Dan Tantangan Sasaran Dakwah Terhadap Aktivitas Dakwah

Da’i dan Sikap dalam Menghadapi Objek Dakwah yang Mencela
Hikmah QS Fushshilat ayat 26

Ayat yang lalu (sebelumnya (Fushshilat 25), pen) menjelaskan adanya teman-teman yang memperindah keburukan terhadap para pendurhaka dan itu juga berarti mereka memperburuk yang indah. Ayat di atas memberi salah satu contoh peranan teman-teman buruk itu. Kata “dan” pada awal ayat ini berfungsi mengantar perpindahan dari satu uraian ke uraian yang lain. Dalam hal ini adalah ucapan para pendurhaka itu. Sebelum ini—sebagaimana disinggung di atas—pada ayat 5 yang lalu telah disebutkan ucapan mereka yang menyatakan: “Hati kami berada dalam tutupan.” Ayat ini dapat juga merupakan salah satu contoh dari keengganan mereka menerima ajaran Islam. Ayat ini bagaikan menyatakan: Dan orang-orang kafir berkata satu sama lain atau tokoh-tokohnya berkata kepada pengikut-pengikutnya: “Janganlah kamu mendengar dengan cara apapun apalagi dengan bersungguh-sungguh kepada al-Qur’an ini karena dia dapat merancukan pikiran kamu dan mengalihkan kamu dari agama leluhur kita, dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya dengan jalan berteriak dan bertepuk tangan, atau bermain, dan lain-lain bila ada yang membaca sehingga tidak ada yang mendengarnya, semoga dengan berbuat demikian kamu dapat menang menghadapi Muhammad dab pengaruh bacaannya itu.
Kata (اللّغو) al-laghwu terambil dari kata (لغى) lagha yang berarti batal. Satu aktivitas yang mestinya tidak dilakukan atau dibatalkan dinamai laghwu. Ia adalah yang tidak bermanfaat atau penting.
Ayat di atas menunjukkan pengakuan kaum musyrikin Mekkah terhadap keistimewaan dan pengaruh al-Qur’an terhadap jiwa manusia. Di sisi lain, kendati mereka saling melarang atau melarang pengikut-pengikut mereka mendengar al-Qur’an, sekian banyak tokoh kaum musyrikin bersembunyi-sembunyi mendengarkannya karena kagum dan terpesona oleh keindahan bahasanya.
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam tafsir An-Nur memberi penafsiran bahwa ayat ini merupakan larangan dari petinggi-petinggi musyrik Makkah kepada para pengikutnya untuk mendengarkan serta memperhatikan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Musyrikin Makkah berkata: Jangan kamu dengar Al-Qur’an yang dibaca Muhammad ini dan jangan pula kamu perhatikan apa maksudnya dan berjanjilah kamu ketika orang sedang membacanya untuk mengganggu bacaannya itu. Mudah-mudahan kamu dapat mengalahkan pembacaannya itu.
Rasulullah SAW. ketika membaca Al-Qur’an ketika beliau masih di Makkah, beliau meninggikan suaranya. Apabila terdengar beliau membaca Al-Qur’an, maka tokoh-tokoh musyrikin mengusir orang-orang yang mendengar Al-Qur’an itu dari Nabi dan menyuruh mereka bernyanyi-nyanyi, bersuit-suit dan bertepuk-tepuk tangan.
Ibnu Abbas berkata: “Abu Jahal berkata kepada pengikut-pengikutnya: “Apabila Muhammad membaca Al-Qur’an maka berteriak-teriaklah kamu agar mengganggu pembacaannya itu.”
Kesimpulan ayat ini, tulis Prof. T. M Hasbi Ash-Shiddieqy, ialah Allah menerangkan bahwa orang-orang musyrikin apabila mendengar Al-Qur’an berusaha supaya orang-orang yang sedang memperhatikan pembacaan itu tidak dapat memahaminya. Untuk maksud itu mereka berteriak-teriak, bernyanyi-nyanyi, bahkan bertepuk-tepuk tangan.
Hal ini menjadi peringatan kepada para da’i betapa beratnya tugas yang dipikul oleh seorang da’i dalam menyampaikan ayat-ayat Allah. Berbagai rintangan dan cobaan harus diterima demi membawa misi dakwah Islam untuk menyelamatkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Orang musyrik cenderung menutup telinga dari informasi tentang Islam yang dibawa oleh para muballigh, bahkan cenderung memperolok-oloknya. Perbuatan itu sudah menjadi laten orang-orang musyrik sejak jaman dahulu, ketika Nabi Muhammad SAW. berdakwah menebar ajaran Islam di Makkah.
Yang diperlukan oleh seorang da’i dalam menghadapi hal semacam itu adalah bersabar dan terus memperjuangkan dakwah islamiyah, baik dalam konteks bil hikmah, bi mau’idzatil hasanah, bi mujadalah maupun strategi dakwah lainnya. Aktivitas dakwah jangan sampai terhenti dengan adanya cobaan yang berat sebagaimana di alami oleh Nabi Muhammad SAW. Surga adalah balasan bagi hamba-hamba Allah yang beriman sebagaimana terdapat di banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 35 mengenai keutamaan jihad fi sabilillah.
             
35. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Maidah (5): 35)

Tantangan Da’i dalam Menegakkan Ayat-Ayat Allah
Hikmah QS Ali Imron 19, 21 dan 186

A. Penegasan Agama yang Benar di Dalam Kitabullah (QS Ali Imron ayat 19); Kritik Pandangan Kaum Liberal atas Wacana Semua Agama itu Sama.

Kata (دين) din mempunyai banyak arti, antara lain ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan. Juga berarti agama karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.
Sesungguhnya agama yang disyariatkan di sisi Allah adalah Islam. Demikian terjemahan yang popular.
Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancauan. Untuk memahaminya dengan lebih jelas, mari kita lihat hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya.
Ayat yang lalu menegaskan bahwa tiada Tuhan, yakni tiada Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam, kecuali Dia, Yang Mahaperkasa lagi Bijaksana. Jika demikian, ketaatan dan ketundukan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah sehingga, jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah, yang diakui dan diterima di sisi-Nya.
Agama, atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah swt. Islam dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
Ayat ini, menurut Ibn Katsir, mengandung pesan dari Allah bahwa tiada agama di sisi-Nya dan yang diterima-Nya dari seorang pun kecuali Islam, yaitu mengikuti rasul-rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir dengan Muhammad saw. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau sehingga siapa yang menemui Allah setelah diutusnya Muhammad saw. dengan menganut satu agama selain syariat yang beliau sampaikan, tidak diterima oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran [3]:185).
Sekali lagi, jika demikian, Islam adalah agama para nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat nabi terdahulu, karena itu—tulis asy-Sya’rawi—Islam tidak terbatas hanya pada risalah Sayyidina Muhammad saw. saja. Tetapi, Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja—lanjut asy-Sya’rawi—kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat, sedang umat Nabi Muhammad saw. memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama baginya. Ini karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ulama Mesir kenamaan itu mengemukakan bahwa nama ini telah ditetapkan jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad saw. Firman Allah yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim dan diabadikan al-Qur’an menyatakan: “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam al-Qur’an ini…” (QS. Al-Hajj [22]: 78). Karena itu pula agama-agama lain tidak menggunakan nama ini sebagaimana kaum muslimin tidak menamai ajaran agama mereka dengan Muhammadinisme.
Di sisi lain diamati bahwa dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatanga Nabi Muhammad saw. Dari semua yang dijelaskan di atas, tidak keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. karena, baik dari tinjauan agama maupun sosiologis, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. dan, secara akidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., walaupun di sisi Allah semua agama yang dibawa oleh para rasul adalah Islam sehingga siapapun—sejak Adam hingga akhir zaman—yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, Allah tidak menerimanya.
Allah telah mengutus rasul-rasul membawa ajaran Islam, tetapi banyak yang tidak menganutnya. Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih adalah pengikut para nabi yang diutus Allah membawa ajaran itu. Sebenarnya para nabi dan rasul yang diutus itu tidak keliru atau salah, tidak juga lalai menjelaskan agama itu kepada para pengikut mereka karena tidak berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab pada suatu kondisi atau pun waktu kecuali sudah datang pengetahuan kepada mereka. Nah, jika demikian, mengapa mereka berselisih? Tentu ada penyebabnya. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dan orang lain, tetapi antara mereka satu dan yang lain.
Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata (بغيا) baghyan, yang digunakan ayat di atas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu.
Ayat di atas menegaskan bahwa mereka telah mengetahui kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan diancam. Ini karena keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan dan ketaatan atau, dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan. Keberagamaan membutuhkan buah, sedang tumbuhan tidak akan berbuah jika tidak ada lahan yang subur berupa kesucian hati. Bukankah air yang tercurah dari langit tidak menghasilka buah tanpa ada lahan subur yang digarap? Mereka yang berselisih karena enggan menerima ajaran para rasul, apalagi setelah mereka ketahui, pada hakikatnya adalah orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah, dan barang siapa kafir terhadap ayat-ayat Allah maka Allah akan menjatuhkan sanksi atasnya. Jangan menduga bahwa sanksi itu masih lama. Tidak! Sebentar lagi akan mereka alami karena sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya dan dengan demikian, cepat pula jatuhnya sanksi Allah terhadap orang-orang yang kafir.
Konteks ayat ini memang tertuju pada ahlu kitab yang seakan menutup telinganya dari ajaran yang benar yakni Islam. Spirit di dalam surat ini ialah spirit penegasan bahwa hanya Islam-lah agama yang disyari’atkan oleh Allah. Islam yang dimaksud tidak hanya sebatas Islam yang dibawa oleh Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad SAW, tapi juga ajaran yang dibawa nabi-nabi sejak awal. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan ajaran penyempurna yang meliputi ajaran-ajaran Nabi terdahulu yang sudah banyak menyimpang dari konsep awalnya.
Kewajiban dakwah sendiri merupakan kewajiban menyampaikan ajaran yang benar. Adapun hasil apakah seseorang mengikuti ajakan atau tidak, itu tergantung apakah seseorang mendapat petunjuk dari Allah SWT atau tidak.

B. Balasan Bagi Orang yang Ingkar terhadap Allah dan Nabi-Nya (QS Ali Imron ayat 21)
Ayat di atas menyebutkan tiga macam dosa besar, masing-masing secara berdiri sendiri diancam dengan siksa yang pedih. Pertama, mengingkari ayat Allah, baik dengan menolak mengakui kitab suci yang diturunkan kepada para nabi maupun ayat-ayat yang berupa tanda dan bukti-bukti yang terbentang dengan sangat jelas di alam raya. Kedua, membunuh nabi-nabi. Konon, orang-orang Yahudi membunuh 43 orang nabi, demikian disebutkan di dalam tafsir al-Jalalain. Namun yang telah mereka bunuh adalah Nabi Zakariyya dan Yahya as. serta yang mereka upayakan untuk membunuhnya adalah Nabi Isa as., bahkan Nabi Muhammad saw.
Ada qiraat (bacaan) yang berbunyi (يقاتلون) yuqatilun dalam arti memerangi.
Membunuh dan memerangi para nabi pastilah tidak dibenarkan. Jika demikian, mengapa ayat ini perlu mencantumkan kata tidak dibenarkan tersebut? Ini—kata para penafsir—untuk mengisyaratkan bahwa mereka pun sebenarnya meyakini bahwa pembunuhan para nabi itu tidak dibenarkan, tetapi mereka tetap melakukannya. Di samping itu, bias jadi ada yang menduga bahwa pmbunuhan yang mereka lakukan itu karena kesalahpahaman atau ada dalih yang mengantar kepada tindakan criminal itu. Untuk menampik dugaan itu, kata “tidak dibenarkan” menjadi sangat perlu dicantumkan dan, dengan demikian, semakin jelas keburukan sifat mereka.
Bukan hanya para nabi yang mereka bunuh tanpa hak, mereka masih mempunyai dosa ketiga yaitu membunuh juga orang-orang yang menyeru kepada keadilan dan yang berusaha menegakkannya. Ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang Yahudi, tetapi juga selain mereka. Bukankah sekian banyak yang telah mengalami penganiayaan dan penguasa tirani hingga masa kini?
Kata (يقتلون) yaqtulun/membunuh, baik yang pertama maupun yang kedua, menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan akan datang. Ini untuk mengisyaratkan bahwa upaya tersebut berkesinambungan. Memang, para nabi tidak ada lagi, tetapi ketika turunnya ayat ini, upaya pembunuhan terhadap nabi masih mereka lakukan, yakni terhadap Nabi Muhammad saw. Anda juga dapat berkata bahwa penggunaan bentuk kata kerja masa kini itu untuk menghadirkan keburukan mereka dalam benak pembaca atau pendengar ayat ini, seakan-akan pembunuhan tersebut terjadi di hadapan mitra bicara.
Kejahatan mereka juga tercermin dalam pembunuhan terhadap penganjur keadilan yang oleh ayat di atas dinamai penganjur al-Qisth. Tambahan kata (من الناس) min an-nas dari kelompok manusia untuk mengisyaratkan bahwa mereka bukan kelompok para nabi atau dari kelompok manusia yang tergabung dalam masyarakat mereka. Kata itu juga dapat mengisyaratkan bahwa ada kelompok penganjur keadilan selain manusia, yakni para malaikat.
Kata (بشر) basyir terambil dari kata (بشرة) basyarah, yang berarti kulit. Biasanya, berita yang penting atau mengesankan kesannya tampak pada kulit (air) muka. Dari sini kata tersebut bisa digunakan dalam arti “beritakan”, dan karena berita gembira sering kali lebih mudah tampak pada air muka dan tidak segan untuk ditutup-tutupi, kata tersebut sering digunakan untuk penyampaian berita gembira. Dalam ayat ini, kata tersebut dipilih sebagai ejekan kepada mereka. Nabi saw. diperintahkan untuk menyampaikan berita yang dampaknya tampak pada air muka mereka, yakni bahwa mereka dinanti oleh siksa yang pedih.
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan ada tiga macam siksa yang diterima oleh mereka. yaitu azab yang pedih, hilangnya kemanfaatan, dan terus menerus menderita azab.
Ayat ini menjadi refleksi bagi kita untuk melihat sejarah bagaimana umat-umat yang ingkar terdahulu sangat membenci nabi yang diutus oleh Allah. Bahkan mereka membunuh nabi-nabi yang mensyi’arkan ajaran tauhid. Untuk itu penting bagi da’i sebagai bentuk kewaspadaan bahwa aktivitas dakwah yang dijalankannya pasti mendapat tantangan dari beberapa golongan. Sejak dulu hal ini telah terjadi.

C. Cobaan Bagi Umat Islam yang Terkandung di QS Ali Imron Ayat 186

Allah mengingatkan kaum mukminin semuanya peringatan yang juga mengandung hiburan bahwa: Demi Allah, sungguh, kamu semua, wahai orang Islam, kapan dan di manapun akan diperlakukan orang yang diuji menyangkut harta kamu, baik berupa kekurangan harta, kehilangan, ataupun dalam bentuk kewajiban berzakat dan bersedekah dan kamu juga akan diuji dengan diri kamu, yakni dengan luka dan pedih akibat peperangan atau penganiayaan musuh atau penyakit. Bukan hanya harta dan diri, ada yang lebih dahsyat dari keduanya yaitu kamu juga sungguh akan diuji dengan mendengar sesudah apa yang kamu telah dengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, yakni Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang yang mempersekutukan Allah, yakni kamum musyrikin Makkah, gangguan yang banyak dengan ucapan-ucapan mereka yang melecehkan agama. Jika kamu bersabar, yakni menahan diri menghadapi ujian-ujian itu, dan bertakwa, yakni beramal sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya dalam menangani dan menghadapi aneka cobaan itu, maka sesungguhnya yang demikian itu, yakni kesabaran dan takwa yang mencapai kedudukan yang sangat tinggi—sebagaimana diisyaratkan oleh kata itu—termasuk urusan yang patut diutamakan untuk dilaksanakan, tidak ditunda dan tidak pula diasingkan.
Perlu digarisbawahi dari redaksi ayat di atas bahwa Allah menjadikan ujian dalam hal yang berkaitan dengan agama sebagai ujian paling berat. Harta dan jiwa pada tempatnya dikorbankan jika agama telah tersentuh kehormatannya.
Di atas, dikemukakan bahwa ayat ini mengandung hiburan. Hal ini dapat diuraikan dari dua segi. Yang pertama, karena ayat ini menetapkan bahwa ujian merupakan keniscayaan untuk semua orang. Maka, siapa yang dihadapkan pada ujian, hendaknya menyadari bahwa dia bukan orang pertama dan terakhir mengalaminya. Ujian dan bencana yang dialami banyak orang akan menjadi lebih ringan dipikul dibandingkan bila ujian itu menimpa seorang. Yang kedua, penyampaian tentang keniscayaan ujian merupakan persiapan mental menghadapinya sehingga kedatangannya yang telah terduga itu menjadikannya lebih ringan untuk dipikul.
Penulis memaknai dari penafsiran yang dilakukan oleh beberapa ulama’ bahwa ayat ini menggambarkan betapa kehidupan seseorang yang menegakkan kalimat Allah harus menerima bermacam konsekuensi. Mulai dengan mengorbankan harta benda untuk kepentingan dakwah, membayar zakat sebagai pemenuhan kewajiban rukun Islam serta bermacam cobaan-cobaan lainnya. Namun sebagai umat Islam seharusnya kita menyadari bahwa cobaan selalu diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, dengan motivasi salah satunya kompetensi manusia menuju ke satu realitas yang telah dijanjikan Allah berupa surga. Dalam menghadapi cobaan diperlukan pula kesadaran bahwa dia bukanlah orang pertama yang mendapatkan cobaan dari Allah.
Dalam menyikapi hal ini, seseorang harus memiliki 3 (tiga) unsur, yakni kecerdasan intelektual, kesadaran spiritual dan kematangan emosional. Apabila ketiga hal ini melekat erat di dalam kepribadian seseorang, niscaya kehidupannya akan selalu dipenuhi kebahagiaan apapun situasi dan kondisinya.

Refleksi Kehidupan Dakwah Nabi; Beratnya Misi Dakwah
Hikmah Al-Muzzammil 1-5

Pada awal surah al-Jinn—surah yang lalu—demikian pula pada akhir surahnya dikemukakan keagungan al-Qur’an antara lain dengan sambutan jin terhadapnya dan juga pemeliharaan Allah atas wahyu yang dicampakkan-Nya kepada para rasul sehingga tidak dapat disentuh oleh siapa pun. Dalam konteks penyampaian wahyu itu dan pemeliharaannya., di sini Nabi saw. diperintahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi turunnya wahyu yang berat. Di sini, Allah berfirman: Hai, Nabi Muhammad, yang berselimut. Kurangilah tidurmu dan bangkitlah secara sempurna untuk shalat dan bermunajat kepada Allah di malam hari, kecuali sedikit dari waktu malam untuk engkau gunakan tidur, yaitu seperduanya malam atau kurangilah dari seperdua itu sedikit hingga mencapai sepertiganya atau lebihkan atasnya, yakni dengan perlahan-lahan dengan bacaan yang baik dan benar.
Kata (المزمّل) al-muzzammil terambil dari kata (الزّمل) az-zaml yang berarti beban yang berat. Seorang yang kuat dinamai (إزميل) izmil karena ia mampu memikul beban yang berat. Ia juga berarti menggandeng. Dari sini, lahir kata (زميل) zamil yakni teman akrab yang bagaikan bergandingan dan (زمل) zimil, yakni sesuatu yang dibonceng.
Kata tersebut juga diartikan sebagai menyembunyikan atau menyelubungi badannya dengan selimut. Kata yang sama digunakan untuk bahasa kiasan dengan arti seorang yang menutupi atau menyembunyikan kelemahan-kelemahannya sehingga ia menjadi penakut, malas, tidak giat, da takut menghadapi kesulitan. Dari makna-makna kebahasaan tersebut serta dari perbedaan-perbedaan riwayat tentang sebab turunnya ayat, bermunculanlah pendapat-pendapat yang berbeda tentang maksud panggilan al-Muzzammil, antara lain:
Wahai orang yang berselimut (dalam arti harfiah).
Wahai yang terselubung dengan pakaian kenabian.
Wahai orang yang lesu, malas, dan khawatir menghadapi kesulitan.
Pendapat terakhir ini dikemukakan antara lain oleh mufasir az-Zamakhsyari. Menurutnya, “Pada suatu malam, Rasulullah saw. sedang berbaring dalam keadaan berselimut maka turunlah ayat ini menegur beliau. Teguran itu mengandung arti kecaman yang disebabkan oleh karena beliau ketika itu bersiap-siap untuk tidur nyenyak, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang tidak memberi perhatian kepada persoalan-persoalan besar serta malas dan enggan menghadapi kesulitan dan tantangan.” Demikian az-Zamakhsyari. Memang, boleh jad Nabi Muhammad saw. ketika itu sedang resah sehingga berselimut, tetapi makna yyang dikemukakan az-Zamakhsyari ini sungguh jauh dari kebenaran bahkan tidak wajar dinyatakan sebagai sikap Rasulullah saw.
Pendapat umum para ulama justru menjadi seruan “Wahai orang yang berselimut” sebagai panggilan akrab dan mesra dari Allah terhadap Nabi-Nya. Memang, di sisi lain, panggilan itu dapat tertuju kepada setiap orang yang tidur malam agar memperhatikan pesan ayat ini dengan menggunakan waktu malam untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibnu Katsir memberi penjelasan bahwa maksud ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah untuk meninggalkan selimutnya, yakni yang menutupinya di malam hari. Lalu bangkit untuk bermunajat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surah as-Sajadah:16. Berqiyamul lail bahkan menjadi kewajiban bagi Nabi saw. sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Isra’:79. Ibnu Abbas menafsiri ayat tersebut dengan maksud wahai orang-orang yang tidur.
Kata (قم) qum terambil dari kata (قوم) qawama yang  kemudian berubah menjadi (قام) qama yang secara umum diartikan sebagai melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya. Perintah al-Qur’an dalam bentuk kata qum hanya ditemukan dua kali dalam al-Qur’an, masing-masing ayat kedua surah ini dan surah al-Mudatstsir.
Sayyid Quthub dalam tafsirnya menulis tentang ayat ini bahwa: “Ini adalah ajakan langit serta suara Yang Mahabesar lagi Mahatinggi. Bangkitlah, bangkitlah untuk menghadapi persoalan besar yang menantimu. Suatu beban berat yang dipersiapkan serta diletakkan di pundakmu. Bangkitlah untuk bekerja keras, letih, dan bersungguh-sungguh. Bangkitlah karena telah berlalu masa tidur dan istirahat. Bangkit dan bersiaplah menghadapi persoalan-persoalan bertai ini.” Sayyid Quthub selanjutnya menyatakan bahwa Rasulullah saw. menyadari benar kandungan perintah ini sehingga beliau berkata kepada istrinya Khadijah: “Telah berlalu masa tidur, wahai Khadijah.”
Kata (اللّيل) al-lail pada mulanya dari segi bahasa berarti hitam pekat. Karena itu, malam, rambut (yang hitam) dinamai Lail.
Dalam literatur keagamaan, “malam” diartikan sebagai “waktu terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar”, demikian kesimpulan ulama Sunni. Sedang, bagi ulama Syi’ah “malam dimulai setelah terbenamnya matahari yang ditandai dengan hilangnya mega merah di ufuk timur”. Karena itu, waktu berbuka puasa bagi penganut aliran Syi’ah lebih lambat sedikit dibandingkan dengan penganut aliran Sunni, walaupun kedua-duanya perpegang kepada firman Allah:
   
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam” (QS. al-Baqarah [2]: 187). Thahir Ibn ‘Asyur memahami kata malam pada ayat al-Baqarah ini dalam arti setelah Isya.
Sementara ulama mengartikan kata (قم) qum pada ayat kedua ini dalam arti shalatlah. Menurut mereka, kata qum, apabila terangkai dengan kata (اللّيل) al-lail, ia tengah sangat populer dalam arti shalat malam. Yang menafsiri sebagai shalat malam termasuk Syekh Jalaluddin dalam kitab tafsir Al-Jalalain-nya.
Sedang, mereka yang memahaminya dalam arti bangkit, menyatakan bahwa dalam redaksi ayat kedua ini terdapat kata tersirat, yaitu “shalat”, sehingga keseluruhannya diartikan sebagai: “Bangkitlah untuk shalat pada waktu malam”.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa konteks ayat ini tidak berkaitan dengan secara langsung dengan perintah bangkit untuk menghadapi tugas-tugas berat—sebagaimana pendapat Sayyid Quthub di atas—tetapi perintah untuk bangkit melaksanakan Shalat al-Lail. Hal ini akan semakin jelas jika diamati bahwa “kebangkitan” yang dituntut bukannya kebangkitan penuh, padahal yang dituntut dalam konteks penyampaian risalah adalah adalah kebangkitan penuh.
Ayat ini tidak memerintahkan untuk melaksanakan Shalat al-Lail sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar, sebagaimana terlihat dari kata (إلاّ قليلا) illa qalilan/kecuali sedikit dalam arti “Sedikit dari bagian malam itu, engkau hendaknya tidak melakukan shalat”.
Bagian yang sedikit tersebut dijelaskan oleh ayat 3 dan dengan demikian perintah melakukan Qiyam al-Lail adalah selama seperdua malam, atau kurang sedikit atau lebih sedikit dari seperdua malam itu. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk shalat lebih kurang lima setengah jam.
Ada ulama juga yang tidak menjadikan ayat 3 dan 4 sebagai penjelasan tentang arti pengecualian pada ayat kedua. Menurut mereka, pengecualian yang dimaksud bukan pada “bagian” malam tetapi “jumlah malam” sehingga keseluruhan ayat-ayat di atas diartikan sebagai: “Bangkitlah untuk melakukan shalat malam sebanyak lebih kurang setengah malam, kecuali pada beberapa malam di mana kamu misalnya sedang sakit, sangat mengantuk, atau menghadapi kesibukan-kesibukan lain yang tidak terelakkan.”
Kata (رتّل) rattil dan (ترتيل) tartil terambil dari kata (رتل) ratala yang antara lain berarti serasi dan indah. Kamus-kamus bahasa merumuskan bahwa segala sesuatu yang baik dan indah dinamai ratl, seperti gigi yang putih dan tersusun rapi, demikian pula benteng yang kuat dan kukuh.
Ucapan-ucapan yang disusun secara rapi dan diucapkan dengan baik dan benar dilukiskan dengan kata-kata Tartil al-Kalam.
Tartil al-Qur’an adalah: “Membacanya dengan perlahan-lahan sambil memperjelas huruf-huruf berhenti dan memulai (Ibtida’) sehingga pembaca dan pendengarnya dapat memahami dan menghayati kandungan pesan-pesannya”. Sedang, yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan firman Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril dari ayat pertama al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir an-Nas. Dalam saat yang sama, al-Qur’an juga merupakan nama dari bagian-bagiannya yang terkecil. Satu ayat pun dinamai “al-Qur’an.”
Kalau pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas merupakan wahyu ketiga, dari segi konteksnya ayat ini berpesan agar Nabi saw. membaca dengan tartil lima ayat pertama pada surah Iqra’, awal surah al-Qalam, serta awal surah al-Mudatstsir (jika yang terakhir ini turun sebelum al-Muzzammil).
Di sisi lain, timbul pertanyaan apakah perintah melakukan “Tartil” dilaksanakan pada saat Qiyam al-Lail ataukah ia merupakan perintah tersendiri yang dilaksanakan kapan saja? Dua pendapat yang berbeda, namun penulis cenderung memahaminya sebagai perintah tersendiri yang hendaknya dilaksanakan pada malam atau siang hari.
Kedua perintah di atas adalah dalam rangka menghadapi tugas berat yang akan diemban sebagaimana dijelaskan oleh ayat berikut (ayat ke-5, pen).
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan atasmu perkataan yang berat.”
Mengapa Allah memerintahkan Nabi saw. untuk bangkit shalat dan bermunajat mendekatkan diri kepada Allah. Itu disebabkan “Sesungguhnya Kami melalui malaikat Jibril as. dalam waktu singkat ini akan menurunkan atasmu, wahai Nabi Muhammad, perkataan yang berat, yakni firman-firman Allah berupa al-Qur’an.”
Kata (سنلقي) sa nulqi terambil dari kata (لقي) laqiya yang pada mulanya berarti bertemunya dua hal dalam bentuk kedekatan. Ia juga biasa diartikan mencampakkan dan ini mengandung arti keras dan cepatnya campakan itu. Al-Qur’an menggunakan kata tersebut dalam berbagai bentuk dengan makna berbeda-beda namun kesemuanya bermuara kepada arti kebahasaan di atas. Penggunaan kata tersebut, di samping mengisyaratkan kehadiran wahyu yang demikian cepat, juga kemantapan dan kedekatan wahyu itu kepada diri Nabi Muhammad saw.
Kata (عليك) ‘alaika, di samping mengandung makna kemantapan, juga mengesankan bahwa wahyu itu akan diterima Nabi saw. dalam keadaan berat dan itu ditegaskan lagi dengan kata (ثقيلا) tsaqilan/berat.
Kata (قولا) qaulan, yakni ucapan, yang diterima Nabi Muhammad saw. adalah lafal-lafal yang bersumber langsung dari Allah swt. Itu beliau terima bukan berupa inspirasi karena inspirasi atau ilham adalah “pengetahuan yang diperoleh secara langsung menyangkut persoalan-persoalan yang dapat dipikirkan atau telah dipikirkan”. Sedang “wahyu” yang diterima oleh para nabi adalah pengetahuan yang secara langsung menyangkut masalah-masalah yang tidak terpikirkan. Di samping itu, inspirasi tidak menimbulkan keyakinan yang bulat dari penerimanya, berbeda halnya dengan wahyu. Di sisi lain, inspirasi tidak mengakibatkan atau tidak disertai gejala-gejala yang tampak pada fisik penerimaannya, berbeda dengan wahyu al-Qur’an.
‘Aisyah r.a., istri Nabi Muhammad saw., menceritakan, sebagaimana dinukil oleh Bukhari, bahwa di kala Rasulullah menerima wahyu, beliau bercucuran keringat walaupun di musim dingin yang sangat menyekat. Rasulullah, dalam sekian riwayat, menyampaikan bahwa pada saat menerima wahyu terkadang penerimaannya disertai dengan bunyi gemerincingan lonceng di telinga atau seperti suara lebah yang menderu, sedemikian “berat” wahyu yang diterima itu sehingga terkadang pula beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menutup wajah beliau.
Yang memerintahkan untuk menutupnya adalah Nabi Muhammad saw. sendiri, hal mana menjadi bukti bahwa, ketika menerima wahyu, beliau berada dalam keadaan sadar dan yang ditutup hanya sekedar wajah bukan seluruh tubuh. Dua hal di atas dapat menjadi bukti bahwa apa yang beliau alami itu bukan merupakan gejala epilepsi (penyakit ayan).
Demikian gambaran tentang cara penerimaan wahyu serta salah satu arti kata tsaqilan/berat yang dilukiskan oleh ayat 5 ini.
Ada juga yang memahami kata tsaqilan/berat sebagai gambaran tentang kandungan wahyu yang akan diterima dan bukan keadaan yang beliau alami ketika menerimanya. Menurut mereka, “beratnya” kandungan al-Qur’an adalah karena ia merupakan Kalam Ilahi Yang Mahaagung dan karena ia mengandung petunjuk-petunjuk yang menuntut kesungguhan, ketabahan, dan kesabaran-kesabaran dalam melaksanakannya. Sejarah membuktikan betapa berat perjuangan Nabi dan sahabatnya dalam menegakkan ajaran-ajaran tersebut dan betapa berat pula tantangan yang dihadapi umat untuk mempertahankannya. Sebenarnya, kedua makna tersebut dapat dicakup pleh kata berat, bahkan ditegaskan pleh Q.S. al-Hasyr [59]:21:
           
 “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah.”
Masih terdapat pendapat-pendapat lain tentang arti berat, namun pendapat-pendapat tersebut, walaupun kandungannya benar, agak jauh dari konteks ayat ini. Seperti yang menyatakan bahwa al-Qur’an berat bagi orang-orang kafir dan munafik, atau dalam timbangan amal di hari Kemudian, atau berat dalam arti agung, atau dalam arti mantap (karena sesuatu yang berat pasti mantap). Sehingga, karena kemantapannya, ia tidak akan mengalami perubahan bahkan akan kekal selama-lamanya.”
Ada beberapa poin penting yang terkandung di dalam ayat-ayat di atas. Di antaranya ialah gambaran bagaimana tugas kenabian Rasulullah SAW sangatlah berat. Berkali-kali Nabi Muhammad SAW menerima perlakuan yang tidak layak dari kafir Makkah. Untuk itu Nabi Muhammad SAW diperintah oleh Allah untuk berqiyamul lail dan bermunajat kepada-Nya agar timbul keteguhan hati untuk terus mensyi’arkan ajaran Allah.
Ayat-ayat di atas jika dikaitkan dengan konteks sekarang ialah anjuran bagi para da’i untuk meniru konsep dakwah Rosulullah. Caci maki dan hinaan dari berbagai kalangan merupakan hal yang biasa diterima oleh seorang da’i. Apa yang seharusnya dilakukan? Hendaklah ketika da’i tengah gundah, ia mencurahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah. Memang menjalankan perintah dakwah itu sangatlah berat.

Peringatan Bagi Da’i Mengenai Cobaan dalam Berdakwah
Hikmah Al-Baqarah ayat 214

Keadaan mereka (bani Israil) yang bergelimang dalam kenikmatan duniawi, bahkan hiasan dunia itu sendiri, demikian juga sikap dan perlakuan yang sering kali diterima oleh orang-orang beriman, semua itu merupakan ujian dan cobaan. Hal demikian itu adalah keniscayaan untuk meraih ketinggian surga di akhirat kelak. Itulah yang disadari oleh orang-orang yang bertakwa. Bagaimana dengan kalian yang mendengar ayat-ayat ini, apakah demikian juga, atau apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepada kamu cobaan yang diduga keras akan kamu alami sebagaimana halnya yang dialami oleh orang-orang terdahulu belum lama ini sebelum kamu?
Diduga keras akan kamu alami dipahami dari penggunaan kata (لما) lamma yang mengandung makna tersebut.
Tahukah kamu apa yang mereka alami? Mereka ditimpa oleh malapetaka yang berkaitan dengan harta mereka dengan kehilangan atau kekurangannya dan kesengsaraan, yakni yang berkaitan dengan diri atau keluarga mereka, seperti sakit dan kematian, serta diguncangkan dengan bermacam-macam cobaan, bagaikan guncangan gempa yang sangat menakutkan, sehingga berkatalah Rasul pesuruh Allah yang demikian tegar dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Allah menyampaikan kepada mereka bahwa, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan yang tidak ada sumbernya selain Allah amatlah dekat.”
  Ayat ini memberi hikmah kepada kaum muslimin bahwasanya harta bukanlah hal yang paling utama dalam hidup ini. Bahkan harta merupakan cobaan karena dengan harta manusia bisa melupakan relasi dengan Allah SWT. Mereka lebih mengutamakan kepentingan dunianya yang berkaitan dengan harta benda, daripada mendalami kehidupan spiritual. Akibatnya semua unsur kehidupan dipenuhi pemikiran-pemikiran material. Apabila diberi cobaan, manusia tidak dapat menghadapinya dengan bijak. Orang yang cinta dunia akan mudah gelisah jika diberi cobaan oleh Allah SWT.
Ayat ini mengandung hikmah bahwa surga akan didapat seseorang setelah melewati berbagai cobaan. Namun cobaan yang diberikan oleh Allah bukan untuk ditakuti sebab dijanjikan oleh-Nya balasan sedemikian mulia kelak. Cobaan yang dihadapi oleh seorang da’i hendaknya dimaknai sebagai sebuah tantangan hidup. Seorang da’i harus tetap optimis dalam setiap menjalani proses dakwahnya, serta selalu yakin bahwa Allah SWT akan memberikan pertolongan bagi hamba-Nya yang membutuhkan. Wallahua’lam.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, ayat-ayat di atas menjelaskan berbagai macam sikap dan penentangan dari objek dakwah, serta rambu-rambu yang dihadapi oleh da’i dalam menyikapinya, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sikap-sikap yang diperlihatkan oleh objek dakwah tersebut sudah ada sejak nabi-nabi terdahulu saat menyampaikan ajaran-ajaran tauhid.
Daftar Bacaan:
Aplikasi Quran in Word versi 1.3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nur, Jakarta, Bulan Bintang, 1970
Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, Surabaya, Al-Hidayah
Yusuf Qordlowi, Fiqih Jihad, Jakarta, Mizan, 2010

0 comments:

Post a Comment